Bagian [27]
27 | hal paling romantis pengobat luka
"Gi ... lagi apa?"
Lelaki yang pakai kaus dalam putih itu sejak tadi tampak sibuk di depan televisi di kamar baru kami. Dia yang tadi siang minta dikasihani banget wajahnya, sekarang terlihat penuh daya hidup. Stamina yang dia buang percuma cuman buat nongkrongin televisi yang tidak menyala. Dia mengotak-atik kabel juga remote televisi yang un-faedah banget pokoknya.
"Kamu sadar nggak sih istri yang katanya kamu sayaaang ini lagi hamil?"
"Apa sih, Ay?"
Dia berdiri. Laki-laki yang menikahi anaknya Pak Hadi itu gayanya santai banget malam ini. Kakinya yang sarang bulu hanya ditutupi sepotong celana kolor sport pendek warna merah hati. Kelihatan sedang merayakan tujuh belasan si calon bapak itu. Putih merah seperti seragam anak SD.
"Ya apa kek, pijat kek istrinya yang lagi capek. Masak dari tadi yang diurusin kabel sih?"
"Oh kamu capek? Memang tadi ngapain aja di rumah? Kamu belajar masak sama Mama? Alhamdulillah akhirnya istriku ada niat masak."
"Ya bukan! Kamu nggak tahu, Bangsu, kalau istrimu ini habis kerja kuli sebelum Mama bayar kuli yang lebih banyak buat beres-beres!"
Ergi Nugraha abangnya Yogi mendekat dan mengelus punggung istrinya. "Ke sini aku pijatin," katanya lembut. Dia menghela tanganku ke karpet di depan TV. Menuntunku untuk sandaran di kaki sofa.
Ck Ergi mah nggak pernah asyik diajak adu urat. Enggak kayak Mondy, suamiku ini selalu mengalah. Lihat saja sekarang wajahnya pengin dicipok banget. Khawatir sekali pada istrinya ini. Dia langsung percaya gitu waktu kubilang capek. Tidak bertanya dulu memangnya Mama tadi suruh aku jadi kuli yang seperti apa.
Dia ini enak sekali untuk dikerjain kalau aku sedang kumat culasnya. Tapi untuk sekarang aku enggak tega melihat wajahnya yang serius cemas kepadaku.
"Maaf, aku kurang perhatian," ujarnya mengusapkan tangannya ke tubuhku. Bibirnya sudah mencuri satu kecup di pelipisku.
"Kamu tadi ngapain sih?"
Sambil menikmati pijatan Ergi di pundak, pandangan kusapukan ke sekitar kamar. Ruangan ini tak lebih besar dari kamarku yang lama. Di sini bernuansa cokelat elegan. Semua sudah lengkap jadi kami hanya perlu membawa pakaian ke atas. Satu hal yang paling menarik kecuali wangi Ergi, foto yang baru saja dibawa pulang Bang Suami. Dia mencetaknya dengan ukuran 30R. Diletakkannya pada dinding di atas televisi sehingga sekarang aku berhadapan dengan Ayla dan Ergi versi kelas dua belas.
"Benerin TV supaya bisa dipasangin USB," jelasnya.
"Tapi aku nggak lihat kamu benerin. Kamu cuman pegang-pegang kabel kayak kabelnya itu istri kamu yang lain."
Senyuman Ergi tersungging. "Lebih bagus aku, cemburunya pada sesama pria yang jelas-jelas ada rasa ke kamu. Sedangkan kamu cemburunya sama kabel."
"Aku nggak cemburu, Pinteeer! Aku kesal karena kamu lebih merhatiin benda itu daripada aku yang seonggok manusia hidup dan sudah kamu nikahin pula."
"Sama aja, Ayla Nugraha." Dia tertawa.
Ketika aku menengadahkan kepala, kecupannya mampir lagi di keningku. Dari bawah sini—dia duduk di sofa dan aku di lantai di antara kakinya, kelihatan rambut halus di rahangnya. Uh dia pasti lupa cukuran. Wajahnya biasa mulus anak Bunda Mala ini.
"Ay, ambilkan remote dong, Sayang."
"Jangan sayang-sayang pas ada maunya aja, Bangsu." Walau demikian, aku tetap melakukan apa yang dia minta. "Nih mau nonton apa emang?"
"Tangan aku lagi sibuk. Tolonglah, istrinya Ergi, dinyalakan televisinya," pintanya mendayu banget. Pijatannya sudah nggak benar ini, sudah turun beberapa sentimeter dari pundak.
Dengan enggan aku menekan power pada televisi. Menunggu beberapa saat sebelum layar menampilkan gambar ...
