Azaleta 19 - Kisah Bersama Ragiel
"Lo yakin jalannya udah bener?"
Dengan cekatan Ragiel memutar kemudi mobil, sama halnya dengan Azaleta yang dengan lincahnya mengetik-swipe-menekan-mbuh, lah ponsel di tangan.
Ragiel manyun lima mili. "Jangan terlalu percaya sama Google Maps, Beib. Nggak akurat," kata Ragiel kalem sebelum terkekeh mendapati Azaleta memelotot ke arahnya.
"Beib, beib!" protes Azaleta, cemberut. "Gara-gara lo, nih, sampai kek gini."
Ragiel menyengir, menyetop mobilnya di bawah pohon rindang di pinggir jalan. Sinar matahari sore kian oranye, tapi mereka masih belum menemukan rumah yang menjadi tujuan keduanya. Kalau begini caranya bisa-bisa mereka nyasar sampai malam, pikir Ragiel.
Ragiel menghela napas, melirik Azaleta yang tengah menempelkan ponsel di telinga. Ragiel diam saja, tidak banyak protes. Komplain dengan apa yang gadis itu lakukan bisa berujung kegaharan Azaleta melemparinya dengan benda apa saja yang ada di dekat mereka.
"Gimana?" tanya Ragiel. Jujur, dia sedikit skeptis kalau mereka sudah dekat dengan tujuan.
Kedatangan mereka ke desa ini tentu saja bukan tanpa alasan. Tiga hari yang lalu, ia dan Mbak Nisa benar-benar menyambangi kediaman Azaleta. Hanya berdua mengingat Azaleta sendiri sudah menceritakan bagaimana respon Tante Khalefa—maminya Azaleta—saat Azaleta mengatakan kalau Ragiel akan melamar gadis itu.
Kurang bagus, kata Azaleta. Memang tidak ada respons seperti terkejut atau sebagainya, tapi raut wajahnya terlihat dingin, tutur Azaleta lagi.
Ragiel setuju dan baru percaya saat ia melihatnya langsung bagaimana dinginnya Tante Khalefa saat menyambut mereka, meminta agar Ragiel dan Mbak Nisa mengambil posisi duduk.
Ragiel sendiri tidak banyak bicara sesuai dengan perintah Mbak Nisa. Mungkin nyokap Azaleta terlihat keibuan dengan jilbab lebar dan kacamata yang menampilkan aura bersahaja dari wajahnya, tapi, percaya, deh, Ragiel belum melihat aslinya bagaimana.
Lagi-lagi, Ragiel harus setuju.
Tante Khalefa memang terlihat keibuan, tetapi Ragiel bisa merasakan aura defensif yang kental. Bahkan saat Mbak Nisa memulai percakapan (Mbak Nisa memang paling bisa diandalkan di saat seperti ini), Tante Khalefa terlihat dingin. Padahal Mbak Nisa sendiri sudah menjalin hubungan sebagai klien katering Tante Khalefa sejak lama.
Ragiel sukses merinding saat Tante Khalefa meliriknya dengan ujung mata. Ragiel menenggak ludah, melihat Azaleta yang berdiri di belakang Tante Khalefa terlihat tak kalah cemas bercampur gugup.
Klimaksnya adalah saat Mbak Nisa mengatakan kalau adiknya, yang tak lain adalah ia sendiri, Ragiel Andana, ingin melamar Azaleta dalam waktu dekat.
Hal yang dalam sekejap mata memantik perdebatan tanpa bisa dicegah antara Mbak Nisa dengan Tante Khalefa.
Sama-sama gahar, punya keahlian verbal mempertahankan argumen masing-masing, sinis yang terselip dalam jalinan kalimat, dan sorot mata yang tajam. Ragiel sampai harus menenangkan Mbak Nisa, sama halnya dengan Azaleta yang menenangkan Tante Khalefa.
Tante Khalefa tidak setuju, tentu saja, bahkan tidak segan menyebut dirinya sebagai laki-laki bermasalah.
Ragiel menggigit bibir, ingin angkat bicara sebelum Mbak Nisa lagi-lagi menahannya.
Terjadi percakapan dengan suasana yang masih memanas. Azaleta yang telanjur tercebur ke dalam drama ini, mengatakan kalau ia menyukai Ragiel dan bersedia kalau Ragiel memang serius ingin melamarnya.
Hari itu berakhir dengan satu keputusan dari Tante Khalefa: Azaleta harus mengajak Ragiel untuk pergi ke desa di mana kakek dan nenek Azaleta tinggal.
