[2] Malaikat Kecil💕
بسم الله الر حمن الر حيم
“
Aku mengatakan pada
hatiku yang sempat robek
bahwa Allah akan kembali
menjahit robekan tersebut
dengan takdir yang manis
”
📖
HEMBUSAN angin bagaikan penyejuk qalbu yang sempat terasa panas. Sesungguhnya Allah tengah menenangkan hati yang sempat meronta itu dengan angin malam yang tenang. Entah misteri apa dibalik langit malam, namun langit itu selalu membuat jiwa Zahra setenang air lautan lepas. Setiap kali menatap langit malam, selalu saja hatinya menghangat karena bahagia. Teka-teki keindahan malam tak bisa Zahra jawab. Apa sebenarnya rahasia malam hingga bisa menyita juta pasang mata untuk menatapnya?
Senyum kecil itu kini tercetak di wajah cantik Zahra. Langit malam menyimpan banyak kenangan baginya. Menyimpan banyak kemanisan maupun kepahitan, namun Zahra selalu mengenangnya sebagai pelengkap hidupnya kini. Kenangan masa lalu dibawah langit malam kembali terngiang di benak Zahra menbuat genangan kecil di pelupuk mata wanita muda itu.
Dari dirinya kecil hingga ia akan menjadi surga bagi anaknya kini, Zahra masih mencintai langit malam. Tawanya dan orang tuanya masih bisa terdengar jelas di telinga, membuat rindu kembali menumpuk. Senyumannya dan dia kembali tercetak jelas di benak Zahra. Dia, dia yang Zahra kejar namun tak pernah bisa diraih. Dia yang Zahra tunggu, namun tak datang. Dia yang Zahra cintai, namun tak membalas.
Genangan air mata itu akhirnya memaksa keluar dari perbatasannya. Lagi dan lagi langit malam menjadi saksi seorang wanita merindukan masa lalu. Gugusan bintang-bintang menjadi teman bisu yang menyaksikan air mata itu kembali mengalir. Entah untuk ke berapa kali Allah mendengar isakan tangis Zahra. Entah untuk keberapa kalinya Allah merasakan sakit yang hati Zahra rasakan. Entah untuk keberapa kali dan untuk berapa kali lagi Zahra seperti ini, merindukan masa lalunya yang ingin ia benahi namun terlalu mustahil.
Zahra tatap cincin indah yang melingkar di jari manisnya. Rasanya sakit dan bahagia melihat benda kecil itu. Ada rasa bahagia saat Alif akan memberi Zahra cincin itu, namun Zahra tak bisa mengelak jika ia merasakan sakit saat lelaki itu hancur karenanya di hari Zahra melakukan hal bodoh itu. Mungkinkah dapat dikatakan hal bodoh? Saat Alif akan bersikap manis pada Zahra, justru Zahralah yang menjauh. Jahatkah Zahra? Ya, mungkin bisa dikatakan seperti itu, namun ketahuilah Zahra tak punya pilihan lain.
Bagaimana jika Silvi ditangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan? Di tempat kejadian ada Zahra dan Zahra tau betul yang salah adalah Silvi. Namun, hati Zahra terlalu tidak siap untuk menerima kebencian Ayahnya yang lebih besar lagi. Hatinya terlalu takut jika Dito menjauhinya karena Alif melaporkan Silvi. Zahra terlalu takut.
Mungkinlah Allah memberinya jalan untuk menjauh dari Alif dan Azira. Mungkinlah Allah ingin Zahra keluar dari takdir itu dan membingkai takdir sendiri.
"Maaf, Mas Alif.." suara Zahra begitu bergetar dan menyayat jiwa. Zahra mungkin terlalu buruk untuk Alif dan terlalu jahat untuk tetap membiarkan Azira menbagi suami dengannya.
Zahra menahan tangisnya saat tangan kanannya mengusap permukaan perutnya yang datar. Hatinya sakit saat mengingat malaikat kecil tengah berkembang di dalam rahimnya tanpa ada kehadiran seorang ayah.
"Nak, maafin Uma karena menjauhkan kamu dari Abi" kini Zahra tak bisa lagi membendung air mata yang ia coba tahan. Ia terlalu sakit mengingat anaknya menjadi korban atas keegoisan Zahra. Sungguh, Zahra hanya tidak ingin kehadirannya dan kehadiran anaknya mengusik kehidupan Alif dan Azira.
