Azaleta 16 - No Tears Left to Cry
Seperti yang sudah Azaleta rencanakan, ia akan bertemu dengan si pengirim pesan yang memanggil Ahil dengan sebutan 'Sayang'.
Khusus kali ini, Azaleta sampai meminjam mobil Deka untuk berjaga-jaga dan mengawasi sebelum bertemu dengan lawannya. Hal yang membuat Deka heran dengan dahi mengernyit sebelum pemuda cute itu akhirnya mau tidak mau menyerahkan juga kunci mobilnya pada Azaleta
Asal dikembalikan dengan utuh dan tanpa bonyok, Deka sempat memelotot saat memeringatkan Azaleta meski pada akhirnya ia kalah gahar dengan Azaleta yang sudah mulai memasuki mode senggol bacok sedari pagi.
Pikiran tentang pesan kemarin malam membuat Azaleta tidak bisa tidur sampai jam di ruang tengah berdentang dua belas kali, tepat tengah malam. Sebisa mungkin ia bersikap biasa saja saat Ahil kembali dari kamar mandi dan kembali melanjutkan makan. Tahan, Azaleta menyugesti dirinya sendiri agar tidak keceplosan tentang hal yang ia alami pada Ahil meski rasanya sungguh mengganjal.
Penasaran yang bercampur rasa kecewa.
Azaleta sudah bertanya saat Ahil melamarnya hari itu di depan kedua belah pihak keluarga. Apakah Ahil masih atau memiliki hubungan yang belum selesai dengan wanita lain? Entah kenapa, pertanyaan itu tercetus begitu saja. Ahil menjawab dengan tegas, mengatakan kalau ia tidak memiliki hubungan dengan perempuan mana pun sampai detik di mana ia melamar Azaleta hari itu, meskipun pemuda itu tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan yang di lontarkan Azaleta.
Bukannya merasa parno atau semacamnya. Namun, Azaleta benar-benar menginginkan sebuah hubungan tanpa ada hal yang dirahasiakan, terlebih soal masa lalu Ahil yang mungkin belum selesai. Mereka belum terlalu lama berkenalan, dan Azaleta rasa hal itu cukup tepat untuk memegang ucapan Ahil demi kelanjutan hubungan mereka nantinya meski saat ini hubungan mereka masih berupa tunangan.
Namun, faktanya, sebuah pesan dari seorang wanita yang memanggil Ahil dengan sebutan 'Sayang' mengusik sisi terdalam hati Azaleta.
Adik, kah? Tidak. Ahil adalah anak tunggal keluarga Dharmawan.
Sepupu? Bisa jadi.
Oleh karena itu, untuk menghindari suuzan yang sebagiannya adalah dosa, Azaleta rasa, langkah untuk bertemu langsung dan mengklarifikasi adalah hal yang tepat. Ia bisa saja bertanya pada Ahil, tetapi Azaleta tahu, itu hanya akan menyisakan keragu-raguan lain dalam hatinya, dan itu bukanlah hal yang baik karena sebagian prasangka itu dosa.
Maka dari itu, di sinilah Azaleta sekarang, bergeming di depan kemudi mobil yang ia pinjam dari Deka. Ia sengaja tiba lima belas menit lebih awal dari perjanjian demi menyiapkan hati dan raganya. Azaleta bahkan sudah melatih kelenturan dan kelentukan kakinya jika tendangan lurus taekwondo yang pernah ia pelajari kalau-kalau diperlukan saat ini.
Ah, mungkin ia terlalu khawatir. Azaleta bisa merasakan perutnya seperti diaduk-aduk ketika melihat seorang gadis yang terlihat familier duduk di sebuah bangku taman, tak jauh dari jarak mobil yang Azaleta parkir di samping taman.
Azaleta memicingkan mata, mencoba menangkap lebih jelas ciri fisik gadis yang terlihat tengah menunggu itu.
Rambutnya pirang, cek. Iris hijau zamrud yang terlihat berkilau, cek. Mungkin itu softlens. Tahi mata di mata kiri bawah, cek.
Oh, jangan bertanya bagaimana Azaleta bisa melihat tanda itu dari jarak dan media seperti ini. Dari wajah, Azaleta bisa memastikan gadis itu sembilan puluh delapan persen mirip dengan foto yang ada di profil picture yang ia lihat semalam. Terlihat gadis itu tengah menelepon seseorang, menunggu.
