CHAPTER 7 Apologize
Maeve duduk sembari memeluk lutut. Rambut pirang pasirnya digerai, tampak acak-acakan tertiup angin. Matanya sembap meski dia sudah lama berhenti menangis dan kini mata beriris biru itu menatap kosong ke cakrawala. Perempuan itu begitu larut dalam lamunan serta kesedihannya sehingga tak menyadari kehadiran sang kakak.
“Kau bisa sakit kalau hanya mengenakan pakaian seperti itu di tengah udara sedingin ini,” tegur Zev sembari melepas mantel, lalu menyampirkannya di bahu sang adik. Kemudian, dia mengenyakkan tubuhnya di atas pasir di samping Maeve.
Perempuan itu hanya memakai sweter rajutan berwarna kelabu gelap serta legging hitam. Kaki telanjangnya terbenam di pasir berwarna merah muda.
Maeve tertawa pelan. Namun, tawanya terkesan dipaksakan dan terdengar hampa. “Aku pikir bisa menikmati kedamaian ini sedikit lebih lama,” ujarnya tanpa menoleh pada sang kakak. Lalu, dia bertanya, “Apa kau memasang GPS di tubuhku sehingga bisa menemukanku secepat ini?”
“Seharusnya kau memilih tempat kabur yang jaraknya lebih dekat supaya tidak menghabiskan waktu untuk menyetir. Dan yaaah ... terima kasih sudah memberiku ide bagus. Aku akan meminta Ever menanam GPS dan kamera pengawas pada tubuhmu,” balas Zev.
“Aku mungkin harus mencari tempat persembunyian baru——atau kabur ke luar negeri sekalian agar kalian berhenti memperlakukanku seperti anak kecil.”
Plage Rose berjarak hampir dua jam perjalanan dari kota Varisa. Pada hari kerja seperti sekarang, tidak banyak pengunjung yang datang ke pantai tersebut.
Zev mengangkat bahunya. “Hanya untuk kutemukan lagi. Berani taruhan, kalau kau sampai pindah, aku jamin Mom akan ikut denganmu.”
Maeve tak membalas. Selama beberapa saat, tidak ada yang berbicara lagi. Hanya deru angin, deburan ombak, serta sesekali pekikan burung camar yang terdengar. Tenggorokannya tercekat ketika Zev menepuk-nepuk kepalanya sembari bertanya dengan sangat lembut, “Kau baik-baik saja, Mon Cheri?”
Air mata yang dia kira sudah habis kembali menggenang. Bibirnya bergetar. “Apa aku harus merasa sebaliknya?” tukas Maeve. Suaranya serak. Dia menunduk, masih tidak mau menatap Zev. Kedua tangannya terkepal.
“Aku tidak peduli orang-orang tolol itu berkata apa tentangku. Terserah kalau mereka membakar dan merusak baju-baju rancanganku. Toh mereka sendiri yang rugi.” Pandangannya mengabur oleh air mata. Maeve mengusapnya dengan kasar.
Dia melanjutkan, “Tidak akan berpengaruh padaku atau butikku. Aku ... aku juga tidak peduli pada petisi konyol itu!”
Kemudian, Maeve merasakan Zev menyentuh wajahnya. Tangan sang kakak terasa dingin. Pria itu kini berjongkok di hadapan Maeve.
Dia sempat tertegun ketika melihat ekspresi serta sorot mata sang kakak. Baru kali ini Zev menatapnya dengan cara yang seperti itu——begitu lembut dan ada kesedihan serta perasaan bersalah di dalamnya.
“Kau sangat menyukai pekerjaanmu?” tanya Zev. Pria itu tersenyum sedih, kemudian menarik Maeve ke dalam pelukannya. Dia berbisik, “Maafkan aku, ya? Semua ini salahku. Seharusnya aku bisa lebih memahamimu.”
Kemudian, tangis Maeve pecah.
Sementara perempuan itu meluapkan kesedihannya, Zev hanya memeluk perempuan itu sembari mengusap lembut punggung sang adik. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Benaknya berpikir keras mencari jalan keluar untuk semua permasalahan itu. Namun, Zev sadar dia sudah tahu jawabannya sejak awal.
***
Selama ini Zev selalu mengira kalau Maeve memilih menjadi desainer hanya karena hobi dan keberhasilan sang adik dalam menjalankan bisnisnya itu tak lebih dari sebuah keberuntungan. Namun, ternyata dia salah besar. Setelah berbicara panjang lebar, dia kini tahu arti pekerjaan itu bagi Maeve.