Untuk Calon Ibu dari Anakku
Bibirku terbuka, tapi suara terkunci. Tulisan tadi belum ada apa-apanya ketika foto pertama diiringi Bukti milik Virgoun yang mengalun lembut. Itu adalah fotoku saat masuk SMA. Masih memakai seragam SMP untuk MOS—saat ini MPLS. Wajahku kusam dan bibir tertekuk—kapan sih Ayla senyumannya berbunga seperti Sayla? Aku pun merasa jadi orang yang gampang kesal dan marah sejak dari kecil. Kalau tidak salah gambar itu diambil saat aku habis dihukum oleh panitia MOS.
Kurasakan Ergi menyelipkan jemarinya pada jemariku. Dia menarik pinggangku untuk naik ke sofa di sebelahnya. Slide berubah menampilkan kantin sekolah. Sebuah meja tempat aku selalu makan siang bersama Sayla. Bangkunya kosong. Saat kamera semakin dekat ke permukaan meja, mataku terbelalak melihat tulisan nama Ergi dengan gambar love di sekelilingnya. Lalu di bagian bawah foto ada tulisan.
Bermula dari salah sangka
Tanganku otomatis menekan tombol pause. "Kenapa ada tulisan namamu di sana?"
"Terusin dulu dong, Ay. Jangan dipotong-potong dulu." Ergi melanjutkan laju tayangan tersebut.
Bukti kembali memenuhi kamar ini. Banyak sekali foto yang dikumpulkan Ergi dan itu adalah fotoku bukan Sayla. Aku mengenali tahun foto selanjutnya dari badge kelas di seragam. Kami telah naik kelas sebelas.
Tak ingin menyakiti
Waktu itu dia dan Sayla mulai berpacaran. Fotoku yang ditampilkan adalah bagian punggung seolah Ergi mengambilnya saat dia dan Sayla berjalan berdua dan aku di depan mereka.
Tak tergapai
Ada foto saat aku berjongkok di sebelah sepeda motor. Mungkin itu saat roda duaku mogok. Kemudian slide lainnya aku sedang duduk sendirian di bengkel. Tidak salah lagi, kejadian itu waktu aku pulang terlambat akibat kendaraanku rusak. Sementara itu, Sayla pergi dengan Ergi.
Ingin di sampingnya
Kelas dua belas artinya Ergi dan Sayla sudah putus. Fotoku yang ditampilkan adalah saat kami belajar kelompok di rumah Ergi. Waktu itu kami sudah menjadi teman. Aku pada gambar itu tertawa lepas.
Dapatkah terus melihatnya tersenyum?
Selanjutnya, foto kami berdua yang baru tadi dia perbesar. Aku meremas jemarinya merasakan haru yang menyeruak.
Ergi balas dengan melingkarkan tangannya pada pinggangku, menarikku agar lebih mendekat ke sisinya. Sebuah kecupan ringan kembali dia layangkan ke pelipisku.
Gadis(ku)?
Aku mengngguk-angguk. Iya, aku milikmu.
Kemudian foto-foto saat aku mulai menjadi mahasiswa. Lebih banyak gambar ketika aku dalam mobilnya yang ketiduran menuju rumah Pak Hadi.
Tetap di sampingku
Kemudian pergantian slide yang dihiasi curah hujan. Aku dan Arya.
Kita tak ditakdirkan-Nya
Aku bisa merasakan kesedihan dan kepesimisan Ergi melihat gambar-gambar kebersamaanku dengan Arya. Gambar itu biasa saja menurutku karena aku dan Arya memang tak memiliki hubungan spesial. Namun, entah kenapa dari sisi Ergi aku merasakan keputusasaannya.
Mencari penggantimu
Gadis itu bernama Adira. Aku ingat dialah perempuan kedua setelah Sayla yang ada dalam hidup Ergi. Wanita yang kata Ergi ingin dia nikahi saat itu. Aku masih ingat cerita putusnya mereka berdua. Alasan yang sama kenapa aku tidak boleh hamil oleh Mama.
Slide selanjutnya membuatku betul-betul menangis. Sebuah video pendek yang dimulai dari bangunan megah masjid tempat Ergi mengucapkan akad. Siluet kedatanganku yang baru turun dari mobil sebelum aku menariknya ke sampingg masjid.
Setelah itu digantikan oleh rekaman wajah Ergi.
Hay, istriku.
Terima kasih sudah mau menerimaku di sampingmu.
Kamulah hadiah terindah dari Tuhan.
Mimpiku yang menjadi kenyataan.
