Azaleta 3 - Ragiel Andana
"Izin duduk, ya, Mbak." Azaleta menyengir, mengambil posisi duduk di bibir jendela ruangan Nisa sambil menjulurkan kaki ke bawah.
Seperti yang sudah-sudah, Nisa hanya akan melotot lalu geleng-geleng. "Kalo lo mati, gue nggak mau tanggung jawab," sahut Nisa keras, "gue masih tunggu jawaban lo," sambung Nisa.
"Boleh, nggak, kalau jawabannya: nggak mau?" Azaleta bertanya setengah memelas.
Nisa tersenyum sinis. "Sayangnya, cuma boleh: iya atau mau."
"Yah, itulah, Mbak."
Kali ini Nisa tertawa pelan. Dihampirinya Azaleta, meski tidak terlalu dekat. Biar orang kata ruangannya ada di lantai tiga, Nisa tidak akan nekat duduk di jendela. Nisa langsung menyandarkan punggungnya ke dinding, tiga langkah dari Azaleta. Perempuan dengan rambut sebahu itu memang sudah tidak asing lagi dengan kelakuan Azaleta yang agak-agak. Orang gila mana yang duduk santai di jendela lantai tiga dengan alasan mencari udara segar?
"Gue punya alasan milih elo buat tugas ini, bukannya Alicia." Nisa menyebutkan salah satu rekan kerja Azaleta yang sempat Azaleta singgung. "Gue tau kalo ini keputusan yang tepat."
Azaleta terdiam. Bukannya apa-apa. Pernah sekali Azaleta menyela dan Nisa langsung melemparkan tatapan setajam parang serta satu kalimat pendek, "bisa jangan ngomong dulu, kan!".
Ngeri, kan?
Makanya Azaleta jadi agak-agak bungkam. Apalagi posisinya sekarang benar-benar menguntungkan kalau bosnya itu masuk fase PMS (read: pengin marah selalu). Sekali saja Nisa mendorongnya, habis nyawa Azaleta.
"Gue tau kalo ini bukan passion lo. Tapi, apa lo nggak jenuh terus-terusan bawain acara berita mulu? Gue pikir, udah saatnya lo nantang diri sendiri buat keluar dari zona nyaman."
Azaleta tersenyum kecut.
"Saya nggak tahu. Mungkin...." Kalimat Azaleta terpenggal, saat menyadari Nisa sudah berada di sampingnya. Tentu tidak 'senekat' yang ia lakukan. Hanya menumpukan kedua telapak tangan ke bibir jendela. Sama-sama menatap kejauhan.
"Mau denger kenapa gue milih elo?" tanya Nisa sambil meringis lebar, "karena gue percaya sama elo," sambungnya tanpa peduli apakah Azaleta ingin tahu atau tidak.
Sepasang alis Azaleta bertaut. Apa?
"Lo pernah denger nama Ragiel Andana, kan?" tanya Nisa lagi. Azaleta mengangguk mantap. Nisa melanjutkan, "dia itu adik gue satu-satunya. Adik kandung, tentu saja."
Dahi Azaleta semakin mengerut dalam. Terus apa hubungannya?
"Gue pengin lo bawa acara ini duet bareng dia. Just do it," tandas Nisa tiba-tiba.
Azaleta yang tengah meminum kopi botolan dingin langsung tersedak, dan blas! Tanpa ambil pusing, botol yang masih penuh itu terlepas dari pegangan Azaleta. Jatuh meluncur tanpa bisa dicegah.
Bukan itu saja masalahnya!
"Astagfirulah!" pekik Azaleta kencang saat merasakan posisi duduknya di bibir jendela terasa limbung. Nisa ikut terlonjak, tanpa sengaja mendorong Azaleta. Gadis itu sempat limbung kalau saja Nisa tidak cepat-cepat menarik belakang bajunya.
"Lo sinting, ya?" Nisa memelotot. "Lo mau mati sia-sia, hah!?"
"Mbak tadi bilang apa? Saya sama adik Mbak...." ucap Azaleta gagap.
Nisa menyeringai lebar. Sadar betul kalau umpannya bekerja. "Gimana? Setuju, kan? Jarang, lho, Ragiel mau nurut ama gue. Kesempatan langka ini." Nisa mengedipkan mata sebelah, menggoda perempuan dengan hijab putih di depannya.
