ayu 6
Akhirnya, Ayu pun menceritakan pengalamannya di rumah Bagas tadi.
“Jadi, Yoga yang bikin hapemu rusak?” tanya Bagas.
Ayu menganggukan kepalanya.“Iya. Emang iseng tuh anak. Gara-gara gue jambak rambutnya, akhirnya dia agak melunak. Kayanya gue terlalu bar-bar sih, makanya dia nyerah.”
Bagas terkikik geli. “Aku bisa bayangin apa yang terjadi. Kamu kalau marah kan emang suka jambakin rambut orang. Aku dulu pernah jadi korbannya.”
Ayu pura-pura hilang ingatan waktu Bagas menyebut-nyebut tragedi di masa lalu itu. Awal-awal Di mana mereka bertemu dulu.
“Hmm, yang mana ya? Emang gue pernah jambak rambut lo? Kayaknya lo keliru deh, Gas.” Ayu nyengir.
Bagas berdeka, kemudian menggelengkan kepalanya. “Jangan pura-pura lupa. Yang kejadian di gang itu kan kamu jambak rambutku.”
Ayu tersentak, Dia teringat perihal yang dikatakan oleh Bagas kejadian saat itu. “Yaaa… itu kan gara-gara lo kelihatan kayak stalker. Mana muka lo gak keliatan ketutup masker sama pakai kacamata hitam. Penampilan lo tuh yang mencurigakan. Wajar dong gue curiga kalau lo mau nyopet gue?”
Kejadian waktu itu memang cukup menggelitik. Bagas terlihat seperti seorang penguntit. Dan jelas saja Ayu jadi khawatir dan jadi memasang kuda-kuda.
Bagas juga tersenyum mengingat kejadian dulu kalau dipikir-pikir Ayu itu memang barbar. Tapi sudah jauh lebih berkurang sekarang. Apalagi setelah memutuskan untuk berhijab. Meskipun sikap duwe, barbar, dan celetukannya kadang masih sering muncul.
“Padahal waktu itu aku cuma mau nanya jalan. Tapi kamu udah negative thinking duluan. Aku pakai masker sama kacamata hitam kan gara-gara naik motor supaya gak kena debu. Bukannya sengaja mau nyopet.” Bagas berkata lagi
“Ah, itu kan masa lalu, Gas. Masa lalu biarlah berlalu.” Ayu seketika menabok lengan Bagas sampai cowok itu mengaduh kesakitan.
“Wadao!” Bagas mengelus lengannya. Walau cewek, tenaga Ayu cukup kuat kalau dia sudah mulai kumat menabok dirinya.
"Maaf, maaf," ucap Ayu.
“Terus kenapa kamu diplester tadi?” tanya Bagas, masih penasaran soal pleser yang menempel di siku Ayu.
“Oh, ini sih ulah Yoga. Dia bilang supaya gue jangan terlalu bar-bar sama orang, makanya gue diplester sama dia. Gak tahu deh, emang geje dia. Kakaknya aja suka cosplay jadi pembantu. Emang sekeluarga aneh.” Ayu ngakak.
“Hah? Cosplay jadi pembantu?” Bagas merengutkan kening bingung.
“Iya, kakaknya nemuin gue waktu baru dateng. Dia mengaku sebagai asisten rumah tangga. Padahal aslinya kakak Yoga yang namanya Yuma. Dia sengaja kayak gitu emang doyan aja cosplay jadi pembantu buat menyambut tamu.”
Bagas menahan senyum. “Aneh banget mereka. Tapi menarik juga.”
Ayu terkekeh sambil menatap ke arah Bagas. “Iya kan? Makasih lho udah bikin gue jadi tutor Yoga. Anaknya pinter aslinya, tapi entah kenapa butuh tutor. Gue gak nanya juga sih. Kayak kepo banget sama urusan orang kaya.”
“Hmm, mending emang jangan terlalu nanya-nanya.” Bagas tersenyum. Dia kembali melanjutkan makan mie instan yang tadi dibuatkan oleh Ayu.
“Eh, kerjaan lo gimana, Gas? Lancar?” tanya Ayu, lalu menyeruput mie-nya.
“Yah, lancar-lancar aja,” jawab Bagas pendek.
“Gue tadi ke restoran lo buat nganter makanan. Tapi lo gak ada. Kayaknya lo sibuk ya?” tanya Ayu lagi.
Bagas seketika teringat waktu Ayu datang saat dia sedang memeriksa laporan keuangan restoran. Saat mendengar teriakan Adit kalau Ayu datang, Bagas buru-buru ngacir sebelum ketahuan oleh Ayu.
“Begitulah. Sori, aku gak sempet nyicip masakan buatan kamu. Udah abis semua sama Adit kayaknya. Dia kan rakus. Rara juga rakus kalau dapat makanan gratis. Matanya langsung melotot.”
Ayu mengibaskan tangannya. “Bukan rejeki lo berarti. Rejeki lo cuma sebatas semangkok mie instan, Alhamdulillah ya Gas.”
Bagas ketawa mendengarnya. “Gak papa. Yang penting kenyang.”
Setelah ngobrol berbagai macam topik, akhirnya isi mangkok Bagas dan Ayu tandas juga. Malam juga semakin larut. Tak mungkin Bagas menginap, kalau tidak mau diarak tetangga keliling kampung. Makanya, dia berniat pulang setelah perutnya kenyang.
“Makasih ya mie-nya. Enak rasanya,” ucap Bagas manis.
