Fase 4
Sudah hampir satu bulan sejak kejadian penangkapan pedagang asongan tempo hari. Saat itu, Ayudira beruntung hanya mendapatkan peringatan oleh petugas itu. Petugas itu hanya memperingatkan Ayudira untuk berjualan di daerah yang tidak mengganggu ketertiban umum. Dan semenjak kejadian itu, Ayudira tetap berjualan asongan di tempat yang semestinya.
"Baru pulang, Nduk?" tegur Amir yang melihat Ayudira baru pulang, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam.
"Iya, Pak. Tadi di taman ada acara komunitas gitu, jadi lumayan banyak pengunjung. Sayang kalau Ayu pulang cepat," jelas Ayudira atas keterlambatannya sampai di rumah.
"Ya sudah, kamu masuk terus makan malam ya. Setelah itu istirahat," pesan Amir pada putrinya.
Ayudira mengangguk pelan, kemudian masuk ke dalam rumah. Gadis itu segera menuju kamar untuk meletakkan tasnya, sempat dilihatnya Rina yang sudah tertidur lelap. Setelah selesai membersihkam diri, gadis itu menuju ke dapur untuk mengisi perutnya yang lapar.
Ayudira membuka penutup makanan di atas meja. Hanya tempe dan kecap, gadis itu lalu mengambil nasi di panci yang terletak di atas tungku. Setelah selesai mengisi perut, Ayudira segera beranjak tidur. Gadis itu tak mau tidur lebih larut malam ini, sebab esok dia harus pergi ke kampus untuk melakukan validasi biaya kuliah.
Semalam hasil tes masuk kuliah telah diumumkan. Ayudira sempat melihatnya melalui komputer Melani, temannya dari SMA. Dan beruntungnya, Ayudira lulus tes di program studi Sastra Indonesia di salah satu universitas di kotanya. Gadis itu tidak perlu tinggal di kos-kosan atau menyewa rumah, sehingga akan sedikit menghemat biaya kuliahnya kelak.
***
"Pak, untuk kategori UKT-nya apakah bisa diturunkan lagi? Saya merasa itu masih terlalu berat, Pak," pinta Ayudira kepada lelaki tua yang sedang bertugas memeriksa berkas gadis itu.
Lelaki itu menghela napas, tampak jelas ia terganggu dengan permintaan Ayudira barusan. "Toh Bapak anda masih hidup, masih sehat kan? Masih bisa cari uang? Kalau Bapak anda sudah meninggal baru bisa diturunkan ke kategori yang lebih rendah," ucap lelaki itu sarkas.
Ayudira memandang lelaki tua itu dengan tatapan terkejut. Bagaimana bisa lelaki itu berucap demikian? Tidak bisakah mengucapkannya dengan bahasa yang lebih halus?
Ayudira terpaksa bungkam, hatinya merasa nyeri mendengar ucapan lelaki tadi. Gadis itu tak bisa berkata-kata lagi, ia hanya bisa menahan air mata yang akan jatuh di pelupuk matanya.
"Berkas anda sudah lengkap, silakan melakukan pembayaran di bank sebelum batas pembayaran berakhir. Itupun jika anda masih berniat untuk berkuliah," ucapnya sinis sambil memandang Ayudira dengan tatapan meremehkan.
Ayudira segera mengambil kertas bukti validasi yang baru saja diberikan oleh lelaki itu. Gadis itupun beranjak dari ruangan itu, ia tak mau berlama-lama berhadapan dengan lelaki itu.
"Pak, Ayu dapat UKT kategori 3. Tadi Ayu sudah minta keringanan tapi belum bisa dipenuhi," kata Ayudira sambil menahan tangis ketika menghampiri bapaknya yang tengah menunggu di parkiran.
"Ya sudah, ndak apa-apa Nduk. Nanti Bapak usahakan, sementara untuk tambahan kamu pakai uang simpanan kamu ya. Nanti kalau Bapak ada rezeki lebih baru di kembalikan," jawab Amir berusaha menenangkan putrinya. Sambil mengusap air matanya, Ayudira memeluk bapaknya. Gadis itu bertekad akan mencari pekerjaan yang lebih pasti selain menjadi pedagang asongan.