"Maafin Uma, Sayang. Maafin Uma udah membuat kamu tersiksa dengan penyakit Uma" sangat sakit rasanya saat Zahra mulai yakin jika sebuah penyakit tengah bersarang di tubuhnya. Ia hanya tidak ingin malaikat kecilnya merasakan sakitnya penyakit ini, tapi tak ada pilihan lain.
I
ni sudah ketetapan Tuhannya yang tak bisa dibantah. Yang Zahra harapkan adalah satu. Anaknya selamat walaupun ia harus berkorban nyawa. Tak apa jika itu demi anaknya.
Zahra meninggalkan semuanya. Ia meninggalkan buku lamanya dan mencoba menulis dengan buku yang baru, namun urung karena buku yang lama itu masih menguasai benak Zahra. Jujur, Zahra lelah dengan takdir yang bagaikan bumerang baginya. Ia yang menbuat takdir itu, tapi dialah yang juga harus menderita. Namun, semua mulai sirna dengan kehadiran cahaya kecil yang kini mendiami perut Zahra. Kehadirannya bagaikan cahaya di tengah kegelapan hati Zahra. Kehadirannya bagaikan kompas bagi Zahra yang tersesat di lautan lepas. Zahra yakin di setiap cobaan yang ia dapat, akan ada sebuah jawaban atas segala kesabaran. Tak ada yang sia-sia saat melakukan kebaikan, lalu untuk apa merasa risau dengan hasil kebaikan itu?
Anaknya yang kini tengah dikandung adalah air hujan yang membasahi hati Zahra yang sempat segersang Padang Sahara. Di saat semuanya meninggalkan dan ditinggalkan Zahra, malaikat kecil ini datang dan menginap di rahim Zahra selama 9 bulan. Apapun yang Zahra rasakan, anaknya ini juga akan merasakannya. Belahan jiwa Zahra yang sebenarnya telah hadir dengan segala kebahagiaan yang akan datang. Jika anaknya akan merasakan perasaan Zahra, Zahra akan mengusahakan kebahagiaan demi dirinya terutama bagi anaknya. Jika Zahra bersedih, jangan pernah anaknya pun ikut bersedih.
Zahra menyeka air mata yang telah mninggalkan jejak di pipinya. Senyuman manis mulai terbit dengan begitu indahnya di wajah Zahra.
"Sayang, kita akan melakukan segalanya sama-sama mulai sekarang. Uma bahagia, kamu pun akan bahagia. Tapi, saat Uma sedih, tolong jangan pernah merasakannya juga. Kita akan hidup sama-sama. Kamu belahan jiwa Uma dan Uma belahan jiwa kamu" Zahra menatap intens perutnya yang masih datar dengan tangan masih mengusap lembut perutnya.
Zahra menatap jari manisnya yang dilingkari cincin yang begitu pas di jarinya. Senyuman manis itu berubah menjadi seulas senyuman tipis. Lagi-lagi saat ia melihat benda itu, rasanya dada Zahra sakit, sakit sekali. Masa lalu seakan selalu mengejarnya. Zahra menyimpan cincin itu. Bukan untuk dirinya, tapi untuk anaknya kelak agar anaknya tak mencap Abinya jahat dengan menelantarkannya dan Zahra. Zahra kelak akan mengatakan "Nak, Abimu peduli sama kita, cuma Uma yang memutuskan pergi karena satu alasan yang nggak mungkin Uma jelasin".
Malaikat kecilnya tak boleh merasakan pahitnya takdir yang Zahra rajut. Ia akan memulai semua kebahagiaannya disini. Di kota ini tanpa ada kepahitan yang ia ciptakan atas kehadirannya.
Perlahan Zahra membacakan surah Ar Rahman dengan begitu merdunya dibawah langit malam. Angin malam mendukung kesyahduan malam yang begitu sejuk dengan Kalamullah yang dibaca begitu apik nan indah.
Nak, kita bersama Allah. Jangan khawatir. Uma akan tetap sama kamu dan kamu akan tetap sama Uma...
