CHAPTER 9 One Step Closer
Zev bekerja tanpa henti. Dia menangani langsung segala hal yang berkaitan dengan perilisan produk terbarunya. Mulai dari hal-hal penting seperti mengawasi proses produksi dan melakukan pengecekan kualitas produk, sampai yang remeh seperti buket bunga yang akan dikirim bersama undangan untuk para tamu.
Tanpa terasa, waktu perilisan kini kurang dari enam minggu dan Zev merasa segalanya masih jauh dari kata siap. Zev berusaha untuk bersikap optimis dan yakin bahwa semua ini akan selesai tepat waktu, meski berusaha berpikir positif saja ternyata tak mencegahnya untuk uring-uringan seperti sekarang.
Zev menggebrak meja. “Aku tidak peduli!” teriaknya. Napasnya memburu dan wajahnya merah padam. Dia bangkit, kemudian mulai mondar-mandir dengan ponsel menekan telinganya. “Kalian yang tidak becus bekerja dan sekarang aku yang harus menanggung akibatnya? Oh, yang benar saja! Bukan salahku kalau keramik-keramik sialan itu pecah saat pengiriman! Aku.Tidak.Mau.Tahu! Renovasinya harus selesai sesuai perjanjian awal——dua minggu sebelum galeri resmi dibuka! Titik! Tidak ada perpanjangan bahkan hanya satu menit! Jika terlambat, aku akan mengajukan keluhan pada perusahaan kalian!” Kemudian, Zev memutuskan sambungan tanpa memberi kesempatan lawan bicaranya untuk menyelesaikan perkataannya.
Selama beberapa saat, Zev berdiri di depan jendela kantornya. Matanya terpaku menatap pemandangan di luar. Dia menarik napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri. Kedua tangannya terkepal erat, berusaha untuk tidak mulai menjambak rambutnya.
“Kau butuh istirahat. Sumpah, deh. Kau kelihatan kacau banget! Bahkan aku yang bukan manusia sangat lelah mengikuti jam kerjamu yang gila-gilaan ini,” ujar Azazel yanh bersandar malas di sofa seraya mendesah dramatis.
“Kau bisa sakit jika terus-menerus bekerja dengan ritme seperti ini,” ujar Vincent. Perkataannya seolah mendukung ucapan Azazel, meski dia bahkan tidak mengetahui keberadaan pemuda itu.
Tanpa mau repot-repot mengalihkan pandangan, Zev berkata dengan suara datar, “Kau bukan orang pertama yang mengatakannya.”
Ucapan itu dia tujukan kepada Azazel dan Vincent sekaligus——dua sosok yang selama hampir tiga minggu terakhir selalu berada di dekatnya.
Azazel melemparkan tatapan mencela. “Dan dengan sifat keras kepalamu itu, entah berapa banyak orang lagi yang harus memperingatkanmu agar kau mau mendengarkan. Aku yakin andai Tuhan turun tangan untuk membujukmu, kau hanya akan menganggapnya angin lalu.”
Tuhan itu tidak ada, batin Zev sinis. Matanya masih terpaku ke luar jendela. Dia sangat menyadari bahwa dirinya mulai kelelahan. Namun, Zev khawatir jika berhenti, maka dirinya akan mulai memikirkan hal-hal yang seharusnya dilupakan. Bekerja telah menjaganya tetap waras.
“Zev, kau baik-baik saja?” tanya Vincent tiba-tiba. Zev mendengar ada kekhawatiran dalam suara lelaki itu.
Zev berbalik dan menatap sang asisten lekat-lekat. “Kenapa aku harus tidak baik-baik saja?”
Vincent bahkan tak membiarkan dirinya meragu ketika berkata, “Kau jadi seperti sekarang untuk pengalihan, kan? Aku tahu kau dan Faye cukup dekat. Kalian saling tertarik. Dengan terbongkarnya perbuatan Faye——”
“Jangan sok tahu, Vince!” Zev menyela. “Dia tak lebih dari selingan. Lebih baik kau tutup mulut dan urus dirimu sendiri! Aku tak membayarmu untuk mencampuri kehidupanku dan aku juga tidak butuh nasihatmu! Sejak dulu kau selalu sangat suka ikut campur dan cari perhatian. Menjijikan!” cemoohnya.
Dia sudah terbiasa menghadapi suasana hati Zev yang angin-anginan dan begitu mudah tersulut. Terkadang dia juga yang harus menyelesaikan permasalahan yang muncul akibat temperamen pria itu. Namun, terbiasa bukan berarti dia tidak bisa merasa marah atau sakit hati. Semenjak dipecatnya Faye, Vincent mau tak mau mesti menangani pekerjaan yang sebelumnya jadi tugas perempuan itu. Dengan semua beban pekerjaan yang ada, ditambah lagi harus menghadapi Zev yang seringkali tantrum bukanlah hal mudah. Zev benar-benar sudah mendorong Vincent melewati batas kesabarannya.