Mungkin saatnya Azaleta mengecek langsung. Gadis dengan hijab hitam—sengaja ia pilih warna yang benar-benar legam untuk memberikan kesan tertentu saat berbicara dengan lawan—membuka pintu mobil dengan cepat sebelum menutupnya tak kalah gesit.
Azaleta menarik napas, berjalan pelan-pelan ke arah gadis di depan sana. Tas tangan ia remas kuat-kuat. Hak sepatu setinggi tujuh sentimeter terasa memberikan tekanan pada tumit—padahal Azaleta sudah terbiasa dengan hak yang lebih tinggi. Dari jarak yang mulai dekat, Azaleta bisa mendengar suara percakapan gadis itu dengan seseorang.
"Kamu gimana, sih, Say. Kan kamu sendiri yang minta kita ketemuan di taman." Terdengar gadis itu mencak-mencak dengan seseorang di ujung sana.
Azaleta masih mengawasi dari balik batang pohon palem, pura-pura bersandar dan memainkan ponselnya, memasang wajah tak acuh senatural mungkin kalau-kalau gadis di ujung sana curiga dan memergokinya.
"Ahil, jangan bercanda, deh! Kamu ke sini sekarang! Jelasin semuanya atau aku yang bakal datang ke rumah kamu!" Suaranya terdengar kesal dengan kaki mengentak berulang kali. Gadis itu mematikan ponselnya, memasukkan ke dalam tas sebelum duduk kembali.
Azaleta mengembuskan napas, memasang sorot mata setajam mungkin saat keluar dari persembunyiannya. Nama Ahil yang disebutkan perempuan itu cukup membuat Azaleta untuk memberanikan diri mengklarifikasi terlebih dahulu, siapa Ahil yang dimaksud. Kendati demikian, Azaleta tetap memasang ekspresi serius dan kaku yang jarang ia tampilkan pada siapa pun.
Azaleta melangkah pasti, tersenyum saat menghampiri wanita yang tengah duduk di bangku taman itu. Senyum itu tak lekang jua sampai si perempuan yang sedari tadi Azaleta amati itu mengangkat wajah, menatap heran pada Azaleta yang menyodorkan tangan k-anan, mengajak bersalaman.
"Hai." Azaleta tanpa sadar menyeringai. "Salken. Gue Azaleta Naskia." Satu seringai yang berujung pada hal yang tak pernah Azaleta sangka akan ia lakukan dan apa yang akan menimpanya di kemudian hari.
***
Ahil dengan gahar menekan klakson motor sport yang ia tunggangi, tak peduli dengan dengan beberapa pengendara lain yang menggerutu karena ia menekan klakson berulang kali tanpa sabaran.
Ahil berdecih, mengutuk jalanan yang selalu saja macet di saat seperti ini. Padahal ia sudah mengeluarkan motornya, bukannya mobil yang biasa ia kenakan. Tetap saja, ujung-ujungnya ia terjebak macet seperti ini.
Kalau saja ini bukan keadaan yang darurat, Ahil tidak akan repot-repot menuju taman di mana Deshasa menunggunya. Padahal, Ahil merasa ia tidak membuat janji apa pun pada Deshasa. Saat perempuan itu meneleponnya via WhatsApp, Ahil jelas menolak mentah-mentah saat Deshasa mengajak untuk bertemu. Namun, Deshasa terdengar kesal, berkata justru Ahil yang memintanya untuk ke taman saat ia mengirimkan pesan kemarin malam dengan maksud ingin bertemu.
Pesan? Pesan apa? Ahil dengan cepat memeriksa riwayat chat-nya dengan Deshasa. Tidak ada apa-apa. Namun, beberapa screenshot berisi percakapan mereka yang dikirim Deshasa membuat Ahil tertegun.
Benar, terjadi percakapan antara akun WhatsApp mereka, tetapi bukan ia yang melakukannya. Ahil ingat betul ia tidak men-chat Deshasa atau mendapat pesan apa pun dari gadis itu semalam. Ahil teringat sesuatu. Ia ingat meninggalkan ponselnya di sofa ruang tengah Azaleta kemarin malam saat pergi ke kamar mandi.
Ponselnya yang tidak di-lock, chat Deshasa, Azaleta, dan kecerobohannya. Semuanya menjadi satu, membentuk benang merah di kepala Ahil.
