Azaleta 18 - Drama

"Mbak, please, tadi itu cuma acara prank atau semacamnya, kan? Ye, kan? Jawab iya, Mbak. Please banget." Azaleta menangkupkan kedua belah tangan di depan dadanya, memohon dengan nada yang terdengar agak memilukan.

Oke, itu agak berlebihan. Karena Azaleta sering melakukannya di depan Nisa kalau bosnya itu sedang naik darah atau lagi dalam mode senggol bacok. Namun, yang tadi itu sungguh membuat Azaleta frustrasi sendiri. Memang kebanyakan ia hanya mendapat jatah 'akting' duduk manis dan mendengarkan, tetapi, ia cukup mengalami sport jantung terutama saat Ayah dan Bunda—begitu Ragiel dan Nisa menyebut dua orang yang lebih tua dan duduk saling bersisian itu bertanya padanya.

Pertanyaan yang dilemparkan, sih, sederhana saja. Tipikal umum saat orang tua bertanya pada pacar anaknya. Namun, kan Azaleta bukan pacar Ragiel.

Oh, itu yang perlu digarisbawahi. Azaleta sudah protes sejak mereka keluar dari rumah Ragiel dan Nisa tentang apa-apaan klaim sepihak itu.

Pacar? Mereka hanya partner kerja yang sudah dua bulan tidak saling bertemu. Tanya saja dengan Mbak Nisa. Sejak acara yang dibawakan oleh Azaleta dan Ragiel dibungkus, keduanya tidak pernah bertemu lagi saat itu. Menurut kabar yang ia dapat dari Arka dan Mbak Nisa, Ragiel sedang fokus syuting film romantis di Jepang.

Sekarang, baru bertemu setelah dua bulan, bisa-bisanya Ragiel melakukan hal di luar akal sehat secara berturut-turut?

"Mbak Nisa, mah." Azaleta manyun saat menyadari kalau Nisa tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Bosnya itu hanya menunduk dengan tangan sibuk mengaduk nasi uduk di depannya.

Nisa menghela napas, melirik Ragiel yang duduk di sampingnya. Adiknya itu melakukan hal yang sama, mengangguk seolah memberikan isyarat setuju pada Nisa.

Tak ayal, Nisa langsung mengacak rambut pendek sebahunya, membiarkan tatanan yang semula rapi menjadi super berantakan mengingat betapa kasarnya Nisa mengacak rambutnya sendiri. "Nggak, Let. Itu tadi bukan prank kek di Youtube atau semacamnya. Itu real. Asli. Ayah dan Bunda beneran bicarain soal pernikahan kalian yang bakal diadain secepatnya. Semoga itu menjawab pertanyaan lo."

Untuk beberapa saat, Nisa baru sadar kalau ucapannya terlampau frontal pada Azaleta.

Nisa menenggak ludah, menghela napas setelah meletakkan peralatan makannya di piring. "Sorry. Gue lagi pusing banget hari ini. Sorry banget, Let."

Azaleta ternganga, tidak mengindahkan perkataan atau pun permintaan maaf Nisa.

Ia sudah cukup kaget dengan kenyataan diboyong untuk bertemu dengan keluarga Ragiel dan diklaim sebagai pacar pemuda itu. Sekarang, ia malah disebut sebagai calon istri laki-laki yang tengah duduk di samping Mbak Nisa dan bermain lirik-lirikan dengan kakaknya tersebut.

What the hell! Ragiel sudah sinting, Azaleta menatap horor keduanya. "Jadi, yang tadi itu serius?" Dari sekian banyak kata dan kalimat yang sudah Azaleta susun dan rencanakan, hanya itu yang keluar dari mulutnya.

What the hell season two! Tolong ingatkan Azaleta untuk mencekik salah satu di antara dua orang di depannya ini nanti. Ralat. Mungkin Ragiel orang yang tepat untuk dicekik mengingat Mbak Nisa masih berstatus sebagai bosnya. Azaleta tidak ingin kehilangan pekerjaan atau pensiun di usia muda.

Serempak, Nisa dan Ragiel mengangguk.

