Bagian 1 || Perempuan Misterius Serbahitam


Berstatus siswa SMP tahun terakhir, dengan kedua tangan di saku celana dan ransel di punggung, aku melangkah rileks, menyusur trotoar selebar rentangan tangan yang tak disambut kekasih pujaan.

Bukan, aku bukan berangkat sekolah. Alih-alih seragam putih biru, kaus biru polos lengan panjang dan celana training putihlah—berikut celana dalam—yang dengan pas membalutku. Di Minggu pagi yang cerah ini, destinasiku rumahku sendiri.

Menilik arloji di pergelangan kanan, tertera 5.50. Beregang-regang, kucoba melenturkan persendian yang kaku. Jasmaniku lelah. Pun otak, payah, sebab terpaksa maraton senam aerobik semalaman.

Adalah segepok PR, yang menjadi biang keladi. Mengingat deadline dan sanksi turut pula berdandan ala nasabah kuburan, mendadak bertunaslah seperangkat mesin keluh di otakku. Untung mesin keluh tersebut telanjur mendiang. Maksudku, segepok PR dari sekolah tadi ditugaskan per kelompok. Semalam kelompokku sepakat menggarapnya di rumah salah seorang dari kami, yakni Topan.

Oleh sebab keringanan itulah setidaknya aku dapat rehat sejenak di sela-sela belajar. Karena, kurun lima bulan ke depan, Ujian Nasional sudah ready menyervisku. (Demikian pula potret sinetroniyah SMA, mulai berseri mengobralkan pidato penyambutannya, di hadapan para penerbit novel fiksi remaja, biro jodoh yang sedang giat-giatnya bekerja, atau yang sekadar ingin berbaper ria saja.)

Semilir pepohonan di sepanjang trotoar masih setia menggombali embun. Merayapi perabaan. Meniupkan kelegaan. Mengambrukkan kantuk di wajahku yang mohon doanya untuk ditampankan.

Sembari menapak, aku bersiul-siul kecil. Tidak menguras waktu lama berjalan kaki dari kediaman Topan ke rumahku. Sebentar lagi sampai. Tinggal dua belokan jalan.

Sebetulnya, hari masihlah remang. Lampu-lampu jalan dan rumah pun belum dipadamkan. Mentari sedang berleha-leha dulu kurasa (tak apalah, asal dia tidak ketiduran saja, bahaya). Belum muncul tengara yang menandakan akan dimulainya perlalulintasan pagi ini. Jalan beraspal di sebelah kananku senyap. Kalau dipikir-pikir, ah, biasalah itu. Paling, akhir pekan begini—

Aku hendak masuk ke belokan pertama, tepat ketika sebuah sedan hitam, dengan kecepatan tinggi, meluncur melewatiku ...

dan mendadak berhenti di persimpangan belokan itu.

Decit rodanya pada aspal langsung melelehkan senyap.

Refleks, aku buru-buru sembunyi di balik sebatang pohon terdekat—kebetulan pohon jengkol—dan lekas mengintip apa yang sebenarnya terjadi.

Jidatku pun misuh.

Sepasang alisku bersetubuh.

Bisul pada bola mataku seakan kambuh.

Aneh.

Seorang perempuan berkerudung, berpakaian serbahitam, dengan tergesa-gesa keluar dari pintu pengemudi. Gelagatnya tampak mencurigakan. Kedua tangannya kulihat tengah mengampu sebuah kardus mantan mi instan.

Sontak, pikiranku jumpalitan diserbui batalion gagang payung terbalik dengan masing-masing sebutir upil di bawahnya.

Apakah dia teroris?

Apakah kardus itu berisi bom?

Atau, jangan-jangan ....

Bernyalikah aku menyetopnya?

Bagaimana kalau dia bersenjata?

Bagaimana kalau dia ternyata pemegang sabuk hitam taekwondo yang tak akan segan menghancurluluhkanku!?

Oh Tuhan, bagaimanakah ini!?

Bersamaan dengan itu, kudapati kardus yang dibawanya sudah tergeletak di siku belokan yang dialihfungsikan jadi lapak pembuangan sampah ilegal. Perempuan itu mengendap-endap kembali ke mobil, mengedarkan pandang.

"HEI!" Nyaliku—garis miring nekat—tak disangka berhasil jua membumihanguskan keraguan.

Berlarilah kuhampiri perempuan itu.

