10
Naya menatap kosong pada Reza yang kini berdiri di hadapannya. Pria itu baru saja memutuskan hubungan mereka, dan ia masih merasa sulit untuk mencerna semuanya, atau lebih tepatnya menerima kenyataan yang baru saja menghantamnya dengan telak. Sekian lama mereka menjalin kasih sulit menerima kenyataan jika pria yang begitu dicintainya kini mencampakannya demi wanita yang baru saja hadir beberapa bulan ini dalam hidupnya. Semua terasa sulit baginya tuk di percaya, dan ia berharap semua ini hanyalah sekedar mimpi.
Senyum terukir di bibirnya yang kini bergetar, dengan pangdangan berkaca-kaca ia berucap. "M-Mas, ini.. tidaklah lucu."
Reza menatap Naya penuh sesal, namun keputusannya telah bulat, hari ini ia bertekad mengakhiri hubungan mereka, mengakhiri semua bentuk hubungan yang terjalin di antara mereka. Baginya tak ada yang lebih penting dari Ayana dan calon anak-anaknya. Ia tau ini sangat tak adil bagi Naya, ia tau ia begitu jahat dan tak berperasaan, namun ia harus melakukannya demi istri dan anak-anaknya.
"Maafkan aku. Aku tidak cukup baik untukmu. Ku yakin di luar sana kau bisa menemukan pria yang lebih dariku." Reza mengalihkan pandangannya pada apapun yang dapat dilihatnya, tak mampu memandang sepasang mata sayu yang menatapnya penuh kekecewaan.
Naya tertawa hambar mendengarnya, air mata mengalir membasahi pipinya. Kekecewaan tergambar jelas di matanya. "Alasan macam apa itu?! Yang aku inginkan hanyalah kamu Mas, bukan pria lain!!" Teriaknya begitu frustasi. Dunianya seakan hancur, dengan nafas yang tercekat ia menatap Reza yang seakan enggan menatapnya, membuat sakit dihatinya semakin terasa.
"Maafkan aku. Tapi aku tidak bisa untuk terus bersamamu. Maafkan aku yang tak bisa menepati janjiku. Perasaan bukanlah kuasaku, dan Tuhan tlah merubah segalanya. Kini yang aku cintai hanyalah Ayana. Tak ada yang ku inginkan selain dirinya. Aku tau ini menyakitkan untukmu. Ku harap kau mengerti."
Naya memukul dadanya, ia terisak lirih begitu menyakitkan mendengar pertanyaan cinta dari bibir pria yang dicintainya untuk wanita lain. "Lalu bagaimana dengan aku? Apakah tak ada tempat yang tersisa sedikit saja untukku di hatimu? Aku telah dengan suka rela membiarkanmu menikahinya, aku juga dengan gilanya menyutujui permintaanmu untuk memiliki anak dengannya. Apakah ini balasannya untuk pengorbananku?"
"Naya.."
"Kamu jahat Mas! Kenapa kau lakukan ini padaku?! Apa salahku?!"
Naya bergerak mendekati Reza, memukuli dada pria itu dengan kepalan tangannya. Reza hanya bergeming membiarkan Naya memukulinya. Ia memang pantas mendapatkannya.
Setelah merasa lelah Naya pun hanya mampu terisak dengan tangan yang masih berada di dada Reza.
"Hiduplah dengan baik. Aku yakin kau dapat menemukan pria yang lebih baik dariku. Jangan pernah menghubungiku lagi, karena aku ingin menjaga perasaan istriku." Setelah mengatakan hal itu Reza pun keluar dari apartemen Naya. Naya merosot lemas terduduk di lantai. Ia merenggut dadanya yang semakin terasa sesak, Reza mencampakannya, pria itu benar-benar membuangnya, membuatnya seakan kehilangan arah.
Setelah keluar dari apartemen Naya Reza pun berjalan memasuki lift, dentingan lift pun terdengar dengan langkah lebar ia berjalan keluar. Reza menganggukan kepalanya saat sang satpam menyapanya dengan ramah seperti biasa saat ia berkujung. Setelah itu ia memasuki mobilnya dan mengendarainya menjauhi kawasan hunian elite yang tak pernah terpikirkan akan ia kunjungi lagi semasa hidupnya. Beban dihatinya kini tarasa ringan, bagai batu yang sekian lama menekan dadanya telah terangkat.
Takkan ada lagi kebohongan. Tekadnya telah bulat, membina rumah tangga bersama wanita dari calon anak-anaknya. Ia akan berusaha menjaga dan membahagiakan istri dan anak-anaknya. Hingga semua rambut di kepalanya berubah memutih, ia akan berusaha membahagiakan keluarga kecilnya.
