Bagian [21]
Halooo, Ayla update lagi.
21 | hadiah sepulang bulan madu
Dia meledak di dalamku hingga berkeping-keping. Membuatku menjeritkan namanya.
Cengkeramanku pada bed cover semakin menguat saat dia mengulang prosesnya lagi.
Kenikmatan itu terhenti ketika seseorang memukul pipiku. Mata pun terbuka dan menemukan objek mimpi itu ada di sana. Ia menatap heran dengan dahi berkerut. Napasku masih memburu dan merasakan telah basah di bawah sana.
Mimpi yang aneh.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya menempelkan telapak tangan ke keningku.
Upayanya itu menaikkan gairah yang muncul akibat mimpi. Aku menepisnya dengan kasar. Bahkan hanya tangannya mampu membuatku terangsang. Sepertinya ada yang salah dengan hormonku.
"Hari ini kamu ada janji dengan pembimbing skripsi, 'kan?" tanyanya. Lagi. Tanpa menyadari aku yang memperhatikan bibirnya. Bibir itu pernah singgah di beberapa bagian tubuhku. Membuai aku dengan kelihaiannya.
Aku menggeleng kuat-kuat.
"Kamu kurang sehat, Ay. Badanmu panas." Tangan itu 'nemplok' ke pipiku. Kurasa ia semerah saga sekarang. Maksudku adalah pipi karena panas yang dia katakan mengaliri seluruh pembuluh darahku.
Aku tidak membiarkan fantasi ke mana-mana. Sejak kapan isi kepalaku jadi kotor gini? Aku seperti tidak mengenali diri sendiri. Kalau sampai Ergi tahu aku mimpi bersetubuh dengannya, habislah harga diriku.
"Siap-siap. Kita berangkat bareng. Nanti aku antar ke kampus."
Ergi mengecup pipiku sebelum pergi. Dia telah rapi. Kutebak, dia pasti sudah menyiapkan sarapan untuk kami. Aku memandangi kamar yang kutempati. Luas dan bernuansa putih. Bed berada di tengah-tengah, menjadi bintang utama di ruangan ini. Pintu kamar mandi terletak di sudut kanan ranjang. Aku segera masuk ke dalamnya.
Di depan cermin aku kembali bertanya-tanya, kenapa aku memimpikan hal itu? Apakah di dalam kepalaku tumbuh setan mesum? Ini bukan mimpi pertama. Aku mendapatkannya sejak pulang dari Sulawesi. Artinya dua hari berturut-turut. Ada apa denganku?
Kemarin aku cuma di rumah, sedangkan Ergi berangkat kerja. Di rumah sendirian, aku hanya melamun. Sebab ketika aku sadar, petang telah tiba. Oh iya, aku lupa mengatakannya. Ergi membawaku ke rumah ini setiba kami di Jakarta. Bangunan ini sederhana. Berlantai satu, namun luas. Warna putih lebih mendominasi. Dia membeli rumah yang dekat dari tempat tinggal Bunda Mala dan Pak Hadi. Aku sangat menyukai keputusannya untuk pisah rumah dengan orang tua kami. Jujur, aku sangat tidak nyaman kami tinggal satu atap dengan kedua orang tuaku.
"Gi, ada yang aneh nggak di wajah aku?" Tiba di meja makan, aku mendapati Ergi sedang menekuni ponsel.
Ergi memandangku kemudian menggeleng. "Kenapa?"
"Nggak. Tanya aja. Kali aja ada gitu." Kumakan roti bakar yang dibuatkan Ergi sambil minum jus mangga. Cepat-cepat kubilas mulut dengan air putih. "Enak, tapi kok nggak nyaman gitu, ya, di perut gue. Nggak apa-apa aku nggak minum jusnya?"
Dia membolehkan lewat isyarat. "Mungkin karena masih pagi. Tidak cocok di perut kamu. Buah kita cuman tinggal mangga. Nanti kita belanja, ya."
Aku mengangguk.
"Kamu kayaknya nggak sehat, Ay. Di rumah aja, ya?"
"Sehat. Beneran cuman nggak nyaman aja minum jusnya—" Aku segera berlari ke wastafel ketika merasa sesuatu naik dari lambung menuju kerongkongan.
Ergi mengejarku dan membantu membilas sisa muntahan. Dia memastikanku duduk kembali sebelum membuang semua jus yang dia buat.
"Apa mungkin susunya expired?" gumamnya. "Maaf, Ay, aku kurang hati-hati." Dia mengusap perutku dari luar kemeja. "Minta maaf ke dosen kalau kamu nggak bisa bimbingan hari ini."
