Azaleta 20 - Pasangan Drama

"Mami masih marah, Nek?" Azaleta mencicit, setengah takut bertanya setelah Nenek keluar dari kamar Mami. Amukan Mami tadi jelas membuat Azaleta terguncang karenanya meski Azaleta sudah memperkirakan hal itu akan terjadi. "Mungkin Leta bicaranya sekarang aja," putus Azaleta sebelum Nenek menarik ujung bajunya, menggeleng.

"Mamimu masih nenangin diri dulu, Nduk. Sabar. Nanti ada masanya kamu bisa bicara sama Mamimu." Nenek menepuk lembut bahu Azaleta, tersenyum. "Yo wis. Kamu lanjut makan dulu, gih, sana. Mubazir nanti nasi gorengnya."

Azaleta menggeleng, menggigit bibir bagian bawahnya. "Nggak selera. Udah kenyang."

"Halah!" Nenek langsung mengibaskan tangan, tanpa ba-bi-bu mengkeplak kepala cucu kesayangannya itu, membuat Azaleta mengaduh kesakitan karenanya. "Alesanmu itu, lho, tipis kek kulit bawang merah. Makan sana! Abis ini Ragiel mau jemput, kan?" tanya Nenek seraya menyejajarkan langkahnya dengan langkah Azaleta ke dapur.

"Hu um." Azaleta mengangguk, melanjutkan makannya yang tertunda karena Mami sempat memantik api perang yang sudah lama dipendam menjadi perang dingin. "Mau ngajak nyari baju buat pernikahan katanya."

Nenek mengacungkan jempol, berdiri dan lagi-lagi mengusap bahu Azaleta, memberikan semangat pada cucu perempuannya itu. "Jangan terlalu mikirin soal Mamimu, Nduk. Urusan Mamimu, biar Nenek sama Kakek yang urus. Kamu fokus aja sama persiapan khitbah resmi dari keluarga Ragiel. Lagian, kalau kamu yang bicara sama Mamimu, Nenek nggak jamin kalian bisa bicara dengan kepala dingin."

Azaleta mendongak, tersenyum pada Nenek yang mengelus puncak kepalanya. Nenek melambaikan tangan, berlalu setelah pamit untuk ke kamar, meninggalkan Azaleta yang duduk sendirian di meja makan sekarang. Tiba-tiba saja, nasi goreng dan telur ceplok di depannya terasa hambar. Tidak ada selera untuk menghabiskan. Namun, mubazir juga bukan sikap yang patut dikedepankan meski hatinya saat ini jelas terasa gundah. Cepat-cepat, Azaleta menandaskan sisa makanan di piring, mereguk air putih yang tersisa, lantas membawa semua piring kotor untuk segera dicuci.

Ini hari keempat Kakek dan Nenek menginap di rumah Azaleta setelah kepulangan Azaleta dan Ragiel dua hari lebih cepat sebelumnya. Seperti yang Azaleta duga, ujian sebenarnya untuk Ragiel dari Kakek dilakukan keesokan harinya setelah Azaleta dan Ragiel baru sampai di rumah Kakek dan Nenek. Malam saat Azaleta dan Ragiel berpelukan pun tak ayal sempat dipergoki oleh Kakek dan Nenek, membuat keduanya langsung canggung maksimal. Bahkan saat keduanya sudah duduk menghadap meja makan, atmosfir terasa berat, seolah-olah Kakek dengan raut wajah datarnya bisa merajam baik Azaleta maupun Ragiel sekarang juga. Untungnya, hal itu tidak terjadi dan hanya dipikirkan Azaleta saja setelah Kakek melemparkan guyonan khasnya, membuat Azaleta terkikik dengan Ragiel tertawa pelan di sebelahnya. Nenek yang melihat suasana mencair, tak urung ikut bergabung dan bercanda.

"Kakek-Nenek lo baik," kata Ragiel saat mereka duduk di teras, menikmati langit malam penuh bintang setelah makan malam dan salat isya. Pemuda itu tersenyum, menoleh dengan raut wajah riang. "Udah lama gue nggak ketawa di meja makan," sambungnya.

