Bagian [25]
Maaf ya kalau krik krik pas baca.
Bonus untuk yang balas pesan di wall tadi. 😘😘
Happy Reading
🤗🤗🤗
25 | laki gue cemburuan akut!
Sejak kedatangan Mondy, Sayla mulai tersenyum. Kunjungan si kadal buntung yang buntingin Sayla itu betul karena Ergi. Titik kemanusian jelmaan kambing itu kurasa telah ditemukan oleh suamiku. Entah tentang apa. Yang jelas terlihat binar penyesalan dari pancaran matanya karena dia juga minta maaf kepada istrinya Ergi ini.
Sayla bahkan dengan semangat minta dibelikan gamis baru khusus ibu hamil. Memaksaku pakai alasan bawaan bayi ketika kuusul belinya lewal online shop saja. Dan masalah satunya lagi adalah ini, sosok kayak ee yang telah duduk di tengah ruang tamu.
"Perginya ditemanin Mondy, ya," pinta Sayla dengan suara lembut.
Ke mana saja pikiran Pak Hadi sehingga menerima tamu macam kotoran kucing itu? Dia menatap Sayla kayak yang sayang banget ke si Ratu. Tidak ada tuh wajah songong minta di-smack down seperti biasanya. Dia perlihatkan pembawaan baik-baik, entah apa sebenarnya tujuan yang dia punya.
Aku muak sekali melihat kebahagiaan dibuat-buat yang tertampil di wajah Sayla. Jelas kulihat Sayla tak pernah menyukai ayah bayinya. Dia melakukan semua ini agar orang berhenti mengasihaninya. Agar dia merasa puas telah berhasil membebaskanku dari kepura-puraan.
"Lo aja yang pergi kalau gitu!"
"Ay ...." Suaranya mulai memohon. "Bantulah aku sekali ini saja. Aku nggak minta kamu terus-terusan pura-pura. Setelah ini kamu bisa berhenti," bujuknya.
"Lalu istri orang macam gue nggak apa-apa jalan dengan dia? Otak lo letaknya di mana sih?"
"Ikut aja sih, Ayla. Kita sudah damai. Gue sudah nggak punya maksud apa-apa. Gua nggak akan macam-macam, sumpah."
"Ay, kamu pergi bantu Sayla," tegur Mama dengan penuh tekanan bahwa hal ini wajib untukku.
Wajah Mama yang selalu dilapisi make up dan dibingkai kacamata emas itu berhasil menitahku. Bibir nude mocca hasil sapuan gincu Latulip itu ditipiskan artikan pemiliknya sedang menggeram seperti macan. Dua mata di balik lensa melotot, nyaris meloloskan dua bola matanya lompat ke lantai.
"Kita nggak akan bilang ke Ergi. Kamu nggak perlu lama-lama. Kalau sudah dapat, langsung pulang aja."
Mereka pasti mengintip isi kepalaku yang merencakan untuk mengadu pada Ergi agar suamiku melarang. Setelah kupikir lagi, Ergi tak mungkin keberatan. Jadi, dengan malas banget aku semobil dengan kutu tikar ini sambil mendengarkan radio mobil. Malas bicara karena mood-ku sedang buruk sekali.
Tubuh ini lelah sekali. Tak bisa diajak berdiri lagi. Aku bisa melihat pundakku naik turun melalui pantulan cermin. Mengingat ada bangku di luar ruang pas, aku segera keluar dari petak empat full cermin itu. Terduduk di sana dengan tiupan pendingan yang mengipasi wajah sebab AC tepat berada di depan. Badan lemas kayak nggak ada tulang. Ya, gue merasakan itu sekarang. Keinginan marah pun nol persen. Inginnya cuman sandaran sambil pejamin mata.
"Ayla," tegur si Pokemon begitu melihatku.
"Lo mau paksa gue nyobain baju—" Tarik napas lalu embuskan, "—Sorry gue sudah nggak sanggup. Gue nggak mau," ucapku final.
"Gue sudah bawa ke sini, lo cobain lagi nih. Sama saudara sendiri juga, nggak kasihan amat lu ah," ucapnya mulai ngegas.
"Apa kata lo dah, ambil aja mana yang lo suka. Jangan suruh gue gonta-ganti lagi. Gue nggak mau," ucapku jelas-jelas tak mau diperintah.
"Kalau aja bini gue, gue yang bukain baju lo—"
"Otak lo emang ngeres melulu, Taik!"
Pokemon duduk di sebelahku, ikutan menyender.
Dia sepertinya menyerah sebab akhirnya memisahkan tiga gamis yang sebelumnya telah kucoba, yang dia tolak dengan gelengan tegas. "Terakhir kali ini khusus dari gue. Temenin beli cincin, Ayla," pintanya kini terdengar serius.
Saat menoleh ke samping, kedapatan jika mata sang pencuri start tertuju pada jemariku yang dihiasi cincin kawin.
"Maksud lo cincin buat apa?" Kami saling tatap, menyadari jika ini kejadian langka. Ayla dan Mondy bicara tanpa adu pelotot.
