Ayu 1
Suasana Jakarta yang gerah, membuat orang-orang ngamuk seharian. Saat ini sedang musim kemarau. Matahari siang bolong sedang terik-teriknya. Tiap bulan tagihan listrik jebol gara-gara kipas angin yang dinyalakan seharian.
Di sebuah kawasan pinggiran di kota Jakarta, hidup seorang gadis bertubuh gempal, berusia 22 tahun. Ayu sudah beberapa tahun tinggal di Jakarta.
Tak ada yang spesial dari kehidupannya. Pagi hari ia bekerja di restoran. Siang hari ia bekerja sebagai pekerja lepas di taman kanak-kanak.
Pagi ini, Ayu sudah bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Ia mengenakan kaos berwarna abu-abu, dengan paduan jaket hitam dan jeans. Dan hijab hitam yang gang menutupi kepalanya.
Ayu melangkahkan kakinya keluar dari tempat tinggalnya di sebuah kos-kosan. Saat melangkahkan kakinya keluar, ia bertemu dengan Hana, gadis mungil dengan rambut pirangnya yang khas— tentu saja hasil salon. Hana adalah tetangga yang juga sahabat Ayu. Mereka berteman sejak Ayu pindah ke Jakarta.
Hana menghampiri Ayu dan merangkulnya dari samping. "Ayu, kayaknya lo butuh diet deh.”
"Diet? Kesurupan apa lo pagi-pagi ngomongin diet?” Ayu menatap Hana dengan raut bingung.
“Yah, namanya juga saran dari temen baik lo.”
“Gak deh, makasih. Di cuaca sepanas ini tanpa minum es krim? Gila aja lo. Bisa meleleh gue,” ucap Ayu sambil manyun. Walau pagi, panasnya tidak kira-kira. Mana bisa dia diet tanpa minum es krim favoritnya? Orang diet kan disuruh mengurangi minuman manis.
"Buset, pikiran lo es krim aja. Emang lo gak risih orang lain mikir apa tentang lo? Lo mau dikatain kuda nil pake baju?” tanya Hana penasaran. Sebenarnya ia terkadang gerah dengan ledekan beberapa orang tentang temannya itu. Walaupun, Ayu sendiri tak terlalu mempermasalahkannya.
"Gue udah 22 tahun ih. Buat apa sibuk mikirin orang lain? Lebih baik fokus sama diri sendiri,” cetus Ayu pede.
“Ya iya sih. Cuma gue sebel aja dengernya gitu lho.” Hana hanya tak terima jika sahabatnya itu dihina.
“Gue yang diledekin, lo yang sebel. Gak kebalik tuh?” ayu bertanya tak ingin itu jadi beban untuk Hana.
“Bener juga sih.” Hana nyengir.
“Udahlah, gak usah dipikirin. Mending kita kerja yang bener biar kayak Nagita Slavina.”
“Itu sih mimpi di siang bolong. Kerja sampe jungkir balik mana bisa kayak Nagita.” Hana berdecak kesal mendengar halu yang kebangetan.
Ayu hanya terkekeh lihat Hana yang kesal. Itu adalah salah satu hobinya. Membuat Hana kesal. “Yang penting usaha dulu. Udah sana, nyebrang. Keburu lampu lalu lintasnya ganti warna jadi ijo.” Ayu menunjuk lampu lalu lintas yang berwarna merah, tanda orang di zebra cross boleh menyeberang jalan.
“Oke deh. Dah.” Hana melambaikan tangan sembari menyebrang. Kafe tempatnya bekerja memang ada di seberang jalan.
Ayu balas melambai pada Hana. Setelahnya dia masih harus naik bus untuk pergi ke restoran tempatnya bekerja.
***
Bagas menunggu Ayu di halte bus dekat restoran tempat mereka bekerja. Bisa dibilang ini rutinitas mereka sejak mereka bekerja bersama. Saling menunggu satu sama lain.
Siapa yang datang terlebih dahulu akan menunggu. Setelahnya mereka akan berjalan bersama ke restoran. Bagas sesekali melihat ke arah datangnya bus. Itu bus keduanya sejak ia menunggu. Kali ini ia berharap Ayu ada dalam bus itu. Ia menatap dengan harap-harap cemas.
Benar saja, Ayu turun dari dalam bus. Bagas dan Ayu saling pandang. Ayu segera berjalan menghampiri Bagas.
"Sori, lo nunggu lama gak?” Ayu memasang wajah sedih, karena merasa terlambat. Apa boleh buat. Tadi di tengah jalan dia terjebak macet gara-gara ada kecelakaan. Makanya busnya terpaksa terhenti di tengah jalan. Yah, itu bukan salahnya juga.
“Gak papa kok. Lo kehausan ya?” tanya Bagus sambil senyum.
“Iya. Kok tahu? Tadi niatnya mau beli es krim. Mana kayak dipanggang di dalam bus. Tahu sendiri panasnya kayak apa. Sayangnya, gak ada yang jual es krim keliling. Hehe.”
Bagas tertawa mendengar kata-kata Ayu. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya, lalu memberikannya pada Ayu.
