Bagian [24]
24 | jelmaan upil kera santet taubat?
"Dia tidak akan semudah itu mengaku pernah memerkosa saudara sendiri. Itu aib. Kita perlu pilah-pilah ceritanya mana yang masuk akal, mana yang tidak."
Itu poinnya. Alasan dari Ergi kubenarkan tanpa keraguan. Ergi cara pikirnya lebih realistis daripada aku.
"Dendamnya, itu bukan karena kamu. Dia hanya mencari alasan agar kamu merasa bersalah. Apa kamu merasa bertanggung jawab untuk adiknya, Ay?"
Aku menggeleng dengan cepat. Itu sih memang si Pokemonnya yang bejat. Adik sendiri diterkam. Untung gue selamat.
"Soal dia yang ayah anaknya Sayla gimana? Aku boleh percaya? Ini nggak mungkin dia juga ngaku-ngaku 'kan? Untungnya buat dia apa?"
Ergi diam sebentar. Opini-opini Ergi selalu menjadi bantuan buatku dalam berpikir. Tak salah aku selalu curhat kepadanya.
"Itu pasti. Kamu tahu, Ay, ada saatnya kamu tak sadar apa yang ada dalam pikiran pria saat melihat perempuan. Dia terobsesi padamu, itu jelas. Sikapmu yang tak pernah memberikan dia akses dengan mudah, membuatnya marah. Apa pun dia lakukan untuk mendapatkan keinginannya."
Antara mengerti dan tidak, aku mencermati penjelasan Mas Suami. Apa karena si Pokemon cinta mati padaku hingga punya obsesi? Wajar sih, aku ini cantik dan smart. Ergi aja cinta, apalagi cuman upil monyet kayak Mondy.
Lalu apa yang harus kulakukan untuk meminta pertanggungjawaban? Sumpah aku enggan berurusan dengan manusia yang satu itu. Aku agak takut setelah Ergi memaparkan alasan demi alasan. Seolah-olah aku ini bendera merah dan si Monyet itu bantengnya.
"Bagaimanapun dia tidak bisa lepas tangan. Kesalahannya sangat banyak." Ada kobaran api di mata Ergi seolah ingin menghanguskan padang ilalang ini.
Aku mencolek lengannya, mengedip dengan manis, dan mengecup pipinya secepat kilat. Korban keisenganku melongo, tapi tetap ganteng.
"Aku bisa jatuh cinta ini. Hati-hati kamu!"
Ergi mencubit keras pipi kananku.
"Sudah seharusnya, Ayla Lovelya binti Hadi Baskara!"
"Cinta pada diri sendiri karena aku merasa sangat spesial punya orang-orang yang cinta banget-banget padaku."
Tawaku membuat Ergi kesal.
***
Menjalani kehamilan pura-pura tidaklah susah. Ini sudah bulan kelima, tapi perut Sayla tak terlalu besar. Ada macam-macam tipe perut ibu hamil. Kata dokter, Sayla ini punya perut yang tipis sehingga kehamilannya kurang terlihat. Aku rasa anaknya juga bukan janin kembar.
Ergi sering meninju-ninju perutku yang dilapisi gabus. Tinjuannya jelas tidak sakit. Berani main kasar, aku balas dia lebih parah. Lihat saja! Suami Ayla itu masih kukuh tidak setuju dengan rencana ini. Dia pernah bilang, akan bikin aku hamil benaran dengan nada mengancam. Tentu saja dia tak bisa merealisasikannya jika aku tak membiarkannya tidur seranjang.
"Lihat kamu makan banyak, kayak hamil betulan, Ay," cetus Ergi.
"Gimana kalau masih lapar?" Melirik Sayla sedang mendekat, aku meletakkan tangan Ergi ke perutku, memimpinnya agar mengelus-elus. "Hamil betulan enggak masalah dong! Kan ada bapaknya yang bisa aku susahin kalau ngidam!" Suaraku kubuat keras-keras seolah sedang kesal pada kalimat Ergi tadi.
Abang Suami menekan perut—busa—ku kuat-kuat sampai aku kaget dan membentaknya.
"Itu sakit!!!" Kalau dituliskan, kalimatku menggunakan huruf kapital ditambah tanda seru tiga buah. Ergi langsung menutup telinga.
"Maaf, maaf, Sayang ... Maaf, aku enggak sengaja." Dia panik dengan reaksiku. Ergi lantas menaikkan kemejaku dan membuang gabusnya. Dia mengelus betulan kali ini.
Aku pun bingung dengan Ergi. Kulihat Sayla tak jadi ke sini. Dia berbalik pergi.
"Ay, kamu memang seperti hamil. Atau ini gendutnya karena makan kamu banyak banget?"
"NGGAK HARUS PAKAI KATA BANGET, ERGI!!"
Anaknya Bunda Mala menutup telinga kemudian menggaruk bawah hidungnya.
