Fase 3
Ayudira melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Gadis itu menghampiri bapaknya yang baru saja duduk di teras rumah, sambil membawakan segelas teh hangat untuk bapaknya.
"Minum dulu, Pak," ucapnya sambil menyodorkan gelas itu. Gadis itu lalu duduk di samping bapaknya. Yang hanya dijawab dengan anggukan oleh bapaknya. Ia menatap lekat ke arah bapaknya yang saat ini sedang melepas sepatu. Tampak jelas bahwa sepatu lelaki itu sudah usang, warnanya yang mulai pudar serta di bagian solnya yang sudah sedikit terkelupas.
"Baru pulang, Pak?" tanya Ayudira yang sebenarnya sudah tahu jawabannya, gadis itu hanya ingin membuka percakapan.
Pak Amir terkekeh, "Iya Nduk, kamu sudah makan?" tanya lelaki itu sambil mengangkat segelas teh hangat yang disodorkan Ayudira tadi, lalu menyesapnya.
Ayudira mengangguk seraya tangannya menyentuh pundak bapaknya yang tampak ringkih, lalu memijat pelan. Ayudira melihat guratan lelah di wajah bapaknya, tak terasa matanya mulai berkaca-kaca.
"Ada yang Ayu mau bicarakan, Pak," ucap Ayu dengan suara parau, akibat menahan tangisnya sedihnya melihat kondisi bapaknya yang tampak kelelahan.
"Ada apa Nduk?" tanya Pak Amir sambil menghadap ke arah putrinya.
"Ini Pak," Ayudira menyerahkan beberapa lembar uang kepada bapaknya. Gadis itu hanya bisa menyerahkan uang itu, ia tak sanggup jika harus berkata-kata.
Pak Amir hanya mengkerutkan keningnya heran, "Buat apa Nduk?" tanyanya.
"Buat tambahan Bapak, agar bisa menyicil utang ke Pak Joko," ucap Ayudira dengan suara bergetar menahan tangis. Hatinya perih saat melihat wajah lelah bapaknya.
Pak Amir lalu lelaki itu tersenyum, "Kamu simpan saja Nduk, untuk tambahan biaya kuliah kamu. Soal utang Bapak kepada Pak Joko, ndak usah kamu fikirkan. Alhamdulillah tadi Bapak lumayan dapat banyak penumpang sehingga bisa menutupi untuk menyicil ke Pak Joko," ucap Pak Amir pelan, sambil kembali menyodorkan uang itu ke genggaman Ayudira.
Ayudira tak sanggup membendung air matanya. Tanpa sadar gadis itu menitikkan air mata, hatinya merasa ngilu melihat bapaknya membanting tulang dari pagi sampai malam. Ia merasa tak tega melihat bapaknya sepanjang hari berkendara di jalan raya yang terik mengantar penumpang ke sana kemari. Dan setelah mendapat keuntungan, kemudian harus membayar cicilan utang kepada Pak Joko yang terus saja bertambah dengan bunga yang tergolong tidak kecil hingga hanya menyisakan sedikit keuntungan untuk biaya hidup.
"Sudah Nduk, jangan menangis. Bapak masih sanggup kok mencari biaya untuk hidup kita. Lihat, Bapak masih sehat dan kuat," ucap Pak Amir menggerak-gerakkan tubuhnya, berusaha menenangkan sang putri.
"Bapak cuma minta satu hal sama kamu, jangan pernah menyerah atas mimpimu ya Nduk. Apalagi kalau mimpimu kelak bermanfaat dan berguna bagi orang banyak," lanjutnya sambil mengusap puncak kepala Ayudira.
Ayudira memeluk erat bapaknya sambil menangis sesenggukkan, "Iya Pak. Ayu janji, bakal terus mengejar mimpi Ayu. Bapak tunggu Ayu sampai sukses ya, Pak," ucap gadis itu.
"Memangnya Bapak mau kemana? Bapak akan selalu di belakang Ayu, yang bisa Bapak lakukan adalah mendukung Ayu. Sudah ya Nduk, jangan nangis. Malu dilihat tetangga," ucap Pak Amir sambil tersenyum mendengar perkataan putrinya.
"Iya Pak," ucap Ayudira sambil melepaskan pelukannya.
"Yasudah, sekarang kita masuk. Sudah malam, angin malam ndak bagus buat kesehatan," ajak Pak Amir pada putrinya.
Sementara di balik pintu, Ranti yang mendengar percakapan putri dan suaminya itu hanya bisa menangis dalam hati. Hatinya juga ikut miris melihat keadaan mereka saat ini, ditambah dengan kerabat mereka yang seolah tak mau tahu dan membuang mereka. Wanita itu teringat saat kemarin meminta bantuan pada kakaknya, Bude Ani. Bukan bantuan yang didapatkannya, melainkan malah perkataan pedas dan cacian. Ranti mengusap air matanya, lalu beranjak kembali untuk melanjutkan kegiatannya menjahit baju pesanan tetangga mereka yang tak seberapa itu.
"Ndak istirahat, Bu?" tanya Ayudira saat melihat ibunya masih mengerjakan jahitan baju.
Ranti hanya menggeleng, lalu menoleh ke arah Ayudira. "Kamu duluan saja," ucap wanita itu dengan menggunakan isyarat tangannya.
