Fase 6
"Assalamualaikum," sebuah suara terdengar dari pintu, Ayudira yang sedang bersiap untuk pergi ke klinik segera keluar menuju pintu. Dilihatnya Reno yang menggandeng Pak Amir dibantu dengan Bu Ranti.
"Astaga, Bapak. Bapak ndak apa-apa Pak?" Ayudira membantu Reno mendudukkan bapaknya di kursi ruang tamu. Sementara Bu Ranti telah pergi ke kamar untuk menyiapkan baju ganti untuk Pak Amir.
"Ren, kamu ganti baju dulu. Nanti masuk angin," Ayudira mengingatkan adik lelakinya untuk mengganti baju agar tidak terkena flu.
Reno mengangguk, mengiyakan perkataan kakaknya. Lelaki itu segera masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian.
"Rina, buatkan teh manis buat Bapak, Ibu dan Mas Reno," pesan Ayudira pada Rina yang sekarang sudah berada di dapur.
"Bapak, ndak apa-apa, Pak?" tanya Ayudira lagi, tampak jelas kekhawatiran di wajahnya.
"Bapak ndak apa-apa, Nduk. Tadi cuma sesak napas aja. Mungkin kecapean," jawab Pak Amir lemah.
"Yaudah, Bapak istirahat aja dulu beberapa hari. Nanti biar Ayu yang gantikan bapak ngojek," Ayudira memijat perlahan lengan bapaknya.
"Ndak usah, Nduk. Palingan Bapak besok sudah sehat lagi. Bapak kan kuat," jawab Pak Amir lagi sambil terkekeh, mencoba menenangkan kekhawatiran putrinya.
Tak berapa lama, Rina datang membawakan beberapa gelas teh hangat. Pak Amir menyambut gelas yang diberikan oleh putri bungsunya.
"Bapak ganti baju dulu," Bu Ranti menberikan isyarat kepada suaminya untuk segera berganti baju. Pak Amir lalu bangkit dari duduknya dibantu dengan Ayudira dan Rina.
"Minum dulu, Bu. Biar hangat," Ayudira menyodorkan segelas teh hangat pada ibunya saat wanita itu duduk disampingnya. Wanita itu lalu menyesap teh hangat yang diberikan Ayudira.
"Bapak sakit apa, Bu?" tanya Ayudira saat melihat ibunya sudah sedikit melepas lelah.
"Bukan sakit parah, Nduk. Sepertinya cuma kecapean," Bu Ranti menggerak-gerakkan tangannya membentuk sebuah isyarat. Ayudira mengangguk paham, namun dalam hatinya tetap tersimpan kecemasan tentang kondisi kedua orang tuanya.
Ayudira lalu memeluk ibunya, saat ini ia merasa bahwa pelukan wanita itulah yang bisa menenangkannya.
***
"Ayu! Selamat ya," ucap Melani sambil memeluk Ayudira.
"Selamat apa, Mel?" Ayudira menatap heran ke arah Melani.
"Selamat, kamu mendapat beasiswa," pekik Melani girang.
"Beneran? Alhamdulillah," ucap Ayudira sambil membalas pelukan Melani.
"Alhamdulillah, Yu. Jadi bebanmu sedikit berkurang,"
"Iya, Mel. Seenggaknya aku tinggal mempertahankan nilaiku dan tidak perlu berdagang asongan saat malam,"
"Iya, Yu. Oh iya, berarti besok sore kamu bisa ikut kegiatan jurnalis kan?" Melani menatap Ayudira dengan sirot mata memohon. Gadis itu merasa sepi jika Ayudira tidak bersamanya di kegiatan itu.
"Iya, aku ikut. Tapi setelah aku selesai bekerja di toko Bu Dewi, ya," sahut Ayudira sambil tertawa geli melihat ekspresi Melani yang lucu.
Ayudira lalu mengedarkan pandangannya menikmati oemandangan kampusnya. Namun, tatapan Ayudira terhenti ketika menangkap satu sosok yang dikenalinya. Ayudira terpaku pada sosok di kejauhan itu cukup lama, ia mencoba mengenali pemuda itu. Detik berikutnya, pemuda itu menoleh ke arah Ayudira dan balas menatap. Ayudira merasakan panas menjalar di pipinya saat melihat pemuda itu tersenyum ke arahnya. "Arjuna?" batin Ayudira.
"Yu, liat apa sih?" tegur Melani sambil melihat ke arah pandangan Ayudira.
"Hah? Ndak. Ndak liat apa-apa," ucap Ayudira terpaksa berbohong karena keterkejutannya.
"Ah, yang bener?" tanya Melani lagi sambil celingak-celinguk mencari objek apa yang sedang ditatap Ayudira tadi.
"Liat apaan sih tadi?" ulang Melani yang masih penasaran.
"Ndak, cuma kenalanku. Sepertinya dia berkuliah di sini juga," jelas Ayudira pada Melani, ia merasa tak ada salahnya memberitahu temannya itu.
"Oh, kenalan. Cowok ya?" goda Melani sambil menyenggol lengan Ayudira.
"Iya,"
"Beneran cowok? Wah, kamu udah dapat gebetan?" kali ini Melani menatap Ayudira antusias, gadis itu terlihat amat penasaran dengan kenala Ayudira tadi.