***
Tinggal di rumah Tuan Hadi sangat asyik sejak aku ikut-ikutan hamil. Melihat mata Sayla yang bengkak parah tiap harinya, aku merasa senang. Aku enggak tahu sih ini kenapa aku masih sebal terus kepadanya. Aku paling suka jika Sayla memergoki aku sedang mesra dengan Ergi. Dia itu kelihatan iri karena aku ada suami di saat 'hamil', sedangkan dia tidak.
Mendalami peran, di depan Sayla aku sering bersikap manja dan minta dipijatin atau disuapin oleh Ergi. Sayla kalau mau dibeginikan, minta saja pada Pokemon.
Soal Mondy, aku belum bertemu dengannya. Kabar terakhir yang kudengar dia telah selesai skripsi dan bisa ikutan wisuda bulan September nanti.
"Pokemon aja sudah mau tamat, aku kapan, ya?" kenangku pada skripshit yang tak tersentuh-sentuh.
"Malas sih kamu. Kapan selesainya," balas Ergi telak.
Betul yang dikatakan Ergi. Aku sekarang berat sekali ke kampus apalagi mengerjakan tugas akhir. Aku paling suka mengerjai Sayla. Melihat wajah muram Sayla, ada kebahagiaan tersendiri di hati kakak kembarnya ini.
"Say Say!" Aku mengejar Sayla yang berniat masuk ke kamar lagi. Aku sering memperhatikan Sayla akan undur diri jika di suatu ruangan ada aku dan Ergi. Ergi yang kutinggalkan tersentak akibat lututku menerjang perutnya sebelum berdiri.
"Ini urusan perempuan. Kamu di sana aja, nggak boleh ikut," pamitku sembari memberi ciuman jarak jauh.
Setiba di kamar Sayla, kututup pintu kayu yang dipelitur. Sayla si murung yang sudah cuti beberapa saat setelah hamil, menjadikan kamar ini sebagai basecamp. Sehari-hari mengurung diri di ruangan ini.
"Nggak ngidam apa-apa gitu, Say?"
Kembaranku menatap malas tanpa semangat.
"Kayaknya lo harus jujur deh, jangan ditahan-tahan maunya. Gue nggak mau punya keponakan ilernya ke mana-mana."
"Kenapa, Ay, kamu enggak pulang ke rumah kalian? Kamu tidak suka rumah ini."
Ngusir nih ceritanya?
"Sebagai 'ibu hamil' dan laki gue kerja, guenya nggak mungkin 'kan dia tinggal-tinggal. Jadi, untuk meyakinkan orang-orang, gue harus nginep di sini sampai 'lahiran'. Masak lo nggak ngerti sih? Jadi kalau ada yang tiba-tiba lihat lo di sini," tunjukkku pada perut buncit Sayla, "orang pikir itu gue."
"Kenapa mau?" tanya Sayla.
"Kenapa lo tanya? Atau elo sudah lupa apa yang diperintahkan Papa kecintaan lo? Gue harus berbuat kayak gini demi elo. Menurut lo, enak pura-pura hamil? Di mana seharusnya di usia pernikahan gue sekarang, gue sudah hamil beneran."
Aku tak berharap sih. Hanya saja, mengatakan ini pada Sayla akan membuat dia merasa bersalah.
"Yang sabar, Ay, mungkin kalian diminta untuk menikmati masa-masa berdua saja dulu," hiburnya.
Jika itu aku, pasti akan kukatakan, 'Ya udah sih, hamil aja kenapa malah ditunda?'
"Gue sebenarnya pernah bayangin, anak lo nanti panggil Mondy ayah. Apa lo nggak mau gitu, Say? Ini kemungkinan keciiiil banget. Gue aja ragu akan terjadi. Tapi kalau beneran si Mondy suatu hari minta maaf ke elo, apa lo akan maafkan dia? Apa lo akan pertimbangkan untuk membesarkan si bayi bareng-bareng?"
Aku sudah menceritakan pertemuanku dengan Mondy kepada Sayla. Dia tak mau jujur waktu aku bertanya siapa yang menghamilinya. Tetap kukuh seperti di awal-awal dulu. Lalu aku pun memberitahukan semua yang dikatakan Mondy di taman belakang kampus pagi itu.
"Aku bisa menjaganya sendirian. Aku tidak menikah dengan orang yang tidak aku cintai."
Aku terbatuk, mengelus perut busaku. "Bikin anak gue kaget aja lo, Say. Maksudnya apa nih menikah dengan orang yang tidak dicintai? Nyindir gue atau apa? Sayangnya gue enggak tersinggung kok. Lebih enak menikah dengan orang yang mencintai kita tahu. Ergi contohnya." Aku mulai memanas-manasi, "Andai gue bener-bener hamil, Ergi pasti jadi orang paling bahagia di muka bumi. Jelaslah dia merasa sempurna sebagai kepala keluarga. Punya istri cakep kayak gue dan anak yang akan lahir."
Ketukan di pintu merusak momen saja. Aku membalikkan tubuh dan melihat Mama berdiri di ambang pintu.
"Sayla, makan siang dulu." Mama menarik halus tangan Sayla. Membimbing permaisuri seolah takut Sayla tersandung batu.