"Siap-siap, ya." Azaleta tersenyum saat mengantar Ragiel sampai ke depan pintu setelah Mami permisi karena ingin beristirahat setelah seharian pergi ke sana-sini entah melakukan apa.
Mbak Nisa yang merasa urusannya menyampaikan maksud mereka berdua sudah selesai, segera menarik Ragiel untuk pulang karena berdebat dengan Tante Mariam jelas menguras tenaga.
Mbak duluan aja, kata Ragiel kalem. Gue masih ada perlu sama Leta, Ragiel menambahkan. Mbak Nisa hanya angkat bahu. Terserah lo aja, deh, kata Mbak Nisa seraya pamit dan masuk ke dalam mobil, dengan cepat menuju arah luar kompleks untuk segera pulang.
"Yang jelas siapin baju ganti karena kita bakal nginep kayaknya," kata Azaleta lagi.
"Let," panggil Ragiel.
"Ya?"
"Gue nggak bakal diapa-apain, kan?"
Azalet sesaat terhenyak sebelum tertawa pelan. "Ambigu banget, sih, lo. Nggaklah. Paling lo disuruh minta restu sama Kakek." Azaleta dengan santai duduk di salah satu kursi yang ada di beranda setelah mempersilakan Ragiel duduk juga.
"Gue nggak ngerti di mana korelasinya, Let." Ragiel menopang dagu dengan telapak tangan kanannya, menanti jawaban Azaleta.
"Karena kakek gue satu-satunya wali yang sah kalau gue mau nikah sama lo. Otomatis, kalau lo emang mau nikahin gue, yang elo cari itu restu kakek gue. Gitu."
"Apa ... mantan tunangan lo itu juga disuruh nyamperin kakek lo?" Ragiel bertanya yang mana keputusan itu langsung disesalinya saat melihat air wajah Azaleta berubah. "Sori, gue nggak maksud—" Ragiel buru-buru meminta maaf sebelum Azaleta mengangkat sebelah tangannya, tersenyum.
"Nggak." Azaleta menggeleng mantap. "Tapi beberapa hari sebelum kami tunangan, Mami sempat ke tempat kakek sama nenek. Mungkin itu sebabnya kakek sama nenek gue dateng pas hari H sambil senyam-senyum waktu Ahil nyalamin mereka. Ya, Mami jelas cerita soal Ahil sama rencana pernikahan kami ke kakek sama nenek."
"Gitu, ya?"
Azaleta mengangguk. "Gue cuma bisa bilang good luck buat lo. Gue nggak bisa campur tangan terlalu jauh kalo udah begini caranya. Tinggal gimana Kakek liat lo, trus keputusan beliau gimana ntar. Kalau beliau bilang iya, berarti rencana lo bakal mulus. Kalau nggak, gue coba buat bujuk meski kayaknya nggak bakal ngaruh banyak."
Ragiel terpana. "Lo ... serius?"
"Muka gue begini masa dibilang nggak serius, sih?" Azaleta cemberut, bete maksimal. "Seriuslah."
Ragiel benar-benar ingin menarik Azaleta dan mendekap gadis itu waktu itu. Namun, melibatkan gadis itu ke dalam drama keluarganya sudah cukup membuat Ragiel merasa bersalah dan agak canggung.
Konsekuensi, kata Mbak Nisa. Lo udah milih Leta, berarti lo siap sama risiko apa pun ntar.
Benar.
Ragiel tersenyum seraya berterima kasih. Bahkan jika memang Azaleta membencinya nanti karena sudah melibatkan gadis, Ragiel harus siap. Namun, entah kenapa, memikirkannya saja terasa miris, seolah-olah ia belum siap dengan apa yang akan terjadi pada mereka jika pernikahan drama ini benar-benar terjadi.
"Hei." Azaleta menjentikkan jari di depan wajah Ragiel, membuat pemuda itu tersadar.
Ragiel menoleh, mendapati raut bingung terukir di wajah Azaleta. Matahari sore semakin merendah, menandakan kalau mereka sudah cukup lama bernaung di bawah pohon rindang ini.
"Mikirin sesuatu?" tanya Azaleta seraya menyimpan ponsel ke tas.
"Nope!" Ragiel memegang kemudi, menyalakan mobil sebelum kembali menyusuri jalan utama. "Gimana? Udah dapet petunjuk?" tanya Ragiel seraya melirik Azaleta dengan sudut mata.