"Sebelumnya, lo harus jujur dulu."
Dia mengangkat sebelah alis.
"Apa betul yang terjadi pada adek lo?"
Dia terdengar menarik napas. "Iya, tapi bukan gue pelakunya. Dia adik kesayangan gue. Gue selalu protect dia, tapi pengawasan nggak bikin dia tetap aman. Bajingan itu merusak adek gue. Gue kehilangan dia. Dia nggak selamat saat berusaha menggugurkan kandungannya."
"Lo dendam apa ke gue sampai merusak adek gue? Salah gue apa?"
"Faktor cincin itu mungkin," gumamnya melirik jari manisku, "gua punya ego yang tinggi. Lo betul tentang itu. Gua nggak bisa melupakan lo."
"Lo pikir wanita akan balik cinta ke elo jika cara yang lo lakukan itu buruk? Seandainya lo pakai isi kepala dan pikirin cara yang betul untuk menarik hati cewek yang lo suka, mungkin saja lo akan berhasil. Selama ini ... yang gue lihat lo merendahkan gue. Lo bilang nggak ada yang mau sama gue selain lo. Itu nggak akan berhasil, Mon."
"Waktu itu gua masih childish tahu. Gua menangin ego gua sebagai laki-laki. Penolakan lo bikin gua sakit hati. Juga apa yang terjadi pada adik gua, bikin gua hilang kendali."
"Dan kenapa Sayla?"
Dia tersenyum dengan cara yang beda. Teduh dan tulus. Tidak ada tampang tegang penuh urat di lehernya kayak orang nahan BAB. "Gue nggak akan nyakitin cewek yang gue sayang." Suara pun terdengar lebih manis.
Nyaris gue tersentuh jika nggak ingat dia lagi nyindir gue. "Gue nggak nyangka dengar ini dari bibir lo. Jangan sampai laki gue dengar."
Dia mengangguk. "Dia cocok di samping lo. Lo tahu nggak sih kalau laki lo bisa gocoh orang?"
Mondy tertawa. Kali ini ada yang beda dari jelmaan tahi kucing yang mulai berubah jadi bunga bangkai ini. "Jadi menurut lo, laki lo bisa apa? Bikin lo bunting aja? Dia juga bisa bikin gue yang jelas-jelas lebih jago berantem ini bonyok."
"Buat apa dia ngebogem elo? Ergi nggak suka melakukan tindakan barbar."
"Lo dan dia sebenarnya mirip. Mudah ngamuk, Ayla. Kalau lo sedikit-sedikit marah, kalau Ergi nggak. Dia cuman marah jika lo gue apa-apain. Pertama kali ketemu, dia sudah ingetin gue. Pertemuan selanjut-selanjutnya dia masih menahan geram. Dan yang terakhir waktu itu dia berubah jadi hulk. Dia nggak setenang yang lo pikir. Ada jiwa barbar seperti lo juga."
Aku masih nggak bisa percaya Ergi main tangan.
"Bantu gue cari cincin dong. Cepat sebelum laki lo balik."
"Lo ... mau menikahi Sayla? Gue belum kasih lampu hijau lo jadi ipar gue. Bapak gue juga nggak akan mudah ngasih lo restu, Nonong."
"Gue usahakan, Ayla. Pernah gagal sekali, gue nggak akan jatuh ke lubang yang sama. Gue akan usahakan yang kali ini jatuh ke tangan gue."
"Masih biadab aja isi otak lo."
"Sama seperti mulut lo, nggak beradab."
Letihku mulai hilang. Kaki ini sudah bisa dibawa berjalan. "Cincin yang gimana?"
***
Ada yang sedang menghindariku rupanya. Diajak ngobrol ogah-ogahan. Nggak pernah kasih ciuman selamat malam. Apalagi sampai tahap yang paling dalam. Bicaranya pun cuman sekadar saja. Ditanya satu, dijawab satu. Perginya pagi masih sempat sarapan, tapi malamnya tak bertemu saat makan malam. Beberapa hari dibiarkan, dia belum berubah juga. Nggak mau cerita ada masalah apa.
Khusus malam ini aku menunggu dia pulang, akan menodongnya supaya jujur. Janjinya dulu rumah tangga itu harus buka-bukaan. Monyetlah! Mana itu keterbukaan kalau punya masalah malah didiamin?
Suara pintu dibuka lambat sekali. Aku sengaja matikan lampu dan berbaring menyamping. Dia meletakkan tas ke bangku kemudian masuk kamar mandi. Beberapa saat kemudian kedengaran bunyi shower. Lampu dari kamar mandi menembak ke wajahku begitu terbuka. Cepat aku menutup mata sebelum dia lihat.
Jantungku jadi gelisah melihat dia cuman handukan. Butiran air berkilauan di pundaknya yang kekar. Ototnya menyembul saat dia menggerakkan tangan. Degupan di dadaku bikin geger seluruh badan. Napas sebisa mungkin untuk kutahan. Coba lagi untuk pura-pura tidur bagai orang pingsan. Ajak ia bicara setelah selesai berpakaian.
"AAAH!"