"Anaknya masih bisa jalan sendiri kali, Ma."
"Kamu juga ngapain di sini? Ergi kamu tinggal sendirian di ruang tengah," berang Mama.
Aku merangkul pinggang Ergi saat mengajaknya menemani aku makan. Mengganggu acara makan Sayla pasti lebih asyik.
"Kamu ini apa-apaan, Ay?" tegur Mama ketika aku dengan nada manja minta Ergi menyuapi. "Itu ada tangan bisa makan sendiri."
"Terus apa gunanya ada suami? Aku ini 'hamil' loh, Ma. Bawaan bayi seperti ini."
"Kamu enggak hamil." Mama langsung menyanggah.
"Enggak apa-apa, Ma. Ay jarang seperti ini. Dia jadi manis kalau begini," bela Ergi lalu menyuapkan sendok ke mulutku.
"Aku manis terus, Gi," geramku tak terima.
Ergi tersenyum. Kok manis banget sih?
"Aku paling tahu itu, Ay," bisiknya sebelum melanjutkan memberiku makan.
Lirikan mata kupindah ke arah Sayla. Beberapa kali dia mengembuskan napas berat. Sungguh malang kamu, Sayla. Andai yang bikin kamu hamil itu bukan Pokemon, aku akan berusaha agar dia mau bertanggung jawab. Aku pun tidak tega melihat kamu sedih, tapi aku bisa apa? Aku juga sedang bingung dengan yang kulakukan sekarang. Aku lebih suka mengusilimu dibandingkan membantumu. Gimana dong?
"Aku dengar ada yang mengetuk pintu. Aku lihat siapa yang datang." Ergi langsung berdiri dan masih sempat membersihkan sudut bibirku dengan ibu jari.
Efeknya bikin aku kebat-kebit.
Kembali lagi ke ruangan ini, Ergi berhasil bikin aku menahan napas. Bibir Ergi mendekat ke wajahku, membuatku menelan ludah. Dia mau ngapain? Di sini masih ada Mama dan Sayla. Aku tak bisa bergerak apalagi berbicara untuk menanyakan gelagatnya yang mencurigakan. Secara alamiah, kedua mataku terpejam.
"Di depan ada Mondy ingin bertemu Sayla. Kamu bisa bawa Sayla ke depan?"
Jiwa pun terempas lagi ke bumi bahkan terpelesat pula ke kotoran ayam sampai malu tak terhingga yang dirasakan anaknya Tuan Hadi ini. Aku membuka mata saat wajah Ergi menjauh. Rasa panas merambat ke wajahku. Masih menatapnya, aku belum sepenuhnya sadar dari linglung. Sedikit demi sedikit kukembalikan Ayla yang galak ke bumi.
"Kenapa kamu harus bisik-bisik? Ini bukan rahasia," ucapku kesal.
Ergi meremas bahuku. "Sekarang, Ay. Masalah ini tak bisa kita tunda lebih lama lagi."
Apa sih? Aku merasa Ergi ada hubungannya dengan kedatangan si Pokemon. Aku yakin seratus persen, suamikulah yang menyebabkan Pokemon berkunjung ke rumah Tuan Hadi.
Sayla mengusirku saat aku telah membawanya ke hadapan Pokemon jelmaan upil kera santet. Ergi kesayangan pun menarikku kembali ke dalam.
"Kenapa sih gue disuruh masuk? Gue ingin memastikan si Pokemon nggak macam-macam ke Sayla. Lihat aja, sampai Pak Hadi pulang, tahu rasa dia. Dibantai habis oleh bapak si Tuan Putri—"
Kalimat itu terputus begitu saja. Terjangan bibir Ergi sempat bikin aku terkejut, tapi setelah merasakan ciumannya, aku membalas dan mengimbangi Abang Suami. Pagutan hangat dan lembut dia berikan. Aku merasa ada tuntutan yang lebih besar untuk mencecapnya lebih dalam lagi. Nyaris putus napasku saat Ergi memisahkan kami.
"Bisa ganti hukumannya nggak sih? Di mana-mana hukuman itu nggak enak, tapi—"
Lagi Ergi memotong ucapanku. Aku belum berhasil menarik napas dengan benar. Namun, ini bagai sebuah candu. Tak bisa ditolak saat lidah pun ikut serta. Di awal kami sama amatirnya. Aku percaya Ergi tak bohong saat dia mengakui ciuman pertamanya ialah denganku. Seiring waktu, kami semakin cocok seolah lewat keintiman ini aku mengatakan cinta yang tak pernah tepikir saat dalam situasi normal. Perasaan yang kukira tak kumiliki untuk lelaki ini.
"Kamu menggemaskan sekali, Ay, sungguh. Kamu kenapa sih? Aku bingung sama kamu," aku Ergi.
"Apa deh." Dan wajah Ayla terasa merona. Ini gue kenapa pula? Dibilang mengemaskan saja langsung blushing.
"Aku juga bingung. Kadang-kadang aku merasa lagi ngidam beneran."
***
Makin kinclong, Nyah😇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top