Doaku selama bertahun-tahun untuk menjadi seseorang
dalam hidupmu ke depan.
Kamu ada saat aku membuka mata
dan juga saat aku menutup mata.
Perempuan istimewa yang mengisi hati ini.
Tanpa pernah aku meminta izin darimu.
Sekarang aku ingin mengatakannya.
Gadisku, aku minta izin untuk menyimpanmu
di hati ini sebagai temanku dalam mengarungi
bahtera rumah tangga.
Menjadi ibu untuk anak-anak kita.
Menjadi ratu dalam istana kecil kita.
Kesempatan ini takkan kusia-siakan.
Kesediaanmu kunikahi meski sangat terpaksa
akan kugunakan sebaik-baiknya.
Menjadi seseorang seperti yang kamu inginkan.
Apa pun yang membuat senyumanmu tetap bertahan, katakanlah!
Akan kubuat kamu menjadi satu-satu perempuanku
yang kukekalkan senyumannya,
yang kudengarkan keluh kesahnya.
Banyak janji aku takut nantinya tak satu pun yang kutepati.
Jadi, aku hanya akan sudahi ini dengan,
aku begitu beruntung menjadi suamimu.
Laki-laki yang cintanya telah kamu curi sejak lama.
Aku langsung memeluknya saat video itu berakhir. Baru kali ini ada orang yang memberikan hadiah istimewa. Meski bentuknya sederhana, namun di balik ini ada perjuangan seseorang. Ada tangis seseorang. Ada mimpi seseorang.
"Kamu dapat dari mana foto jelekku waktu MOS?"
Saat itu kami tidak boleh membawa ponsel.
"Koleksi panitia. Nggak sengaja aku lihat waktu mereka baru saja mencetaknya di ruangan OSIS. Aku membelinya karena mereka bilang tidak ada yang gratis di dunia ini. Trus dikasih tugas juga sebelum mendapatkannya."
"Disuruh apa?"
"Nembak senior paling gemuk di sekolahan kita."
"Jadian?" tanyaku dengan ekspresi kaget.
"Enggak! Videonya diambil untuk kenang-kenangan. Fotonya ditempel di mading sekolah."
"Aku nggak lihat," kataku sambil berusaha mengingat-ingat.
"Kamu tahu apa saat itu?"
Aku tersenyum—cengengesan.
"Tulisan di meja itu Sayla yang bikin."
Dia mengangguk. "Awalnya aku kira kamu. Sampai-sampai waktu itu aku senang banget. Tapi aku belum berani mendekat pada perempuan galak yang aku suka. Aku asyik bikin koleksi fotonya saja untuk disimpan. Ini seperti penguntit. Kalau sampai ketahuan, mungkin leher ini akan dia patahkan."
Tak ingin menanggapi sindirannya, aku mengalihkan, "Dengan Sayla gimana?"
"Kareka aku ketahuan sedang melihat ke kalian. Terus mungkin dia merasa. Dia bilang kalau dia juga suka aku."
"Kalian jadian!" sambarku dan Ergi mengangguk.
"Aku penasaran dengan ini. Kamu atau Papa yang punya inisiatif untuk bawa aku pulang setiap dua minggu sekali? Maksudnya kenapa harus kamu?"
Ergi menatap bola mataku. "Aku yang menawarkan dan Papa menyetujui usulanku."
"Biar apa? Supaya aku tidak punya waktu untuk kencan malam Minggu—"
"Iya," jawab Ergi lancar banget.
"Aku suka," kataku dengan senyum kecil persis seperti sedang berhadapan dengan gebetan. "Aku baru kali ini dapat hadiah video yang isinya bikin senang dan sedih bersamaan. Dulu dapat video hubungan intim saudaraku sendiri."
Tiba-tiba Ergi menjauhkan tubuhku hingga kami dalam posisi berhadapan. Dia remas kesepuluh jemariku.
"Aku masih punya hadiah untuk kamu."
"Masih ada lagi?"
Dia mengangguk. "Tapi besok. Sekarang giliran aku minta hadiah dari kamu. Masih capek?" tanyanya.
Aku menggeleng. Yang ada di balik rongga dada berdebaran. Napas kutahan. Ingat jika aku bisa saja mati karena tak napas, aku pun menghirup udara banyak-banyak. Dalam kepala ini memercik sebuah bayangan ciuman lama dan panas. Otakku semakin ngeres saja saat Ergi mengeluskan telapak tangannya ke pangkal lenganku.
"Aku kangen dimasakin kamu, Ay. Apa aja boleh asal kamu yang masak."