Azaleta mengangguk. "Lurus, terus belok kanan. Kalau nemu belokan dua arah lagi, ambil kanan. Nenek gue udah nunggu di depan rumah katanya. Syukurlah jaringan bisa jalan walaupun cuma bentar trus ilang lagi. Seenggaknya bisa nelepon buat ngasih kabar."
Ragiel tersenyum, mengikuti arah jalan sesuai intruksi Azaleta. Benar saja. Lima belas menit kemudian, Azaleta menepuk lengan Ragiel, mengatakan kalau mereka sudah sampai. Ragiel mengangguk, membelokkan, dan menghentikan mobilnya di halaman sebuah rumah sederhana dengan bahan dasar kayu mendominasi bangunan rumah tersebut.
"Turun, yuk," ajak Azaleta seraya membuka pintu mobil.
Ragiel mengangguk, melakukan hal yang sama. Bersama Azaleta, Ragiel menuju bagasi untuk mengambil tas berisi pakaian ganti. Di beranda, terlihat seorang wanita tua melambaikan tangan ke arah mereka dengan riang.
Azaleta menyikut rusuk Ragiel, memberi isyarat ke arah wanita tua tersebut. "Nenek gue kelihatannya happy banget liat lo."
Ragiel melihat sekilas sebelum berceletuk. "Beda banget auranya sama nyokap lo," komentar Ragiel.
"Woy!" Azaleta protes, agak tidak terima sebelum akhirnya ia tertawa juga. Dilihat-lihat, perkataan Ragiel ada benarnya juga. "Mungkin bener. Iya, gue juga baru sadar pas lo bilang tadi."
Ragiel menyeringai.
"Baru sampai, Sayang?" Nenek menyambut kehadiran Azaleta dengan sebuah pelukan.
"Hu-um."
"Nyasar?"
"Pastinya."
Nenek tertawa. "Makanya kamu kudu sering-sering ke sini." Tatapan Nenek beralih dari Azaleta ke Ragiel. "Ini, ya, calon suamimu?" tanya Nenek seraya meneliti Ragiel dari ujung rambut sampai ujung sepatu.
Ragiel tersenyum, segera menyalami Nenek dengan sopan.
Nenek terkekeh, mengusap kepala Ragiel dengan lembut. "Namamu siapa, Nak?"
Ragiel mendongak, tersenyum manis sekali. Senyum yang mengingatkan Azaleta pada gulali di pasar malam. Lembut, manis, dan membuat ketagihan.
Tunggu, apa? Azaleta bingung sendiri dengan pikirannya.
"Ragiel, Nek. Ragiel Andana."
"Namamu bagus," komentar Nenek. "Kasep. Persis orangnya."
Senyum Ragiel mengembang. Berbeda dengan Azaleta yang langsung manyun lima mili.
"Kamu kenapa, tho, Nduk?" tanya Nenek saat menangkap raut wajah Azaleta yang setengah mencibir. "Manyun gitu."
"Ndak." Azaleta menggeleng, masih dengan manyunnya yang khas. "Ndak apa-apa."
"Halah." Nenek mengibaskan tangannya yang sudah keriput di makan usia. Kendati demikian, tidak dipungkiri, Nenek terlihat bugar untuk lansia seumurannya. "Kamu cemburu Nenek lebih perhatian sama calon suamimu?"
"Ndak, tuh." Azaleta mengedikkan bahu. "Leta mah apa atuh, remah de—aduh, duh!" Azaleta meringis tertahan saat perut bagian sampingnya dicubit Nenek. "Ampuuun."
"Masuk sana, gih. Ajak Ragiel ke kamar."
"Astagfirullah." Azaleta menutup mulut dengan kedua belah telapak tangan, sok dramatis. "Ndak boleh, Nek. Masih belum sah."
"Kamu ini pengin Nenek pukul pakai batang bambu apa raket tilam?" Nenek geleng-geleng. "Siapa bilang kalian sekamar, Nduk? Duh, pusing Nenek."
"Iya, iya. Bercanda." Azaleta mengikuti langkah Nenek memasuki rumah. "Kakek ke mana, Nek?" tanya Azaleta setelah mengajak Ragiel ke kamar masing-masing dan meletakkan tas mereka. Azaleta lantas duduk di kursi kayu di samping Nenek, dengan Ragiel di seberang mereka.
"Tadi keluar beli sesuatu." Nenek mengarahkan pandangan ke luar, celangak-celinguk. "Bentar lagi pulang. Mu—"
"Asalamualaikuuum!"
