Azaleta 1 - Gosong!?

"Lo bakalan ikut, kan?"

"Insya Allah." Azaleta mengangkat jempol, tersenyum. "Gue nanti ikut, kok. Sekalian bantu Mami masak-masak buat konsumsi."

"Oke, buat urusan makanan, kayaknya nggak ada masalah." Deka mengangguk senang. Azaleta dan Maminya memang tak perlu diragukan soal racik-meracik masakan. Keluarga yang tinggal hanya berselang dua blok dari rumahnya itu hampir setiap tahun tak pernah absen ikut andil meramaikan kegiatan malam Maulid Nabi.

"Penceramahnya siapa, Dek?" Azaleta bertanya antusias. Tangannya terjulur, menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada Deka.

"Nggak tau. Kayaknya, sih, orang sini aja."

"Yah. Nggak inovatif lu, ah. Masa tiap tahun penceramahnya itu-itu aja?"

"Bisa aja sih ngundang penceramah terkenal. Mau nggak?" Deka memiringkan kepalanya, membuat Azaleta memekik girang. Tak menyangka gurauan nyeleneh-nya diterima Deka.

Gadis manis itu seketika bertingkah seakan pemuda di hadapannya adalah penyiar radio yang bisa disapa dengan, "hallo? Dengan Azaleta di sini. Bisa request lagu Someone Like You? Kalau bisa lebih disayat-sayat lagi lagunya."

Siap! Orang-orang akan menyangka ia perempuan yang ditinggal kekasih demi wanita lain yang lebih menggoda. Dan, oh, sejak kapan lagu bisa disayat-sayat? Mungkin ini akibatnya jika perempuan single seperti Azaleta terlalu sibuk dengan bawang dan cabai daripada menghadiri arisan ibu-ibu.

"Idih. Ogah gue!" Azaleta memasang wajah masam sekaligus -sok- sebal. "Nambah dosa, tau. Ibu-ibu mah kerjaannya ngegosip doang. Mending gue ngulek bawang buat sambel. Enak lagi. Biar pedes bikin ketagihan."

"Loh, gosip bukannya pedes bikin ketagihan juga, ya?" Deka bertingkah sok polos. Bibirnya terkatup, menahan tawa.

"Iya, emang. Cuma bahannya nauzubillah." Azaleta menjawab spontan. Deka tertawa geli. "Btw, beneran mau ngundang penceramah terkenal? Gue request Ustazah Oki. Kalau nggak, Mamah Dedeh aja. Biar cowok yang kebelet poligami pada tobat. Eh, Ustaz Syam juga oke. Cakep, ih. Boleh, ya, Dek?" Azaleta terkekeh. Err ... sebenarnya bisa dibilang tertawa jahat. Apalagi saat menekankan kata 'poligami', matanya tertuju ke arah Deka.

Anjir! Deka membatin. Emang gue pernah poligami? Atau tampang gue kayak cewek? Sableng nih akhwat.

"Nggak sih. Muka lo tuh unyu. Putih-putih pucet gitu."

Deka ternganga. "Lo tuh seolah-olah nanya ama gue gini, "Dek, muka lo pucet. Berapa hari lagi kata dokter?""

"Laaah, beneran, Dek? Apa vonis dokter? Masya Allah, gue nggak nyangka kalo lo bakalan death secepat ini. Semoga lo nggak macet pas jawab pertanyaan malaikat di kubur, ya." Azaleta mendongak, seolah-olah meminta Sang Maha Kuasa memberikan ketenangan bagi Deka.

Ini sih namanya berlebihan, woy! Azaleta sableng!

"Lo tuh, ya!" Deka mengepalkan tangan. Emosi. "Lo mau doain gue cepet mati?"

"Eh, nggak kok." Azaleta berlagak polos. "Salah, ya?"

"Kapan gue bilang gue mau mati?"

"Yaelah, Dek. Semua manusia juga bakalan mati ntar. Kecuali elo emang saingan ama Tuhan," ujar Azaleta santai. "Eh, gimana? Jadi, kan, ngundang penceramah terkenal?"

