ayu 5
“Ide apa?” tanya Ayu antusias.
“Hmm, begini. Awalnya, aku berniat mengusir tutor yang dikirim Kak Yuma biar dia gak betah ngajar aku. Tapi, karena udah bersalah bikin ponsel Kak Ayu rusak, aku mau deh ikut les privat.
Hitung-hitung biaya ganti rugi karena sudah bikin ponselnya Kak Ayu rusak.” Yoga berkata sambil mendekatkan tubuh pada Ayu.
“Wah, boleh juga idemu. Win-win solution!” Ayu bertepuk tangan.
Anak itu ikut senang melihat reaksi Ayu yang menyetujui idenya. “Tapi, Kak Ayu jangan bilang Kak Yuma soal apa yang terjadi ya. Kalau ketahuan bisa berabe nanti.”
Tentu saja Yoga takut Yuma akan marah. karena sudah jelas Kakak itu pasti akan ngamuk dan memarahinya habis-habisan. Tentu saja salah satu hal yang paling ditakutkan adalah pemotongan uang jajan.
“Gampanglah itu.” Ayu mengibaskan tangan.
“Omong-omong, mulai sekarang yang sopan kalau ngomong sama aku. Awas aja kalau kamu panggil aku pakai sebutan lo.” Ayu bukannya ingin merasa sok senior. Tetapi bagaimanapun menurutnya Yoga harus menerapkan sopan santun. Apalagi, dia memang jauh lebih tua daripada anak laki-laki itu.
Yoga menganggukan kepalanya. Kemudian dia sedikit merengut ketika mengingat apa yang terjadi sebelumnya. “Kak Ayu juga yang sopan dong. Tadi juga pakai lo-gue sama aku.”
Ayu tersenyum, sambil menggaruk-garuk pelipis matanya. “Yah, itu sih karena aku lagi emosi.” Ayu nyengir. “Nah, karena sekarang hubungan kita udah resmi sebagai murid dan tutor, makanya kalau ngomong harus sopan. Deal?”
“Deal!”
Sepertinya ini memang keputusan paling tepat. Keduanya terlihat akur dengan saling tersenyum satu sama lain. Setidaknya hubungan mereka tidak seperti tadi, layaknya kucing dan tikus.
“Omong-omong, kamu umur berapa sih, Ga?” tanya Ayu penasaran.
“Aku lebih muda 4 tahun dari Kak Ayu. Umurku masih 18 sih," jawab Yoga sambil memegangi tengkuknya merasa sedikit canggung.
“Oh gitu. Di sini kamu cuma tinggal sama kakakmu aja? Orang tuamu mana? Kok ibumu gak nemuin aku sih?”
“Hmm, itu…” Yoga sedikit enggan bercerita. Tapi kemudian dia menghela napas, lalu bercerita mengenai ibunya. “Sebenernya ibuku gak tinggal di sini. Ibuku ada di Amerika sama keluarga barunya. Ayahku sudah lama meninggal, makanya ibuku menikah lagi.”
“Oh gitu.” Ayu manggut-manggut. Kalau melihat ekspresi Yoga, sepertinya cowok itu sedih saat membicarakan ibunya.
Tapi wajar saja. Yoga masih tergolong muda, masih 18 tahun. Pasti dia juga ingin memiliki keluarga lengkap. Sayangnya, ayahnya sudah meninggal. Sementara ibunya meninggalkan keluarga lamanya dan memilih tinggal dengan keluarga barunya.
“Ibumu sering hubungi kamu kan walau tinggal di Amerika?” tanya Ayu lagi.
“Gak tahu deh.” Yoga mengedikkan bahu lalu memalingkan muka, sengaja sekali berusaha mengalihkan pembicaraan mengenai ibunya.
Ayu yang sadar sikap Yoga itu, tak lagi menyinggung tentang ibu Yoga. Alih-alih, dia melirik soal Matematika di meja.
“Omong-omong, kayaknya kamu gak butuh tutor. Kamu gak sesumbar waktu bilang gak butuh les. Emang kamu bisa kerjain soalnya,” tunjuk Ayu.
Anak cowok itu terkekeh. ya sebenarnya dia memang tidak bodoh. Bahkan dalam hal ini sepertinya sang kakak yang sedikit berlebihan sampai memanggil seorang tutor. “Iya sih kalau Matematika aku emang jago. Tapi Fisika-ku jelek kok. Nanti ajarin aku Fisika aja. Jadi gak mubazir kalau aku ikut les.”
“Oh gitu. Oke deh. Jadi, udahan nih lesnya untuk hari ini. Lanjut besok aja?”
“Iya, lanjut besok aja. Inget ya jangan bilang apa-apa kalau ketemu Kak Yuma nanti.” Yoga mengingatkan.
“Iyaaaa.” Ayu terkikik geli gara-gara diancam oleh Yoga.
***
Ayu pulang dengan tampang lesu. Ia terus melihat ponselnya yang tak bisa dihidupkan gara-gara ketumpahan air. Rasanya sedih juga barang yang dia beli dengan menabung lama harus rusak gara-gara kecerobohan orang lain.
“Ayu? Kamu baru pulang jam segini?”
Sapaan dengan nada cemas itu mengagetkan Ayu yang sedari tadi tertunduk. Dia mendongak dan mendapati Bagas sedang berdiri di depan gapura kos-kosannya.
“Lho, Gas? Ngapain lo di sini?” tanya Ayu kaget. “Lo nungguin gue pulang?” dia bertanya padahal sudah jelas seperti itu.