Lain halnya dengan Azaleta. Kesempatan apanya!? Ini sih namanya bencana. Apalagi kalau dilihat dari film-film yang dibintangi Ragiel, itu laki mukanya kayak sadis-sadis bagaimana itu. Malahan, Azaleta pernah dengar rumor kalau Ragiel itu paling tidak suka dengan yang namanya dekat-dekat sama cewek.
Apa ini karma buat gue gara-gara ngeledek Deka, ya? batin Azaleta gusar. Tobat, deh. Tobat!
"Saya ini cewek, lho, Mbak."
"Terus?"
"Yah, bisa aja kan kalau saya---"
"Demen ama adek gue? Yaelah, gitu aja lo pikirin. Kalo lo emang demen ya nggak apa-apa."
"Bukan itu!" jerit Azaleta. Enak saja! Demen dari mananya? Yang ada takut kena libas malahan. Kalau kakaknya saja sudah begini, apalagi adiknya.
"Cerita kenapa lo nggak mau collab ama adek gue!" Nisa memberi isyarat agar Azaleta duduk di kursi—sewajarnya begitu. Azaleta menjelaskan kekuatirannya soal rumor tentang Ragiel yang tidak ngeh sama yang namanya perempuan. Dengan bahasa yang sudah disaring tentunya.
Respons yang didapat malah sebaliknya. Perempuan pemilik stasiun swasta tempatnya bernaung itu malah tertawa terpingkal-pingkal. "Jadi lo percaya ama rumor kayak gitu?"
"Yah.... Sedikit banyak, iya!"
"Itu bukan rumor lagi, tapi fitnah. Kenapa gue bilang kayak gitu? Ragiel itu hobi clubbing, lho. Kalo bukan buat 'cuci mata', apa lagi?" tukas Nisa. "Kalo lo nggak percaya, lo bisa tanya langsung sama orangnya."
Azaleta langsung berbalik, mengikuti arah isyarat yang diberikan Nisa. Untuk pertama kalinya, Azaleta melakukan dua kesalahan fatal pada orang 'asing' yang sama. Berdiri tepat sepuluh meter di hadapannya, menatapnya lebih dari lima detik.
Nisa menyenggol lengan Azaleta. "Gimana? Berani?"
Azaleta buru-buru menggeleng ketika merasakan aura panas-dalam arti buruk menyergap saat pemuda itu membuka pintu usai mengucap salam. Matanya memicing tajam, melengkung seperti belati siap pakai.
"Mbak...." Cowok itu mengambil posisi, menjatuhkan diri tepat di sebelah Azaleta. Nisa menaikkan alis, meneliti Ragiel dari atas sampai bawah. Ragiel -asli- basah kuyup. Nisa lantas menyerahkan sapu tangan dari saku blazernya.
"Lo kenapa? Nyebur? Basah gitu, cokelat lagi warnanya," tanya Nisa tanpa sadar kalau Azaleta benar-benar berniat hengkang dari sana.
Itu sih bukan bau got, tapi bau kopi! batin Azaleta berteriak.
"Nyebur!?" desis Ragiel penuh bisa, "gue lagi jalan. Entah darimana ada botol kopi jatoh dan nimpuk gue. Mbak habis minum kopi botolan dingin?"
Nisa menggeleng. "Emang kejatuhannya di mana?"
"Lima belas meter dari pintu depan. Gue lagi dongak, dan gini hasilnya. Gue yakin asalnya dari atas sini."
Mati gue! Azaleta langsung panas dingin.
"Eng.... Itu—"
"Beneran bukan Mbak, kan?"
Nisa menggeleng.
Ragiel mendengus kasar. Pemuda itu mengepalkan kedua tangannya erat seraya mengatupkan kedua belah kelopak mata pelan. Bibirnya berdesis mengerikan.
"Gue udah tahu kalo lo pelakunya!"
Azaleta benar-benar ingin menjerit saat Ragiel -secara tiba-tiba- langsung mencengkeram bahunya dan menyeringai dalam.
***
"Gimana keadaan lo? Btw, makasih buat masakannya. Ortu gue suka."
Jam di ruang tengah berdentang sepuluh kali. Azaleta tidak mengerti. Sama sekali. Masih tidak percaya terhadap semua yang terjadi, dan ini mungkin satu-satunya sesuatu yang datang tiba-tiba, tapi tidak membuat jantung copot.
"Baik, dan sama-sama." Azaleta mengetikkan balasan dengan cepat dan ... send.
Centang dua biru muncul. Ahil sudah membaca pesan yang dikirimnya via WhatsApp.