“Kayak gak pernah makan mie instan aja lo, Gas.” Sekali lagi Ayu menabok lengan Bagas.
Bagas nyengir. Ini memang salah satu hobi Ayu yang mau tidak mau harus dia terima dengan lapang dada.
“Aku emang jarang makan mie instan sih. Paling sebulan sekali. Soalnya gak gitu sehat. Makan yang instan-instan gitu kan gak baik buat kesehatan.”
“Masa sih? Kayak anak orang kaya aja lo, Gas. biasanya mereka kan emang sangat memperhatikan kesehatan. Tapi gue senang sih, Lo peduli sama kesehatan sendiri."
Bagas menelan ludah. Dia merasa menyesal telah keceplosan bicara mengenai dirinya yang kelihatan seperti anak orang kaya. Seharusnya dia tak terlalu menunjukkan jati dirinya pada Ayu. Kalau sampai Ayu tahu, bisa bahaya nantinya.
“Hmm, udah malam nih. Aku pulang dulu ya.” Bagas akhirnya pamit.
“Oke deh. Hati-hati ya lewat depan situ. Anjing yang suka nongkrong di situ biasanya suka iseng ngejar orang kalau malam-malam gini. Gue pernah jadi korbannya.” Ayu mengingatkan.
Bagas tersenyum saja. “Oke deh. Aku lewat jalan lain aja.”
“Hati-hati dibegal lho.”
Bagas kini ketawa. “Iya, iya. Aku bisa panggil taks…”
Bagas seketika menutup mulutnya saat hendak keceplosan bilang mau panggil taksi. Biaya ongkos taksi lebih mahal dari ojek online. Dia tidak mau Ayu makin curiga kenapa orang seperti dirinya bisa naik taksi dengan mudah, padahal Bagas tak ingin Ayu tahu jati dirinya.
“Hah? Taks apaan?”
“Bukan apa-apa kok. Aku pergi dulu ya. Selamat malam, Ayu. Semoga mimpi indah.”
Ayu terkikik mendengarnya. “So sweet banget lo, Gas. Lo juga ya,” serunya kemudian dengan wajah semringah.
***
Sementara itu di rumahnya, Yoga sedang bicara dengan kakaknya Yuma.
Walau sudah larut malam, tapi dua orang itu belum juga tidur dan lebih memilih nonton di TV LED berukuran raksasa yang menempel di dinding. Layar TV itu menunjukkan film India random yang mereka pilih dari Netplix.
“Kita nonton Shahrukh Khan lagi?” tanya Yoga yang sudah mulai bosan gara-gara Yuma yang lagi keranjingan nonton Bollywood.
"Dia ganteng, tauk! Pokoknya hari ini kita nonton Kuch kuchHota Hai.” Yuma memang suka film India meskipun anak orang kaya tetapi seleranya tetap saja Bollywood.
Yoga mendesah panjang. Ini mungkin sudah ketujuh kalinya Yuma memaksanya nonton Kuch Kuch Hota Hai. Ini benar-benar bukan selera dan kesukaannya.
“Omong-omong, lesnya tadi gimana? Asyik gak orangnya?” tanya Yuma penasaran.
“Kak Ayu maksudnya? Yah, lumayanlah.” Yoga berusaha menutupi plester di pelipisnya yang terkena mata cincin Ayu, yang sampai membuat pelipisnya berdarah.
Kalau sampai Yuma tahu telah terjadi ‘perkelahian sengit’ antara dirinya dan Ayu, bisa-bisa Yuma marah besar padanya.
“Eh, aku perhatiin itu pelipismu kok diplester?” Yuma baru sadar ada plester mungil menempel di pelipis adiknya.
Mampus! bisik Yoga dalam hati.
“Kok lo bisa luka? Tadi gak kenapa-kenapa kan?” cecar Yuma.
“Sebenernya ini…” Yoga akhirnya menceritakan apa yang terjadi dengan Ayu dengan wajah tertunduk.
“WAHAHAHAHA!” Yuma ketawa seperti orang kesurupan setelah mendengarnya.
"Ih, kok Kak Yuma malah ngakak sih? Di sini aku adalah korban lho.”
“Korban?!” Yuma menoyor kepala Yoga. “Emang kamu yang salah kok. Hmm, tapi aku suka sama Ayu ini. Dia bisa jinakin cowok bebal kayak kamu. Bener kata Bagas kalau Ayu ini cewek tangguh.”
“Dia orangnya bar-bar, bukan tangguh,” cibir Yoga.
“Yang penting dia bukan cewek menye-menye deh.”
“Tapi aku gak butuh les lho, Kak. Aku kan bisa belajar sendiri. Aku gak sebodoh itu sampai butuh les privat segala.”
“Aku tahu kamu pinter. Aku cuma mau ada orang yang jagain kamu, Ga. Setelah ini aku bakalan lebih sibuk karena harus mengurus cabang perusahaan di luar negeri.”
“Aku bukan anak kecil kaleee!”
“Tapi kamu tetep butuh temen.”
“Aku punya temen kok!” Yoga tak terima seolah dirinya benar-benar membutuhkan seorang teman dalam hidup.
“Temen apaan? Kamu galak gitu, temenmu pada kabur semua.”
Yoga cuma bisa bersungut-sungut.
“Pokoknya aku gak mau tahu. Aku udah mempekerjakan Ayu, jadi jangan galak-galak sama dia.”
“Iya deh iya.” Meski keberatan, tapi yoga mau juga menerima perintah Yuma untuk les privat bersama Ayu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top