“Ini buat kamu,” ucapnya sambil memberikan sebotol jus semangka dingin yang dia beli di jalan tadi. Memang sudah tidak sedingin tadi, tapi lumayan lah sebagai pelega tenggorokan.
"Ini buat gue?" tanya Ayu.
Bagas mengangguk. “Tadi aku beli di jalan. Aku beli yang rasa jeruk. Karena kamu suka semangka, aku beli yang rasa semangka.”
Ayu menerimanya dengan wajah semringah. “Wah, makasih ya. Tahu aja lo, gue pasti kehausan tiap naik bus. Lo penyelamat gue, Gas! Selamanya lo adalah sahabat sejati gue!” puji Ayu sambil membuka botol jus semangkanya, lalu meminum isinya sampai habis.
“Pelan-pelan, Yu. Nanti lo keselek.” Bagas mengingatkan.
Benar saja, tidak lama kemudian…
“Uhuk, uhuk!” Gara-gara terlalu cepat minum jus, Ayu keselek. Bagas dengan sigap mengambil tisu dan memberikannya pada Ayu.
“Aku bilangin juga apa. Keselek kan?”
“Hehe. Sori. Aku kehausan Gas.” Ayu nyengir. Dia membersihkan sisa jus yang membasahi dagu dan kaosnya.
Bagas cuma berdecak. Setelah memastikan Ayu sudah membersihkan sisa jus, mereka pun pergi menuju restoran tempat mereka bekerja.
*Ya udah ayo jalan."
Keduanya kemudian berjalan menuju restoran yang jaraknya tak terlalu jauh dari halte busway.
Sesampainya di restoran, Rara dan Adit sudah sibuk di posisi masing-masing. Ahyat yang adalah koki tempat ini sedang menyiapkan tumisan. Rara kelihatan sedang memotong sayuran dan daging. Adit sudah sendiri sedang menyiapkan wadah untuk tempat makanan. Tugas Ayu dan Bagas adalah menata makanan dalam wadah dan menghiasnya supaya kelihatan menarik dan cantik.
Ayu dan Bagas mulai mengiris rumput laut menjadi potongan kecil. Setelahnya mereka memotong-motong telur dadar yang sudah disiapkan Rara.
“Kita siapin dulu buat pesanan yang masuk kemarin. Oke semua?” seru Ahyat.
“Oke, Chef!” sahut Yoga, Adit, Ayu, dan Bagas bersamaan.
Beberapa saat kemudian, para pelanggan mulai datang untuk mengambil pesanan mereka.
Pembeli nasi kotak restoran ini kebanyakan adalah pelanggan tetap. Mereka adalah para mahasiswa, pekerja kantoran, atau ibu rumah tangga yang tidak punya waktu luang untuk memasak di rumah, karena harus bekerja sambilan sekaligus mengurus anak di rumah.
Para pekerja di restoran sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Di bagian depan, Ayu menyiapkan makanan dan Bagas menyerahkan nasi kotak yang sudah ditata Ayu kepada pelanggan.
“Seperti biasa, bau makanannya bikin gue ngiler nih,” puji Adit yang pagi ini penampilannya sangat mencolok mata.
Melihat penampilan Adit—terutama rambutnya—mata Ayu langsung membeliak. “Astagfirulah, Dit. Rambut lo kenapa? Kayak anak ayam yang dijual di pasar malam.” Ayu memperhatikan rambut Adit yang dicat warna hijau, ungu, ada abu-abunya juga.
“Enak aja anak ayam. Ini cat rambut yang lagi tren saat ini. Warna-warni gini lagi nge-hits di Korea sana,” kata Adit sambil mengibaskan poninya penuh percaya diri.
“Tren sih tren. Tapi bagus sih kalau ada rambut yang rontok ke makanan pelanggan, berarti ketahuan itu rambut siapa,” sahut Rara sinis.
“Dih, rambut gue sehat, tahu, selalu perawatan. Enak aja rontok. Rambut lo tuh rontok.”
“Rambut gue gak pernah rontok ya. Sori-sori aja,” balas Rara.
Ayu terkikik mendengar perdebatan Adit dan Rara itu. “Cieeee… kayak suami-istri aja nih berantemnya.”
“Sama dia? Ogah!” sembur Adit keki.
“Gue juga ogah. Huek!” Rara pura-pura muntah gara-gara diledek Ayu.
“Hmm, sebenarnya dari dulu aku pun memikirkan hal yang sama kayak Ayu.” Mendadak saja Ahyat nongol dan ikut menggoda Adit dan Rara.
“Ya ampun, Chef! Harusnya Chef bela aku dong,” protes Adit sambil manyun. Dia tak menyangka sosok tertua di tempat ini malah ikut menggodanya.
“Hmm, aku pikir kamu sama Rara emang cocok.” Bagas ikut berpendapat.
“No. No. Lo jangan ikutan juga, Gas. Ogah banget gue sama cowok yang rambutnya kayak gulali gitu. Lihatnya aja males. Kayak anak kecil aja.” Rara mencibir.
“Heh, cewek buta fashion, diem aja deh lo.” Adit melotot pada Rara.
Ayu, Bagas dan Ahyat hanya bisa terkekeh melihat kelakuan Adit dan Rara yang seperti Tom dan Jerry itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top