"Lo dapet darimana WA gue?" Azaleta ganti bertanya, dan mendapat emoticon mulut terkunci dari lawan bicaranya. Azaleta merengut, sebelum sebait pesan menyusul.
"Dari Deka." Sebuah emoticon nyengir ikut serta. "Gimana kerjaan lo hari ini? Lancar?"
Azaleta tertegun. Kok jadi sensi, ya? Pikiran Azaleta kembali berputar pada kejadian pagi itu. Tidak ada yang lecet memang, tapi insiden itu tetap bikin ngeri.
"Gue emang udah tahu kalo lo pelakunya."
"Terus, kenapa masih nanya?" sembur Azaleta tanpa sadar. Cowok di sampingnya menyeringai, membuat Azaleta langsung menutup mulut dengan punggung tangan. Azaleta langsung gugup saat Ragiel memajukan wajahnya. "Apa?"
Ragiel menelengkan kepala, menunjukkan ekspresi "really?" yang lucu. "Gue masih berbaik hati, lho. Gue juga denger pembicaraan lo sama Mbak Nisa tadi. Apa perlu gue cium lo supaya lo puas, hm?"
Salimna! Jadi ... dia denger percakapan gue tentang rumor-nggak-ngeh-sama-cewek!? Mati gue, Azaleta melotot ngeri.
Azaleta menutup mata, menenangkan diri dengan merapal mantra, "jangan lihat wajahnya. Jangan lihat matanya. Jangan buka mata. Jangan ingat hobinya."—haduh! Hobi Ragiel kan clubbing. Mampus, dia tidak main-main!
Sebelum sesuatu benar-benar terjadi, Nisa —yang sudah diberi kode-kode oleh Azaleta— langsung menggebrak meja. Azaleta bisa merasakan embusan napas Ragiel mengenai pipinya saat curi-curi pandang sewaktu menarik wajahnya yang sudah berjarak dua senti dari Azaleta,
"Gue tunggu lo di luar. Jangan kabur!"
Maka dari itu Azaleta beneran tidak bisa fokus mendengarkan Nisa. Pikirannya mengelana, mencari celah jalan kabur. Lewat pintu, cari mati. Lewat jendela, apalagi. Belum sempat solusi datang, Ragiel sekonyong-konyong menarik tangannya.
"Ngerti, kan? Dua hari lagi gue mau konsepnya udah mateng dan kita bisa mulai. Oke?" Nisa menyudahi.
"Oke, Mbak. Tenang saja." Ragiel menjawab santai, dengan wajah datarnya yang khas.
"Azaleta, lo setuju, kan?" Nisa ganti menghadap Azaleta. Cewek manis itu cuma mengangguk pasrah.
"Great! Kalian bisa pergi sekarang."
Mampus kuadrat! Azaleta kira, Ragiel bakalan nekat melakukan 'nazar'-nya. Untung saja tidak kejadian, tapi efek yang timbul selanjutnya tetap bikin ngeri juga.
"Bisa minta nomor WA lo?"
"Hah? Apa?"
"WA lo?"
Azaleta jawabnya juga agak gimana gitu. Soalnya, Ragiel mintanya juga persis seperti perampok mengancam korbannya. Mau tidak mau, Azaleta akhirnya tetap memberikan deretan angka WhatsApp-nya kepada Ragiel.
Masih untung itu laki-laki ingat cara berterima kasih.
"Non, itu ada yang nyariin."
Azaleta tersentak keras. Ijah -asisten rumah tangganya- berdiri di ambang pintu. Azaleta menggeser posisi, duduk di tepi ranjang.
"Siapa, Jah? Malam-malam gini juga. Jangan-jangan setan lagi!"
"Perasaan nggak ada setan yang ganteng deh, Non."
"Lho? Cowok dong? Deka?"
Ijah menggaruk kepala. "Bukan. Lebih baik, Non samperin aja lah."
"Nggak mau, ah. Temenin gue, ya?" Azaleta mengambil jilbab dan memasangnya cepat-cepat. Ijah langsung menggeleng.
"Nggak, ah. Ntar jadi obat nyamuk, lagi!"
Azaleta langsung menepuk dahi. "Aduh! Maksud gue, awasi gitu, lho. Paham gak sih? Masa iya lo nyelip dengan gue?"
Tanpa menghiraukan Ijah yang masih ingin angkat suara, Azaleta cepat-cepat salin dan melangkah keluar. Siapa sih yang pengin bertamu malam-malam begini? Jam sepuluh malam, lho. Laki-laki pula. Makanya Azaleta menyuruh Ijah siaga dua kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dan itu benar-benar terjadi.