Sembari menjawab salam, Azaleta menoleh, mendapati Kakek yang melangkah ceria ke arah mereka. Khas Kakek kalau sedang gembira atau excited terhadap sesuatu.
Salamnya pun sengaja dipanjang-panjangkan dengan nada meliuk di ujungnya. Kadang kalau isengnya lagi kumat, Kakek menjawab salamnya sendiri dengan balasan 'waalaikum, sayang'.
Luar biasa memang!
"Mbok, yo, jangan dipanjang-panjangin gitu salamnya," protes Nenek. "Malu sama calon suami Leta."
"Lho, piye tho? Suka-suka aku, lah. Kayak ndak biasa aja." Kakek menyahut santai seraya menjatuhkan diri di samping Ragiel. "Ini, tho, calon suamimu, Let?" tanya Kakek basi-basi.
"Bukan. Itu pajangan! Calon suami Leta masih di dalam tas." Azaleta memberengut, membuat Kakek tertawa terpingkal-pingkal. "Lha, kan udah nyata gitu bentuknya masa masih ditanyain lagi. Piye tho?"
"Jadi." Kakek merangkul bahu Ragiel akrab, persis seperti ayah kepada anaknya. "Namamu siapa?"
"Ragiel," sahut Nenek cepat tanpa diminta.
"Aku nanya dia. Kok kamu yang jawab?" Kakek geleng-geleng, yang mana langsung membuat Nenek ikut cemberut.
"Ragiel Andana," sahut Ragiel kalem.
"Asal?"
"Jakarta."
"Pernah kenal sama Leta sebelumnya?"
Kali ini Azaleta langsung tepuk jidat. "Lha, iya, atuh. Masa Leta ndak kenal sama Ragiel kalau udah sejauh ini. Kakek gimana, tho?"
"Mastiin aja." Kakek menyengir. Matanya lantas menatap jam dinding yang ada di atas pintu menuju dapur. "Udah mau magrib. Wis, aku mau siap-siap ke masjid dulu." Kakek bangkit, meninggalkan Nenek, Azaleta, dan Ragiel di ruang tengah.
"Nenek mau nyiapin makan malam dulu." Nenek ikut bangkit, berjalan menuju dapur. "Nduk, kalau udah selesai beres-beresnya, tolong bantuin Nenek di dapur, yo."
Azaleta mengangguk patuh. "Njih," sahutnya kalem.
"Kakek sama Nenek lo asik, ya," komentar Ragiel setelah hanya mereka berdua yang tersisa di ruang tengah. "Gue pikir sebelas dua belas sama mami lo."
"Ada alasan kenapa Mami bisa beda sama Kakek-Nenek."
"Kamar mandi di mana, Let?" tanya Ragiel mengalihkan pembicaraan.
"Mandinya di sungai, noh!" kata Azaleta seolah Ragiel benar-benar harus nyebur ke sungai dulu baru bisa mandi. Gadis itu menahan tawa saat dilihatnya Ragiel mengernyit heran. "Sungainya nggak jauh, kok. Ada di belakang."
"Oh, oke." Ragiel mengangguk, segera berdiri. "Gue mau mandi dulu. Gerah." Pemuda itu lantas berlalu dengan cepat menuju kamarnya, menyisakan Azaleta yang justru bengong di tempat.
"Eh! Giel—"
"LETAAA!" Suara Nenek memanggil terdengar membahana memenuhi seisi rumah.
"Iya, sebentar! Aduh, ini ngapa baju gue sampai kejepit segala coba." Azaleta mencoba menarik ujung bajunya yang terjepit di antara kayu kursi.
"Nduk!" Nenek keluar dari dapur, memelotot. "Kamu ngapain, tho, dipanggil nyahut doang, nyamperin ndak?" Nenek terlihat gemas seperti ingin mencubit kedua belah pipi Azaleta kalau saja tidak ada spatula di tangannya.
"Anu ... tadi baju Leta kejepit."
"Yo, wis. Kita ke dapur."
"Eh, tapi—"
Terlambat. Nenek benar-benar menariknya ke dapur, arah berlawanan dengan Azaleta yang ingin tuju: kamar Ragiel.
"Tapi, Ragiel—" Azaleta ingin mengatakan apa maunya tapi Nenek buru-buru memotong ucapannya.
"Kenapa, tho, sama Ragiel? Biarin aja kalau dia mau istirahat dulu. Kamu manja bener nggak mau jauh dari dia."