💕
Bibir bagian bawahnya digigit pelan sedari tadi. Keringat dingin telah membasahi pelipisnya. Rasanya jiwa tidak tenang. Gelisah. Satu kata yang menggambarkan suasana hatinya. Ada apa dengannya? Apa yang terjadi padanya? Rasa bersalahnya begitu besar mengingat kebodohannya yang dilakukan pada Zahra. Ia adalah laki-laki kurang ajar yang dengan beraninya memakaikan cincin di jari manis Zahra. Itu hanya kespontanan, tapi apakah Zahra akan mengerti?
Selama Atha hidup 26 tahun, ia tak pernah melakukan hal itu pada siapapun karena saat akal sehatnya masih berfungsi 100%, tapi mengapa saat bersama Zahra ia mendadak salah tingkah? Selama Atha hidup dalam dunia dewasa, ia tak pernah merasakan jantungnya yang berdebar karena seorang wanita yang baru kali ini ia temui. Ada apa? Mengapa Atha begitu tertarik dengan wanita yang jelas-jelas tak pernah dikenal sebelumnya? Ah, mungkin hanya kebetulan saja, tapi kata orang tak ada yang kebetulan di dunia ini karena semua telah diatur oleh takdir.
Ingin rasanya Atha membenturkan kepalanya ke jendela di hadapannya. Mengapa ia bisa selancang itu? Apa alasannya?
Senyuman kecil mulai terbentuk di wajah Atha. Mengapa Zahra berbeda? Zahra tidak pencitraan di depan Atha. Zahra apa adanya dan Atha suka sifat apa adanya. Dan yang paling istimewa untuk Atha adalah Zahra tidak luluh dengan senyumannya. Zahra pandai membuat Atha malu sendiri. Setiap pasien wanita yang Atha tangani selalu terkesan kecentilan. Atha pikir wajar hal itu terjadi di negara Barat.
"Padahal gue ganteng" Atha berguman dengan penuh percaya diri. Entah turunan dari mana ia percaya diri jika ia memang tampan walau wajahnya memang tak menampik pendapatnya sendiri.
Atha menggelengkan kepalanya kecil agar perlahan pikiran tentang Zahra pun pergi seiring berjalannya waktu. Ada dengan Atha? Mengapa ia merasa seperti ini? Salah tingkah, gugup, dan tentunya tersenyum sendiri. Ah, sudahlah. Atha tidak ingin mengingat Zahra.
Pemandangan kota Paris di malam hari sedikit demi sedikit membuat ingatan Atha tentang Zahra perlahan mulai terkikis, namun nyatanya hal itu sia-sia. Atha belum meminta maaf pada gadis itu. Gadis itu pasti marah padanya.
"Bodoh!" Atha merutuki dirinya sendiri atas kelalaiannya.
"Abang!!"
Atha langsung berbalik saat sebuah suara memenuhi penjuru ruangannya. Atha menghembuskan napasnya berat. Ia usap dadanya yang terasa sesam saat melihat adik semata wayangnya berjalan mesra bersama seorang wanita berambut coklat dengan pakaian minim.
"Thala, Abang kan udah bilang kalo lo jangan pernah bermesraan dengan wanita yang bukan mahram lo. Harus berapa kali sih gue ingetin lo? Lo disini kuliah bukan buat nyari cewek minim budget kayak gini" Atha berjalan cepat ke arah adiknya yang saling merangkul dengan perempuan bule itu dengab mesra.
"Minim budget gimana? Orang dia anaknya pemilik klub malam terbesar disini, ya pasti kaya lah" Atthala mencolek dagu gadis itu yang diyakinu tidak mengerti dengan Bahasa Indonesia yang Atha dan Atthala pakai.
"Astagfirullahal 'adzim. Harus sampe kapan gue nutupin ini semua dari Mami sama Papi? Gue bisa aja nutupin dari mereka, tapi nggak sama Allah. Lo lebih takut dibilang nggak gaul daripada takut sama siksa Allah? Pokoknya lo jangan pulang malam ini ke rumah!" Atha sudah sangat pusing dengan urusan pekerjaan, tapi adiknya malah berbuat maksiat seperti ini. Atha tau jika ia bukanlah orang suci. Dosa masih menyelimuti tubuhnya, tapi ia ingin memperbaiki diri bersama adiknya.