Sontak, Ahil terbelalak, menyadari sesuatu akan terjadi di sana. Secepat itu pula Ahil menyambar kunci motor, melewatkan sarapan meski Mariam sudah berteriak, bertanya Ahil mau ke mana terburu-buru begitu. Tidak ada waktu. Dengan cepat Ahil mengeluarkan motornya dari bagasi, mengendarainya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan utama Kompleks Eropa, membuat beberapa tetangga terkejut saat Ahil mempercepat laju motornya. Barulah saat ia tiba di jalanan utama, Ahil sadar ia tidak bisa mengebut begitu saja di traffic yang macet seperti ini. Hal yang membuat Ahil seketika frustrasi.
Ahil dengan gesit melewati celah-celah yang ada. Nekat, pemuda itu mencari jalan tikus yang memungkinkan untuk dilewati. Berhasil. Beberapa belokan lagi, dan ia akan sampai di taman yang dimaksud Deshasa. Ahil tahu benar taman itu. Taman yang berada di kompleks perumahan Azaleta. Sekitar taman biasanya sepi di jam-jam seperti ini. Hal itulah yang membuat Ahil sedikit khawatir. Jika sampai Deshasa dan Azaleta benar-benar bertatap muka seperti yang ia bayangkan, Ahil tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Benar saja. Ahil terbelalak saat memarkirkan motornya di dekat taman, mendapati Azaleta dan Deshasa yang tengah saling menarik dan mencakar satu sama lain. Hanya ada beberapa orang tua lanjut usia yang mencoba melerai.
Segera saja, Ahil berlari, melerai keduanya yang benar-benar sudah dalam kondisi mengenaskan. Azaleta bahkan sampai kehilangan hijabnya, membuat rambut hitam panjangnya terurai begitu saja. Namun, Azaleta sepertinya tak peduli. Napasnya berkejar-kejaran, dengan sorot mata setajam pisau meski ia tidak memberontak saat Ahil menahan tubuhnya agar tidak menyerang Deshasa lagi.
Deshasa lebih parah lagi. Wajah mulusnya benar-benar babak belur, dengan lebam kebiruan di sana-sini. Hidung yang biasa terlihat simetris, kali ini terlihat agak mengenaskan. Di samping kiri dekat mata, ada luka yang mengalir dari lebam yang cukup besar. Sepertinya Azaleta benar-benar tidak mengampuni Deshasa yang kini ditahan oleh lansia yang lebih bugar. Beberapa lansia wanita turut menahan Deshasa agar tidak merangsek maju.
"Lihat kelakuan tunangan lo!" Deshasa berteriak kalap, tak peduli jika suaranya bisa memancing lebih banyak orang menyaksikan drama mereka. "Itu yang lo sebut tunangan? Bar-bar, nggak ada etika, main fisik, tukang ajak ribut. Nggak sesuai dengan dandanan dia yang sok alim. Lihat apa yang udah dia lakuin ke gue, lihat!" Deshasa berseru murka dengan telunjuk teracung ke arah Azaleta.
"Tutup mulut lo!" Azaleta berteriak tak kalah gahar. Gadis itu sempat memberontak sebelum Ahil mengencangkan pelukannya ke tubuh Azaleta.
"Azaleta!" bentak Ahil. "Cukup! Lo nggak malu dilihatin banyak orang, hah?" Ahil membalik tubuh tunangannya itu, menatap tajam gadis di depannya sebelum ia sendiri tertegun lama. Sorot mata Azaleta menyiratkan kesedihan dan kekecewaan mendalam. Ada embun di sana, membuat Ahil ikut terenyuh saat menatapnya. "Leta...," panggil Ahil saat dilihatnya Azaleta memalingkan wajah dengan air mata mulai menetes pelan membasahi pipi.
Azaleta mendorong tubuh Ahil menjauh, menarik napas dalam-dalam. Ia tidak tahu kenapa ia bisa sekacau ini sekarang. Azaleta merasa hancur. Laki-laki asing pertama yang ia percaya dalam hidup, ternyata membohonginya. Azaleta kecewa, dengan amarah memuncak sampai ke ubun-ubun, yang mana saking derasnya amarah itu mengalir, Azaleta hanya bisa menangis untuk meluapkannya.
Gadis itu mengusap air mata yang meleleh di pipi, berjalan menjauh menuju mobil yang ia parkirkan di samping taman.
"Leta! Tunggu!"