"Iya, tapi konsumsinya air ama roti doang. Mau?"

"Kok kedengerannya agak miris gimana gitu, ya?"

Deka terbahak. Tawa jahat sekaligus bahagia pertama hari ini.

Azaleta cemberut. "Jahat lo!"

"Denger, ya. Sama aja kali, mau ngundang penceramah terkenal kek, lokal kek. Sama-sama dapat ilmu juga, Let." Deka menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Lagian, mending duitnya buat makan orang banyak. See? Orang kenyang, kita dapat pahala. Nggak sia-sia ngejamu hadirin sampai kenyang. Kan kita juga ikut bahagia liatnya. Lo pasti paham maksud gue."

"Iya, Ustaz Deka. Mending elo aja deh yang ngisi ceramahnya. Adem gue dengernya." Azaleta tersenyum jail.

"Yang ada pada bubar pas gue ngucap salam." Deka tertawa geli. "Muka lo pucet, Let. Berapa hari lagi kata dokter?" Deka jail bertanya sebelum lari terbirit-birit usai menyerukan salam.

"DEKAAA!"

----------o0o----------

Azaleta dengan cekatan menata kue yang semula berada di dalam box berukuran 60 x 120 sentimeter di dekat kakinya ke tampah berlapis daun pisang. Asap yang masih mengepul dari beberapa jenis kue yang digoreng, membuat Azaleta lebih berhati-hati agar tidak merusak konsep tatanan yang direncanakannya.

Seribu kue bukan jumlah yang sedikit. Pinggang Azaleta pegal, itu pun sudah dibantu oleh beberapa akhwat sebaya dengannya. Azaleta sudah mewanti-wanti agar menjaga berbagai kue basah tersebut dari tangan-tangan jail. Beberapa mengangguk patuh, setelah Azaleta memperingatkan agar tidak ada yang mencomot terlebih dahulu sebelum dihidangkan.

"Kalau anak kecil yang minta gimana, Teh?" Rani, muslimah dengan hijab hijau toska yang berdiri di sampingnya bertanya.

Azaleta menggeleng, tetap pada pendiriannya. "Jangan, Ran!"

"Loh? Kenapa, Teh? Kasian aku liatnya. Kadang sampai ada yang bilang kita pelit." Rani mengernyitkan dahi. Matanya mendelik, melihat ibu-ibu yang duduk tak jauh dari mereka menatap sinis. "Rani gak enak emak-emak pada marah sama kita."

"Udah, jangan banyak bicara. Turuti aja." Azaleta berdecak kesal.

Rani ciut, cepat-cepat membereskan tumpukan kue yang masih mengantre untuk disusun di atas tampah.

"Wah ... enak nih!" Deka datang dari aula masjid, empat puluh meter dari rumah Rani, di mana muslimah itu menyediakan tempat tinggalnya sebagai pusat kegiatan mengurus tetek bengek soal konsumsi. Azaleta mendelik, saat tangan kokoh Deka hendak mencomot donat dari tampah Azaleta.

PLAK!

Tangan Azaleta menampar tangan Deka kasar. Suara tertahan terdengar keras. Pemuda itu meringis.

"Let, tega bener lo, ah. Masa kue satu nggak boleh minta?" Deka mengusap punggung tangannya.

"Lo mau ngasih contoh nggak bener, ya? Gue geplak baru tau!" Azaleta berkacak pinggang.

Deka mencelus saat gadis itu menyerahkan box besar berisi berbagai kue dengan berat hampir satu kilo ke tangannya. "Eh? Let, kok...."

"Lo tata tuh kue. Gue mau urus masalah daging. Oke?" ucap Azaleta seraya menepuk-nepuk pipi Deka pelan, menyeringai jail.

"Kok gue? Gue kan mau-"

"Ran, Deka ganti posisi Teteh tuh." Azaleta berseru, setengah berlari ke tenda sebelah, di mana uap aroma rendang dan nasi kuning menguar lezat. Rani menoleh sekilas, lantas mengedikkan bahu meski wajah Deka tampak memelas.

'Duh, kok nasib gue apes banget, sih?' Deka mengembuskan napas, membatin pasrah.