***
Semenjak di rumah Mama, aku malas turun ke dapur. Selalu ada Mama dan Sayla di daerah kekuasaan mereka. Aku sudah bad mood duluan melihat mereka berdua.
"Mau makan apa, Gi? Kalau nggak dikasih tahu, terus aku bikin apa?"
"Terserah kamulah, Ayyang."
"Nggak ada yang terserah. Kamu kayak cewek aja yang bilang terserah padahal dalam kepalanya banyak maunya."
Terdengar tawanya di belakangku. Aku masih mengamati isi kulkas Mama. Tahu-tahu ada tangan yang melingkar di pinggangku. Dagunya berada di pundakku. Kecupannya mampir di leher kiri.
Kuputuskan, "Masak yang mudah aja, ya? Jangan yang ribet, nanti lama. Aku mau tidur."
"Kamu bikinkan nasi sama garem aja sudah enak kok, Ay."
Aku mengantukkan kepalaku kepadanya. Sakit sedikit. "Gombal malam-malam mbak kunti juga ikutan denger. Jangan sampai dia baper sampai muntah dengerin kamu."
"Serem kamu omongannya, Ay."
"Kebetulan kamu masih bangun, Ay. Mama minta bikinkan brokoli masak santan pakai kacang panjang dan bakso, ya. Baksonya masih ada di dalam bungkus plastik dalam freezer. Kamu rendam dulu di dalam air panas. Santannya juga ada dalam tupperware di freezer bagian belakang. Nanti ditabur sama bawang goreng yang banyak. Jangan asin-asin banget, ini untuk Sayla. Dia lagi kepengin banget makan brokoli."
Pelukan Ergi langsung terlepas saat aku membalikkan badan secara cepat.
"Aku mau masak untuk Ergi. Mama bisa masak sendiri. Lagian aku belum pernah bikin yang begituan," tolakku pada perintah istri Tuan Hadi.
"Kamu memang malas banget sih, Ay. Ini mudah sekali bikinnya. Kamu bisanya apa aja sih?"
"Ya udah, Mama aja yang bikin. Ini sudah malam, aneh-aneh aja sih pengen makan yang kuah santan segala. Kena kolesterol tahu rasa dia."
Mata Mama melebar saat berbicara, "Mulut kamu emang belum pernah ngerasain kuku Mama 'kan? Kamu lupa, Sayla sedang hamil? Wajar dia minta macam-macam. Itu yang namanya ngidam. Pokoknya kamu harus bikin sayur brokoli. Mama mau jagain dia yang sedang nggak enak badan." Wanita dengan daster biru tua itu kembali ke kamar atas.
Sebuah tangan mengelus punggung tanganku dengan lembut. Aku menoleh dan mendapati suamiku tersenyum. "Aku bantu. Aku juga ingin makan brokoli berkuah santan supaya agak gendutan. Biar nanti mirip sama istriku ini," katanya mengusap perutku.
"Mama itu tukang ngatur tahu, Gi. Makin ke sini makin bikin aku kesal aja."
"Sabar. Nanti waktu kita pulang ke rumah, kamu pasti akan rindu sama momen seperti ini dengan Mama."
"Enggak akan. Aku nggak pernah kangen sama istrinya Pak Hadi dari dulu."
"Saat anak kita lahir, kamu pasti nggak akan bicara seperti ini kepada Mama. Kamu akan merasakan betapa susahnya perjuangan untuk menjadi seorang ibu. Bagaimanapun sekarang perlakuan ibumu, hatimu takkan membenarkan mulutmu berkata kasar kepadanya."
"Betul itu?"
"Hm ... mari kita doakan dia selalu sehat agar nanti terlahir menjadi anak hebat dan berbakti kepada orang tua."
Tersenyum, aku memeluknya. "Kamu itu obat aku. Sayang kamu. Sayang banget, Papanya anakku."
Dia membalas dekapanku lebih erat.
***
20 Agustus 2019
Maafkan jika ada typo saudara-saudara. Ngetiknya buru-buru banget. Cepet dan belum ngedir bener-bener sebelum dipublish.
Nah itu yang terakhir adalah cuplikan tentang Mondy. Hadiah untuk Ayla yang diberikan Ergi esok harinya. Apa ya kira-kira? Nggak bisa disambung di part ini soalnya ini aja sudah 2000 kata. Noh kamu yang minta part Ayla dipanjangin. Ayla pernah cuman 1000 kata lebih dikit hihihi.
Jangan lupa ikuti instagram @Sevyent untuk mengintip spoiler yang Kasev tebarkan sebelum mempublish part baru.
Terima kasih. Selamat malam dan jangan lupa doa sebelum tidur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top