Setelah berpikir matang-matang akhirnya Reza memutuskan memberikan apartemen itu pada Naya, karena tidak ingin membuat wanita yang pernah mengisi hatinya itu hidup terlunta-lunta. Naya sudah tak memiliki orang tua dan kerabat disini. Ia pun telah membicarakan hal itu dengan Ayana sebelumnya, dan istri cantiknya itu dengan baik hatinya tak menyuarakan keberatan sama sekali. Sekarang ia benar-benar bersyukur karena ibunya telah mempertemukannya dengan Ayana, wanita baik hati yang membuatnya takut kehilangannya setengah mati.
Ia memang mencintai Naya namun rasa cintanya tak sebesar yang ia miliki tuk Ayana. Hanya Ayana yang membuatnya seakan kehilangan arah saat kehilangannya. Ia bisa kehilangan Naya dan tak terjadi apapun padanya, namun ia takkan sanggup tuk kehilangan Ayana.
**
Hari-hari berlalu begitu cepat, usia kandung Ayana kini telah memasuki bulan ke 6. Dokter mengatakan jika kedua buah hatinya sehat dan memiliki berat badan yang ideal. Jenis kelamin pun sudah bisa di ketahui, dan kabar bahagianya Reza dan Ayana akan dikaruniai dua orang bayi kembar perempuan.
Semua peralatan bayi telah di siapkan baik oleh Aira maupun Reza. Reza begitu antusias menanti kelahiran calon putri kembarnya. Ia bahkan sudah mendisign dua kamar dengan warna pink dan biru langit, lengkap dengan asesoris dan pernanak pernik anak perempuan.
"Mau aku antar?" Tanya Reza untuk kesekian kalinya.
"Tidak usah. Aku kesini hanya sebentar karena merindukan Alka. Setelah itu aku akan ke rumah Ayah dengan menggunakan taxi. Sana kamu berangkat! Nanti telat."
Reza menghela nafas mendengar penuturan istrinya. Ingin sekali ia menjauhkan istri cantiknya dengan pria yang mengaku berstatus sahabat istrinya itu. Ia tak buta tuk menilai perasaan apa yang di miliki pria bernama Alka itu untuk Ayananya. Namun kata-katanya hanya mampu tersangkut di tenggorokan saat melihat binar bahagia di mata Ayana. Ia tau jika Ayana hanya menganggap Alka tidak lebih dari seorang sahabat. Namun sebagai seorang suami wajar saja ia memiliki rasa cemburu terlebih si pria tersebut memiliki rasa lebih pada istrinya.
"Baiklah. Aku ke kantor dulu. Jangan nakal. Nanti aku telepon."
Reza mencium kening, pipi dan bibir Ayana sebelum mengijinkan istrinya itu keluar dari mobil. Ayana melambaikan tangannya di depan restoran, setelah mobil Reza benar-benar tak terlihat barulah ia berbalik dan memasuki restoran yang selalu ramai itu.
Alka tengah berkutat dengan peralatan perangnya di depan kompor. Ayana hanya bersandar di kusen pintu menatap raut wajah serius pria tampan itu. Ia telah memberi isyarat pada seluruh kariawan untuk tak mengganggu Alka, pria itu begitu serius dengan pekerjaannya.
Beberapa menit kemudian menu yang dibuatnya selesai. Alka menyajikan masakannya ke dalam piring, berbalik dan tertegun sejenak saat tatapannya beradu dengan tatapan lembut yang menatapnya.
"Sudah lama." Alka berjalan mendekati Ayana, mengusap kepala wanita yang masih setia bertahta di hatinya.
"Lumayan. Kamu serius sekali, makanya aku gak tega ganggunya."
Kekehan ringan terdengar dari bibir Alka, mata pria itu menyipit saat tersenyum membuat sebagian pelanggannya yang di dominasi wanita menatap kagum padanya.
"Sudah sarapan?"
Keduanya berjalan dan memilih duduk di sudut restoran. Alka menarik kursi untuk Ayana, membantu wanita itu yang tampak kesusahan duduk karena perut buncitnya.
"Terima kasih." Ucap Ayana.
"Kamu belum menjawab pernyataanku." Alka menyandarkan punggungnya menatap lurus pada wanita di depannya.
"Sudah tadi di rumah." Ayana tersenyum kemudian membolak-balik buku menu di hadapannya.
