Azaleta 11 - Kedatangan

Minggu, Azaleta menyentuh pelan kalender yang tergantung di dinding kamar. Ini harinya, gadis itu menarik napas dalam-dalam, mencoba santai. Dengan cepat Azaleta berganti pakaian, keluar dari kamar setelah menutup pintu. Untuk sesaat Azaleta ragu. Kira-kira bagaimana reaksi Mami saat ia memberitahu kalau Ahil dan keluarga akan datang ke sini?

Gadis dengan hijab merah menyala itu berhenti di ambang pintu dapur, memerhatikan Mami dan Ijah yang tengah menyiapkan sarapan. "Mami," panggil Azaleta.

Mami menoleh sebelum kembali fokus dengan nasi goreng di wajah. "Ya?"

"Anu ...  Leta mau bicara."

"Ngomong aja." Mami bahkan tak mau repot-repot melirik putri semata wayangnya itu, hal yang membuat Azaleta agak cemas. "Kenapa? Ada masalah sama pekerjaanmu? Atau kamu mau keluar bareng cowokmu itu?"

"Ha?" Azaleta tersentak. Cowok? Apa pula yang dipikirkan Mami pagi-pagi buta begini? Azaleta memberengut. Baru jam setengah enam dan Mami sudah mengibarkan bendera perang di antara mereka. "Ahil?" tanya Azaleta agak ragu.

"Ragiel," koreksi Mami. "Kapan sih kamu serius sama Ahil? Nggak ada, tuh."

Azaleta menghela napas panjang, mencoba maklum. Gadis itu menarik salah satu kursi di dekatnya, mengambil posisi duduk dengan setengah hati. Harusnya ia sudah mengerti dengan sifat Mami yang blakblakan padanya. Namun, entah kenapa, pagi ini terasa sekali aroma sinis dari wanita yang menjadi sandaran hidupnya itu.

"Ahil mau datang hari ini." Azaleta mulai menyusun kata dengan perlahan-lahan. "Katanya sekalian sama Tante Mariam dan Om Yusuf."

Gerakan Mami mengaduk nasi goreng terhenti. Mami menoleh, memerhatikan Azaleta lekat-lekat. Bahkan untuk urusan nasi goreng sudah diserahkan pada Ijah. Mami menarik kursi di depan Azaleta, mulai serius. "Kamu ada bikin salah pas acara nikahan sepupu Ahil?"

Azaleta menggeleng pasti sebelum kemudian ia menunduk pelan, memilin ujung baju yang dikenakan. "Ahil bilang, dia mau bicara soal khitbah lebih lanjut." Suara itu nyaris pelan saking malunya Azaleta.

Deru napas Azaleta perlahan melaju, dengan telunjuk saling memilin satu sama lain. Bisa dirasakannya degup jantungnya tak beraturan, menandakan ia benar-benar berada pada fase adrenalin meningkat saat ini. Terlebih, saat Azaleta merasakan Mami menyentuh dagunya, memberi tekanan untuk mengangkat wajah. Mau-tak mau Azaleta mendongak, mendapati Mami yang menatapnya lekat-lekat.

"Kapan Ahil lamar kamu?" Hal pertama yang keluar dari mulut Mami setelah keheningan menyergap di antara mereka. Bahkan, Ijah sempat menghentikan aktivitas menyiapkan sarapan sebelum kembali pada kesibukannya sendiri. "Kenapa kamu nggak pernah kasih tau Mami?"

Azaleta menggeleng. "Leta lupa terus mau ngasih tau Mami. Leta sendiri baru ingat soal khitbah itu waktu Tante Mariam sama Ahil ke sini pas minta tolong bantu-bantu acara mereka."

Hening.

Azaleta menenggak ludah, melanjutkan, "Lagian, Leta nggak mau Mami kepikiran gara-gara itu karena Ahil sendiri nggak ngomong apa-apa abis pulang dari jalan-jalan waktu itu. Seolah nggak terjadi apa-apa."

