Bab 10


Alfi berjalan menghampiri Alvira yang berdiri di dekat parkiran motor. Tadi Alfi sudah meminta Alvira pulang bersama jadilah wanita itu menunggu di situ. Entahlah tadi lelaki itu pergi ke mana dulu.

"Hei, Vir," sapa Alfi.

"Hei."

"Udah lama nunggu? Maaf tadi ada urusan sebentar sama temen."

"Enggak, kok, sekitar lima menit. Oh, ya ada apa? Ada hal penting?"

Alfi mengangguk. "Penting banget ini, Vir. Kamu masih ingat kamu pernah minta aku jadi karyawan juga di tempat aku kerja?"

"Oh iya, itu. Emangnya kenapa?"

"Aku udah bicara sama yang punya kafe dan katanya bosnya setuju kalau aku bawa temen untuk kerja di sana."

Mata Alvira membesar. "Serius, Pi?"

"Ya serius, lah, masa aku bohong."

Dua tangan Alvira menutup mulut yang terbuka saking terkejutnya.

"Ya udah, yuk, kita ke sana sekarang."

"Sekarang juga?"

"Iya, Vir. Sekarang."

"Ya ampun, makasih banyak, Pi. Aduh padahal aku nggak berharap penuh sama kerjaan itu."

"Sebagai teman yang baik, aku pasti mengusahakan. Lihatlah. Berhasil, kan?"

"Emang temen tertop, deh!" Alvira menepuk bahu Alfi. Lelaki itu malah cengengesan dan memberi kode bahwa ia akan mengambil motornya dan mereka akan berangkat bersama.

Tidak lama kemudian sekarang keduanya sudah ada di atas motor.

Motor Alfi membelah kota Jakarta. Ada dua hal yang membuat hati Alvira berbunga-bunga. Pertama, karena dia akhirnya mendapatkan pekerjaan paruh waktu, ke dua, dia akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Alfi ketimbang sebelumnya. Memangnya siapa sih yang tidak senang jika bisa dekat orang yang diam-diam kita sukai?

Bagaimana Alvira tidak jatuh hati kepada sosok Alfi. Dia itu baik dan punya hati yang sangat tulus. Tingkat kepedulian dan kepekaan dia sangat tinggi. Dibandingkan dengan lelaki-lelaki zaman sekarang tentunya dia memiliki nilai plus yang berkali-kali lipat. Jarang-jarang ada cowok perhatian tapi bukan bermaksud untuk modus. Alvira juga bisa merasakan aura positif jika sedang bersama dengan Alfi. Kesopanan dan keramahan dia jangan ditanya lagi. Wajah sudah tentu di atas standar. Rajin senyum.

Ini bukan pertama kali Alfi memberikan bantuan tentunya.

Hal yang pernah Alvira ingat itu ketika dia mengeluh sakit perut akibat datang bulan, Alfi niat membelikan dia minuman pengurang rasa sakit ketika kelas sudah selesai. Tahu-tahu minuman itu sudah di atas meja.

"Kok kamu tahu, sih?" tanya Alvira. "Pernah pacaran, ya?"

Lelaki itu malah tertawa. "Pacaran dari Hongkong."

"Tapi kayaknya kamu tau banget soal cewek."

"Masa, sih? Itu yang sering diminum kakak cewek aku kalau datang bulan. Barangkali sama juga. Aku habisnya bingung nggak tahu harus gimana menghadapi cewek datang bulan. Cuma itu ilmu yang aku tahu. Itu nilai plus punya sodara perempuan. Seenggaknya bisa sedikit belajar tentang perempuan, tanpa jalur pacaran."

"Kenapa emang sama pacaran?"

"Buang-buang waktu plus dosa."

Wah. Amazing. Alvira memuji dalam hati.

Sungguh amazing lelaki yang menjadikan dosa sebagai alasan tidak mau pacaran.

Kembali lagi ke soal datang bulan. Padahal Alvira tidak suka minuman itu karena rasanya yang sangat pahit. Tapi lantaran itu pemberian Alfi jadilah ia terpaksa meminumnya. Demi menghargai kebaikan hati lelaki pemilik senyum manis itu.