"Ingin aku buatkan sesuatu?" Tanya Alka melihat Ayana yang tampak antusias dengan buku di tangannya.
"Mm, aku masih kenyang. Tapi kalo sekedar cemilan boleh." Ucap Ayana dengan senyum polosnya.
Alka tertawa sebelum bangkit dan mengacak rambut Ayana. "Tunggu sebentar aku buatkan kamu smooties." Ayana mengangguk cepat membuat Alka gemas mencubit hidungnya.
Alka kembali dengan semangkuk smooties stowbery di tangannya. Mata Ayana berbinar melihatnya, ia pun segera memakannya dengan lahap. Alka senang saat sesuatu yang di buatnya membuat wanita yang masih dicintainya itu senang. Tangannya mengulurkan selembar tisu, memberi isyarat dengan tangannya ke arah bibir jika ada smooties yang tertinggal di sudut bibir.
"Ah, kenyangnya." Ucap Ayana yang kini bersandar di sertai gerakan mengelus perut buncitnya. Alka menggelengkan kepalanya melihat hal itu. "Terima kasih atas makanan lezatnya. Sekarang perutku tidak lapar lagi."
Alka hanya tersenyum dan mengangguk, Ayana sepertinya tak sadar jika baru saja ia mengakui jika ia lapar lagi padahal belum lama ini ia sarapan. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat saat ini wanita itu tengah hamil besar dengan dua janin di dalam perutnya. Wanita dengan hormon kehamilannya. Dan hal penting yang wanita paling tidak sukai untuk di bahas, yaitu jika di ingatkan tentang bentuk fisik, wajah, dan usia. Di sarankan bagi pria untuk menghindari topik itu.
"Setelah ini kamu akan kemana?" Tanya Alka saat melihat Ayana yang meraih tasnya bersiap bangkit.
"Aku mau ke rumah Ayah. Kemarin Bi Sari telepon katanya akhir-akhir ini Ayah sering tidak enak badan."
"Mau aku antar."
Ayana menggeleng menolak tawaran Alka, ia berjalan bersisian dengan Alka hingga keluar dari restoran. "Tidak perlu. Kamu pasti sibuk."
"Baiklah. Hati-hati di jalan."
Ayana memasuki taxi yang telah di berhentikan Alka, ia melambai sebelum taxi berangkat. Alka pun melambaikan tangannya padanya.
Satu jam kemudian ia sampai di rumah Ayahnya. Ayana begitu cemas melihat kondisi Ayahnya yang terbaring di tempat tidur. Tampak pucat dan lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.
Indra meyakinkan putrinya jika ia baik-baik saja dan akan sembuh setelah meminum obat. Ia senang mendengar nada cerewet putrinya yang mengingatkannya pada almarhum istrinya, Ayana memang mirip sekali dengan ibunya, satu-satunya wanita yang Indra cintai dari dulu hingga kini.
"Jadi kedua cucu Ayah perempuan?"
Ayana mengangguk seraya mengulurkan foto USG kedua buah hatinya seminggu yang lalu pada Ayahnya.
"Jagalah mereka baik-baik. Ayah tidak tau apakah akan memilihat mereka saat terlahir ke dunia atau tidak."
"Ayah ini bicara apa sih?!" Mata Ayana berkaca-kaca mendengar perkataan Ayahnya. Tiba-tiba dirinya merasa takut, ketakutan yang begitu besar menyerang hatinya. Ayana menghambur memeluk Ayahnya. Terisak menangis memeluk Ayahnya dengan erat.
"A-Ayah pasti.. akan me-melihat mereka saat lahir. Berjanjilah pada Ayana untuk tak meninggalkan Ayana. Hiks hiks. Berjanjilah saat cucu-cucu Ayah terlahir Ayah akan merasakan bahagianya kelahiran mereka bersama Ayana." Ayana berucap lirih.
Indra memejamkan matanya, setetes air mata mengalir membasahi pipinya. Ia pun memeluk putrinya erat, mengecup pucuk kepalanya dengan sayang. "Iya sayang. Ayah berjanji akan ikut berbahagia bersamamu."
Ayana memeluk Ayahnya erat hingga jatuh tertidur. Sore harinya Reza datang untuk menjemputnya. Namun karena Ayana mengatakan ingin menginap keduanya pun menginap selama beberapa hari disana.
Tbc..
***
Mata udah berair karena perih, tapi tanggung nulisnya tinggal dikit lagi.
Badai semakin dekat, bersiap-siaplah stok tisu banyak-banyak.
24 September 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top