12- Modusnya Zero
Happy reading!!
"Mulai sekarang persiapkan diri, ada ujian, yang mau lanjut kuliah atau memilih bekerja. Belajar, jangan buang waktu percuma buat main sana-sini, pacaran, nongkrong-nongkrong. Ingat, kalian udah kelas 12 sebentar lagi UTS dan semester 2 kalian bakal sibuk persiapan ujian."
Kelas 12, menjadi tingkat paling tinggi pada masa itu, setelahnya sudah ada masa depan yang menanti, tentunya lebih berat daripada sebelumnya. Memasuki dunia kuliah atau dunia kerja, menjadi manusia dewasa yang harus lebih siap menghadapi entah kerikil atau batu besar di depannya.
Bu Reta selalu menasihati muridnya agar tidak lupa melaksanakan kewajiban menjadi siswa. Beliau lebih tahu karena sudah merasakannya dulu. Melihat respon muridnya yang seperti memperhatikan dengan saksama, tetapi beliau yakin dalam diri muridnya agak kurang ikhlas karena terus-menerus dinasihati hal yang sama.
"Saya tahu perasaan kalian karena diingetin kayak gini terus, tapi saya harap kalian bisa mengerti maksud saya. Saya cukupkan sampai di sini, mohon maaf kalau ada salah kata, wassalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam warohmatulloh, terima kasih Bu."
Masa-masa sekolah, jam istirahat, jam pulang, dan libur atau tanggal merah yang selalu dinanti. Kadang, saat akan berangkat merasa malas namun saat mendekati waktu pulang urung rasa malas karena bertemu teman. Aku datang untuk belajar, aku pulang membawa ilmu. Kata mutiara zaman SD kadang terlupakan.
Bel istirahat sudah berbunyi dan semua mulai berhamburan keluar.
"Ikut nggak?" Tanya Ansel ke Zoe dan Ivona yang sedang berpose di depan gawainya.
Zoe menoleh, begitupun Ivona. "Mana?"
"Lihat lapangan lanjut makan," jawab Ansel. Beberapa hari lagi akan digelar festival olahraga, sehingga ia ingin melihat sudah berapa persen persiapan acara tersebut.
"Mauu!" Ivona berseru lantas berdiri merapikan seragamnya.
"Ih males." Berbeda dengan Ivona, Zoe menjawab lemas dan tidak minat.
"Angkut Sak, gendong aja," ujar Ansel cengengesan.
"Gendong karung beras, cepet Zoe naik." Ivona ikut tertawa menanggapi.
Zoe mengulurkan tangan, dengan malas Sakya menariknya. "Manja, mageran, hidup lagi."
Kesal dengan kata terakhir Sakya, Zoe menabok punggung Sakya dengan kencang. Sakya tidak merasa kesakitan sama sekali, dia malah tertawa bahagia meledek Zoe.
"Gue dukung kalo jadian, tapi gue tetep shipper ama Zero," gumam Ivona.
"Naon?"
"Nggak."
"Tuh, cewek mah gitu ditanya apa dijawab nggak, kenapa dijawab nggak papa, terus aing sebagai cowok kudu kumaha." Ansel yang sedang berjalan kemudian berhenti memeluk tiang yang ada di sampingnya, mendramatisir keadaan.
"Lebay lo!" Ivona ikut berhenti berbalik memperhatikan Ansel yang melakukan hal itu tanpa malu.
"Ngapain kamu?" Dengan nada tegas yang membuat Ansel menghentikan aksinya.
Tersenyum malu dan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Hehe, pak."
"Ya, nggak papa lanjutkan. Mending peluk tiang daripada peluk perempuan," ujar guru bk tersebut.
"Kak Ansel lucu banget," ujar cewek yang melihat Ansel.
"Gitu lo bilang lucu," kata Ivona menggelengkan kepala.
"Kak Ivo cemburu nih," ledek adik kelasnya.
Ivona berjalan cepat menyusul Zoe dan Sakya yang berjalan sangat mesra, Zoe berjalan tepat di samping Sakya dengan Sakya yang memiting kepala Zoe.
"Minggir nggak!" Zoe berusaha melepaskan diri dari himpitan ketek Sakya.
"Barang siapa yang menebar keuwuan akan mendapatkan dosa!" Anggota OSIS yang sedang mempersiapkan tempat memprotes mereka, mereka menganggap itu hal romantis? Gila memang, padahal Zoe sedang susah seperti itu.
"Kerja yang bener." Sakya hanya merespon itu, dengan raut wajah yang terlihat sangat bahagia karena berhasil membuat Zoe kesal, karena kasihan Sakya pun melepaskannya.
Lagi-lagi karena kesal, Zoe memukul keras punggung Sakya. "Bau!"
"Wangi, kan lo suka."
"Mboh." Kemudian menghampiri Ivona yang sedang menyender ke tembok pembatas.
"Udah?" Ivona memicingkan mata.
"Ayo balik," ajaknya. Ivona ikut saja apa kata Zoe, tadinya memang dia bersemangat ingin melihat lapangan, tetapi ternyata tidak seramai itu. "Laper nggak?"
"Nggak si."
