Fase 10

"Rantiiii!!!"

Sebuah suara mengejutkan Ayudira dan ibunya yang sedang menjahit baju pesanan. Ayudira hari ini memang tidak ada jadwal kuliah, sehingga ia bisa memanfaatkan waktu untuk membantu ibunya.

"Rantiii!!" suara itu semakin keras, tak lama disusul dengan suara lantai teras diinjak yang berderit.

"Rantii! Anakmu.. Anakmuu.." ucap Bi Irma terputus-putus.

"Kenapa, Bi?" tanya Ayudira dengan wajah heran melihat Bi Irma yang berlari tergopoh-gopoh dengan wajah pucat. Sementara Bu Ranti berdiri dari duduknya, ia meninggalkan alat menjahitnya untuk mendekati Ayudira dan Bi Irma.

"Rina.. Rina terserempet kendaraan. Sekarang Rina ada di rumah sakit!" ucap Bi Irma dengan wajah pucat.

Ayudira menangkap tubuh ibunya yang limbung. Wanita itu nyaris pingsan saat mendengar kabar putri bungsunya. Bu Ranti mencengkeram erat lengan Ayudira. "Yu, kamu temani Ibu melihat kondisi Rina," pinta Bu Ranti pada Ayudira lewat sorot matanya.

Ayudira lalu menggandeng ibunya menuju klinik tempat Rina dilarikan, ditemani oleh Bi Irma. Tak lupa sebelumnya ia meninggalkan secarik surat untuk Reno dan bapaknya yang berisi pesan tentang kepergian mereka.

***

"Ibu.. sakit, Bu! Sakit, Mba!" rengek Rina saat melihat Ayudira dan ibunya di klinik itu.

Bu Ranti mengusap kepala putri bungsunya dengan kasih sayang, sementara Ayudira menanyakan kondisi Rina kepada dokter yang ada di klinik tersebut.

"Kaki adik Mbak patah, jadi kami harus melakukan operasi,"

"Ap.. apa dok? Operasi?"

"Iya, Mbak. Kami harus mengoperasi adik Mbak sesegera mungkin. Jika tidak, maka kemungkinan buruknya kaki adik Mbak harus di amputasi," terang dokter itu.

Ayudira terdiam, ia tak tahu harus bertindak apa. Ia bingung bagaimana mencari biaya untuk pengobatan adiknya.

"Ya sudah dok, lakukan yang terbaik," ucap Ayudira kemudian. Bu Ranti menatap heran ke arah Ayudira.

"Tenang, Bu. Ayu masih ada tabungan sedikit dari uang beasiswa. Setidaknya cukup untuk menambah biaya operasi Rina, untuk kekurangannya nanti Ayu cari pinjaman," Ayudira mengusap punggung ibunya.

Bu Ranti lalu memeluk putri sulungnya itu. Ia merasa bersalah pada putrinya. Terlalu banyak beban yang harus dipikul putrinya untuk membantu kehidupan keluarganya.

"Ranti! Ayu! Bagaimana kondisi Rina?" tanya Pak Amir yang baru saja tiba bersama Reno.

"Rina harus di operasi, Pak," ucap Ayudira.

"Ya sudah, kalian tenang saja. Ini Bapak ada bawa uang," ucap Pak Amir sambil menyodorkan uang di dalam amplop coklat itu.

Ayudira menatap heran ke arah bapaknya. "Dari mana Bapak mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya Ayudira spontan. Pak Amir yang mendengar pertanyaan putrinya hanya diam, ia tahu hal apa yang akan dilakukan putrinya jika tahu dari mana uang itu berasal. Reno langsung menatap khwatir ke arah bapaknya. Pemuda itu tahu dari mana uang itu berasal.

"Pak? Bapak dapat uang itu dari mana?" tanya Ayudira sekali lagi sambil menatap curiga ke arah Pak Amir dan Reno secara bergantian.

"Uang simpanan Bapak," jawab Pak Amir berbohong.

Ayudira hanya diam mendengar jawaban bapaknya. Ia tahu bahwa bapaknya tengah berbohong, namun ia mencoba memahami alasan bapaknya berbohong. Gadis itu lalu memberikan kode kepada Reno untuk segera mengikutinya keluar dari ruang rawat Rina.

"Ren, bilang sama Mbak. Dari mana Bapak dapat uang itu?" tanya Ayudira dengan pandangan menyelidik ke arah Reno, saat mereka sudah berada di luar rumah sakit.

