Bab 11
Salsa memasuki dapur sambil menghentak-hentakkan kaki. Mulutnya terus mengomel karena tak atas perbuatan Ayana di depan tadi. Belum lagi pandangan pengunjung Kafe yang menatapnya aneh, membuat Salsa semakin tak terkendali.
Menyadari kedatangan Salsa, Aksa pun lantas menghentikan aktivitas memasaknya.
"Lho, sayang kamu udah nggak marah lagi?"
"Tadinya udah enggak, tapi sekarang aku marah, marah, marah paket banget!"
"Lho, marah kenapa lagi?"
"Itu sahabat kamu tuh yang kamu bela-belain ngelarang aku masuk ke sini buat nemuin aku. Gimana aku nggak kesal, dibilang aku nggak ada kerjaan. Lagian ngapain aku kerja uang papa aku banyak."
"Tunggu-tunggu, kamu jangan marah-marah dulu. Aku nggak ngerti maksud kamu gimana? Ayana larang kamu nemuin aku? Nggak mungkin Ayana kayak gitu sayang, kamu pasti salah paham."
"Tuh kan? Kamu belain dia lagi. Sumpah ya Aksa. Kamu itu makin bikin aku kesal tau, nggak! Aku udah bela-belain datang ke sini, bukannya kamu sambut malah gini respon kamu?" Tanya Salsa penuh dramatis.
"Sayang, kamu jangan berisik, ya. Nggak enak sama pelanggan. Nanti kalau mereka dengar takutnya bikin nggak nyaman. Mending kamu tunggu aku di mobil, ya. Nanti aku samperin."
"Kamu ngusir aku?"
"Bukan sayang, bukan gitu maksud aku." Aksa mulai menggaruk kepalanya. Pusing bagaimana cara membuat Salsa bisa mengerti.
"Kamu tau nggak sih, aku itu dijauhin dari kamu. Kamu aja yang nggak ngerasa. Buktinya aku datang ke sini malah di usir sama anak yatim itu!"
Perkataan Salsa spontan membuat Aksa nyaris menampar. Beruntung tangan Aksa hanya menggantung di udara.
Menyadari Aksa yang siap menamparnya, Salsa refleks memejamkan mata.
Aksa kembali menurunkan tangannya yang sudah gemetar itu.
"Kamu itu kelewatan, Sal. Gimanapun Ayana itu sahabat aku. Dia juga gak pernah milih terlahir jadi anak yatim piatu. Aku tau kamu cemburu karena aku sering menghabiskan waktu sama Ayana, kan? Tapi kamu harusnya ngerti kalau aku itu benar-benar kerja, nggak lebih!"
"Emang kenyataannya, kan? Kalau dia punya orang tua juga belum tentu dia mau kerja kayak sekarang, kan?" Salsa sudah membelalakkan matanya menatap Aksa. Kesalnya samakin bertambah kala Aksa terkesan lebih memojokkannya.
"Gini aja, deh. Aku udah capek nahan cemburu, aku udah capek mikir yang macem-macem. Mending kita putus aja. Jadi kamu bisa bebas dekat-dekat sama Ayana. Anggap aja dia udah berhasil rebut kamu dari aku!"
Salsa meninggalkan dapur dengan langkah cepat. Disusul oleh Aksa yang tidak terima karena Salsa sudah memutuskan hubungan mereka.
"Sal, Salsa!"
Kedua manusia itu melewati Ayana yang tengah melayani pelanggan. Sesampainya di depan Kafe, tangan Aksa berhasil meraih pergelangantangan tangan Salsa.
"Maksud kamu apa bilang-bilang putus kayak gitu. Jangan aneh-aneh, Sal. Kamu itu lagi emosi."
"Aku nggak peduli!" Salsa langsung masuk ke dalam mobilnya dan menutup pintu dengan kasar. Nyaris saja tangan Aksa terjepit pintu mobil. Setelah berhasil masuk, Salsa langsung menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan Kafe Aksa
Ternyata perdebatan itu diam-diam disaksikan oleh Alfi. Dia menjadi tidak mengerti kenapa Alfi bisa jatuh cinta pada gadis keras kepala seperti perempuan bernama Salsa itu.
Dia sendiri sebagai seorang lelaki tentu Alfi tidak ingin mendapatkan perempuan kasar Salsa.
"Tuh kamu lihat, kamu jangan contoh ya kelakuan kayak gitu, kasar banget. Mana tadi dorong mbak Ayana, lagi. Coba aja kalau bukan perempuan, pasti udah aku bales." Kata Alfi yang masih belum redam rasa kesalnya.
"Kamu kayaknya sakit hati banget pas mbak Ayana diperlakukan kayak gitu."
"Ya jelas aku sakit hati. Aku nggak suka ada perempuan sekadar itu, apalagi nyakitin orang baik kayak mbak Ayana."