"Ih, lo aja yang nggak gaul. Banyak kok yang mau sama lo, cuma lo aja yang bodoh" ucap Atthala dengan santainya.
"Bodoh?" Atha membeo.
"Bodoh kata lo? Lebih bodoh mana sama orang yang udah dibilangin berulang kali, tapi tetep santai seakan semua gak akan dimintai pertanggung jawaban?" ucap Atha penuh penekanan.
"Bang, kita di Paris bukan di negara Timur" entah apa yang membuat Atthala begitu santai. Setiap malam, ia senang berganti-ganti wanita seakan semua wanita adalah mainan.
"Astagfirullah, Thala. Otak lo dimana sih? Lo mau dengerin gue kapan? Sampe mulut gue berbusa gitu? Lo harusnya mikir kalo Abang lo ini udah greget sama sikap lo yang kayak gini. Kita emang tinggal disini, but Islam is number one for muslim's" Atha mencoba mengatur emosinya yang sempat memuncak. Atha langitkan asma Allah agar pikiran ya selalu mengingat-Nya.
"Udahlah, lo jangan ikut campur urusan gue, bisa kan? Mending lo nikahin deh tuh si Zizie biar lo urusin dia dan nggak lagi urusin gue" Atthala mulai kesal dengan sikap kakaknya yang posesif. Ini kehidupannya dan Atga tak perlu ikut campur.
"Nggak. Gue ni Abang lo dan lo tanggung jawab gue. Kalo gue gak sayang sama lo, lo mau lompat dari Menara Eiffle aja gue gak peduli, tapi gue abang lo, Thala. Jelas kalo gue sayang sama lo" Atha mulai bingung bagaimana cara menjelaskan kesalahan Atthala agar anak itu tidak lagi keluar masuk klub malam dan membuat banyak keonaran.
"Kapan sih gue ikut campur urusan lo? Gue sayang sama lo, tapi gue gak ikut campur urusan lo. Stop ngatur hidup gue. Ini kehidupan yang gue mau" ucap Atthala mengeluarkan kata-kata pamungkas lalu berlalu pergi bersama gadis itu dari hadapan Atha.
Atha mengusap wajahnya, frustasi. Mengapa adiknya bisa tersesat? Harusnya Atha tidak menyetujui Mami soal Atthala yang dikuliahkan di Paris. Harusnya Atthala lebih baik kuliah di Malaysia agar kedua orang tua Atha pun juga bisa memantau. Ini salah Atha. Pergaulan Atthala yang salah adalah suatu kesalahan yang Atha buat juga.
💕
Mata indah itu mengerjap-ngerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Ia mengucek matanya sambil mengunpulkan kepingan nyawanya yang belum terkumpul utuh. Setelah dirasa cukup sadar, Zahra bangkit dari posisi terlentangnya lalu berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Tidak butuh waktu lama bagi Zahra untuk menyiapkan diri. Setelah ia selesai, Zahra keluar dari kamarnya dengan tubuh yang lebih segar dan rapi di pagi hari ini. Gamis berwarna hitam dengan khimar senada pun dipilih Zahra untuk dipakai hari ini.
"Sobaahul khair" Zahra menyapa sambil duduk di meja makan, bergabung dengan kakak dan kakak iparnya.
"Sobaahunnur" balas Agnan yang telah memulai sarapan dan Helwa yang menyambut Zahra dengan senyuman manisnya.
Zahra mendelik tajam ke arah Agnan yang melahap sarapannya dengan wajah tanpa dosa.
"Kenapa, Za?" tanya Agnan saat ia melihat Zahra melempar tatapan sinis padanya. Helwa yang sedang mengambilkan nasi untuknya pun ikut menatap Zahra.
"Mas Agnan tega ninggalin Za kemarin" pandangan yang sebelumnya sinis pun kinu melunak.
"Ninggalin gimana?" Agnan meminum susu putihnya.
"Masa pengambilan darahnya sama dokter lain kan bisa hari ini sama Mas Agnan" Zahra merajuk. Ia sama sekali tidak menyukai momen kemarin yang menurutnya menyebalkan. Ia tidak menyukai jarum suntik itu, Valerie, terutama Atha.