Baru saja Azaleta ingin membuka mulut lagi, Mami langsung meletakkan jemari telunjuknya ke bibir putri semata wayangnya itu. Tatapan Mami melembut, dengan senyum tulus terpatri di wajah. "Oke, kamu cerita lagi nanti. Sekarang mending kamu siap-siap. Jam berapa mereka mau datang?"

"Setengah dua."

Mami melirik jam dinding yang tergantung di dinding. "Masih jam enam. Ma-sih ada tujuh jam setengah. Kamu siap-siap, deh, sana."

Azaleta mengangguk, mengerti dengan maksud Mami. Memasak, Azaleta mulai menyiapkan segala jenis hidangan yang ia bisa. Sup tom yam, ayam masak lengkuas, nasi kuning, sampai cheese cake yang jarang sekali ia buat saking ribetnya hidangan satu itu. Di sisi lain, Mami dengan gaya khasnya memanggil Ijah untuk merapikan rumah: mengganti gorden yang dirasa sudah usang, menambahkan lebih banyak pewangi saat mengepel lantai, sampai membawa masuk majalah yang ada di bawah meja ruang tamu.

"Kamu ganti baju dulu, gih." Mami menepuk bahu Azaleta yang tengah mengecek keadaan cheese cake. "Udah mau zuhur. Sekalian salat dulu. Mandi terus ganti baju. Udah tau kan mau pakai yang mana?"

Azaleta mengangguk. "Iya, sudah. Ada di kamar. Leta keluarin dulu cheese cake-nya, baru siap-siap."

Dengan gesit gadis berparas ayu itu menata cheese cake yang sudah matang sempurna bersama hidangan lainnya. Waktunya bersiap-siap, Azaleta melirik jam. Sudah setengah satu. Satu jam lagi. Ada beberapa yang belum siap, tapi Ijah tentu bisa menanganinya. Azaleta berjalan santai menuju kamar, mendapati ponselnya bergetar sekali saat ia melepas pakaian.

Ragiel.

"Mau hang out bareng? Arka ngajak hunting foto. Katanya nemu spot bagus. Katanya lagi nggak afdol kalau nggak ngajak lo."

__________

Pintu diketuk tepat saat jarum menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh lima menit. Azaleta menahan Ijah yang ingin membukakan pintu. Biar gue aja, Azaleta bangkit dari sofa, mengembuskan napas perlahan. Ujung jubah yang melekat manis di belakang gamis putihnya ikut berkibar saat Azaleta tergesa membukakan pintu, menampilkan sosok Tante Mariam dan Om Yusuf yang tersenyum padanya.

"Silakan, Tante, Om." Azaleta membukakan pintu lebih lebar. Gadis dengan hijab putih bersih bertahta manik di sekujurnya itu balas memeluk Tante Mariam dan menangkupkan telapak tangan di depan dada pada Om Yusuf.

Azaleta celangak-celinguk, tidak mendapati keberadaan Ahil. Hal yang langsung disadari Tante Mariam. Dengan santai, Tante Mariam memegang kedua belah pundak Azaleta dari belakang, mengusapnya perlahan. "Ahil bakal nyusul sebentar lagi. Katanya mau beli sesuatu buat Azaleta."

Azaleta tersipu, salah tingkah karena Tante Mariam menyadari gerak-geriknya. Benar saja. Tak berapa lama kemudian, suara motor berhenti terdengar tepat di depan rumah Azaleta. Gadis itu berdiri, bermaksud menyambut kehadiran Ahil.

Entah karena apa, mungkin karena ia terlalu tergesa, Azaleta menubruk tubuh bagian depan Ahil ketika pemuda itu mengucapkan salam, ingin masuk. Limbung, Azaleta refleks menarik kemeja bagian depan Ahil. Sama gesit-nya dengan Azaleta, Ahil menahan punggung Azaleta dengan tangan kiri. Hal yang sukses membuat wajah keduanya hanya berjarak beberapa senti, dengan Azaleta bisa menghidu aroma maskulin alami yang menguar ceruk leher Ahil.