"Lupa, gue bekel dah, lo mau nggak? Sandwich."
"Mau lah ya kali."
Mereka bergegas menuju kelas, namun saat di koridor, namanya tiba-tiba dipanggil.
"Iya Bu?"
"Kamu tahu tempat fotokopi yang di ujung jalan sana kan Azor? Fotokopi koperasi rusak, depan tutup saudaranya lagi nikahan. Saya minta tolong kamu sama Zero buat fotokopi."
Zoe melirik Zero yang berdiri menghadap Bu Tri, memang yang memanggilnya Azor hanya Bu Tri.
"Biar saya sama Ipon aja Bu," katanya menunjuk Ivona dengan jempol tangan.
"Lebih aman dengan Zero, karena Zero nggak tahu tempatnya kamu yang lebih tahu, jadi saya minta tolong sama kalian." Bu Tri berkata dengan suara lembut.
"Baik Bu."
"Terima kasih, soalnya saya masih ada yang harus dikerjakan. Kalian hati-hati."
Setelah Bu Tri berlalu, Zoe menatap Ivona. "Sama lo," katanya.
"Apaan! GUE KEBELET," Teriaknya berlari meninggalkan keduanya.
Zero memberikan map kepada Zoe dan diterimanya. "Modus banget jadi cowok."
Karena Zoe tahu, tadi Bu Tri memanggilnya karena sebelumnya Zero yang meminta, beralasan tidak tahu tempatnya. Bu Tri yang kepepet dan buru-buru pun jadi memanggulnya.
***
Dalam perjalanan Zoe tidak berbicara sepatah kata pun, Zoe kesal karena ia harus menuruti kemodusan Zero yang sebenarnya tahu arah jalan. Zero menarik gas motor dan tiba-tiba mengerem secara mendadak.
Modus lagi? Zoe menghela napas sabar. Tidak berniat sama sekali untuk berpegangan pada Zero meskipun sebenarnya sedikit takut, Zoe memang erat map yang ada di pangkuan dan kakinya memijak kencang.
Karena Zero masih melakukan hal itu, Zoe mulai geram dan menyubit perut Zero keras.
"Aww," pekiknya kesakitan. "Masih suka nyubit ternyata, nggak papa kalo nyubitnya ke aku aja nggak ke yang lain," katanya sedikit keras.
"Apa si."
"Turun, betah banget di motor aku," katanya sembari mematikan mesin.
Zoe berdecih pelan dan masuk ke tempat fotokopi mengabaikan Zero yang masih berdiri di sana.
Setelah selesai memfotokopi sesuai perintah Bu Tri, mereka kembali ke sekolah dengan tingkat kejahilan Zero yang masih memainkan gas motornya.
"Bisa motoran nggak si?!"
"Bisa, makanya pegangan ay," ujarnya menatap spion melihat bagaimana ekspresi Zoe.
Zero tersenyum melihat Zoe yang terdiam. "Mampus lo, baper kan? Nggak bakalan gue biarin elo pergi dari hidup gue, masih sesayang itu, nggak mungkin gue lepasin lo gitu aja," ujarnya dalam hati.
"Kok belok si?!" Seharusnya lurus, jika belok kanan maka akan lebih jauh jaraknya ke sekolah.
"Biar makin lama, kangen banget tahu ay boncengin kamu," katanya manis.
"Lo nggak usah modus deh!"
"Modus tuh kayak gimana? Kasih tahu aku."
Tiba-tiba Zero mengerem mendadak sampai berhenti, membuat Zoe terdorong ke depan dan memeluk Zero.
"Tuh kan?!"
"Ada bebek ay, untung nggak nabrak," katanya menunjuk ke depan. Zoe tidak menjawab dan melanjutkan perjalanan yang sangat Zoe tidak inginkan tetapi jujur saja Zoe merindukannya.
Perjalanan kembali hening, pikiran Zoe hanya melayani saja sampai tidak sadar bahwa sebenarnya dia sedang memeluk Zero yang jelas orang yang dipeluk itu sedang berbunga-bunga.
Tanpa terasa meskipun jaraknya lebih jauh, akhirnya sampai juga. Zero menempatkan motornya rapi di parkiran seperti biasanya.
"Aku tunggu sampai besok nggak papa ay, sumpah nyaman banget," katanya yang sudah melepaskan helm.
Zoe yang sadar langsung melepaskan dan turun dari motor. Melepas helm dan meletakan di boncengan motor Zero.
"Kebanyakan modus." Zoe merapikan rambutnya yang berantakan.
"Yang ngebuat semuanya gini, cuma keegoisan kamu aja, yang bisa balikin itu semua cuma diri kamu," ujar Zero yang membuat perhatian Zoe berubah.
Zoe mulai menatap Zero dan memperhatikan setiap ucapannya. "Sebenernya kita sama-sama nggak mau pisah, aku tahu kamu masih ada rasa sama aku, terlepas dari semua rasa kecewa yang ada di diri kamu."
Zoe bergeming, seluruh badannya seolah tidak bisa digerakkan.
Sawadikhaa
Finish untuk malam ini🙌
Jangan lupa vote komen😠🔪
TBC!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top