“Aku bertanya bukan untuk ikut campur, tapi karena peduli,” ujar Vincent dingin. “Aku tak tahu bagaimana denganmu, tetapi aku masih menganggapmu sahabat dan aku mengkhawatirkanmu. Aku tak pernah berniat cari perhatian atau apa pun yang otak kotor sialanmu itu pikirkan. Kupikir mungkin kau butuh teman bicara. Itu saja.” Lelaki itu bangkit, lalu berjalan keluar dan membanting pintu di belakangnya.
Zev memelototi pintu, seakan-akan tatapannya bisa menembus pintu dan melihat Vincent di baliknya.
“Tidak pernah cari perhatian dia bilang! Selalu memamerkan nilai-nilai ujiannya, merebut perhatian orang tuaku, dan membuat mereka selalu membandingkanku dengan si Tuan Sempurna keparat itu ...” Zev mengepalkan tangannya. “Dasar tukang cari perhatian sialan!”
Kemudian, Azazel tertawa. “Wah wah wah! Itu tadi seru sekali!” seru pemuda itu dengan nada geli dalam suaranya. “Aku mencium adanya kecemburuan masa lalu di sini!”
Zev mengibaskan tangannya. “Tidak ada tempat dan waktu untuk omong kosong seperti itu di hidupku,” tukas pria itu datar.
“Haruskah kuberitahu kalau kau memang sudah keterlaluan? Atau ... apakah aku mesti mengingatkan bahwa anjingmu mungkin akan menggigit?”
***
Akhir pekan itu, Zev akhirnya memutuskan untuk keluar dari sarang dan pergi makan malam bersama keluarganya. Mereka duduk di sebuah restoran bernuansa putih dan emas dengan jendela besar yang memberikan pemandangan langsung ke menara Eiffellia. Kehangatan ruangan tersebut, denting pelan alat makan yang beradu, tawa, aroma makanan yang menggugah selera, serta alunan musik klasik membuat Zev merasa nyaman.
Ketika dia tiba kurang dari lima menit yang lalu, baru ada orang tua serta adiknya. Zev memberi pelukan singkat pada sang ayah, lalu mengecup lembut pipi ibu dan adiknya. Sudah hampir dua bulan sejak keluarga mereka berkumpul.
Berbeda dengan Maeve yang sepenuhnya mewarisi penampilan sang ibu——dengan rambut pirang pasir dan mata biru——Zev mewarisi rambut coklat gelap sang ayah, serta mata biru ibunya.
“Kau kelihatan agak kurus, Sayang,” ujar sang ibu——Genevieve Devereaux. “Apa semuanya baik-baik saja? Bagaimana persiapan pembukaan galerimu?” Sorot mata wanita itu tampak khawatir.
“Tinggal mengurus ini-itu. Hal-hal kecil saja. Sebentar lagi persiapannya selesai. Kau tidak perlu khawatir, Mom,” dusta Zev.
Genevieve mendesah. “Jangan terlalu memaksakan dirimu. Kau sejak dulu mudah sakit. Mom——”
“Ever mengirim pesan. Katanya dia sudah hampir tiba,” Maverick Devereaux——ayah Zev, memotong perkataan sang istri tepat sebelum wanita itu mengutarakan kekhawatirannya lebih jauh dan berubah menjadi drama tak diinginkan.
Diam-diam, Zev menatap sang ayah penuh terima kasih——yang dibalas senyum kecil oleh pria tua itu.
“Sebagai orang yang sudah menjadi adiknya selama 32 tahun, aku sudah tidak terkejut lagi saat Ever terlambat,” ujar Zev kalem.
Maeve menanggapi dengan mengangguk-angguk khidmat. “Betul,” katanya, “justru akan mengejutkan kalau dia datang tepat waktu.”
Maverick tergelak. Dia memandang ke arah pintu masuk restoran. Matanya berkilat. “Nah, itu dia orang yang paling kalian tunggu-tunggu!” serunya.
Zev dan Maeve menoleh serentak dan langsung mendesis seraya memalingkan wajah. Kemudian, keduanya seketika sibuk dengan ponsel masing-masing.
Seorang pria berambut pirang pasir dan mata hijau hutan berjalan menuju meja mereka. Kedua tangannya menggandeng anak laki-laki dan perempuan berusia kurang lebih enam tahun. Senyum lima jari tersungging di wajahnya. Seorang wanita cantik berjalan di sisinya.
Ever Devereaux dan istrinya, Zayyana, menyapa Maverick dan Genevieve, sebelum kemudian perhatian pria itu beralih pada kedua adiknya yang masih sok sibuk menekuri ponsel mereka.
“Tidak mau menyapa kakak kalian, eh?” sindir Ever sembari berkacak pinggang.
Zev mengangkat wajah, lengkap dengan ekspresi bingung. “Maaf. Siapa ya?” tanyanya.
“Apa kita kenal?” sambung Maeve.
Ever memelotot. “Sia——Hahah! Lucu!”
“Aku tidak kenal seseorang dengan selera berpakaian yang mengerikan sepertimu,” ujar Zev.
“Sebuah aib bagi seorang desainer ketika harus dipaksa mengakui kegagalan untuk mengembalikan kakaknya sendiri ke jalan yang benar.” Maeve tampak sengsara.