"Apa sih? Cuma kenalan doang. Baru dua kali ketemu doang," sahut Ayudira yang merasa jengah dengan tatapan penasaran Melani.
"Yah, aku kira udah jadi gebetan," gumam Melani dengan nada kecewa.
"Ndak lah Mel. Aku mau fokus selesaikan kuliah dulu, biar bisa dapat pekerjaan tetap," ucap Ayudira sambil menatap Melani.
"Iyaa, Yu. Aku tau kok, tadi cuma goda kamu aja," sahut Melani sambil terkekeh.
"Tapi kalau sekalian dapat kan bagus juga, mana tau langsung jodoh," sambung Melani sambil berlari meninggalkan Ayudira yang menatap gemas ke arahnya.
***
"Loh, Bu? Kok tokonya di tutup?" Ayudira menatap heran ke arah Bu Dewi yang nenutup tokonya dengan buru-buru.
"Iya, Yu. Ibu mau pulang kampung. Mamak ibu sakit keras. Jadi tokonya terpaksa ibu jual. Dan dengan terpaksa Ibu juga memberhentikan kamu. Maaf ya Nak, nanti kalau ada kesempatan dan Ibu bisa membuka roko lagi, Ibu janji akan mempekerjakan kamu lagi," ucap Bu Dewi dengan wajah menyesal.
Ayudira mengangguk, ia memahami kondisi Bu Dewi. Setelah bersalaman, Bu Dewi segera pergi menggunakan angkot. Tinggal Ayudira yang bingung harus pergi kemana untuk mencari uang.
"Baru saja mau berhenti menjadi pedagang asongan, tapi harus kembali lagi karena tak ada pilihan," batin Ayudira sambil mengayuh sepedanya kembali ke pekerjaan awalnya sebagai pedagang asongan.
"Loh, Neng? Tumben sore gini jualan, ndak jaga toko?" tegur Bang Budi yang merasa heran dengan kehadiran Ayudira yang tak biasa.
"Ndak, Bang. Tokonya sudah dijual. Yang punya pulang kampung," ucap Ayudira lesu.
"Oalah, ya sudah. Kan masih bisa jualan, jangan patah semangat ya," pesan Bang Budi sambil menepuk bahu Ayudira pelan. Ayudira hanya tersenyum mendengar pesan Bang Budi.
"Yaudah, Bang. Ayu jualan keliling taman dulu," ucap Ayudira kepada Bang Budi yang sepertinya baru saja beristirahat. Lelaki itu lalu mengangguk ke arah Ayudira.
Ayudira menjajakan jualannya ke setiap pengunjung taman. Gadis itu tak pernah bosan untuk menawarkan makanan dan minuman yang dijualnya kepada setiap orang yang melintas di sekitarnya. Walaupun terkadang penolakan kasar yang didapatkannya, namun ia tak patah semangat. Ia tahu, ini hanya sebagian kecil perjuangan yang harus ditempuhnya untuk merubah kehidupan keluarganya. Ayudira hanya akan berhenti menjajakan jualannya saat ia terlalu lelah berkeliling atau saat jam salat tiba.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, hatinya sudah merasa gelisah. Entah kenapa yang terlintas di fikirannya hanya pulang. Mungkin ia sudah terlalu lelah berjualan hari ini.
Ayudira terus mengayuh sepedanya menuju rumah, hingga matanya menangkap sosok yang sangat tidak ingin ditemuinya saat ini yang tengah berdiri di tikungan jalan. Gadis itu segera membalikkan sepedanya untuk menghindari lelaki itu. Namun, sebuah cekalan di tangannya terpaksa membuat gadis itu harus menghentikannya niatnya.
"Loh, Neng? Kok mau pergi? Abang sengaja nunggu di sini buat ketemu kamu," ucap Randi tanpa melepaskan tangan Ayudira yang digenggamnya. Ia kemudian menarik Ayudira ke balik tembok dengan paksa, dan membiarkan sepeda gadis itu tergeletak di pinggir jalan.
"Lepasin, Bang. Sakit," Ayudira berusaha melepaskan tangannya. Lelaki itu benar-benar menggenggam tangannya dengan erat. Ia merasa takut dengan tatapan Randi saat ini.
"Nggak, Abang nggak mau lepasin. Kamu harus temani Abang dulu saat ini!" bentak Randi sambil mencoba lebih mendekat ke arah Ayudira.
Ayudira mencium bau alkohol dari tubuh Randi. Ia langsung tertegun, seketika tubuhnya gemetar. Ia sangat takut saat ini, ia berharap akan ada orang yang melintas di jalan itu. Dan kemudian menyelamatkannya dari Randi.
Lelaki itu semakin mendekatkan tubuhnya pada Ayudira, ia menatap gadis itu lekat. Ayudira masih berusaha melepaskan diri dari Randi, namun lelaki itu jauh lebih kuat darinya.
"Ayu, aku mencintaimu. Kamu harus menjadi milikku," ucap Randi setengah berbisik. Lalu dengan cepat Randi meraih tubuh Ayudira dan mencoba memeluk gadis itu.
"Ya Tuhan, tolong aku!" batin Ayudira sambil memejamkan matanya karena takut.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top