***
Ayudira baru saja sampai di depan rumahnya, ketika dilihatnya Bude Ani beserta suaminya yang sudah duduk di kursi teras rumah dengan wajah sinis.
"Assalamualaikum," Amir memberi salam kepada kakak iparnya itu.
"Waalaikumsalam," sahut Bude Ani sambil membuang muka.
Ayudira hanya diam melihat tingkah budenya. Ayudira tak mau berlama-lama melihat sikap menyebalkan wanita itu, ia lalu beranjak masuk ke dalam rumah. Namun perkataan wanita itu membuatnya terpaksa menghentikan langkah.
"Oh begini sikap anak yang katanya sudah menjadi anak kuliahan? Di mana sopan santunnya? Bukan menyapa budenya, malah menyelonong masuk," omel Bude Ani, seperti sengaja memancing kekesalan Ayudira.
"Maaf, Bude. Ayu masuk dulu, permisi," sahut Ayudira berusaha bersikap sopan, walaupun di dalam hatinya sangat kesal.
Bude Ani hanya tersenyum sinis. Wanita itu lalu berucap ke arah adiknya, ibu Ayudira, "Belum kuliah aja sudah songong, berasa jadi anak orang kaya? Ndak punya duit aja belagu mau kuliah, ckckck."
Ranti hanya mengurut dadanya, ia berusaha sabar mendengar kata-kata pedas kakaknya. Sementara Pak Amir mendekati istrinya, sambil menepuk pelan pundak istrinya, lelaki itu berkata, "Kami lagi berusaha, Mbak. Untuk merubah kehidupan kami."
"Halah. Harus berapa kali saya beri tahu kamu untuk menikahkan anakmu itu pada anaknya Pak Joko, dengan begitu kehidupan kalian pasti berubah. Dan saya tidak perlu repot-repot meminjamkan uang kepada kalian," ucap Bude Ani sambil menunjuk Amir tepat di depan wajah lelaki itu.
Ayudira mendengarkan percakapan mereka dari dalam rumahnya, dalam hati ia nerasa geram dengan perlakuan Bude Ani pada orang tuanya. Gadis itu lalu melangkahkan kakinya, menuju ke teras rumah. Ia menatap tajam ke arah budenya, sementara Bude Ani terdiam melihatnya.
"Ayu, mau kemana Nduk?" tanya Amir yang kaget melihat putrinya, begitu juga dengan Ranti.
"Maaf, Bude, bukannya Ayu lancang. Ayu cuma mau menegaskan, Ayu tidak mau menikah dengan Randi. Dan Ayu harap Bude paham dengan hal itu, jadi jangan pernah menyalahkan orang tua Ayu lagi untuk kedepannya," tegas Ayu.
Ayudira lalu beranjak dari tempatnya, menuju sepedanya yang terparkir di depan rumah. "Pak, Bu, Ayu berangkat dulu. Mau nyari uang tambahan agar tidak menyusahkan orang lain," pamit Ayudira sambil melirik ke arah budenya, bermaksud menyidir wanita itu.
Amir dan Ranti menatap khawatir ke arah putrinya, namun mereka juga tidak dapat melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Sementara Bude Ani hanya terdiam mendengar sindiran keponakannya tadi. Wanita itu hanya bisa menatap Ayudira dengan sorot mata kesal.
Ayu lalu mengayuh sepedanya menuju taman kota. Sebenarnya, ia ingin beristirahat sejenak di rumahnya. Namun gadis itu terlalu muak dengan ucapan pedas Bude Ani yang selalu menyalahkan orang tuanya.
"Loh, Neng? Bukannya hari ini libur?" tanya Bang Budi yang heran melihat Ayudira kembali berdagang asongan hari ini. Padahal kemarin gadis itu mengatakan bahwa hari ini ia tidak berjualan karena mengurus keperluan kuliahnya
"Iya Bang, ndak ada kerjaan di rumah. Lagian ndak ada salahnya jualan hari ini, itung-itung nyari tambahan buat biaya semester nanti," sahut Ayudira.
"Wah, Eneng rajin banget. Abang doain semoga Eneng bisa jadi orang sukses nantinya," ucap Bang Budi.
"Aamiin, Bang. Makasih doanya,"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top