Bagian [14]


Happy Reading yaaaa

”Tuh ‘kan Ergi sudah sampai,” seruku begitu melihat mobil Ergi di halaman rumah kos. Tanpa menunggu Arya mematikan mesin, aku langsung berlari ke dalam.

”Loh, mana? NAD! Lo di dalam, ya? Bukain pintunya!” gedorku pada pintu kamar Nada. ”NADA lo dengar nggak sih?”

”Apaan sih, Lala?”

”Ergi mana?”

Nada berdecak. ”Gue tersinggung nih. Lo pikir gue sembunyiin laki lo dalam kamar?!” bentaknya.

”Lo sensian banget sih. Gue itu tanya, laki gue mana? Lo lihat atau tidak?”

Nada me-rolling bola mata. ”Pakai gedor-gedor segala sih lo. Habis itu yang lo tanya apa, laki lo mana? Siapa pun akan merasa kayak gue sekarang.”

Ya udah, gue minta maaf. Ada mobil Ergi di luar, tapi orangnya nggak ada.”

”Gue sudah berapa kali bilang ke elo, LALA! Ergi laki lo, jaga perasaan dia. Ngapain lo masih mau-mau aja diajak jalan sama si Arya?”

”Gue nggak butuh ceramah lo, Nada. Kalau memang lo nggak tahu di mana laki gue, ya udah gue bisa hubungin dia dan cari dia sendiri.”

Habis ngobrol sama Ibu Kos mungkin lagi di kamar lo sekarang—”

Aku segera menyeberang ke kamarku. Saat tiba di depan pintu, kakiku kaku. Detakan di dada sedikit lebih cepat dari yang biasa. Berkomat-kamit sebelum menekan kenop, berdoa semoga aku tidak gagap bertemu dia.

Dia sedang bersujud.

Terseok aku berjalan ke tempat tidur, memerhatikan Ergi yang kini tengah mengerjakan salat Asar. Aku duduk di ujung ranjang, menghadap punggung Ergi. Teringat lagi kata-kata yang dia ucapkan malam itu.

”Aku akan berusaha membuatmu percaya bahwa ada seseorang yang menunggumu.”

Ergi menyentuh pipiku saat mata kami saling menatap. Lewat tatapannya aku melihat sebuah kejujuran.

”Gue nggak terima lo tinggalin gue gitu aja seperti waktu itu. Kalau lo anggap gue ini istri lo, setidaknya ada sepatah kata yang lo ucapkan sebelum meninggalkan gue. Lo bilang sayang dan nunggu gue? Omong kosong tahu nggak. Sama seperti Mama, bilang kalau dia sayang sama gue. Tapi ... begitu aja ninggalin gue. Ergi lo tahu, gue merasa seperti bungkus snack. Habis lo makan, plastiknya lo tinggalin gitu aja. Kalau misalnya lo pungut dan masukin tempat sampah, itu masih mending. Memang di sanalah berakhirnya sebuah sampah. Tapi apa ... lo lupain gitu aja.”

Ergi meletakkan tangannya di pundakku. Menunduk lantas menghela napas. ”Maaf, Ay.”

”Nggak perlu. Jadi intinya apa ... jangan pernah mengatakan sayang pada seseorang jika lo nggak memiliki rasa itu. Kenyang telinga gue dari dulu dengar yang begituan. Cukup Mama yang nggak henti melakukannya, lo nggak perlu. Dengar?”

Aku tak menatapnya. Kata demi kata yang dia ucapkan sedari tadi hampir membuatku terlena. Untungnya aku cepat sadar bahwa semua yang dia katakan hanyalah dusta.

”Aku tahu kamu marah banget. Kamu berhak untuk itu. Dan aku sangat menyesal.” Ergi mencengkeram wajahnya.  Terlihat betul-betul menyesali perbuatannya.

”Aku merasa bersalah.” Ergi mencetuskan. ”Aku sudah melampaui batas. Aku tidak sanggup menahan diriku. Kedatangan Mama kupikir merupakan sebuah pertolongan agar aku tidak terlalu jauh melakukannya. Maafkan aku, Ay. Di luar perjanjian kita, aku mengerti kamu belum siap.”