Zev mengantar perempuan itu ke rumah orang tua mereka, sebelum kemudian kembali ke kantor. Hatinya dibebani perasaan bersalah. Andai sejak awal dia menanggapi masalah itu dengan serius dan tidak membiarkannya berlarut-larut, semua kekacauan ini pasti bisa dihindari. Namun, apakah sepadan? Egonya masih tidak bisa menerima. Zev yakin kalau dirinya tidak perlu minta maaf karena dia memang tak bersalah.
Dia ingin menjadi kakak yang layak bagi Maeve. Tanpa Zev sadari, selama ini dia sudah sangat egois hanya karena adiknya itu selalu menurut dan tak pernah menolak perintahnya.
Maeve tak pernah mengeluh ketika Zev tiba-tiba memintanya membuatkan pakaian——tanpa memedulikan kesibukan sang adik. Maeve selalu diam saat Zev begitu sering komplain dengan pakaian buatannya. Maeve juga secara sukarela membuatkan pakaian untuk sesi pemotretan produk setiap kali Zev merilis koleksi perhiasan baru. Dan dia bahkan tidak terpikir untuk membayar semua itu.
Maeve sudah begitu banyak——terlalu banyak berkorban. Kini, bisnis sang adik pun terancam hancur karena dirinya. Zev merasa sangat malu menyadari betapa egosentrisnya dia.
Zev memanggil Azazel. Dia tidak mengharapkan pemuda itu memberinya solusi. Zev hanya ingin bercerita—mengeluarkan apa yang memenuhi pikirannya. Namun, pemuda itu justru tak muncul saat dia sedang membutuhkannya.
Zev memijit keningnya. “Aku pasti sudah begitu putus asa sampai-sampai ingin bercerita kepada hantu sialan itu,” gumamnya sembari tersenyum getir.
“Monsieur?”
Zev mengerjap dan mendapati sang sekretaris tengah menatapnya sambil memeluk setumpuk berkas. Ada kekhawatiran pada sorot mata perempuan itu.
“Sejak kapan kau di sini? Seharusnya ketuk pintu dulu,” tegur Zev.
“Maaf,” ujar Faye bersungguh-sungguh. “Saya sudah mengetuk berkali-kali, tetapi Anda tidak menjawab. Saya ... agak khawatir sehingga memutuskan untuk langsung masuk.”
“Baiklah. Untuk kali ini kumaafkan, tetapi jangan pernah ulangi lagi. Selain tidak sopan, kau mengejutkanku,” ujar Zev. Dia menunjuk map yang dibawa Faye, lalu kembali berkata, “Kau membawa itu untuk kutandatangani atau apa?”
Sejenak, sekretarisnya itu tampak kebingungan. Keningnya berkerut. Sebelum kemudian teringat dengan map-map di pelukannya, lalu meletakkan benda itu di meja.
“Laporan untuk bagian keuangan mengalami sedikit keterlambatan, tetapi mereka berjanji akan menyelesaikannya besok. Selain itu, tadi siang Madame Peltier menelepon dan meminta Anda untuk menghubunginya segera.”
Zev mengerang. Ruelle Peltier adalah orang terakhir yang ingin dia hubungi dan ajak bicara di tengah kerumitan masalahnya saat ini. Dia baru akan mulai memeriksa laporan-laporan itu ketika menyadari Faye masih ada di ruangannya.
“Ada hal lain yang ingin kau katakan?” tanya Zev.
Perempuan itu menggeleng. “M-maaf kalau saya terlalu ikut campur, Monsieur. Saya ... saya sudah membaca berita-berita yang beredar di media.”
Alis Zev terangkat. Dia menatap Faye dingin, membuat sekretarisnya itu agak menciut. Namun, meski takut, Faye pantang mundur dan tetap melanjutkan, “Menurut saya, yang dilakukan orang-orang itu sangat jahat. Mereka bahkan tidak mengetahui kebenarannya. Tidak seharusnya mereka berbuat sekejam itu, apalagi sampai membuat petisi untuk memboikot merek pakaian milik adik Anda.”
“Kau tidak menganggap aku salah?” tanya Zev. Suaranya agak tercekat.