Nenek geleng-geleng, menarik Azaleta ke dapur, dan memberikan pisau untuk mengupas bawang merah dan bawang putih. Nenek juga meminta Azaleta untuk menggantikannya menggoreng ikan selagi Nenek memetik cabai di halaman belakang.
Bukan ituuu! Azaleta menjerit dalam hati. Kan nggak lucu kalau Ragiel benar-benar pergi dan nyebur ke sungai buat mandi. Apa kata orang kampung yang melihat nantinya?
Terlebih, bisa saja ada salah satu atau dua orang yang mengenali Ragiel. Runyam nanti masalahnya.
Namun, ternyata Azaleta justru lebih terjebak di situasi super awkward dengan separuh kesadaran fokus membantu Nenek menggoreng ikan, mengulek sambal, dan menyiapkan petai. Sementara separuhnya lagi membayangkan jika Ragiel benar-benar mandi ke sungai.
"Lho, lho!" Nenek cengo saat melihat Azaleta tiba-tiba pergi ke belakang dengan memakai sendal jepit Nenek yang biasa dipakai kalau sedang memberi makan ayam. "Mau ke mana, Nduk? Ini jamnya bujang kampung ngadem ke sungai!"
"Mau cek sesuatu bentar!"
Setelahnya, Azaleta tidak mendengar lagi teriakan Nenek.
Wah, bahaya ini! Azaleta sudah mengecek kamar mandi, tapi tidak ada siapa-siapa. Begitu pula dengan kamar. Tidak ada Ragiel di mana-mana. Berarti cuma satu: sungai.
Duh, semoga cuma keparnoan Azaleta saja.
Benar kata Nenek. Para pemuda kampung berkumpul di sungai untuk mandi bersama-sama. Itu, sih, hal biasa. Namun, yang membuat Azaleta hampir jantungan, Ragiel benar-benar ada di sana, sedang berendam dan berbincang ringan dengan salah satu pemuda kampung yang Azaleta kenal, Bambang.
Baru Azaleta ingin mendekat, Bambang langsung menyapanya dengan ceria. "Yo, Leta! Sudah balik lu?"
"Kagak." Azaleta cemberut. "Arwah gue masih di Jakarta. Badan gue doang yang ke sini."
Bambang tertawa. "Mau ikut nyebur juga lu?"
"Pala lu, Bambang!" Azaleta memelotot garang. "Gue mau jemput dia, tuh." Azaleta menunjuk Ragiel yang sekarang terlihat kebingungan dengan sikap Azaleta yang seperti orang kalap.
"Setdah!" Bambang gelenggeleng. "Dia, kan, laki. Ngapain juga pakai dijemput segala?" Pemuda dengan kulit cokelat gelap itu menelengkan kepala.
"Bambang! Diem dulu lu!" Azaleta langsung mengalihkan pandangannya ke Ragiel. "Giel, naik! Ngapain juga lo beneran ke sini?" Azaleta menepuk dahinya.
Ragiel meletakkan jemari telunjuknya di dagu, tampak -sok- berpikir untuk beberapa saat. "Um ... karena elo yang bilang gue kudu mandi di sini?" sahutnya raguragu.
Lagi-lagi, Azaleta menepuk jidat yang berlanjut dengan mengusap wajah dengan frustrasi. "Cuma bercanda, elah! Di rumah ada kamar mandi juga. Why ucapan gue lo telan bulat-bulat?"
"Ya mana gue tau?" Ragiel mengangkat bahu. "Lo nggak klarifikasi juga kalo lo cuma bercanda." Ragiel menyeringai.
Ya nggak salah, sih. Azaleta menghela napas. "Oke, oke. Bisa kita balik sekarang? Udah mau magrib ini. Lo ngikut kebiasaan si Bambang kalau mau salat leha-leha dulu sesat, ntar."
"Woy!" Bambang melayangkan protes, cemberut berat. "Enak aja lu ngomong, Let! Dulu yang sering leha-leha berendam di sungai sampai azan Magrib juga elu, bukan siapa-siapa."
"Aib, woy!" Azaleta berseru malu. Terlebih dilihatnya Ragiel ternganga sebelum ikut tertawa geli bersama Bambang. "Elu, ya, Bang! Gue pites juga lu!"
"Sini kalo berani!" tantang Bambang. "Halah mana bisa lo nangkap gue. Kelamaan tinggal di Jakarta, sih. Lamban kan jadinya kalau mau ngejar gue. Kebiasaan pakai taksi mulu lu, mah."