”Lo sengaja kabur karena ‘itu’?”

Ergi mengangguk pelan. ”Tapi caranya keterlaluan. Aku minta maaf, Ay.”

”Gue juga minta maaf. Jadi gue boleh simpulkan bahwa lo beda dengan mereka? Lo beneran sayang sama gue?”

Ergi mengangguk. ”Boleh minta tangannya?” Dia mengambil tangan kananku. Pada punggung tanganku, dia berkata, ”Boleh aku menciumnya?” Dan dia segera melakukannya setelah aku mengangguk ragu.

”Ay kamu sudah pulang?”

Teguran Ergi memecahkan gelembung ingatan tentangnya. Ergi melipat sajadah kemudian meletakkan di sebelahku. Dia menggulung lengan kemeja putihnya. Rambut depannya sedikit lembab khas orang yang habis berwudhu. Lelaki itu duduk di sebelahku dispasi oleh sebuah sajadah.

”Boleh gue pinjam tangannya?” Aku bertanya pelan hingga kening mulus Ergi sedikit mengerut.

Ergi diam saja melihat keanehanku. Aku pun bingung kenapa jadi seperti ini. Tetap kulanjutkan apa yang tercetus dalam kepalaku ini. Aku mengambil tangannya sebelum dia menanggapi pertanyaanku. ”Boleh gue menciumnya?”

Tenang. Aman. Rasanya aku menitipkan sebagian masalahku kepadanya. Suamiku. Tersadar dari momen melankolis yang bukan Ayla banget, aku segera menyingkir dari Ergi. Malu-maluin banget sih gue!

”Kamu dari mana sama Arya, Ay?”

”Mancing. Tapi nggak seru sih. Gue kipikiran elo terus di sana. Takut lo nanti marah karena gue nggak bilang-bilang. Mau cepat pulang karena lo janji mau ajak gue makan malam.”

Ergi mengacak puncak kepalaku. Dengan cepat aku menjauhkan tangannya.

”Lalu keluarnya gimana? Nggak apa-apa Arya melihat aku keluar dari kamar ini?”

Rambutku jadi gatal.

”Kamu masih belum bisa ngaku ke Arya siapa aku? Ay ... kamu suka sama Arya?”

”Enggak! Yah nggak enak aja sama Arya. Dia suka gue udah lama sebelum lo. Terus lo bayangin aja, Gi, gue bilang gini, ‘Ar, sebenarnya gue udah nikah.’ Dia pasti mikir gue cuman bohongan. Percuma aja gue jujur kalau dia nggak percaya, ‘kan?”

Ergi—lagi-lagi—mengacak rambutku. ”Memangnya kamu tahu dari mana dia suka kamu lebih dulu dari aku? Aku nggak pernah bilang sama kamu kapan mulainya aku jatuh cinta sama kamu.”

”Kapan?” Hee ... tunggu apa tadi, jatuh cinta?

”Sejak kita sering sama-sama. Sejak aku menyukai tugas mengantar-jemput kamu pulang setiap Sabtu malam,” ucapnya mencubit ujung hidungku. ”Kamu ... kapan bisa jatuh cinta sama aku?”

Seluruh bulu di tubuhku tiba-tiba merinding. Badanku panas dingin. Ini laki-laki satu mulutmya manis banget sih? Jangan-jangan dia buaya, biasa merayu perempuan.

”Ih ... apaan sih lo lihatin gue. Awas minggir gue mau mandi. Panas banget sih ini kamar. Biasanya gue sendirian, sekarang ada lo jadi sirkulasi udaranya terganggu.”

”Ay,” panggilnya saat aku hendak menutup pintu kamar mandi. ”Aku boleh keluar kamar?”

Aku menggeleng cepat. Dia tersenyum lebar.

”Kalau gitu ... aku boleh ikut masuk ke kamar mandi?”

Pintunya kubanting. Kenapa sih Ergi jadi seperti itu? Bicara macam-macam di luar akal. Berlaku aneh-aneh di luar kebiasaan.