"Enggak bisa. Gue harus pergi. Ini nggak apa-apa kok. Sebentar lagi pasti sembuh. Kamu berangkat duluan aja. Aku nanti sama grab."
"Aku juga akan minta izin tidak masuk, Ay. Aku nggak bisa meninggalkan kamu dalam kondisi seperti ini."
"Aku sehat. Beneran. Kamu berangkat aja."
Ergi menawarkan, "Aku berangkat asal kamu di rumah aja. Jangan pergi ke kampus."
Akhirnya aku mengalah. Sebelum ke kantor, dia benar-benar memastikan aku baik-baik saja ditinggal. Dia pun menanak nasi serta membuat sup yang dipanaskan dalam penghangat listrik. Perhatiannya itu membuatku sadar bahwa selama ini aku jahat sekali kepadanya. Dia sangat baik, sedangkan aku tidak pernah melakukan apa-apa yang sepadan.
"Hati-hati di rumah. Aku akan sering mengecek kondisimu. Jadi, selalu nyalakan handphone."
Aku mengangguk. Dia mencium keningku dan menyibak rambut nakal dari dahiku. Untuk semua itu, tanganku dengan ringannya telah melingkar di tubuhnya. "Makasih, Gi." Terima kasih membuatku merasa disayangi.
"Aku berangkat, ya, Ay." Dia sepertinya enggan untuk melangkah.
"Udah pergi sana. Awas kalau nyetirnya nggak hati-hati." Aku mendorongnya.
"Ergi!" panggilku saat dia telah tiba di pintu. "Aku punya mimpi yang aneh semalam." Aku berdiri di ambang pintu dengan dua tangan memegang daun pintu. "Mimpinya ... wet dream."
Aku segera mengunci pintu dari dalam. Ergi mengetuk-ngetuk tidak kuacuhkan. Mungkin dia menghubungkan berita ini dengan keanehan yang dia lihat dariku sebangun tidur.
Aku terbahak saat mengintipnya dari jendela. Sambil berjalan, Ergi mengayunkan tangan ke udara. Sesekali mengacak rambut. Setelah itu melonggarkan dasi. Bernapas keras dengan bahu terlihat naik, lalu mengacak rambut lagi. Mobilnya meninggalkan pekarangan dengan kecepatan lebih tinggi dari biasa.
****
Pukul satu siang, ada rentetan pesan dari Nada. Aku baru saja bangun tidur. Aku terlelap setelah membalas pesan Ergi bahwa aku sudah makan sup dengan nasi satu centong.
Nada: Lo ke mana aja sih kayak orang mati? Kampus sudah gempar karena ulah Mondy.
Pesan terakhir yang berhasil bikin aku penasaran.
Banyak nomor baru yang mengirimiku kata-kata tak senonoh. Sebagian kecil hanya bertanya apakah itu memang aku? Aku semakin penasaran saat nomorku telah ditambahkan ke sebuah grup.
Khusus 18 ke Atas. Begitulah nama grup chat tersebut.
+628537580xxxx: Wajahnya bikin gue pengen.
+628233288xxxx: Itu beneran Ayla?
+628564227xxxx: Coba sini sama gue. Gue bisa bikin lo lebih ngefly @Ayla
Banyak sekali kalimat tak sopan dan tidak bermoral yang menge-tag nomorku. Aku melihat pesan—yang sejak aku bergabung telah mencapai delapan ratus chat. Mataku perih rasa terbakar melihat video berdurasi tiga detik dengan dua tokoh telanjang. Si wanita wajahnya mirip denganku, sementara yang pria hanya kelihatan punggungnya. Juga banyak foto berbagai pose yang tidak layak dikonsumsi publik dengan wajah wanita yang selalu menghadap kamera. Prianya tetap pada posisi membelakangi kamera.
+628231729xxxx: Malam ini ke apartemen gue yuk @Ayla gue akan tunggu sampai urusan lo selesai dengan Pak Sudarto.
Aku membanting ponsel. Kepalaku benar-benar panas bagai dialiri darah api. Dengan membanting pintu, aku memesan taksi online ke kampus. Sebelum mobilnya datang, ada panggilan masuk dari Nada.
"Gue akan bunuh Mondy!" teriakku kepada Nada lewat sambungan ponsel. "Perbuatannya kali ini nggak bisa gue tolerir. Dia merusak nama baik gue. Dia membuat gue jadi fantasi kotor semua pria yang lihat foto dan video sialan itu."
"Ada masalah apa sih di antara kalian?"
"Nggak tahu. Gue nggak mau bersinggungan dengan dia. Gue sudah menghindar dan berusaha agar nggak terpancing. Tapi dia makin jadi. Nad ... gue merasa hina walaupun gue nggak melakukan perbuatan nista itu."