"Heh!" Kali ini Azaleta melangkah lebih dekat ke pinggir sungai, bermaksud melempar Bambang dengan buah salak yang jatuh di dekatnya. Beberapa kali Azaleta melempar buah salak di tangannya, sejumlah itu pula gagal mengenai Bambang sampai Azaleta lupa kalau sandal Nenek sudah tua dan mudah menyebabkan tergelincir kalau kena tanah basah. Sontak, Azaleta kehilangan keseimbangan sebelum ia pasrah saat dirasakannya tubuhnya limbung, siap nyebur ke sungai.
"Let!" Ragiel dengan sigap menahan tubuh Azaleta agar tidak mencapai dasar yang dangkal. Bunyi debam menyertai saat Ragiel menangkap tubuh Azaleta. Plus suara jeritan Azaleta tentunya. "Lo oke?" tanya Ragiel dengan tangan di pinggang Azaleta.
"Um ... oke." Azaleta bisa merasakan lekuk tulang belikat Ragiel di telapak tangannya. Kulit pemuda itu terasa halus di tangan. Belum lagi dengan jarak mereka sedekat ini ditambah pakaian yang Azaleta kenakan basah total, ia bisa merasakan otot perut Ragiel yang kukuh terasa melindunginya. Sontak, wajah Azaleta memerah saking malunya. "Thanks!" ucap Azaleta pelan.
"It's okay." Ragiel tersenyum hangat seraya mengangkat wajah Azaleta dengan memegang dagu gadis di depannya agar Azaleta menatapnya. "Lain kali hati-hati, oke?" Garis wajah Ragiel melembut, dengan senyum yang terpatri manis. Harus Azaleta akui, Ragiel benar-benar tampan dari jarak sedekat ini. Wajahnya halus dan mulus tanpa cela, dengan kulit seputih susu segar di pagi hari.
"Aw! Co cwit!" Bambang berseru dramatis yang disambut gelak tawa oleh beberapa pemuda lain yang sudah selesai berendam dan melewati mereka.
Azaleta menoleh, melemparkan tatapan setajam parang pada Bambang, tak peduli dengan Ragiel yang mencoba menahannya agar tidak menghabisi Bambang saat ini. "Bambang! Sini lo!" Azaleta bergerak cepat kendati berada di dalam air, membuat Bambang langsung gelagapan saking cepatnya Azaleta menghampirinya.
"Eh, Let!" Bambang berusaha memanjat untuk kabur. Namun, Azaleta lebih cepat dengan menarik kaki Bambang kuatkuat, membuat pemuda itu jatuh lagi ke dalam air. "Huaaaa!"
"Mati lo, Bambang!"
"Ampuuun, Let!"
.
.
.
___________
.
.
.
"Kamu kenapa, tho, Nduk?" Nenek mengernyit saat mendapati Azaleta cemberut sambil membantu menata meja makan. "Masam gitu mukanya. Kayak limau nipis. Persis."
"Ndak apa-apa." Azaleta menggeleng, tertatih-tatih mengambil gelas sebelum Nenek menepis tangannya yang ingin membawa gelas ke meja makan.
"Duduk aja," kata Nenek. "Ndak enak aku liatnya. Nyeret-nyeret gitu jalannya. Makanya, kan udah dibilangin, tanah di belakang itu agak basah. Licin. Lha ini ndak didengerin. Kena imbasnya, kan, sekarang?" Nenek geleng-geleng.
"Ya mana Leta tau." Azaleta manyun tiga senti, duduk di salah satu kursi. "Nenek telat ngasih taunya juga."
"Lha kok nyalahin Nenek?" Nenek tampak tak terima dan tak suka saat Azaleta menudingnya. "Untung bareng sama Ragiel pulangnya. Coba kalau ndak. Paling si Bambang yang gendong kamu sampai ke rumah."
"Amit-amit."
"Lha bener, kan?" Nenek ikut duduk di samping Azaleta, di kursi satunya lagi. "Anggap aja karma gara-gara kamu ngibul nyuruh calon suamimu nyebur ke sungai buat mandi. Kan, kena, kan? Kapok ndak, tuh?"
Azaleta memberengut. Benar, ia tergelincir saat perjalanan pulang dari sungai ke rumah, membuat pakaiannya yang sudah basah karena sempat tercebur ke sungai menjadi semakin kotor karena terkena tanah yang sedang basah. Lengket, Azaleta menatap hina pada tangannya yang juga ikut kena imbas dari insiden tergelincir itu. Bukan itu saja, ruparupanya, kaki Azaleta ikut terkilir karenanya, membuat gadis itu meringis kesakitan saat ingin berdiri.
