Fase 8
Hari berganti hari, satu tahun telah berlalu. Ayudira dan keluarganya harus melalui kehidupan yang berat. Beberapa kali mereka harus terseok-seok menghadapi masalah keuangan. Tak jarang mereka harus meminjam dari tetangga dan kerabat, dan tak jarang pula mereka mendapat penolakan dan penghinaan ketika meminjam uang.
Kini kehidupan Ayudira dan keluarga sudah mulai tertata. Mereka sudah memiliki warung kecil-kecilan di depan rumah yang berisi dagangan sembako, disamping pekerjaan Bu Ranti yang tetap menjahit dan Pak Amir yang tetap menarik ojek. Ayudira juga tetap berdagang asongan ditemani oleh Reno ketika pulang sekolah. Ia pun mampu menyisihkan sedikit hasil berdagang asongannya untuk ditabung.
***
Ayudira sedang berada di kamarnya menulis semua yang terlintas di kepalanya. Ia larut dalam kegiatannya ditemani oleh Rina yang sedang mengerjakan tugasnya. Tak berapa lama lampu padam, membuat Rina sedikit histeris. Ayudira menenangkan adiknya, lalu pergi keluar kamar untuk mencari lilin yang biasanya dijadikan sumber penerangan olehnya.
"Bu? Masih bangun?" tegur Ayudira saat melihat ibunya di ruang tengah yang sudah terlebih dahulu menyalakan penerangan.
Bu Ranti hanya mengangguk lalu menyerahkan sebatang lilin pada Ayudira. Ia kemudian beranjak menuju kamarnya setelah memberikan isyarat kepada Ayudira untuk segera beranjak tidur.
"Iya, Bu. Habis ini Ayu tidur kok," sahut Ayudira pelan, gadis itu lalu masuk ke kamarnya.
"Tidur yuk, Rin. Sudah malam, besok kamu harus sekolah," ajak Ayudira pada adiknya.
"Duluan aja, Mbak. Rina masih harus mengerjakan tugas satu lagi," sahut Rina tanpa menatap kakaknya.
"Rin, nanti lilinnya letakkan di tempat yang aman. Jangan sampai jatuh atau terkena bahan yang mudah terbakar," pesan Ayudira pada adiknya.
"Iya, Mbak. Nanti Rina pindahin," sahut Rina sambil melanjutkan kegiatannya.
Tak berapa lama Rina segera membereskan buku-bukunya yang berserakan, kemudian menyusul Ayudira yang sudah lebih dulu terlelap menuju alam mimpi.
***
Ayudira terbangun saat mencium bau terbakar di dekatnya. Lamat-lamat ia melihat asap yang mengepul di dalam kamarnya. Ia lalu menatap ke arah sumber asap, dan mendapati bahwa beberapa barang di dalam kamarnya mulai terbakar.
"Ri.. Rinaa! Bangun, Dik. Kamar kita terbakar," terial Ayudira sambil mengguncang-guncang tubuh adiknya.
"Rin, ayo cepat bangun. Kamu kasih tau Bapak, Ibu sama Mas Reno. Mbak mau ambil air buat padamin api," perintah Ayudira pada Rina yang mulai tersadar.
"Astaga, Mbak. Kok bisa?" jawab Rina dengan mulut menganga. Ia tak habis fikir bagaimana kamar mereka terbakar.
"Mbak juga nggak tahu. Cepat bangunkan Bapak, Ibu dan Mas Reno. Dan suruh mereka segera keluar," ucap Ayudira sambil menarik tangan adiknya agar segera menjauh dari kamar itu. Rina segera berlari menuju kamar orang tuanya, sementara Ayudira menuju dapur untuk mengambil air dan lap basah.
"Astaghfirullah, ayok kita segera keluar dari rumah," ucap Pak Amir saat melihat api sudah menyebar dengan cepat hingga keluar dari kamar Ayudira dan Rina menuju ke ruang tengah.
"Kebakaran!! Kebakarann!!" suara teriakan orang-orang kampung terdengar. Beberapa orang mendekat ke arah rumah Pak Amir sambil membawa beberapa alat untuk memadamkan api.
"Mbakmu dimana?" tanya Pak Amir kepada Rina ketika mereka sudah berada di luar rumah.
"M.. Mbak.. Mbak masih di dalam, Pak. Tadi Mbak bilang mau ke dapur ambil air," sahut Rina mulai panik.
"Ya Tuhan, Ayu!" ucap Pak Amir terkejut. Bu Ranti yang mendengar itu tak kalah terkejut. Tampak kekhawatiran di wajah mereka saat mengetahui bahwa Ayudira masih terjebak di dalam rumah.