"Ran, gue cabut duluan." Deka berlari cepat, menerobos lari kanak-kanak yang melanglang buana usai menelantarkan box di tangannya ke tanah.

Rani ternganga, cengo. "Eh, katanya mau gantiin posisi Teh Leta?" Rani protes.

Percuma! Deka sudah jauh tertelan rombongan jemaah yang baru saja datang. Rani mencelus, menatap tumpukan kue yang tersisa. "Duh, ini kue sisa tiga ratus gimana ceritanya?"

---------o0o----------

Azaleta Naskia mendengus, mengenyahkan suara Nadine yang mesem-mesem di sebelahnya. Fokus! Tetap mengaduk rendang agar gumpalan daging itu tidak pecah saat dimasak. Sepuluh menit lagi daging rendang sebanyak sepuluh kilo di hadapannya siap untuk dihidangkan.

"Duh. Itu suara ustaznya? Menggetarkan, ih." Nadine terkekeh.

Tak ayal, Azaleta ikut tertawa. "Siapa pencermahnya, Nad?"

"Nggak tau, Let. Kayaknya sih orang sini aja." Nadine bersiap dengan piring yang sudah bersih, mulai mengisi tumpukan piring di dekatnya dengan nasi kuning. Cekatan meski Azaleta mengajaknya berbicara.

"Yaelah." Azaleta memutar bola mata jemu. "Gue pikir tau. Sok-sokan bilang suara ustaznya menggetarkan."

Nadine cengengesan. Gadis itu mengangkat dua jari, membentuk tanda damai. "Bercanda. Eh, nggak, deng. Serius! Suaranya empuk-empuk gitu, aih." Nadine hanya tertawa saat Azaleta menjitaknya pelan meski ikut terkikik juga.

"Semua udah siap, kan?" Deka tiba-tiba datang, tepat saat MC meminta hadirin turut memanjatkan doa.

Nadine mengacungkan jempol. "Yoi, Man. Slow aja. Penceramahnya nggak bakalan kabur kayak kemarin, kan?" Nadine menahan tawa. Teringat peristiwa setahun silam saat Deka menjadi penceramah darurat dengan amat terpaksa. Deka lari terbirit-birit usai acara, pulang dan segera menuju toilet tanpa bisa ditahan.

"Apanya?" Azaleta antusias bertanya.

"Oh, itu. Deka pernah-"

"Nad!" Deka menyentak dengan wajah merah, malu.

Nadine tertawa.

"Ih, apaan nih main rahasiaan? Bilang nggak? Gue ceburin lo ke kawah ntar."

"Eh, gue stop uang jajan lo kalau sampe ngomong." Deka melotot.

Nadine mencibir, memeletkan lidah. "Yeee, di mana-mana orang juga perlu ngomong kali. Ada-ada aja lo, Dek." Nadine tertawa, lantas menepuk-nepuk bahu Azaleta, menyeringai. "Tenang, ntar gue kasih tau."

Azaleta tertawa geli.

Deka mendengkus. Dasar Nadine pengkhianat!

"Nad, elo-" Deka murka. Sebelum sebuah sendal melayang tepat di atas kepala Nadine, sebuah suara menghentikan semua aksi tersebut dengan cantik.

"Deka."

OMG! Azaleta dan Nadine bersitatap, menatap pemuda dengan gamis putih bersih berdiri tepat di depan keduanya. Ganteng, pikir mereka berdua tanpa sadar. Azaleta gugup saat pemuda tersebut menatapnya.

"Hei, rendangnya...." Pemuda itu menjentikkan jari di depan wajah Azaleta, memberi isyarat ke arah kawah yang terbengkalai dengan api masih menyala.

Orang pertama yang sadar di antara mereka adalah Nadine. Dengan cepat, Nadine menoleh ke dalam kawah, menjerit tertahan.

"Let, rendangnya gosong!"

Azaleta terkesiap, baru sadar.

"ASTAGHFIRULLAH! GOSOOOONG!"

-------

[Bersambung]

[Cerita ini diikutsertakan dalam ajang #GrasindoStoryInc]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top