Namun, Azaleta tidak berhenti atau menoleh sekali pun. Ia tetap berjalan karena setelahnya suara Ahil tidak terdengar lagi. Barulah saat ia akan membuka pintu mobil, Ahil menahan tangannya, menghalangi pintu mobil dengan tubuhnya. Azaleta memalingkan wajah, tidak ingin bersitatap langsung dengan pemuda di depannya saat ini. Ia kecewa. Takkah Ahil bisa memahami perasaannya sekarang ini? Apakah Ahil tidak sadar dengan apa yang sudah ia lakukan?
"Jelasin selagi lo bisa." Azaleta berucap tanpa menatap Ahil. Gadis itu bahkan menepis tangan Ahil yang mendarat di bahunya. "Lima menit. Gue masih ada taping siang ini." Azaleta mengusap wajahnya dengan telapak tangan, mencoba membersihkan jejak air mata di sana.
Ahil menghela napas panjang. "Lima tahun lalu, gue sama Deshasa pacaran." Pemuda itu memulai ceritanya. "Itu pas kami kuliah. Dua tahun berikutnya kami lulus bareng. Deshasa berangkat ke Wina buat ngelanjutin magister di sana. Setelah itu, kami putus hubungan. Benar-benar putus. Social media, telepon, semuanya. Deshasa nggak pernah aktif lagi di jejaring maya atau ngasih kabar. Gue anggap hubungan itu selesai dengan sendirinya setelah tiga tahun berjalan. Pas kita sudah tunangan, dia balik, ngaku masih jadi pacar gue. Padahal, gue dengar, dia sudah punya pacar di Wina."
"Terus kenapa lo nggak jujur sama gue?" Azaleta menatap nanar pemuda di depannya.
Ahil menghela napas untuk kesekian kalinya. "Karena, gue anggap hubungan kami sudah selesai. Gue cin—"
Azaleta mengangkat telapak tangan kanannya, meminta Ahil untuk tidak meneruskan. "Dari awal, gue selalu tanya, apa lo masih punya hubungan yang belum selesai dengan cewek lain. Gue percaya sama lo. Cowok asing yang pertama kali gue percaya selain almarhum Papi. Gue selalu berharap dapet pasangan yang jujur dari awal, bukannya berdalih cinta atau nggak mau ngelukain perasaan gue. Gue harap itu ada di elo, tapi ternyata gue salah."
Hening. Baik Ahil maupun Azaleta sama-sama tidak bersuara sama sekali. Hanya ada desau angin yang mengisi kekosongan di antara mereka. Ahil mengepalkan telapak tangannya. Di satu sisi, ia tak terima dengan semua yang dikatakan Azaleta.
Namun, di sisi lain, Ahil sadar, jika ia jujur dari awal, mungkin ini tidak akan terjadi. Harusnya ia mengerti apa yang Azaleta mau, bukannya apa yang ia mau. Berdalih menjaga perasaan tunangannya itu ... Azaleta benar-benar menusuknya sampai ke bilik jantung terdalam saat mengatakan hal itu.
Tiba-tiba saja, Azaleta meraih telapak tangan Ahil. Gadis itu tersenyum kecut, meletakkan sesuatu yang berharga bagi mereka berdua di telapak tangan Ahil. Cincin pertunangan mereka.
Ahil mengangkat wajah, setengah tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Azaleta.
Namun, ini sudah menjadi pilihan Azaleta. Mungkin benar, semua yang terjadi memiliki hikmah tersendiri, termasuk pertunangan mereka sebelum acara pernikahan dua bulan lagi. Mungkin Tuhan mengerti apa yang Azaleta rasakan. Ia hanya meminta satu: pasangan yang jujur, bukannya menyembunyikan sesuatu dengan dalih menjaga perasaan belaka. Hal yang justru bisa berbuntut pada rasa sakit hati yang lebih mendalam.
"Ahil." Azaleta tersenyum. "Gue rasa, hubungan kita sudah cukup sampai sini."
Tidak ada lagi air mata yang menetes. Tidak ada.
A/N
Of course, aku pun juga merasa cerita ini too much drama dan hal yang kurang masuk akal HAHAHA. Terlebih lagi chapter ini. Tapi, aku nggak bosan-bosan buat bilang kalau ini adalah draf pertama. Draf kasar yang masih belum sempurna. Akan direvisi setelah tamat nanti, ya.
Mohon pengertiannya, ya. Ehehe. Thank u buat yang udah ikutin cerita ini sampai sini. Mulai chapter selanjutnya, kita bakal mulai babak baru. Apaan, ya?
See u soon
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top