Setiba di radius tempat aku dapat melihatnya jelas, tanpa bisa diprediksi, tatapanku terpaku ...

dan detik seolah mati kutu.

Netraku berserobok dengannya.

Jleb.

Ragaku abnormal; kakiku lemas, wajahku kebas, menganga mulutku tak pantas.

Mencelatlah tak keruan organ pemompa darahku, berdag-dig-dug sensasional, tak ubahnya kaok kelelawar nokturnal.

Kepalaku pun enggan pensiun dari mendongak menatapnya, sebab postur tubuhnya yang jangkung.

Hanya lelaki "bosan cecan dan ingin cicip cogan" sajalah yang sampai hati menyebut perempuan di hadapanku ini tak sedap dipandang muka. Biarpun gurat wajahnya tampak apatis beratap kilap mentari yang mulai berangsur tiris, kecantikan itu teramatlah muskil siapapun tak menggubris.

Kutaksir usianya sepantaran SMA. Iris matanya selegam arang. Hidungnya mancung tanpa baking soda. Bibirnya delima merekah. Dagunya sepasang gunung kembar yang sering menghiasi buku gambar bocah TK. Plus, selaku pemanis alami eksterior, melekuk seceruk lesung pipit di kanan, kendati tersamar karena ketiadaan senyum. Kulit putihnya pun (meski cuma sebatas tatap) kuanggap semulus marmer; bening, terawat, yang mungkin bakal menggugah seluruh klinik bedah plastik di Korea sana terbang ke sini guna melantiknya menjadi brand ambassador. Perempuan misterius ini keelokannya paripurna, kalau aku boleh menyerucutkan deskripsi. Sungguhlah aduhai. Sungguhlah bikin gairah para lelaki memuai.

Dan, aku masih seperti sediakala.

Masih seperti orang gila.

Makin ricuh mengaguminya.

Makin rikuh memandanginya.

Makin kisruh jatuh cinta kepada—

Pupil mataku langsung ditampar kesadaran, begitu memindai mobilnya dengan lancang telah melaju, dan lesap di tikungan sebelah kanan.

Apa-apaan ini!?

Dedemit apa yang merasuk kepala kau!?

Cepat-cepat aku menggeleng.

Pergi!

Hentikan!

Lupakan!

Enyahlah!

Entahlah.

Rasanya ... aku benar-benar tidak benar.

Rasanya konsentrasiku kehilangan engsel penstimulusnya tadi. Seolah baru terjadi soak temporal pada saraf optikku hingga dibuatnya khilaf begini.

Serius, jelitanya perempuan itu teramatlah menjahanamkan, merebakkan virus selingkuh di kalangan pria berkekasih bukan pria.

Akan tetapi, sespektakuler apa pun perempuan misterius itu coba memeletku, aku tiadalah bertekuk lutut. Sebab, sukmaku berujar kedatangannya tidak disertai maksud baik.

Memang, dalam sepersekian sekon yang lalu aku merasakan bius pesonanya. Memang, dalam sepersekian sekon yang lalu aku merasa jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi, kini, apakah aku masih merasai debaran itu?

Entahlah.

Aku pun bingung.

Namun, aku tidak bingung-bingung juga, sih, sebetulnya. Sekarang aku sudah tahu apa yang harusnya kuperbuat.

Kardus itu.

Sewaktu mengumpet tadi, selarik hipotesis liar sempat menggerebek akalku. Bahwa, perempuan misterius tersebut merupakan anggota sindikat teroris yang diinstruksikan untuk meletakkan setampuk granat di suatu tempat guna menciptakan kegegeran publik.

Akan tetapi, setelah kutimbang-timbang, hipotesis tersebut kedengarannya naif, pun mendiskreditkan golongan tertentu. Maka, sebagai alternatif, kupilihlah hipotesis berikut:

Perempuan misterius tadi adalah korban pria bejat yang menjadikannya terpaksa menggugurkan kandungan, lalu dibuangnya janin tak berdosanya itu di sebuah tempat sampah sepagi ini agar jejaknya tak terendus.

Begini kira-kira analisisku:

Perempuan misterius itu cantik. Pasti banyak lelaki yang kepincut kemolekannya. Entah karena dijodohan, terjodohkan, atau memang berjodoh betulan, perempuan misterius itu tentu dapat dengan mudah terikat hubungan. Singkat cerita, lelaki yang berhubungan dengannya memang bangsat, dan perempuan itu pun mengambil jalan pintas berupa aborsi. Syukur-syukur jika dia mengurungkan aborsi. Aku menerka, perempuan misterius itu melahirkan bayinya dengan selamat, lalu memutuskan membuangnya lantaran malu pada aib yang mesti ditanggung.