"Eh?" Azaleta tertarik. "Kenapa?"

Ada jeda panjang yang mengisi setelah Azaleta menanyakan hal tersebut. Azaleta yang merasa terlalu jauh ingin tahu tentang urusan Ragiel, hanya menunduk dengan jemari memainkan ujung jilbabnya.

"Maaf kalo gue terlalu kepo."

Ragiel tersenyum, menepuk lembut pucuk kepala Azaleta dengan penuh kasih sayang. "It's okay. Ayah sama Bunda tuh ... fanatik garis keras kalau soal disiplin, termasuk aturan kalau kami lagi ngumpuk di meja makan, nggak boleh ada bicara sepatah kata pun." Ragiel menyengir lucu. "Padahal gue suka nyeletuk kalau lagi makan, Mbak Nisa juga—lo pasti tau. Jadi, ya, gitu, deh." Setelahnya, laki-laki itu terkekeh pelan.

"I see," sahut Azaleta.

Hening. Tidak ada yang berminat untuk kembali membuka topik pembicaraan. Azaleta meregangkan badannya, menguap setelah angin malam beberapa kali menerpa. Ragiel di sebelahnya lagi-lagi tersenyum, mengajak Azaleta untuk masuk dan segera tidur. Azaleta mengangguk, setuju agar mereka segera masuk. Lucu saja rasanya melihat bagaimana Ragiel yang notebene adalah seorang 'tamu' lebih perhatian pada Azaleta yang sudah jelas memiliki ikatan dengan rumah ini. Azaleta tidak banyak bicara setelahnya. Hanya mengucapkan selamat malam pada Kakek dan Nenek yang tengah menonton telivisi dan mengucapkan hal serupa pada Ragiel sebelum mereka masuk ke kamar masing-masing.

Keesokan harinya, saat Azaleta bangun sedikit terlambat karena kebetulan ia sedang berhalangan salat, Azaleta menemukan kamar Ragiel terbuka tanpa ada orang di dalamnya. Azaleta celangak-celinguk, mencari keberadaan Ragiel sebelum Nenek memberitahu kalau Ragiel sudah pergi sejak subuh bersama Kakek ke kebun. Oh, sudah mulai rupanya, pikir Azaleta. Ia bahkan tidak sempat mengucapkan good luck pada Ragiel untuk memulai hari ini. Biarlah, Azaleta menghela napas. Kita lihat saja hasilnya sore nanti.

Hal itu benar-benar terbayar saat Kakek masuk ke rumah dengan salam khasnya tepat saat jam menunjukkan pukul lima sore, dengan Ragiel menyusul setelahnya. Wajah Kakek tampak semringah, menandakan ada hal yang membuatnya senang. Berbanding terbalik dengan Ragiel yang agak muram, membuat Azaleta sempat khawatir apa terjadi sesuatu di antara Kakek dan Ragiel. Rasa penasaran itu lantas terjawab dengan kelegaan yang tertahan setelah Ragiel tersenyum padanya dengan jempol terangkat, mengisyaratkan kalau semuanya berjalan dengan lancar. Hari itu ditutup dengan makan malam bersama dan tidur lebih cepat karena keduanya harus pulang besok mengingat tumpukan pekerjaan yang sudah menanti. Kakek dan Nenek mengangguk, mengerti dengan kesibukan keduanya. Mereka juga berjanji akan ke Jakarta secepatnya setelah Azaleta menceritakan tentang Mami dan keadaan di rumah.

Ponsel Azaleta bergetar, tepat setelah ia menyelesaikan cucian terakhir, meletakkan piring di tangan yang sudah bersih ke tempatnya. Dengan cepat, Azaleta meraih ponselnya, mendapati pesan dari Ragiel via WhatsApp. "Gue lagi otw. Bentar lagi sampai."

"Oke." Azaleta mengetikkan balasan. Gadis itu termenung, kembali mengetikkan selarik pesan setelahnya. "Jangan main hape sambil nyetir. Bahaya!" ingat Azaleta.