"Iya, sih." Kata Alvira yang berusaha mengusir rasa cemburu saat tahu Alfi perhatian seperti itu dengan Ayana.
Kini terlihat Aksa yag sudah lesu tak bersemangat atas kandasnya hubungan mereka. Aksa betul-betul tidak mau.
Aksa berlari mendekati meja di mana Alfi membuat kopi.
"Heh, gue pinjam motor Lo, ya."
"Motor? Mas mau ngapai? Mau pergi lagi? Nanti kalau mbak Ayana marah gimana?"
"Udah nggak usah peduliin. Ini situasinya udah genting." Afli tidak punya pilihan lain selain memberikan kunci motornya.
"Emang ya cinta itu buta, buta banget!" kata Alfi yang hanya bisa menatap kepergian Aksa.
'Iya, buta. Saking butanya kamu nggak nggak bisa liat aku, Pi.' kata Alvira di dalam hati.
Sementara di dapur Ayana berusaha memadamkan api yang sudah menjalar. Aksa betul-betul kelewatan, dia meninggalkan dapur dalam keadaan kompor yang masih menyata serta ayam yang masih digoreng. Seandainya dia tidak segera datang ke dapur pasti Kafe ini sudah habis terbakar.
Ayana batuk berkali-kali lantaran asap yang baunya sangat pekat. Ayam yang goreng di kualipun sudah gosong.
Alfi yang tadinya masuk ke dalam Kafe untuk memberi tahu kepergian Aksa pun dibuat kaget saat melihat asap yang keluar dari dapur.
"Astagfirullah, Mbak. Ini kenapa?" Alfi mengusir asap yang berusaha masuk ke hidupnya dengan tangan.
"Ini ulah Aksa, dia ninggalin dapur dalam keadaan kompor menyala. Kayaknya dia mau bakar kafenya sendiri." Kata Ayana kesal. Bisa dipastikan jika Ayana tahu kalau Aksa pergi rasa kesalnya akan semakin bertambah.
"Terus sekarang dia mana? Aku mau dia mempertanggungjawabkan perbuatannya ini."
"Aksa, dia..."
"Kenapa?"
"Dia pergi nyusul pacarnya, Mbak. Aku dengar tadi dia diputusin pacarnya."
"Apa?"
Ayana tidak tahu ini kabar gembira atau kabar buruk. Dia senang jika memang pada akhirnya hubungan Aksa dan Salsa berakhir, tapi di sisi lain dia juga kesal karena lagi-lagi Aksa tidak mau menepati janjinya.
***
Hari sudah beranjak malam, dan para pelanggan pun sudah tidak ada satu pun yang datang, menandakan kafe sudah akan tutup, tapi Aksa tak kunjung menampakan batang hidungnya.
Alfi meminta Alvira untuk pulang duluan karena ia harus menunggu dulu lantaran motornya yang tadi dipakai Aksa.
Dengan terpaksa Alvira pulang sendiri, dan kini tinggal tersisa Alfi dan Ayana yang duduk di salah satu meja.
Ayana benar-benar tidak enak kepada Alfi. Ia khawatir Aksa malah merusak barang orang lain. Kentara sekali wajahnya yang terlihat cemas sejak mendengar kalau Aksa putus dengan Salsa. Belum lagi masalah dapur tadi yang nyaris kebakaran.
Memang semuanya tidak ada yang mudah di dunia ini, termasuk memulai usaha. Ada saja ujiannya. Dan ini baru awal, entah ke depannya akan seperti apa. Yang Ayana tahu menjadi pengusaha itu harus punya mental kuat. Andai Aksa tidak punya sifat keras kepala, andai perangainya mirip dengan Alfi, pasti semuanya akan jauh lebih mudah.
"Kenapa Mbak gelisah gitu?" tanya Alfi.
"Gimana aku nggak gelisah, Fi. Motor kamu dibawa sama Aksa. Aku takut motornya kenapa-kenapa."
"Motornya yang kenapa-kenapa atau orangnya yang kenapa-kenapa?"
"Eh?" Pandangan Ayana yang awalnya tertuju keluar kini berpindah ke Alfi.
"Udah, nggak pa-pa kali, Mbak. Santai aja. Semoga semuanya baik-baik aja." Alfi mencoba menenangkan.
"Ih, aku serius, lho. Aku kahwatir sama motor kamu. Aku tahu Aksa itu kalau lagi marah atau kesel gitu, suka nggak bisa kontrol. Takutnya dia malah ngerusak motor kamu yang nggak punya salah sama sekali itu."
Alfi malah tertawa. "Sebegitu kenalnya ya, Mbak, sama sahabat Mbak? Sampai hal kayak gini aja bikin Mbak khawatir. Padahal kan Mas Aksa udah dewasa."