Sang sekretaris menggeleng. Saat tatapan mereka bertemu, Zev tidak melihat adanya sorot menghakimi di sana.
“Tidak sama sekali,” ujar Faye tegas. “Saya memang tidak ada di lokasi saat insiden itu terjadi, tetapi Monsieur Fjord dan beberapa karyawan yang ada di sana sudah menceritakan peristiwa sebenarnya. Bukan berarti saya setuju dengan tindakan Anda mengata-ngatai model itu dengan sangat kasar,” tutur perempuan itu.
“Lalu, apa menurutmu aku harus tetap meminta maaf meski tak bersalah?” Jantung Zev berdegup kencang menanti jawaban perempuan itu.
Faye tampak merenungkannya sejenak. “Apakah itu berdasarkan keinginan Anda sendiri? Atau karena paksaan? Seberapa besar manfaat yang akan didapatkan jika Anda meminta maaf? Apa saja yang dipertaruhkan? Coba tanyakan pada hati Anda, apakah Anda benar-benar ingin melakukannya?”
Zev menelan ludah. “Entahlah. Aku sendiri masih bingung. Aku tidak ingin mengakui sesuatu yang tak pernah kulakukan, tetapi di sisi lain, bisnis adikku sedang dipertaruhkan di sini. Apa aku egois? Apa permintaan maaf itu sebanding? Apa setelah aku menuruti kemauan mereka, orang-orang itu akan berhenti mengusik keluargaku?”
Faye tersenyum lembut. “Kalau untuk keluarga, itu sebanding. Soal berhenti tidaknya orang-orang itu, itu urusan mereka. Lakukanlah dengan tulus. Bukan untuk warganet, tetapi untuk keluarga Anda——adik Anda. Anggap saja Anda minta maaf karena sudah bicara kasar pada model itu. Lagipula, meminta maaf tidak akan membuat nilai seseorang menjadi rendah di mata orang lain.”
Zev bangkit dari kursinya, kemudian melangkah perlahan ke arah Faye. Dia menatap perempuan itu lekat-lekat. “Terima kasih banyak. Aku sudah tahu apa yang harus dilakukan.”
Mata Faye melebar ketika Zev tiba-tiba merengkuh pinggangnya, lalu menciumnya.
***
Zev menatap tajam Vincent yang duduk di hadapannya. Jam kantor sudah hampir berakhir.
“Kuharap kau membawa apa yang aku minta tadi pagi.”
Vincent mengangguk.
Sembari mengetuk-ngetuk layar tab-nya, dia berkata, “Sebenarnya aku masih belum terlalu yakin, tetapi dari hasil analisis rekaman pada kamera pengawas, aku mendapatkan nama ini. Aku sendiri tidak menduga sama sekali, tetapi ... dibandingkan dengan pegawai lain di kantor ini, dialah yang bisa keluar masuk ruanganmu dengan bebas tanpa dicurigai pegawai lain.” Kemudian, Vincent mendorong tab tersebut ke arah Zev.
“Kau tahu, kalau mengacu pada siapa yang bisa keluar masuk ruanganku dengan bebas, kau juga termasuk di dalamnya,” ujar Zev datar sembari mengambil tab tersebut.
Mata Vincent melebar. “Dan kau tahu aku bukan orang yang tidak tahu balas budi. Tapi kalau kau meragukanku, kau bisa memerintahkan orang untuk menyelidikiku. Aku tak masalah,” balas lelaki itu.
Zev mengangkat bahunya. “Sepertinya ide bagus.”
Selama beberapa waktu, mata Zev terpaku pada layar tab yang tengah memutar sebuah video rekaman dari kamera pengawas. Keningnya berkerut. Kemudian, dia terkesiap. Matanya melebar.
“Sialan!” umpatnya. “Jangan main-main kau, Vince! Tidak mungkin dia!”
Vincent membenahi posisi kacamatanya. “Kau memerintahkan aku untuk menemukan pelakunya. Aku hanya mengikuti instruksimu. Berdasarkan hasil rekaman kamera pengawas serta peluang yang dimiliki, kemungkinan besar dialah orangnya——selain dirimu sendiri dan aku tentunya,” tutur lelaki itu.
Rahang Zev mengencang. Napasnya memburu. Tangannya terkepal. Mata pria itu masih terpaku pada layar tab yang menampilkan Faye memasuki kantornya saat ruangan tersebut kosong, lalu menyalin data dari laptop Zev.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top