Bagas mengangguk. “Tadi aku telepon ke hapemu tapi gak aktif. Aku takut kamu kenapa-kenapa di jalan, makanya aku nunggu di sini aja. Aku kan gak tahu lokasi rumah tempat kamu les privat.” raut wajah Bagas jelas menunjukkan kekhawatiran. Sampai-sampai dia menunggu Ayu di jam seperti ini.
“Ya ampun, Gas. Lo kok repot-repot banget sih? Udah lama lo di sini?” Ayu jadi tidak enak hati, meskipun dia senang juga karena Bagas begitu perhatian padanya.
“Ya, kira-kira mungkin ada satu jam.” katanya lagi sambil melihat jam di tangannya.
“Bagaaaaas!” Ayu langsung menepuk lengan Bagas sampai cowok itu mengaduh.
“Aduh! Kok aku dipukul sih?” Bagas mengelus lengannya.
Ayo jadi merasa tak enak. Dia mengusap tangan Bagas. “Eh, sori. Gue gak bermaksud gitu. Gue cuma geregetan aja kenapa lo mesti nunggu gue selama itu. Nanti lo dijambret lho."
"Hah, apa hubungannya sama dijambret?" Alis Bagas merengut heran.
Ayu melirik sahabatnya itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Yah, kalau dilihat dari penampilan, lo kelihatan kayak anak orang kaya yang punya banyak duit, makanya dijambret. Tapi lo gak mungkin bawa banyak duit sih.” Ayu terkekeh.
Bagas menelan ludah. Untung Ayu tak tahu dirinya yang sebenarnya. Padahal dia benar-benar berusaha untuk mencari pakaian termurah yang bisa dikenakan agar tak terlalu mencurigakan.
Tiba-tiba terdengar suara bunyi nyaring dari perut Bagas. Bagas yang sadar itu alarm kalau perutnya kelaparan, langsung mengelus perutnya.
Mendengar itu membuat Ayu melirik ke arah Bagas. “Eh, gara-gara nunggu gue, lo belum makan ya?” tanya Ayu.
Bagas mengangguk kecil. “Iya sih. Aku cuma ngemil kacang rebus tadi. Kebetulan yang jual lewat pakai gerobak di jalan tadi.”
“Ya udah, gini aja. Sebagai permintaan maaf karena udah bikin lo nunggu lama, gue bakal bikinin lo mie instan gratis. Sori ya gak bisa traktir lo macem-macem dulu. Belum gajian.”
“Gak masalah. Apa aja boleh kok buat pengganjal perut.” Bagas tersenyum.
“Oke deh. Yuk ke kosan gue,” ajak Ayu.
Keduanya kemudian berjalan. Bagas sesekali melirik ke arah Ayu. Beberapa kali ia memperhatikan tangan Ayu. Rasanya ingin menggenggam, tapi dia enggan melakukan itu.
Begitu berada di kost, penghuni kos sudah banyak yang tidur. Memang dari semuanya, hanya Ayu yang getol ambil kerja sambilan di sana-sini. Makanya Ayu-lah yang sering pulang malam.
“Jangan ribut-ribut ya. Udah malem banget ini,” bisik Ayu.
“Emang gak papa aku makan di sini? Nanti gak dimarahin sama bapak kos?” tanya Bagas takut-takut.
“Halah, bapak kos di sini suka teler kalau malem. Dia kan suka minum anggur oplosan.” Ayu ketawa kecil.
“Tapi, aku ngerasa gak enak nih. Di sini kan kos khusus cewek.”
“Asal gak masuk kamar gak papa kok. Habis ini lo makan di teras aja. Tungguin gue di sana selama gue masak mie. Oke?”
“Oke deh.” Bagas pun melipir ke teras sembari menunggu mie-nya matang.
Tak lama kemudian, mie instan Bagas pun jadi juga. Ayu sengaja memilik mie instan rasa soto ayam lamongan, karena rasanya yang segar dan berkuah, jadi Bagas bisa kenyang nantinya.
“Nih, mie lo. Sori ya gak ada nasi. Lo sekte yang makan mie pakai nasi kan?” ayo bertanya pada Bagas. karena dia memang pernah melihat itu saat di restoran.
Bagas ketawa mendengar ada sekte semacam itu. “Aku makan apa aja boleh kok. Tapi aku gak makan dobel karbo, jadi gak pakai nasi juga gak papa.”
“Ah, gak asik Bagas. Makan mie enaknya pake nasi. Iya sih gak sehat. Tapi itu udah jadi ciri khas orang Indonesia.” Ayu berseloroh, kemudian dia menikmati mie rebus miliknya.
Bagas ketawa lagi. Memang kalau bersama Ayu, pasti ada saja celetukannya yang lucu-lucu.
Saat sedang makan mie, Bagas baru memperhatikan kalau pergelangan tangan Ayu diplester. Karena sebelumnya Ayu memakai jaket, dia tak melihat kalau ada plester di sana.
“tangan kamu kenapa?” tanya Bagas khawatir.
“Oh ini?” Ayu menunjuk plesternya.
“Iya. Apa kamu kena apa di jalan?”
“kena apa? Gak lah.” Ayu menggelengkan kepalanya cepat. “Tapi, gue punya cerita lucu sih. Btw, ini cuma bohongan kok. Gue sama sekali gak terluka atau apa.” Ayu mencopot plester di sikunya.
Bagas memperhatikan sama sekali tidak ada luka di balik plester itu.
“Lha terus buat apa plesternya?”
“Ini sih ulah seseorang.” Ayu terkikik.
“Siapa emangnya?” Bagas jadi amat penasaran. Apalagi saat melihat wajah Ayu yang terlihat begitu senang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top