Dan efeknya berhasil juga. Rasa sakit yang dirasakan berkurang.

Tahu Alfi yang tidak mau pacaran setidaknya membuat Alvira lega. Tandanya ia punya banyak kesempatan untuk bisa memilikinya kelak.

Akhirnya Alfi dan Alvira sudah tiba di kafe. Alvira turun dari motor dan melepas helm kemudian diberikannya kepada Alfi.

Alfi juga membuka helm dan mereka masuk ke dalam.

Sesampainya di dalam, Aksa memandang Alvira dari dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tatapan Aksa yang seperti itu justru membuat Alvira merasa risih dan tak nyaman.

Ayana yang sadar akan hal itu langsung menyikut lengan Aksa.

"Kamu kenapa sih liatnya kayak gitu banget." Ayana berbisik di samping telinga Aksa.

"Yaa cuma mastiin aja dia bisa kerja atau enggak. Takutnya dia cuma main-main doang, nanti dibentak malah nangis. Kamu tau sendiri kan aku orangnya kayak gimana, jangankan dia, Bibik di rumah aja sering aku marahin kalau kerjaannya gak bener."

Ayana berdecak kesal karena tingkah Aksa yang seperti itu.

"Kamu itu harus liat dulu kemampuan orang. Jangan langsung menilai sebelah mata. Dulu juga kamu menilai Alfi gitu kan? Buktinya apa? Dia bisa bikin menu yang jadi favorit di sini. Tau gak kamu nama menunya apa?"

"Apa?"

"Tuh kamu sendiri nggak tau." Ayana mengambil menu yang ada di atas meja.

"Nih, La-Tahzan Coffe. Makanya jangan keluyuran mulu, kamu."

"Dia nggak nyolong ide orang lain kan?"

"Enggak, lah. Dia itu bikin sendiri. Walaupun ada menu ini di kafe lain tapi rasanya pasti beda."

"Yaudah, bagus deh." Sungguh reaksi Aksa yang seperti itu membuat Ayana kesal. Beruntung pagi ini moodnya cukup baik, jadi diabtidak perlu marah-marah kepada Aksa.

Setelah Alfi memperkenalkan Alvira, Ayana pun langsung menarik tangan gadis itu untuk masuk ke dalam dapur Kafe.

Ayana mulai menjelaskan apa yang harus Alvira kerjakanm mulai dari telak bahan makanan dan stok kopi yang beraneka ragam.

"Fi, kamu mau kan ajarin Alvira bikin kopi La-Tahzan? Jadi nanti kamu yang bikin kopi sama, Vira. Sementara aku sama Aksa nanti di dapur dulu."

"Iya, Mbak."

Tentu pernyataan Ayana membuat Alvira senang. Itu artinya dia betul-betul semakin dekat dengan Alfi. Alvira berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas yang tidak mungkin datang dua kali.

"Ingat ya, Aksa. Kamu nggak boleh pergi dari Kafe ini. Kesampingkan dulu urusan Salsa."

Aksa tak merespon apa-apa. Tapi, Ayana bisa melihat jelas bagaimana raut wajah Aksa yang sedang berusaha keras menyembunyikan rasa kesalnya.

"Kalau kamu mau ingkar janji lagi itu terserah kamu. Berarti aku juga nggak usah semangat bantuin kamu, lagipula yang punya hutang sama ayah kamu itu kan kamu, bukan aku. Jadi aku nggak bakal bantu kamu lagi. Terserah kamu mau ganti uang ayah kamu pakai apa aku nggak peduli."

"Iya, iya, aku nggak bakal pergi. Kamu gitu banget sih, sama sahabat sendiri."

"Ya aku pokoknya cuma ngingetin kamu aja, jangan mentang-mentang sekarang udah ada Alvira aku merasa bisa santai-santai."

Sementara di luar Alfi mengajarkan Alvira membuat kopi-kopi dengan rasa yang enak. Bukannya fokus dengan apa yang Alfi ajarkan, Alvira malah sibuk menatap wajah Alfi. Suara Alfi begitu lembut masuk ke dalam gendang telinganya.