Ayudira tersenyum lalu menghampiri ibunya, "Nanti saja, Bu. Ayu bantuin Ibu ya?" pinta Ayudira pada ibunya. Gadis itu tak mungkin tega meninggalkan ibunya seorang diri berkutat pada jahitan baju sementara malam sudah semakin larut.
***
"Bu, Ayu pamit keluar lagi ya," ucap Ayudira pada ibunya setelah selesai membereskan pekerjaannya di rumah. Ranti menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah putrinya dengan tatapan bertanya.
"Ayu mau kerja, Bu. Ayu mau jualan minuman dan makanan kecil di taman kota, buat nyari uang tambahan," sambung Ayudira. Sudah dua hari ini Ayudira menjajakan minuman dan makanan kecil di taman sebagai pedagang asongan. Gadis itu menggunakan uang pemberian ibunya beberapa hari yang lalu ditambah dengan beberapa uang simpanannya sebagai modal awal.
Ayudira sadar, bahwa ia harus bisa memanfaatkan waktu yang ada untuk mencari uang tambahan. Ia tidak bisa hanya berdiam diri mengharapkan penghasilan dari kedua orang tuanya yang juga harus memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan kedua adiknya. Dan lagi, gadis itu harus mengumpulkan uang untuk membayar uang kuliahnya jika ia diterima kuliah nanti.
Setelah mendapatkan persetujuan ibunya, Ayudira lalu beranjak menuju taman kota yang berjarak sekitar lima belas menit dari rumahnya jika menggunakan sepeda.
"Jangan pulang terlalu malam," pesan ibunya pada Ayudira dengan menggunakan isyarat tangannya.
"Iya, Bu," sahut Ayudira sambil tersenyum ke arah ibunya. Gadis itu lalu mengayuh sepedanya sambil melambaikan tangan ke arah sang ibu.
"Eh, Neng Ayu. Mau ke mana Neng?" sebuah suara menyapa Ayudira, saat gadis itu tengah menyandarkan sepedanya di sebuah toko untuk membeli beberapa bahan jualannya. Ayudira menoleh ke arah pemuda itu dengan tatapan tak suka.
"Mau ke situ," jawab Ayudira singkat sambil menunjuk ke arah toserba dengan dagunya. Ia merasa malas jika harus meladeni pemuda itu.
"Singkat amat jawabnya, mau Abang temenin?" ucap Randi sambil mendekatkan dirinya ke arah Ayudira.
Ayudira lalu berjengit, lalu menolak pemuda itu dengan halus. Ayudira tak mau jika harus berhutang budi dengan pemuda itu.
"Ayolah, Abang tulus kok mau bantuin Eneng," ucap Randi lagi sambil terus mendekat ke arah Ayudira.
"Ndak usah Bang, saya ndak mau merepotkan," ucap Ayudira berusaha sabar menghadapi Randi.
"Ndak merepotkan kok, kalau untuk calon bini Abang," jawab Randi sambil terkekeh lalu mengedipkan matanya sebelah ke arah Ayudira.
"Ndak Bang, Ayu nda mau. Permisi," ucap Ayudira tegas.
Sebelum masuk ke dalam toko, gadis itu sempat sekilas melihat wajah Randi yang berubah masam mendengar penolakannya. Tampak ekspresi tak suka di wajah pemuda itu, namun Ayudira tak mau ambil pusing dan segera meninggalkannya.
Ayudira tahu benar bahwa Randi memang menaruh hati padanya, bahkan saat mereka masih duduk di bangku SMA. Sudah beberapa kali pria itu mengatakan kepada Ayudira agar mau menikah dengannya, namun selalu ditolak halus olehnya. Ayudira tidak menyukai Randi. Selain karena tingkahnya yang manja dan selalu memamerkan harta, Randi juga suka menganggap remeh serta tidak menghargai orang lain. Dan Ayudira jelas tidak menyukai hal itu.
Ayudira melirik ke arah Randi, berjaga-jaga kalau pria itu membuntutinya. Gadis itu menghela napas lega saat tahu bahwa pemuda itu sudah beranjak pergi dengan wajah kesal. Ia lalu melanjutkan kegiatannya untuk berbelanja barang dagangannya. Setelah membayar barang dagangannya, Ayudira beranjak pergi menuju taman kota.
Ayudira baru saja tiba di taman kota, ketika dilihatnya beberapa pedagang asongan berlarian dengan wajah pucat, sementara di belakang mereka terlihat beberapa petugas berseragam yang tampak seperti mengejar mereka.
"Ada apa Bang?" tanya Ayudira pada salah satu pedagang asongan yang kemarin sempat dikenalnya, Bang Budi namanya.
"Udah lari aja Neng, daripada jadi masalah," saran Bang Budi sambil terus berlari. Ayudira hanya menatap bingung ke arah Bang Budi yang berlari semakin menjauh.
"Woi jangan lari!" teriak seorang petugas di dekat telinganya, sehingga membuat gadis itu tersadar dari kebingunggannya. Ayudira baru saja memutar sepedanya untuk kabur, namun petugas itu sudah lebih dulu memegang bagian depan sepeda Ayudira.
"Kamu ikut saya!" ucap petugas itu kepada Ayudira dengan sorot mata tajam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top