"Hai."
Azaleta benar-benar terpaku. Langkahnya surut saat menyaksikan Ragiel tersenyum penuh arti ke arahnya. Cowok itu bangkit dari sofa, melangkah pelan-pelan ke arah Azaleta. Reflek gadis itu menjilat bibirnya yang terasa kelu.
"H-hai." Azaleta langsung gugup.
"Gue cuma mau ngasih ini," ucap Ragiel. Tangannya terulur, menyerahkan segepok berkas kepada Azaleta, "Mbak Nisa mau ngasih pagi tadi, tapi lo keburu pulang."
Gue buru-buru pulang juga karena elo, Azaleta menekuk bibir samar.
"Soal pagi tadi...." Kalimat Ragiel terpenggal saat melihat Azaleta langsung menggeliat panik.
Oke, sepertinya itu bahan pembicaraan yang sensitif.
Ganti! Ganti topik!
"Lo mau minum? Biar gue suruh Ijah bawain teh," tawar Azaleta mengalihkan pembicaraan. Sengaja tidak menyinggung kopi dulu. Daripada malu berkelanjutan, mending hindari dulu segala hal yang bisa membuat Ragiel teringat kejadian pagi tadi.
Ragiel berdeham kecil. "Thanks, tapi gue harus balik. Mbak Nisa pasti bakalan ngomel kalau gue nggak pulang."
"Giel?" panggil Azaleta. Ragiel yang siap membuka pintu mobil mendongak, menunggu. Entah mengapa, Azaleta bisa merasakan bias hangat dari kedua belah mata Ragiel. Seolah ada dua Ragiel yang ia kenal dalam sehari.
"Hmh?"
"Gue mau minta maaf soal pagi tadi. Gue beneran nggak sengaja."
"It's okay. Lagian, gue suka kopi, kok," ucap Ragiel diplomatis.
Azaleta meremas kertas di tangannya. Gelisah. Baru saja ia ingin membuka mulut, Ragiel keburu mengangkat tangan, melambaikan tangan samar saat mulai tancap gas. Azaleta hanya bisa menelan ludah menyaksikan gumpalan debu beterbangan ke arahnya.
Azaleta menutup pintu, menatap Ijah dengan seraut wajah bingung di wajah perempuan itu. Azaleta tidak mengindahkan, berlari kecil menaiki tangga dan mengempaskan diri ke ranjang. Baru saja Azaleta akan mulai membaca doa, ponselnya berderit.
Satu pesan dari Ahil.
"Sudah tidur?"
"Belum, baru aja pengin baca doa." Azaleta mengirimkan balasan.
Pesan berikutnya tiba kurang dari semenit. "Besok mau jalan?"
Azaleta kelimpungan. Ia melirik schedule besok. Padat. Tiga menit kemudian balasan dari Azaleta meluncur. "Sorry, kayaknya nggak bisa. Besok gue harus kerja."
"Oke, nggak masalah," balas Ahil disertai emoticon tersenyum. Azaleta hampir bernapas lega sebelum selarik pesan menyusul, "atau, besok gue anterin lo ke kantor. Gimana?"
Azaleta berpikir sesaat. "Oke deh."
"Nanti gue jemput jam delapan. Oke?"
Emoticon jempol ke atas terkirim cepat dan mendapat centang biru dari Ahil. Azaleta baru saja memejamkan mata, mencoba rileks sebelum satu getaran dari bawah bantal membuatnya gusar.
"Apa lagi sih?" Azaleta berdecak, membuka pattern dan meng-klik notification WhatsApp dari nomor yang tak dikenal. Mata Azaleta membulat saat menyusuri satu demi satu huruf yang terpampang di sana.
"Besok gue jemput ke kantor jam setengah delapan. Ragiel."
[TBC]
Tolonglaaah ....
Cerita ini makin ke sini, makin ngawur (tepok jidat). Tapi, inilah yang dinamakan draf pertama, kan? Menunggu sempurna nggak akan jalan ini cerita. Jadi aku memutuskan untuk melanjutkan meskipun ada banyak hal yang kurang ngena dalam cerita ini.
Iya, ini gaya tulisanku yang lawas. Menggunakan banyak dialog ketimbang narasi. Tolong dimaklumi kalau alurnya agak sedikit kurang bisa dinikmati.
Seperti biasa, ini diikutsertakan dalam ajang #GrasindoStoryInc
Regards,
Ray
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top