Mana rumah masih agak jauh lagi, rutuk Azaleta seraya menatap langit yang semakin keorenan, menandakan matahari siap terbenam.
"Lo duluan aja, deh." Azaleta menoleh, menatap Ragiel yang berjongkok di depannya. "Udah mau magrib. Minimal lo salat di rumah. Kalau di masjid kayaknya nggak bakal kekejar. Eh, mungkin, sih. Paling masbuk."
"Nggak tanpa lo." Ragiel menggeleng tegas. Pemuda itu berbalik, memaparkan punggung telanjangnya pada Azaleta. "Ayo, naik!" tawar Ragiel seraya menoleh ke belakang menatap Azaleta.
Sontak, Azaleta ternganga sebelum wajahnya bersemu merah saking malunya. "Nggak usah! Gue bisa jalan sendiri," kilah Azaleta.
Ragiel berdecak. "Gue nggak mau dikutuk sama Kakek-Nenek kalo sampai liiat gue balik tanpa lo. Jadi, buruan naik atau gue bakal bopong paksa. Pilih mana, young lady?"
"Heee?" Azaleta terbelalak. "Bisa-bisanya ngancem gitu coba, kan?"
Tanpa ba-bi-bu, secepat elang menyambar mangsa, Ragiel langsung menaikkan Azaleta ke punggungnya. "Bisa, dong!" Perlahan, pemuda itu berdiri dan berjalan dengan Azaleta di punggungnya setelah meminta tolong Azaleta memegang plastik berisi pakaian sebelum ia mandi.
Azaleta membuang muka, dengan wajah memanas saking dekatnya jarak mereka saat ini. Jantungnya berdegup kencang, lebih cepat dari efek ia berlari maraton. Sebisa mungkin, Azaleta tidak membuat sentuhan di bagian depan tubuh Ragiel dengan tangan atau jemarinya. Hal yang rupanya disadari Ragiel juga.
"Lo kayak gitu mau jatuh dua kali apa gimana?" Ragiel lagi-lagi berdecak sebal. "Pegangan, dong!" katanya lagi mencak-mencak.
"Apanya?"
"Let, please, lah." Ragiel geleng-geleng. "Pegangan yang erat. Ini mah bukan lo aja yang bisa jatuh. Gue juga bisa ikutan roboh kalau tangan lo bergelantungan kayak gini."
Ragu, Azaleta memeluk leher Ragiel.
Ragiel tersenyum. "Sip! Gue jalan lagi, ya?"
Azaleta mengangguk, membiarkan Ragiel menggendongnya sampai ke rumah. Tak pelak, Nenek yang menyaksikan keduanya baru sampai saat iqomah magrib berkumandang, langsung mengomel, khususnya pada Azaleta. Dengan cepat, Nenek membantu Azaleta masuk ke dalam dan mengurut kaki cucunya itu setelah menyuruh Ragiel untuk ikut ke dalam dan segera salat.
Azaleta menggeleng. Mengingatnya saja sudah membuat malu sendiri. Ia bahkan masih bisa mengingat bagaimana kukuhnya punggung Ragiel dan betapa halusnya kulit pemuda itu. Buru-buru Azaleta mengusir pikiran yang aneh-aneh tersebut dari dalam kepalanya.
"Kamu panggil calon suamimu, gih," kata Nenek tiba-tiba. "Kakekmu dah mau pulang ini. Biar makan malam bareng." Nenek mengibaskan tangan, memberi isyarat pada Azaleta agar segera ke kamar Ragiel dan memanggil pemuda itu ke meja makan, tak peduli bagaimana cengonya Azaleta saat ini.
"Leta yang manggil?" Azaleta tergagap. "Kok Leta?"
Nenek mengenyit heran. "Lha, iya. Kan kalian mau nikah nanti. Masa Nenek yng kudu manggil. Ndak romantis amat. Mbok, yo, perhatian dikit sama calon suamimu. Udah, panggil sana."
Wuidih! Azaleta terkagumkagum. Bahkan Nenek tahu bahasa romantis. Dengan setengah hati, Azaleta bangkit. "Iya, iya. Ini mau manggil."
Ragu-ragu, Azaleta mengetuk pintu kamar Ragiel yang tertutup saat ia sudah tiba di kamar pemuda tersebut. Tidak ada sahutan. Sekali lagi, Azaleta mengetuk. Kali ini dengan irama dan tekanan yang lebih kuat, diiringi dengan panggilan kalau Nenek menunggu. Tetap saja tidak ada respons. Apa masih salat, ya? Azaleta tampak ragu untuk membuka pintu kamar. Dengan mengucap bismillah, Azaleta membuka pintu kamar, mengintip dalamnya.