Tak berapa lama gadis itu keluar dari rumah yang tengah terbakar sambil membawa sesuatu di dalam pelukannya.
"Ayu?! Kamu ndak apa-apa?" tanya Pak Amir dengan wajah penuh kekhawatiran. Rina dan Bu Ranti segera memeluk Ayudira sambil menangis terisak. Mereka amat takut jika terjadi apa-apa pada Ayudira. Sedangkan Reno hanya terduduk lemas, sambil mengucap syukur bahwa kakaknya masih selamat.
"Ayu.. Ayu tadi ambil ini dulu," jawab Ayudira sambil menyodorkan benda yang daritadi dipeluknya.
"Apa ini, Mbak?" tanya Bu Ranti sambil menatap
"Seragam Rina sama Reno, Bu," sahut Ayudira.
Reno dan Rina segera memeluk kakaknya sambil menangis. Mereka tak dapat menahan tangis mendengar perkataan Ayudira. Bagaimana kakaknya bisa memikirkan untuk menyelamatkan seragam adiknya daripada menyelamatkan nyawanya sendiri terlebih dahulu.
"Kakak ngapain bawa seragam kami? Bagaimana jika kakak tadi ndak bisa keluar?" ucap Reno di sela tangisnya.
"Kakak ndak mau kalian sampai harus ndak sekolah selama beberapa hari, dek. Cuma karena ndak ada seragam. Kakak ndak mau sekolah kalian terganggu karena kejadian ini," tutur Ayudira sambil menahan tangisnya juga.
Tak berapa lama api berhasil dipadamkan oleh pemadam kebakaran dan warga, beruntung api belum menyebar terlalu luas. Beberapa warga tampak kembali ke rumah mereka masing-masing, tanpa peduli dengan keluarga Pak Amir yang kini tak memiliki tempat untuk berteduh.
"Saya tidak sudi jika harus menampung kalian, walaupun hanya satu jam!" ucap Bude Ani setengah berteriak.
Ayudira menoleh ke arah Bude Ani yang kini berada di depan ibunya. Bude Ani menunjuk-nunjuk wajah Bu Ranti dengan tatapan merendahkan. Rupanya Bu Ranti ingin meminta bantuan kepada Bude Ani agar mengizinkan ia dan keluarganya menginap di rumah Bude Ani.
"Kamu dan keluargamu selalu saja menyusahkan saya. Saya tidak mau tahu walaupun kalian harus tidur di pinggir jalanan!" sambung Bude Ani lagi sambil membentak Pak Amir. Pak Amir hanya terdiam, ia tak dapat berkata apa-apa lagi.
Ayudira yang melihat perlakuan Bude Ani pada ibunya langsung berang. Hatinya nemanas nelihat penghinaan itu, ia lalu melepaskan pelukan kedua adiknya.
"Mbak, mau kemana mbak? Jangan mbak," cegah Rina yang melihat gelagat marah kakaknya.
"Ndak, Rin. Mbak harus membela Ibu. Mbak ndak terima jika Ibu dan Bapak diperlakukan seperti ini!" ucap Ayudira sambil melepas pelukan Rina. Sementara Reno hanya terdiam, dalam hati ia membenarkan perkataan kakaknya itu.
"Kami juga tidak sudi jika harus tinggal di rumah anda. Kami lebih baik tinggal di jalanan daripada harus mengemis pada anda!" bentak Ayudira sambil menatap marah ke arah budenya. Ia merasa tidak perlu lagi bersikap sopan pada orang yang sudah menghina keluarganya.
Bude Ani melotot geram ke arah Ayudira. Ia tak menyangka gadis itu akan membentaknya seperti ini.
"Ayu, kamu ndak boleh ngomong begitu ke Budemu," potong Pak Amir yang merasa tak enak pada Bude Ani.
"Biarkan, Pak. Ayu tidak sudi menganggap orang yang sudah menghina Ibu dan Bapak sebagai keluarga. Ayu tidak mau punya Bude yang tak memiliki hati seperti dia!" ucap Ayudira sambil menunjuk ke wajah Bude Ani.
Wanita tua itu kini benar-benar merasa geram pada Ayudira. Ia lalu membuang wajahnya sambil yersenyum miring.
"Ini yang disebut berpendidikan tinggi? Ini yang kamu pelajari di bangku kuliah?" ucap Bude Ani sambil tersenyum sinis. Wanita itu menatap Ayudira dengan tatapan kesal.
"Kamu jangan pernah menyalahkan pendidikan saya! Ini murni dari saya yang merasa tidak terima atas perlakuanmu!" jawab Ayudira tak kalah sinis.
"Halah, saya tidak sudi memiliki keponakan kurang ajar seperti kamu!" ucap Bude Ani sambil membuang ludah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top