“Benar-benar terburuk dari yang terburuk sepanjang sejarah umat manusia,” Zev menyetujui.
“Kalian kejam,” gerutu Ever.
Bukan tanpa alasan Zev dan Maeve memberi julukan itu pada Ever. Pasalnya, mau sekeras apa pun mereka berusaha mengubah pikiran sang kakak untuk mengubah gaya berpakaiannya dengan yang lebih manusiawi, keyakinan pria itu sepertinya seteguh hamparan pegunungan.
Kali ini, Ever mengenakan kemeja yang tampaknya terbuat dari aluminium foil berwarna hijau kuncup daun, celana hijau racun, sabuk putih, dan mantel hijau hutan. Sepatu botnya tak kalah cerah dengan warna hijau neon.
Zev dan Maeve bangkit, bergantian menyapa kakak ipar serta keponakan mereka.
“Dari toko barang bekas mana dia mendapatkan pakaian seperti itu?” tanya Zev kepada Zayyana.
Sang kakak ipar mengembuskan napas. “Entahlah. Aku sendiri heran di mana dia menemukan toko yang menyediakan pakaian yang mampu memenuhi seleranya itu. Dia tak mau memberitahu aku,” gerutunya.
Ever melambaikan tangan. “Hei! Jangan membicarakanku seolah aku tidak ada,” protesnya.
Zev, Maeve, dan Zayyana menoleh serentak ke arah Ever. Mereka menatap pria itu selama beberapa detik, sebelum kemudian mengembuskan napas hampir bersamaan.
“Cara kalian menatapku seolah aku ini noda membandel yang menempel pada pakaian mahal kalian.”
“Memang,” sahut Zev, Maeve, dan Zayyana serempak.
Ever mencibir. Kemudian, dia menyadari satu kursi yang masih kosong. “Vince ke mana?” tanyanya.
“Belum datang,” Maeve menyahut.
“Wow! Tumben sekali Vince terlambat,” ujar Ever dengan nada takjub. Dia menatap Zev dengan sorot mata bertanya.
Zev memberengut. “Jangan menatapku begitu,” gerutunya. “Aku tidak tahu di mana dia atau kenapa si Tuan Sempurna bisa terlambat. Aku bukan pengasuh ataupun kekasihnya.”
“Kalian bertengkar?” tanya Maverick Devereaux.
“Kenapa Dad berasumsi seperti itu?” tanya Zev.
Sang ibu yang menjawab. “Karena ketika kau sedang kesal pada Vince, kau akan menyebutnya dengan julukan itu. Tuan Sempurna.”
Zev mengangkat bahu. “Hanya perdebatan sepele. Bukan masalah besar,” dustanya. Sebenarnya, sejak pertengkaran mereka minggu lalu, Zev dan Vincent hanya bicara ketika membahas urusan pekerjaan. Selain itu, mereka bersikap dingin terhadap satu sama lain.
Dia melihat ke arah pintu, kemudian memutar matanya. “Nah, itu dia Tuan Sempurna yang kita tunggu-tunggu,” gumam Zev.
Hidangan pembuka disajikan tak lama setelahnya, yang kemudian berlanjut pada hidangan utama, lalu hidangan penutup.
Sepanjang makan malam, Zev dan Vincent tidak saling bicara. Meski obrolan di meja itu mengalir, keduanya bersikap seolah masing-masing dari mereka tidak ada. Diam-diam, baik Zev maupun Vincent sama-sama lega ketika makan malam berakhir.
***
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat. Zev disibukkan oleh begitu banyak pekerjaan dan tanpa terasa, hari pembukaan galeri sekaligus peluncuran koleksi terbarunya sudah di depan mata. Ada beberapa kendala, tetapi dia berhasil mengatasinya dengan baik.
Dia dan Vincent akhirnya berbaikan, dengan Vincent yang meminta maaf lebih dulu. Namun, pertemanan mereka jelas tidak akan sama lagi. Hubungan itu sudah ternoda oleh perkataan yang Zev lontarkan saat itu. Zev tak terlalu peduli. Baginya, Vincent tak lebih dari alat.
Pagi itu, Zev bangun lebih awal dari biasanya. Sebenarnya, dia gelisah dan hampir tak bisa tidur. Mustahil untuk tidak gugup setelah apa yang terjadi, serta segala perjuangannya untuk sampai pada titik ini.
Pria itu membuka tirai yang menutupi jendela dan menyaksikan butiran salju yang melayang turun secara perlahan. Dia menatap kota yang kini berselimut salju. Selangkah lebih dekat pada impianku, batinnya. Aku pasti akan merebut posisi Lancelot Corporation dan membuat mereka menyesal karena sudah pernah menolakku.
Peristiwa itu masih begitu segar di ingatannya. Ketika lebih dari tujuh tahun lalu, Zev mengikuti seleksi sebagai desainer di salah satu anak perusahaan Lancelot Corporation, tetapi justru mendapatkan penghinaan dan dianggap bahwa kemampuannya tidak memenuhi standar perusahaan tersebut.
Zev tersenyum tipis. “Akulah yang terbaik. Aku akan mengalahkan kalian.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top