Badan kubalikkan saat handuk, satu-satunya pelindung, dia lepaskan.
"Kamu belum tidur?" tanyanya.
Bahuku ditarik sehingga tubuh ini kembali ke arah semula. Menutup mata supaya tidak melihat apa-apa. Yang muncul dalam kepala justru saat satu per satu pakaianku dilucutinya. Tiap inci tubuhku dikecupinya. Titik kepuasanku dipenuhi. Menggeleng dengan kuat, aku membuka mata. Dadaku berdetak dengan cepatnya.
"Gue nunggu lo pulang."
Tak terdengar jawaban, wajah yang tunduk kutegakkan. Ternyata dia sudah mengenakan pakaian.
"Kok lo diem?"
Ini pancingan, Bodoh. Katanya tiap gue salah, lo kasih hukuman? Bukan cium istri yang sudah lama tak dikasih senyum, dia malah berbaring dan gulingkan badan.
"Lo kenapa sih, Ergiii? Kalau ada masalah, bicara dong. Jangan diam aja!" Badannya kugoyang-goyang.
"Giii ... Gue udah keceplosan berapa kali ini, lo nggak cium gue gitu?"
Oh my!
"Oke fix, kamu marah. Jelasin di mana salahnya aku."
Dia bangun pemirsa. Duduk dengan bersilang kaki di depanku. Ia ambil tanganku untuk digenggam. Remasan terasa menyenangkan dan meleburkan segala resah yang datang belakangan ini. Dingin terasa saat dua telapak tangan kami dia satukan. Lama-lama kulitnya yang sehabis mandi tertulari hangatku. Suhu pun jadi imbang. Aku segera teralihkan saat dia melepaskan genggaman itu.
"Aku menunggu kamu bahas ini duluan," ujarnya tenang.
Aku diam. Biarkan saja dia bicara. Aku akan buka mulut jika dia meminta.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu, Ay?"
Aku menggeleng. Dia berdecak masih ada raut kesal di wajahnya yang tampan. Sudut bibirnya berkedut. Jakunnya ikutan naik dan turun. Mungkin meredam amarah agar terkendalikan. Aku tidak tahu apa yang terjadi hingga dia bisa semarah ini. Namun, seperti janjinya dulu sekali, dia tidak akan membentakku semarah apa pun dia.
"Aku lihat kamu dan Mondy di toko pakaian, sedang bicara dan tersenyum berdua. Kamu bohong, Ay. Kamu bilang membenci dia."
"Kenapa kamu bisa ada di sana juga? Terus kenapa kamu nggak datangin aku? Kamu nggak lihat apa aku waktu itu capek banget?"
"Aku melihatnya tidak seperti itu. Kalian kelihatan dekat. Kamu sama sekali tidak membenci dia."
"Aku kesal banget ke dia, tapi nggak punya tenaga untuk adu panco. Pokoknya waktu itu aku capek banget, sampai rasanya pengin digotong pulang. Parahnya semua itu karena Sayla. Kalau bukan dia yang pakai alasan permintaan bayi, aku nggak akan jalan dengan Mondy."
"Kamu belum paham juga, Ay?"
"Apa?"
Dia tarik napas panjang, menepuk-nepuk pucuk kepalaku. "Aku nggak bisa melihat kamu dengan laki-laki lain. Nggak pernah suka."
"Oh, tapi dia hanya Pokemon titisan kera sakti yang kehilangan kesaktian karena kebanyakan makan pisang curian waktu disuruh cari keong emas ke tengah kolam yang banyak kuning-kuning ngam—"
"Jangan buat aku cemburu lagi, Ay."
Kalimatku terhenti oleh pengakuan itu. Jadi, semua ini cuma karena anaknya Bunda Mala itu cemburu buta?
"Nggak salah, Gi? Kamu diamin aku selama lima hari karena ini?"
"Daripada aku marah-marah? Kamu tidak pernah tahu bagaimana rasanya melihat kamu dengan yang lain. Dalam keadaan hamil—pura-pura—persis seperti pasangan sejati."
"Sudah dibilang ... kenapa nggak samperin aja sih? Kalau aja tahu kamu akan melarangku pergi, aku pasti senang sekali. Aku kira kamu nggak akan peduli aku pergi dengan siapa, makanya aku nggak jadi kasih tahu kamu."
"Aku pasti tidak akan pernah kasih izin kamu pergi dengan laki-laki kecuali papa kamu dan anak laki-laki kita nanti."
"Baru sadar gue," bisikku, mulai menarik selimut dan mencari posisi untuk berbaring. "Laki gue cemburuan akut."
***
"Kenapa, Gi? Turunin pandangan," kataku dengan suara serak sebangun tidur.
Saat membuka mata, Ergi telah duduk manis dengan rambut kelihatan sehabis mandi. Dua iris matanya menatap lurus ke wajahku.
"Kamu hamil 'kan, Ay?"
***
Bersambung ....
15 Agustus 2019
Ding doooong ....
Manis nggak sih lakinya Ay? (komen sini banyak-banyak biar dapat jawaban Ay secepatnya)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top