"Nah ini kamu cobain kopinya. Pasti rasanya pas. Nggak pahit dan nggak terlalu manis."

"Ha? Iya." Gadis itu langsung mengambil secangkir kopi yang Alfi sodorkan.

"Kamu kenapa? Kamu udah ngerti nggak?"

"Aduh, maaf, Pi. Tadi aku ngelamun."

"Ngelamun kenapa?"

"Nggak tau nih. Aku kepikiran kayaknya bos kita itu galak, ya. Gimana kalau aku dipecat." Kata Alvira mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin Alfi menyadari bahwa dia tengah menatap Alfi cukup lama.

"Dia emang kayak gitu, Vira. Udah, kamu nggak usah ambil hati. Buktinya Mbak Ayana yang udah kenal sama dia bisa tahan kan? Artinya dia pasti punya sisi baiknya."

"Ya iya sih, Pi."

***

Ayana keluar dari kafe untuk melihat Alfi dan Alvira yang tengah belajar membuat kopi, tapi langkahnya terhenti saat melihat keadatangan sosok perempuan yang kehadirannya sama sekali tidak dinantikan, atau bahkan kalau bisa Ayana ingin wanita itu lenyap dan pergi dari dunia.

Wanita rempong yang selalu bikin repot orang lain plus merusak pemandangan siang yang sangat indah dan cerah ini. Setidaknya kalau tidak bisa membantu jangan menyusahkan! Orang seperti itu memang layak untuk didiskualifikasi dari bumi ini.

Dengan percaya diri Ayana menghalangi langkah Salsa. Lihatlah, parfumnya langsung menusuk indera penciuman Ayana. Lagi-lagi Ayana berpikir, kok bisa Aksa bucin dengan perempuan di hadapannya ini?

"Minggir lo."

"Kalau aku nggak mau?"

"Emangnya lo siapa ngehalangin gue?"

"Aku berhak menentukan siapa yang datang dan siapa yang enggak. Kursi di dalam penuh, Mbak. Lebih baik cari kafe lain, lah."

"Lo pikir gue datang ke sini buat makan apa?"

"Ya iya, siapa pun yang datang ke sini pasti tujuannya buat makan."

"Oke. To the point aja, ya. Gue mau ketemu sama Aksa."

"Nggak bisa!" tandas Ayana cepat.

Mulut Salsa terbuka. "Apa lo bilang?"

"Kamu nggak bisa temuin Aksa sekarang. Dia lagi sibuk di dapur."

Salsa sedikit mengangkat kepala dan menggaruk leher, kemudian mengembuskan napas.

"Emang kalau gue mau ketemu dia harus nunggu persetujuan lo dulu, ya?"

"Ini bukan soal setuju atau enggak. Tapi ini untuk kebaikan usaha Aksa. Aku nggak mau ya kamu merusak dengan cara terus-terusan datang ke sini dan ngerengek. Seenggaknya kamu kasih ruang buat dia ngembangin usaha ini. Sebagai pacar harusnya kamu kasih support, bukan malah memperumit keadaan."

"Heh! Terserah gue dong! Apa pun alasannya gue nggak peduli. Gue nggak larang dia buat ngembangin usahanya, kok. Gue cuma nggak mau gara-gara ini dia jadi lupa sama gue. Gue mau sebagain waktu Aksa, bahkan untuk waktu yang lebih lama, dia habiskan waktu itu sama gue."

"Kamu nggak ada kerjaan emang apa?" tanya Ayana heran.

"Nggak ada. Apa yang harus gue kerjain kalah keluarga gue udah kaya? Orang tua ada. Emangnya lo!"

Ayana menggigit bibir bagian bawah. Bisa-bisanya Salsa menyinggung soal orang tua. Andai ini bukan di tempat umum, sudah Ayana sumpal mulutnya itu dengan kain lap bekas mengepel lantai biar tahu rasa.

"Dasar egois." Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Ayana.