Saat Ragiel hendak angkat suara, Nisa menahannya. Biar dia saja yang menjelaskan semuanya, begitu isyarat yang bisa Ragiel tangkap dari sorot mata kakaknya itu. Bisa saja kalau Ragiel ingin membeberkan alasan di balik semua drama ini, tapi, Nisa tidak yakin Ragiel bisa meyakinkan Azaleta tentang rencana mereka.

Ya, rencana dadakan, karena pembicaraan pagi tadi pun tercetus begitu saja. Nisa sampai harus menghubungi Ragiel yang tengah melakukan joging karena Ayah dan Bunda sedang menunggu untuk membicarakan hal yang penting.

Mampus! Nisa menggigit bibir bagian bawahnya, mendesah cemas saat Bunda kembali menceramahinya tentang betapa penting menjaga Ragiel yang notabene adalah adiknya untuk tidak sembarang bergaul di dunia entertain.

Begini, kan, hasilnya, kata Bunda lagi. Adikmu sampai diisukan belok sama media. Belum lagi foto-foto mirip adikmu yang lagi ciuman sama cowok entah siapa beredar di Twitter.

Nisa menepuk dahi, mengatakan kalau semua itu hanya gosip dan tidak benar. Namun, sumpritnya, Ayah dan Bunda justru semakin meragukan orientasi putra mereka sendiri mengingat Ragiel tidak pernah memperkenalkan satu pun perempuan kepada mereka.

Maka dari itu, saat Ragiel pulang dan berbincang terkait hal tersebut, Nisa kaget setengah mati saat adiknya itu bilang ia sudah punya calon istri dan membantah tudingan soal orientasinya yang belok. Ia normal seratus persen, kata Ragiel mantap.

Hal yang berujung dengan tantangan dari Ayah dan Bunda agar Ragiel mengajak pacar atau calon istrinya apalah itu untuk ke rumah dan diperkenalkan. Saat Ragiel menyanggupi dan berdiri untuk pergi 'menjemput calon istrinya', Nisa langsung menyusul dan menahan tangan Ragiel yang hendak membuka pintu mobil. Sinting, umpat Nisa. Gimana kalau Ayah dan Bunda tahu kalau lo sebenarnya cuma bohong soal pacar atau calon istri itu?

Ragiel hanya tersenyum, mengatakan kalau ia punya rencana. Saat adiknya itu pulang membawa Azaleta sebagai 'pasangan', Nisa tentu saja kaget setengah mati.

Adiknya itu memang habis akal. Namun, mau tidak mau Nisa harus ikut berakting dan mengikuti permainan Ragiel. Hal di luar kendali kemudian terjadi. Ayah dan Bunda justru meminta agar Ragiel dan Azaleta segera menikah secepatnya.

Nisa sudah menyela dan mencoba mengalihkan pembicaraan dengan mengatakan bagaimana bisa Ragiel duluan yang menikah ketimbang dirinya. Nisa sendiri harus rela bungkam saat Bunda mengangkat sebelah tangan padanya, menyuruh putri sulungnya itu untuk diam.

"Let." Nisa memulai permohonannya. "Gue minta tolong banget sama lo, Let. Please, bantu gue sama Ragiel kali ini aja. Kita beneran buntu mau gimana lagi."

Azaleta mengernyit. "Mbak, saya nggak ngerti. Bantuan macam apa sampai kudu ada drama saya diklaim sebagai calon istri Ragiel? Mbak tahu sendiri, kan, kejadian yang saya alami baru-baru ini. Itu aja udah bikin saya agak traumatis. Apalagi yang main-main seperti ini. Ini nggak lucu, Mbak, serius." Azaleta berkata tegas, sejenak melupakan kalau yang ia bantah saat ini adalah bosnya sendiri.

Entah bos atau apa, Azaleta sudah lelah untuk mengiakan permintaan yang ia sendiri rasa tidak bisa ia penuhi kecuali benar-benar terpaksa.

"Ini urgent banget, Let." Nisa menatap Azaleta lekat-lekat tepat di kedua belah iris sekelam jelaga itu. "Kalo lo akhir-akhir ini perhatian sama Twitter atau berita, lo pasti tau kasus yang bawa nama Ragiel."