"Seandainya gue ada di sana. Lala, jangan nangis. Lo itu cewek kuat. Lo nggak akan kalah oleh permainan Mondy yang satu ini."
"Bukan gue, Nad, sumpah bukan gue. Gue emang melakukannya, tapi dengan suami gue. Dan kami nggak pernah bikin video seperti itu. Cowok dalam video itu bukan Ergi dan ceweknya hanya mirip gue!"
Lalu aku ingat, "Kalau Ergi tahu gimana, Nad? Dia akan benci gue. Ergi mungkin ngira itu gue." Orang yang emosi tidak akan berpikir panjang. Siapa yang tidak marah melihat istrinya bersama pria lain? Orang sebaik Ergi juga pasti akan murka.
"Tenang, La. Jangan nethink. Ergi nggak mungkin seperti itu. Dia nggak akan percaya pada gambar-gambar itu, sama seperti gue. Apalagi Ergi suami lo, dia tidak akan mudah terprovokasi."
"Gue akan buat perhitungan."
Taksi membawaku ke kampus. Hampir semua mata melihat kedatanganku sambil berbisik-bisik saat aku keluar. Tanpa menghiraukan mereka, aku menyibak kerumunan di mading yang menarik perhatianku pertama kali.
Selebaran itu tidak besar, namun menjadi yang paling menonjol. Menyedot seluruh atensi manusia yang berdiri di depan papan pengumuman. Foto yang dipajang berukuran 3R, cukup kecil untuk diperhatikan. Aku rasa yang menempel-kannya di sana berhati-hati agar pihak universitas tidak tahu. Hanya mereka yang punya waktu berlebih yang rela pepet-pepetan melihat gambar tak layak itu di antara puluhan brosur di mading.
Lain dari yang ada di grup, pada selebaran tersebut cuma ada sosok perempuan serta beberapa kalimat pendek.
Ingin lebih? Klik tautan ini.
https://chat.whatsapp.com/6AHwLlppnWWKBKLXNZ4fXQ
Ini menjawab pertanyaan kenapa dalam sekejap, tanpa ditambahkan admin peserta GC bertambah sangat cepat. Hanya aku yang dimasukkan oleh seseorang. Dan makhluk itu pasti dalang dari semua ini.
"Gue sudah nebak dari dulu sih dia sebenarnya jalang. Biasa ngatain orang, taunya diri sendiri juga begitu."
Aku tidak bisa menghentikan mulut-mulut serta jempol-jempol menghujatku. Yang aku lakukan adalah menutup telinga dengan headset bermusik keras. Sembari mencari Mondy dengan darah menggelegak sampai ke ujung kepala.
Tiba di depan ruangan dosen, Pak Sudarto memanggilku. Masalah video dan foto amoral sejenak terlupakan akibat kemarahan beliau karena aku tidak membawa revisian. Bahkan aku hanya datang dengan kemurkaan, tidak bawa apa-apa selain dompet dan ponsel.
Keluar dari ruangan pembimbing ada pesan suara dikirimkan ke grup Khusus 18 ke Atas. Siapa pun yang mendengar, aku yakin pasti terangsang juga berfantasi liar. Apalagi durasinya sangat panjang. Mereka akan membayangkan wajahku.
Aku berlari dari kampus mencegat taksi biru. Di sana air mataku tak dapat ditahan. Kenapa dia melakukan ini kepadaku? Sebenarnya apa salahku yang tidak termaafkan? Jika ini hukuman, kekhilafan seperti apa yang pernah kulakukan kepadanya?
Ergi memanggil ...
Aku tidak bisa menjawab telepon sekarang. Saat mendengar suaraku, Ergi akan tahu kalau aku habis menangis. Ergi tidak boleh tahu. Jika dia bertanya, aku tidak akan bisa berbohong. Aku takkan berhasil mengelabuinya. Kepada Ergi, aku selalu digiring mengatakan hal yang sebenarnya.
Ergi memanggil ...
Ergi: Ay. Aku khawatir. Kamu baik-baik aja, Sayang?
Mematikan ponsel aku menangis semakin kencang. Aku ingin mengadukannya pada Ergi. Aku ingin berbagi. Aku tidak sanggup menghadapi semuanya sendirian. Aku butuh dia. Namun, konsekuensi yang akan kuterima pasti jauh lebih buruk. Ergi akan pergi. Menganggap aku selingkuh darinya. Menuding jarinya sambil mengatai aku jalang.
+628382699xxxx: Bagaimana dengan hadiahnya? Lo suka, Sweetheart?
Bersambunggg
23 Maret 2025
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top