"Kadang orang harus egois supaya bisa menjaga apa yang dimilikinya. Udahlah, nggak penting juga ngobrol sama basa-basi sama lo." Salsa melangkah ke kanan, tapi Ayana ikut ke kanan dan menghalanginya lagi.

"Plis, untuk hari ini aja, aku mohon sama kamu. Kafe lagi sibuk."

"Bodo amat." Kali ini Salsa ke kiri, Ayana kembali menghalangi. Kali-kali ia memang harus keras.

Dua tangan Salsa mengepal. Dia ke kanan lagi, Ayana tak memberi kesempatan. Kemarahan Salsa pun mencuat hingga ia menyingkirkan Ayana dari hadapannya dengan cara mendorong lengannya ke samping sampai tubuh Ayana jatuh ke paving block.

"Ups, sorry. Salah lo sendiri." Tanpa merasa berdosa Salsa melenggang masuk ke dalam.

Pantas saja mereka jadi pasangan, sama-sama keras kepala. Belum sempat Ayana berdiri, sudah ada seseorang yang membantunya, siapa lagi kalau bukan Alfi yang tadi melihat perseteruan Ayana dan Salsa.

"Mbak nggak papa, kan, Mbak?" tanya Alfi begitu Ayana sudah kembali berdiri.

Ayana menepuk-nepuk tangannya yang berdebu. "Nggak pa-pa, kok, Fi. Makasih, ya."

"Benar-benar ya itu cewek, Mbak. Kasar banget," komentar Alfi. "Lain kali lawan aja Mbak perempuan kayak begitu."

"Nanti kalau aku lawan nggak ada bedanya aku sama dia."

"Nggak pa-pa, Mbak. Kalau dia dorong Mbak, dorong lagi aja biar tahu rasa. Nanti juga palingan dia takut. Cuma modal punya gelar pacar Aksa aja dia itu makanya berani. Aslinya pasti cetek banget."

Ayana malah tertawa. "Kok malah kamu yang emosi, sih?" Ia bisa melihat semangat empat lima Alfi kala memaki Salsa. Seperti ada dendam tersendiri.

"Ya aku nggak suka aja ada cewek kasar begitu. Jadi cewek itu harus punya sopan santun, dari mulai cara dia berpakaian, bicara, dan cara dia menghormati dan menghargai orang lain. Salah satu contohnya seperti Mbak Ayana ini."

Pipi Ayana sedikit memerah. Baginya pujian adalah hal yang paling geli untuk ia dengar.

"Apa, sih."

"Itu kenyataan, Mbak. Kalau dibandingkan Mbak Ayana atau dia, ya tentu Mbak Ayana lebih baik, lah. Nggak semua orang beruntung lahir dari keluarga berada, tapi nggak semua orang juga beruntung diberikan kekuatan hati dan fisik untuk menanggung segala masalah dan kesulitan. Dia belum tentu bertahan jadi anak yang yatim piatu dan harus kerja banting tulang, lho, Mbak."

Air muka Ayana berubah. Sepertinya Alfi mendengar ucapan menyakitkan yang dilontarkan Salsa tadi.

"Ya udah, semangat, Mbak!"

Ayana pun tersenyum, cukup terhibur dengan nasihat Alfi yang menenangkan hati dan menenangkan jiwa.

"Semangat!" Alfi mengangkat tangan.

"Semangat!" Kali ini senyum Ayana lebih lebar. Positif vibes sekali lelaki yang baru dikenalnya ini. Ayana bersyukur diperkenalkan dengan orang-orang baik.

Alvira yang sejak tadi melihat interaksi dan cara bicara Alfi dan Ayana bisa menyimpulkan bahwa mereka sudah sedekat itu. Bukan lagi interaksi seorang atasan kepada bawahan atau sebaliknya, tapi lebih kepada sepasang teman yang sudah akrab sejak lama.

Alvira tahu perangai Alfi. Dia baik bukan hanya kepada satu perempuan saja, melainkan semua orang. Tapi Alvira berharap ia punya ruang khusus di hati lelaki itu kelak.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top