"Ya iyalah, aku kenal dan hidup sama dia sejak kecil. Gimana aku nggak kenal. Umur boleh dewasa, Fi, tapi otak belum tentu. Menurut aku malah kamu lebih dewasa ketimbang si Aksa."
Lelaki itu kembali terkekeh. Dalam segala kondisi dia memang gampang sekali untuk tertawa. Alfi memang tenang dan santai orangnya. Kalaupun ---amit-amit--- motornya rusak gara-gara Aksa sepertinya ia tidak akan ngamuk. "Berdoa aja, Mbak, semoga nggak terjadi apa-apa."
Gara-gara ucapan Alfi Ayana malah jadi overthinking soal Aksa, bukan motornya lagi. Mau menghubungi juga sulit karena Aksa tidak membawa ponselnya.
Apa Aksa baik-baik saja?
Pertanyaan itu yang kini mulai menyerang pikirannya. Motor dan pengendaranya sama-sama penting. Bertambahlah kekhawatiran Ayana.
Detik berikutnya, seperti melihat keajaiban, sebuah motor tiba di halaman. Cahaya yang berasal dari lampu motor semula menembus kaca pintu kini sudah redup. Terlihat sosok Aksa berjalan masuk. Ayana bernapas lega. Begini saja sudah cukup membuat batu yang sejak tadi menindih kepala bisa terangkat.
Sampai di dalam lelaki itu meletakkan kunci motor milik Alfi di meja tempat Ayana dan Alfi duduk dengan keras hingga menimbulkan suara. Belum sempat Ayana menanyakan apa yang terjadi Aksa sudah berjalan kembali dan ia naik ke lantai atas.
Fokus Ayana kembali ke Alfi lagi.
"Maaf kalau Aksa nggak sopan, Fi." Pasalnya temannya itu tidak mengucapkan maaf dan terima kasih sebagaimana seharusnya.
"Iya nggak pa-pa, Mbak. Santai aja."
"Ya udah sekarang kamu pulang. Hati-hati, Fi."
Alfi menganggukkan kepala dan bergegas untuk pulang.
Sedangkan Ayana buru-buru menyusul Aksa ke atas. Ia tahu lelaki itu sedang tidak baik-baik saja dilihat cara dia berjalan.
Ketika kakinya tiba di atas, ia melihat Aksa sedang duduk bersandar di kursi yang ada di dekat tembok.
Pelan-pelan Ayana melangkah hingga ia ikut duduk di sebelah Aksa. Ia menatap wajah Aksa yang terlihat semrawut.
"Kamu putus sama Salsa?" tanya Ayana hati-hati.
Tidak ada jawaban dari Aksa.
"Sa ...."
"Iya, kita putus, dia nggak mau dengerin penjelasan aku," jawab Aksa tanpa mau melihat wajah Ayana.
"Mungkin itu cuma emosi sesaat, Sa. Aku yakin Salsa cuma butuh waktu untuk sendiri."
"Ini semua gara-gara kamu."
"Gara-gara aku?"
Aksa menatap Ayana. "Kalau aja tadi kamu nggak larang-larang dia buat ketemu aku, dia nggak bakal marah dan dia nggak bakal ngajak putus."
"Aku cuma mau ngasih dia pengertian supaya jangan ganggu kamu yang lagi kerja. Ini semua salah paham."
"Tapi kamu tahu sendiri gimana sifat Salsa. Aku mau kamu besok minta maaf sama dia. Kamu harus ikut sama aku ke rumahnya dan kalian bicara secara baik-baik."
Ayana tak habis pikir dengan ide Aksa. "Aku minta maaf? Salahku di mana?"
"Kan tadi aku udah bilang. Salsa marah gara-gara kamu tapi dia malah ngajak putus. Tandanya kamu harus ikut tanggung jawab."
"Aku nggak mau."
"Ayolah, Ay, bantu aku. Kamu harus ikut rapiin apa yang udah kamu hancurin. Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus mau minta maaf," ucap tegas Aksa sebelum akhirnya ia beranjak dan pergi meninggalkan Ayana yang masih terdiam kutu di tempat.
Minta maaf kepada Salsa?
Aksa sudah gila, ya?
Gara-gara cinta bisa membuat orang tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Otak Aksa sudah rusak karena rasa cintanya itu. Andai Ayana punya kuasa untuk meminta Aksa putus, akan ia lakukan. Tapi Ayana tahu, itu hanya akan menyakiti hati Aksa.
Ayana memang tidak suka dengan hubungan Aksa dan Salsa, tapi ia akan lebih tidak suka jika melihat Aksa patah hati. Semuanya serasa serba salah. Andai bukan perempuan seperti Salsa yang Aksa kencani, Ayana bisa tenang dan menerima walau di sini hatinya akan sama-sama terluka.
Yang penting Aksa bahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top