Azaleta tersadar, segera mundur beberapa langkah. Gadis dengan kulit seputih salju itu menunduk, malu setengah mati. "Sorry."

Bukan hanya Azaleta, Ahil pun merasakan hal yang sama. Pemuda dengan kemeja hitam itu mengusap leher bagian belakangnya, canggung. "It's okay." Ahil menyodorkan paper bag berwarna merah muda kalem pada Azaleta. "Buat lo."

Azaleta menerima paper bag pemberian Ahil dengan perasaan malu masih di ubun-ubun. "Thanks!"

"Nak." Tante Mariam yang sudah duduk di sofa mengulum senyum, mena-han tawa melihat kelakuan putranya. "Harusnya kamu kasih pas mau pulang. Ah, kamu mah." Tante Mariam terkekeh, membetulkan posisi kacamatanya yang melorot.

"Mariam." Mami tersenyum, menggeleng ringan. "Jangan goda Ahil seperti itu. Ahil, silakan duduk, Nak. Azaleta, kamu juga sini. Ijah tolong bawakan kudapannya kemari."

Tante Mariam tertawa kecil. "Bagaimana kabarmu, Khalefa? Aku dengar usaha kateringmu terus berkembang sampai memiliki cabang di beberapa kota. Luar biasa! Kamu memang hebat dalam bisnis katering."

"Nggak sehebat kamu pastinya." Mami terkekeh, mengibaskan tangan. "Butik yang sangat sukses, bahkan sampai mancanegara.

"Ah, kita sama-sama berkembang di jalan masing-masing." Tante Mariam tersenyum. Raut wajahnya berubah menjadi serius saat Ijah sudah berlalu usai menyuguhkan kudapan. Ahil di sampingnya sama sekali tak bersuara, seolah ikut menunggu. "Mohon maaf kalau kedatangan kami terasa tiba-tiba. Azaleta mungkin sudah memberitahu, tapi kami rasa tidak ada salahnya mengatakan maksud kami ke sini."

Hening. Semua tampak serius kali ini. Tidak ada basa-basi. Azaleta melirik Ahil yang duduk di ujung sana, yang mana ternyata pemuda itu melakukan hal serupa. Azaleta menunduk, memilin jemari telunjuknya dengan pelan. Sementara itu, Ahil mengusap tengkuk belakangnya dengan canggung, untuk pertama kalinya merasakan kesejukan sekaligus wajah memanas saat mendapati Azaleta membalas tatapannya.

Kali ini, Om Yusuf berdeham, angkat suara sebagai perwakilan keluarga Ahil, "Kedatangan kami bermasud untuk melamar Azaleta untuk putra kami, Ahil Dharmawan."

Azaleta mendongak, mendapati Ahil menatapnya lekat-lekat. Untuk pertama kalinya, Azaleta bisa melihat dengan jelas pemuda itu tersenyum. Bukan senyum tipis atau seringai dingin seperti biasa. Senyum yang indah, terpatri manis di sana, menimbulkan sentuhan lembut di hati Azaleta.

A/N:

Akhir-akhir ini aku kayaknya gantung mulu, yak. Wakakakak. Yha begitulah. Aku usahakan setiap chapternya ideal (under 1500 kata), tapi tetap memenuhi esensi cerita. Mohon bantuannyaaaa....

Dan, yeah, aku nggak bisa nulis scene lamarannya dengan detail karena tahu apa anak usia 17 tahun soal begini wakakaka. Aku cuma pernah beberapa kali liat acara khitbah sepupu dan aku juga nggak sempat riset. So, yeah, mari kita skip skip (dibuang).

Bye bye. See u di chapter selanjutnya (balik ngesot nulis draf Prince).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top