"Za, kamu nggak tau sih betapa sulitnya bujuk kamu buat ngelakuin tes itu. Mas mau yakinin penyakit kamu itu bener apa nggak. Kalo memang bener, kita akan secepatnya lakuin kemo" meja makan mulai terasa hawa keseriusan karena alasan Agnan.
"Za gak mau di kemo" Zahra menggelengkan kepalanya pelan dengan mata merunduk. Ia tak mau menatap Agnan.
"Kenapa? Apa yang kamu khawatirin?" kini Helwa yang menyahut. Ia genggam tangan Zahra yang tepat berada di atas meja untuk menyalurkan kehangatan.
"Za takut bayi ini bakalan kenapa-napa akibat kemo" Zahra tidak mau mempertaruhkan nyawa anaknya. Bagaimana pun Zahra adalah seorang ibu yang tak ingin kehilangan anaknya.
"Za, kita akan laksanain kemo yang ringan dan in syaa Allah nggak berdampak sama bayi kamu. Setelah bayi kamu lahir, kita akan mulai kemo yang lebih berat." suara Agnan melunak. Ia takut membuat adiknya mundur dengan penyakit ini dan menyerah.
"Za takut karena penyakit Za ini anak Za gak akan bertahan. Entah sampai kapan Za hidup" Zahra sungguh takut jika penyakitnya ini akan berakibat buruk pada buah hatinya. Memang Agnan bisa bicara jika penyakit yang mungkin Zahra idap tidak akan berefek pada sang janin, tetap saja Zahra merasa takut.
"Bismillah aja, Za. In syaa Allah, Dia akan mempermudah ujian kamu ini. Yang penting kita usaha aja dulu. Nanti kita lakuin tes berikutnya kalo hasil tes darah itu keluar, oke?" ucap Agnan meyakinkan Zahra, namun Zahra tidak yakin ke depannya.
"Za berangkat dulu ke toko bunga, ya. Mau nenangin diri juga" Zahra berdiri dsri posisi duduknya, siap untuk pergi ke tempat menenangkan baginya. Toko bunga.
"Nih bekelnya. Aku tau kamu nggak akan makan di rumah, makanha aku diapin bekel buat kamu" Helwa menyodorkan sekotak makanan untuk Zahra.
"Makasih, Hel." Zahra tersenyum ke arah Helwa. "Za pamit dulu, ya. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
📓
Assalamu'alaikum
Astagfirullah, maaf kalo nggak ngefeel. Hm, Zahra terlalu dzalim sama diri sendiri ya di WK? Kita ubah Zahra yuks😌! Maaf kalo absurt karena emang lagi bagi fokus sama Makmum Kedua juga. Ouh ya, mungkin aku identik sama cerita yang berpusat di satu titik. It's ok. No problemo karena ini tulisanku. Aku rasa nggak ngefeel kalo alur cepet-cepet (menurutku pribadi, ya. Catat! Menurutku pribadi). So, emang aku suka buat alur yang lambat karena menurutku itu lebih bikin melekat di pembaca. Mungkin ada ya yang nggak sependapat. Gak papa.
Aku mungkin akan lebih fokus ke MK dulu dibanding dengan ini. Kalo MK end, cerita ini jadi titik fokusku😉. Tapi, tenang. Sekalinya update cerita ini, akan lebih dari 2000 kata, in syaa Allah kalo sanggup. Seenggaknya itulah target utamanya.
Kalo yang mungkin kurang puas sama karakter Za yang keliatan banget fiksinya dan ada yang bilang lemah atau menye-menye, kamu mungkin akan lebih suka Aisyah di Makmum Kedua yang lebih strong gitu. Yaaa seenggaknya Aisyah lebih banyak ngeluarin sih daripada memendam kayak Za. Kalo WK punya Za yang lembut banget, tapi MK punya Aisyah yang lebih jutek tapi bisa nangis juga karena masuk dunia yang sama dengan Za. Bedanya, Za istri pertama kalo Aisyah istri kedua, hehe.
Jazakumullah khairan katsiiran
Azahra © 2020
by Tania Ridabani.
• A z a h r a •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top