Cinta? Dia jatuh cinta kepadaku?

***

”Gi ... ini apa-apaan sih makan di restoran? Kayak yang banyak duit aja. Pindah ke warung nasi padang aja deh, Gi. Udah biasa makan nasi rendang perut gue. Lihat nih ... gue juga cuman pakai baju gembel gini. Nggak usah macam-macam deh lo untuk narik hati gue.”

Ergi menghela tanganku bahkan hampir menggeretnya. Enggak romantis banget sih! Yang lebih menjengkelkan adalah tatapan dari wanita lain bagai ingin menarik Ergi ke toilet. Disuruh pegangin tas mereka maksudnya. Ergi ‘kan enggak ganteng banget, tak mungkin mereka berfantasi kotor tentang Ergi.

Ergi enggak ganteng, Ay?

Itu siapa sih yang mencemooh pikiran gue? Enggak sopan banget. Ya terserah gue mau ngatain Ergi ganteng kek, enggak kek, kenapa situ yang rempong kayak yang paling benar aja. Tapi ... itu sesembak yang pakai gaun kekurangan kain benar-benar harus dicolok matanya. Dia melihat Ergi seperti sebuah klepon yang siap dimakan dalam sekali lahap. Menelannya bulat-bulat.

”Gi ... gue enggak suka dengan embak-embak itu.” Kutunjuk langsung sesembaknya.

Ergi berhenti melangkah. Ikut aku melihat wanita yang kumaksud.

”Dia ngeliatin lo terus dari tadi, sejak kita masuk. Sama yang di sana. Terus hm ... dia juga.” Menudingkan jari ke oknum-oknum yang kulihat memerhatikan Ergi secara gamblang. Tidak lihat bahwa laki-laki ini bawa istri.

Ergi terlihat bosan. Dia melabuhkan tangannya ringan ke kepalaku, tak sampai mengacaknya.

”Kamu beruntung punya suami ganteng dan matanya cuman mau lihat kamu, bukan ke mereka.”

Aku pura-pura ingin muntah. ”Narsis nggak cocok sama lo.”

”Itu bukan narsis. Harus punya percaya diri tinggi supaya kamu bisa yakin bahwa aku tidak bohong. Sampai sekarang kamu belum percaya dengan semua yang aku katakan. Aku harus berusaha dong salah satunya dengan menaruh keyakinan yang besar bahwa istriku sedang cemburu karena suaminya diminati banyak perempuan.”

”Ergi. Itu sangat menggelikan.” Aku nyaris tertawa sebelum sesuatu membungkam mulutku.

Ciuman di depan orang banyak! Am I lucky or bad luck?

”Coba lihat sekarang sudah nggak ada yang melihat ke sini.”

Betul.

”Karena akhirnya mereka tahu aku datang bawa gandengan. Percaya ‘kan suaminya Ay ini ganteng sampai-sampai dilirik beberapa wanita? Sayangnya, aku hanya terima kalau yang melirik itu kamu.”

”Ergi! Stop gombalnya!”

Dia tertawa manis. Membawaku ke sebuah bangku yang terletak di dekat jendela. Kerlip lampu kota menghiasi suasana malam ini. Jika Ergi terus-menerus menggencarkan aksinya seperti tadi, aku mungkin bisa kalah. Yang harus kulakukan adalah menebalkan dinding hati. Kalau bisa, pura-pura tuli agar gombalan Ergi tidak masuk ke relung jiwa.

Jangan pernah menyerahkan hati lo kepada siapa pun, Ayla. Sesuai dengan janji lo bahwa elo akan membuat Ergi sendiri yang mundur dari pernikahan ini dan membatalkan poin nomor lima.

***

TBC

4 Mei 2019

Karena mau Ramadhan, untuk teman-teman Muslim dan Muslimah, Kasev mohon maaf lahir dan batin.

Dari Ayla dan Ergi juga mereka mau minta maaf jika ada salah dan khilaf selama ini.

Ayla sama Ergi mau cinta cintaan yaaaa..  Udah halal ini, gaspol Ay.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top