Azaleta diam sejenak. Matanya menatap Ragiel yang duduk di sebelah Mbak Nisa. "Soal ... um ... gay? Yang Ragiel dituding punya hubungan sama aktor lain gara-gara ada foto mirip Ragiel lagi ciuman sama cowok itu tersebar di Twitter?" Azaleta memastikan dengan takut-takut.

Jujur saja, ini topik sensitif. Bisa saja Ragiel menjadi tersinggung karena Azaleta blak-blakan mengklarifikasi hal tersebut pada Mbak Nisa.

Tanpa disangka, yang bersangkutan justru mengangguk, membenarkan. Ragiel mencoba tersenyum meski rasanya awkward sekali di saat seperti ini.

Di mata Azaleta, senyum itu lebih terasa seperti seringai ketimbang senyuman. "Santai aja, Let. Gue nggak bakal marah atau ngamuk, kok. It's okay," kata Ragiel.

"Karena itu bener?" gumam Azaleta sebelum gadis manis itu sadar dengan kesembronoan mulutnya sendiri. Belum lagi Nisa dan Ragiel tampak terkejut dan memasang tatapan lo serius percaya sama berita dan gosip di luar sana?.

Buru-buru Azaleta meminta maaf.

"Itu fitnah, by the way." Nisa mengklarifikasi.

Dengan cepat dan singkat Nisa menceritakan bagaimana bisa Ragiel membawa Azaleta dan mengklaimnya sebagai calon istri. Semua benang merah dihubungkan dan sesekali Ragiel melengkapi cerita. Azaleta menyimak dengan serius, dan saat Nisa mengakhiri cerita, Azaleta ikut menghela napas.

"Ini pun di luar kendali kami, Let. Kami juga berharap bokap sama nyokap nggak serius sama ucapan mereka." Nisa mencoba menenangkan.

"Tapi, gimana kalau itu beneran serius, Mbak?" Azaleta mencicit pasrah, seperti kehilangan harapan untuk bisa menghindar. "Mbak tahu sendiri, kan, buat saya pernikahan itu sakral, bukan semacam permainan. Apalagi kayak gini. Karena, um, dengan menikah tentunya ... ah, Mbak pasti paham, lah, maksud saya."

Tiba-tiba saja Azaleta blushing sendiri. Tidak terbayang bagaimana jika ia dan Ragiel benar-benar menikah karena drama konyol ini dan mereka harus berbagi ranjang yang sama nantinya. Memikirkan hal itu saja sudah membuat merinding.

"Gue sama Ragiel bakalan nyoba sebisa kami buat batalin rencana itu kalau emang serius." Nisa menghela napas, menyentuh jemari Azaleta untuk menenangkan karyawan itu. "Tapi, lo juga kudu prepare kalau seandainya gagal. Tenang aja. Gue sama Ragiel pasti tanggung jawab kalau ada masalah. Kalau ada kabar terbaru, nanti gue hubungin lo. Oke?" Nisa tersenyum tulus untuk pertama kalinya, tanpa paksaan atau garis wajah yang tertarik canggung membentuk seringai seperti yang Azaleta sering saksikan.

Dengan setengah hati, Azaleta mengangguk, pasrah. Dalam hati, ia hanya berdoa agar tidak terlibat terlalu jauh dengan drama keluarga orang lain, bahkan jika itu adalah keluarga bos dan mantan partner kerja sekaligus temannya sendiri.

***

Ternyata, permohonan Azaleta tidak direstui oleh Yang Maha Kuasa. Seminggu setelah kejadian yang membuat jantungnya hampir copot itu, Azaleta mendapat pesan pendek dari Mbak Nisa via WhatsApp. Mbak Nisa minta agar mereka bisa bertemu. Bertiga. Bicara enam mata soal kelanjutan drama keluarga Nisa dan Ragiel.

Azaleta menghela napas, melangkah masuk ke restoran yang disebut Mbak Nisa dengan langkah gamang. Di sana, Nisa dan Ragiel sudah menunggunya. Azaleta dengan cepat duduk dan mendengarkan kabar terbaru dari Mbak Nisa.

Rasanya, Azaleta benar-benar menyesal telah melakukannya.