Balasan dari Ragiel muncul kurang dari sepuluh detik. "Perhatian banget, sih, sama gue."

Azaleta manyun. Ini nih kebiasaan buruk. Dikasih tau dikit, malah besar kepala. Azaleta mematikan ponselnya setelah mengirimkan emoticon sinis pada Ragiel. Tidak ada balasan apa-apa lagi setelahnya. Bagus, deh, pikir Azaleta. Gadis itu beranjak ke kamar, memilah-milah baju yang pantas untuk dari dalam lemari. Pilihannya jatuh pada gamis dengan warna merah muda lembut yang terkesan warm, mengingat ia sedang ribet memadumadankan pakaian hari ini. Lebih simpel gamis. Tinggal hap, pakai, selesai. Paling cuma mencari varian jilbab yang sesuai agar terlihat serasi.

Azaleta mematut diri di depan cermin setelah mengaplikasikan foundation, lipstick, dan maskara di wajah. Oke, siap! Gadis itu tersenyum puas. Azaleta membuka pintu kamar, berjalan keluar untuk menunggu Ragiel di beranda setelah berpamitan pada Nenek yang membaca majalah di ruang tengah dan Kakek yang tengah mengubah saluran televisi. Tiga menit menunggu, Ragiel sudah tiba dengan mobilnya. Kaca mobil diturunkan, memperlihatkan Ragiel yang melambaikan tangan padanya. Azaleta berjalan menghampiri, membuka pintu mobil di sebelah kursi kemudi, lantas memosisikan diri dengan nyaman.

"Lo kelihatan cantik hari ini," komentar Ragiel sebelum menarik persneling, menjalankan mobil dengan kecepatan sedang ke luar komplek perumahan.

"Lo kelihatan charming hari ini," balas Azaleta. "Trims buat pujiannya, by the way."

Ragiel hanya tersenyum, tidak menyahut lagi setelahnya. Fokus pada menyetir karena traffic di depannya mulai padat dan masuk ke mode merayap. Saat jalanan mulai lengang, Ragiel menaikkan kecepatan mobilnya, lantas berbelok ke suatu daerah yang cukup familier bagi Azaleta: Kompleks Eropa.

Azaleta menenggak ludah, mulai merasa ada sesuatu yang janggal. Bukan merasa janggal kalau ia sedang dijebak untuk kedua kalinya atau akan diculik. Bukan itu. Hanya saja, Azaleta celangak-celinguk sendiri, ia merasa jalanan dan arah yang mereka tempuh semakin lama semakin familier di mata Azaleta.

"Giel," panggil Azaleta.

"Ya?" Ragiel menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari depan.

"Jangan bilang butiknya itu—" Baru saja Azaleta ingin menebak dan berharap tebakannya salah, sekonyong-konyong, Ragiel memberhentikan mobil di depan butik yang sangat ia kenal. Butik Tante Mariam. Mama Ahil. Istri anggota Dharmawan. "Kok lo bisa kepikiran butik ini, seh?" Azaleta langsung sewot tanpa pikir panjang.

"Loh, loh!" Ragiel yang tidak tahu duduk permasalahannya langsung menenangkan Azaleta. "Gini, gini. Ini butik rekomendasi dari Mbak Nisa, oke? Sebenarnya, yang mau nemenin lo ke sini itu Mbak Nisa, bukan gue. Tapi, karena doi lagi ada urusan mendadak, gue yang disuruh nemenin. Kata Mbak Nisa ini butik langganan dia. Worth it. Jadi, kalau mau nyalahin seseorang, ya, salahin Mbak Nisa."

Azaleta mengempaskan punggungnya ke jok, mengembuskan napas panjang. Gadis itu memijat keningnya yang entah kenapa terasa berdenyut sekarang ini. Azaleta hanya tersenyum ketika Ragiel menuntunnya untuk keluar dari mobil dan segera memasuki butik.

Pernikahan drama ini benar-benar penuh dengan drama, Azaleta tersenyum kecut saat menjumpai pemilik butik ini terkejut dengan kehadiran keduanya.

.
.
.

[TBC]

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top