(Sungguh, sejauh ini aku tidak mengada-ada. Televisi dan buku telah menjelma candu bagiku kala itu. Jadi, maklumilah pola pikirku yang macam usus ayam broiler ini.)

Aku mendekat ke pojok kanan area tempat sampah tadi, lokasi persisnya kardus itu teronggok.

Naluriku santer berseru, sesuatu yang di dalam situ memang tak lain sejabang bayi. Praduga dinamit sudah jauh-jauh angkat kaki. Dengan berani kuangkatlah kardus tersebut. Oh, ternyata tidak seberat yang kuduga. Kurebahkan satu daun telinga pada sisi atasnya yang terlingkup sarung hitam. Kemudian, terdengarlah sesuatu.

Deru napas lembut.

Terlampau lembut.

Naik.

Turun.

Teratur ....

Tak salah lagi. Itu sejabang bayi!

Sumpah, lho, aku merasa disirami aura kedewasaan—yang utuh—untuk pertama kalinya.

Tiada hirau validitas yang mengekspos ujung kaki sampai ujung kepala bahwa aku ini cuma seorang remaja 15 tahun yang kerap dihadiahi harapan palsu oleh Dinas Pendidikan, aku merasa jadi seorang ayah! Ayah yang sedang berbunga-bunga hatinya menyimak napas-napas pertama sang darah daging di belantara dunia!

Di penglihatanku, tervisual sesosok bayi mungil dengan mata terpejam dan pipi tembam bersemu—lucu sekali dia bergelung. Didukung tampang nihil kemaksiatan, terdengarlah dia terisak. Mencondongkan bibir ke sebelah telinganya, aku pun berbisik, "Cup-cup, Sayangku. Jangan nangis dong. Papa ada di sini, kok." Lantas, aku meraihnya, menggendongnya, menimang-nimangnya, dan mengecup keningnya. Terus, ajaibnya, tangisannya seketika redam, dan justru akulah yang balik menangis. Rasanya aku terharu. Rasanya aku mendadak kawaii, dan bercahaya. Menjelmalah aku seorang ayah paling berkarisma sepenjuru jagat—

Aku menyibak sarung hitam yang menutup kardus itu.

Dan, aku merasa butuh psikiater detik ini juga atau, barangkali, rumah sakit jiwa.

Bayanganku langsung tercerai-berai bagai semangkuk bakso edisi bertanda tangan yang kuantre seharian, tetapi dalam sekejap tumpah lantaran tersandung tali sepatu sendiri.

Bukan bom. Memang benar termuat di situ sewujud benda hidup. Lugu, imut, dan menggemaskan. Tubuhnya mungil; pulas telentang digulung selapis selimut lecek berwarna biru langit keunguan bermotif bulatan-bulatan abu-abu yang pinggiran bulatan-bulatan itu berwarna sawo busuk dengan seleret gradasi kuning tahi di bagian pusat bulatan-bulatan tersebut.

Spesies bernyawa pabrikan planet bumi—yang persis secetakan embrio Homo sapiens—ini mengedutkan kelopak matanya. Masih berbalutkan selimut, kurengkuhlah dia, menaruhnya dalam dekapan. Begitu saja kupangku, tanpa perlu berpusing ria apakah dia bakal mengompol, buang hajat, keduanya, ataupun tidak keduanya. Aku mengguncang lemah tubuhnya yang diselubungi dengkuran stabil. Kemudian, pelan-pelan, kurasailah dirinya menggeliat.

Kalbuku pun terenyuh.

Kedua lututku seperti lumpuh.

Seiring air mata yang perlahan runtuh.

Kau harus menyelamatkannya! Menggedor-gedorlah benakku.

Yakin seyakin-yakinnya, aku menghela napas, tersenyum mantap.

Keputusanku bulat sudah. Akan kuturuti sabda sanubariku barusan. Akan kubopong makhluk yang bagai pinang dibelah dua dengan bayi ini di sisa perjalananku. Akan kubawa makhluk berbulu disertai ekor dan kumis simetris melintang ini ke rumahku. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top