"Hoalah." Azaleta gelenggeleng sendiri saat mendapati Ragiel tengah berbaring di kasur, tidur. Dikira masih salat atau ada amalan apa gitu. Ternyata tidur, tho. Perlahan, Azaleta mengendapendap, mendekati Ragiel yang tengah tertidur pulas. "Giel," panggil Azaleta seraya menggoyang-goyangkan lengan Ragiel. "Hei, bangun! Makan dulu, salat Isya, baru ngorok. Woy!" Nihil! Ragiel tetap tertidur pulas, bahkan setelah Azaleta mengulangi panggilannya beberapa kali.
Azaleta berkacak pinggang, mulai kehabisan akal. Gadis manis dengan jilbab hijau muda itu lantas duduk di sisi ranjang, menyeringai geli. Perlahan, ia menjepit hidung mancung Ragiel sambil menahan tawa yang hampir meledak. Ragiel memang sempat bereaksi, tapi tidak lama, karena setelahnya pemuda itu justru menarikembuskan napas melalui mulut. Hal yang membuat Azaleta manyun setelahnya. Gils! Azaleta gelenggeleng. Beneran kebo ini orang. Susah beut banguninnya, gilak!
Hampir saja Azaleta ingin menendang Ragiel sesua dengan apa yang terlintas di kepalanya sebelum urung saat melihat wajah Ragiel yang terlihat tenang saat tidur. Kasihan, rasa simpati Azaleta mulai menyembul. Pasti dia kelelahan, pikir Azaleta. Sebelum berangkat ke sini pagipagi buta, Arka sempat bercerita kalau Ragiel baru saja kembali dari Singapura tepat jam dua pagi. Perlahan, Azaleta mengusap rambut hitam legam Ragiel, menyingkirkan sebagian rambut yang jatuh menutupi dahi. Azaleta harus akui, Ragiel memang sangat tampan dan menawan. Bulu matanya lentik, dengan garis mata yang bagus, hidung mancung, dan bibir yang terlihat lembut. Tanpa sadar, Azaleta tersenyum saat mengusap pipi Ragiel lembut.
Baru saja Azaleta ingin bangkit dan mengatakan kalau Ragiel sudah tertidur karena kelelahan, tiba-tiba, Azaleta merasa pergelangan tangannya di tahan. Azaleta menoleh kaget, mendapati tangan Ragiel menahan pergelangan tangannya sementara pemuda itu sendiri masih terlihat terlelap. Belum hilang rasa kaget Azaleta, satu tarikan lembut bertenaga datang, membuat Azaleta yang tidak siap langsung jatuh ke tubuh Ragiel.
Saat itulah kedua belah kelopak mata Ragiel terbuka, membuat keduanya saling bertatapan untuk beberapa saat. Ragiel tersenyum lebar, yang mana itu terasa manis dan menawan sekali, membuat Azaleta terpaku dengan jantung berdegup lembut saat aroma segar maskulin tercium dari ceruk leher Ragiel.
"Ngapain?" tanya Ragiel lembut, semakin mengeratkan tubuh Azaleta di atas tubuhnya saat gadis itu mencoba melepaskan diri setelah beberapa saat mereka saling bertatapan.
"Dipanggil Nenek." Azaleta menyahut pendek. "Hei, lepas!"
"Biarin aja gini," kata Ragiel dengan sorot mata sayu, membuat Azaleta lagi-lagi tercenung. "Sebentar aja."
Untuk pertama kalinya, Azaleta tidak membantah keinginan absurd laki-laki asing yang menyisip dalam kehidupannya.
.
.
.
[TBC]
.
.
.
A/N: untuk sementara, Azaleta pending dulu sampai akhir Juni. Iya, awalnya aku planning buat tamat pas bulan ini, tapi ada proyek lain yang kudu kukerjakan juga jadi Azaleta ku-stop dulu sampai sini.
Masih ada kira-kira 8-12 chapter lagi buat tamat. Mohon dukungannya, yaaa. Ini chapter paling panjang, btw. 4000 an wahahaha /pingsan.
Yo, sampai jumpa lagi di bulan Juni, ya! (bisa jadi maju lebih cepat kalau proyek baruku selesai lebih awal dan aku lagi rajin).
I luv ya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top