"Itu.. uang tabungan Bapak, Mbak," Reno mencoba membenarkan perkataan bapaknya tadi.

"Sudah, jangan bohong. Mbak tau kok, pasti tadi Bapak pinjem uang ke Pak Joko, kan?" tuding Ayudira.

"I.. iya, Mbak. Tapi Mbak jangan bilang sama Bapak kalau Reno yang sudah bilang ke Mbak ya,"

"Iya, Mbak ndak bakal bilang," Ayudira menghembuskan napasnya kuat. Ia tahu bagaimana kalutnya perasaan bapaknya saat mendengar kabar tentang kondisi Rina. Ia juga tak bisa menyalahkan bapaknya yang mengambil inisiatif untuk meminjam uang kepada Pak Joko lagi. Ia mungkin juga akan berfikiran sama jika berada di posisi bapaknya.

***

"Pak," panggil Ayudira pada bapaknya saat mereka sedang duduk di teras rumah, sepulang dari rumah sakit. Sementara Rina masih di rawat di rumah sakit ditemani oleh ibu dan Reno.

"Iya, Nduk,"

"Ayu tau, Bapak tadi minjem uang kan ke Pak Joko," ucap Ayudira. Ia sebenarnya tidak mau mengungkit masalah pinjaman itu, tapi ia ingin bapaknya berbicara jujur padanya.

"Iya, Nduk. Maaf tadi Bapak bohong sama kamu. Soalnya Bapak tau kamu pasti tidak setuju dan malah memilih untuk menggunakan uang tabunganmu,"

"Ndak apa-apa, Pak. Ayu mengerti alasan Bapak melakukan itu," sahut Ayudira sambil memeluk lengan bapaknya. Ia tahu, bapaknya memang tidak mau jika Ayudira harus menguras tabungan untuk wisudanya.

"Kalau uang untuk membangun rumah, apa itu dari pinjaman ke Pak Joko juga?" tanya Ayudira hati-hati.

"Iya, Nduk," sahut Pak Amir.

Hati Ayudira bagai tersambar petir, ia tak bisa membayangkan seberapa banyak pinjaman mereka kepada Pak Joko. Ayudira sedikit kecewa pada bapaknya, sebab masih meminjam uang kepada orang itu. Padahal bapaknya sangat tahu bagaimana watak Pak Joko yang selalu memberikan bunga pinjaman yang tak kecil. Namun, di satu sisi ia juga tahu bahwa tidak ada orang lain yang bisa memberikan pinjaman kepada mereka selain Pak Joko.

Ayudira tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya diam sambil menangis dalam hati, memikirkan betapa menyedihkan kondisi mereka saat ini yang harus terbelit hutang.

***

"Mbak!" teriak Rina yang baru saja sampai di depan teras, sambil melangkahkan kakinya perlahan gadis kecil itu lalu memeluk Ayudira.

"Rina? Kamu udah boleh pulang? Kaki kamu gimana?" Ayudira menatap kaki adik bungsunya yang masih terbalut perban, yang untuk berjalan saja masih memerlukan bantuan tongkat.

"Rina yang minta pulang. Rina ndak mau harus bayar mahal buat biaya ruamh sakit nantinya."

"Kok begitu? Kalau nanti kaki kamu kenapa-kenapa gimana?" Ayudira menatap adiknya heran bercampur kesal. Menurut Ayudira, Rina tetap harus dirawat di rumah sakit sampai sembuh, kecuali jika dokter memang sudah nengizinkannya untuk pulang.

"Rina sudah boleh pulang, Mbak. Tadi dokter sudah izinkan. Hanya saja Rina harus kontrol setiap minggu," terang Reno yang melihat ekspresi khawatir di wajah kakaknya.

"Oh, Alhamdulillah kalau begitu," ucap Ayudira sambil mengusap pelan puncak kepala adik bungsunya.

"Ya sudah, kamu masuk ya ke dalam. Istirahat dulu. Mbak mau jualan dulu," lanjutnya.

"Iya, Mbak. Hati-hati ya," pesan Rina pada kakaknya.

Ayudira hanya tersenyum, kemudian mengangguk pada adik bungsunya. Setelah berpamitan pada ibunya, Ayudira segera menuntun sepedanya.

"Mbak!" panggil Reno tertahan.

"Iya, Ren?"

"Reno ikut jualan ya?"

"Emang kamu nggak capek?"

"Nggak, Mbak. Tunggu bentar ya!" ucap Reno seraya masuk ke dalam rumah untuk mengambil keperluannya berjualan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top