Kata Mbak Nisa, Ayah dan Bunda sudah mulai menyiapkan pernikahan Azaleta dan Ragiel meski Nisa dan Ragiel sudah mati-matian melakukan segala macam cara agar hal itu tidak terjadi.

Azaleta protes tentu saja, tapi itu tidak bisa mengubah banyak hal melihat bagaimana excited-nya Ayah dan Bunda menyiapkan acara pernikahan Azaleta dan Ragiel.

Hari itu dilanjutkan dengan membahas perjanjian apa saja yang harus mereka sepakati agar pernikahan drama ini bisa berjalan lancar dan tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak meski terjadi atas dasar ketidaksengajaan.

Termasuk berapa lama jangka pernikahan di antara keduanya. Nisa berjanji akan segera mengurus  hitam di atas putih sesegera mungkin agar bisa ditandatangani baik oleh Azaleta maupun Ragiel.

Sekarang, yang menjadi masalah bagi Azaleta, adalah bagaimana caranya memberitahu Mami soal pernikahan drama ini.

Terlebih, Mami sepertinya masih enggan untuk menyapa maupun berbaikan dengan Azaleta dilihat dari sikapnya yang masih sangat defensif dan seakan membangun tembok pembatas yang jelas di antara mereka.

Namun, cepat atau lambat, Azaleta harus memberitahu Mami kalau Ragiel akan segera melamarnya dalam waktu dekat jika dilihat dari pembicaraan dengan Mbak Nisa.

Saat ini, Azaleta masih mengintip Mami yang tengah memasak sarapan di dapur bersama Ijah. Ekspresi wajahnya keras dan kaku, sedatar tembok kukuh rumah mereka. Hal yang membuat Azaleta maju mundur ingin bicara pada Mami.

Sudah kepalang tanggung, pikir Azaleta. Sekarang atau tidak sama sekali.

Perlahan, Azaleta melangkah masuk ke dapur disambut oleh senyuman Ijah dan ekspresi dingin Mami. Azaleta mengembuskan napas lewat bibir, mengucap bismilah lantas mendekat ke samping Mami yang masih mengaduk nasi goreng. Mami tampak tak terganggu sama sekali dengan kehadiran Azaleta, seolah putrinya itu tidak ada di sana.

Perlahan, Azaleta mulai bicara. "Mi," panggil Azaleta seraya menatap Mami lekat-lekat dari samping.

Dingin, datar, dan tidak ada respons sama sekali dari Mami. Untuk sesaat, Azaleta merasa teriris dan terenyuh di saat bersamaan, berharap Mami mau menjawab panggilannya kali ini saja setelah pertengkaran dingin mereka selama beberapa bulan terakhir.

Tidak ada jawaban.

Azaleta menenggak ludah, mulai ragu. "Leta tahu Mami masih marah, tapi Leta juga harus ngasih tahu ini."

Azaleta memejamkan mata, memantapkan hati. Ia harus mengatakan ini, cepat atau lambat. Azaleta mencoba tersenyum ceria saat mengatakan hal tersebut pada Mami meski hatinya juga setengah tidak rela. "Nggak lama lagi, Ragiel bakal datang ke sini buat lamar Leta."

Akhirnya Azaleta mengatakannya. Ada sedikit kelegaan di dalam hati saat mengatakan hal itu. Namun, tiba-tiba saja kecemasan melanda saat Mami berhenti mengaduk nasi goreng, menandakan kalau Mami merespons dengan apa yang dikatakan Azaleta.

Mami melepas spatula kayu di tangannya, menatap Azaleta lekat-lekat dengan sorot mata tajam, membuat Azaleta lagi-lagi menelan ludah dengan gugup. Terlebih saat Mami perlahan mengangkat tangan kanannya, mengarahkan telapak tangan yang tampak keriput di makan usia tapi tetap kukuh itu pada Azaleta.

Jantung Azaleta berdegup dua kali lebih cepat. Gadis dengan hijab ungu itu refleks memejamkan mata, bersiap dengan semua kemungkinan, termasuk jika harus menerima tamparan murka dan penuh amarah dari Mami setelah pertengkaran mereka kali ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top