Bab 09


"Iya, Sayang, aku bakal luangin waktu."

"Lho? Kok gitu, sih? Bukannya kemarin waktu kamu sakit aku setia ada di samping kamu?"

Sebelah alis Arya naik ke atas mendengar suara yang berasal dari Aksa begitu ia masuk ke dapur. Anak itu sedang duduk bersantai sambil berteleponan.

"Oke, nanti malam aku jemput. Aku juga kangen sama kamu."

Arya menyilangkan tangan di bawah dada tanpa mau menganggu kegiatan sang putra yang sepertinya sedang dimabuk cinta itu.

"Bye." Satu kecupan mendarat di layar ponsel Aksa.

"Ekhem!"

Suara dehaman mengejutkan Aksa hingga lelaki itu berbalik. Betapa terkejutnya ia melihat kehadiran lelaki yang tak pernah ia kira akan sudi datang kemari. Aksa sampai langsung berdiri dengan gelagat gagap.

"Telponan sama siapa?" tanya sang ayah.

"A ... Ayah?"

"Kayak liat siapa aja."

"Ayah bisa ada di sini?"

"Telponan sama siapa?" Masih dengan pertanyaan yang sama.

"Temen, Yah."

"Temen kok sayang-sayangan."

Aksa tak mampu berkutik.

"Sa, jangan rusak kepercayaan Ayah untuk kasih kamu pinjaman demi membangun usaha ini." Terdengar nada

"Maksud Ayah apa?"

Jelas saja tadi Arya mendengar percakapan Aksa dengan teliti. Melihat tingkah sang putra dan mengenal betul bagaimana perangai dia, tentu Arya kurang memercayai perkataan Ayana tadi. Ia bisa melihat semangat yang Ayana tunjukan lebih berkobar ketimbang anaknya ini.

Tangan Arya terangkat dan menepuk bahu Aksa. "Kerja yang bener, jangan terlalu sering pacaran. Jangan campuri urusan kerjaan dan percintaan kamu. Jangan sia-siakan uang ayah, sahabat kamu, Ayana, kamu harus banyak bersyukur dan fokus."

Khas orang tua pada umumnya. Tidak ada hal lain yang diomongkan kecuali wejangan.

"Ayah mampir ke sini cuma mau liat aja. Ayah mendukung kamu. Jangan kecewakan Ayah."

Aksa mengangguk.

"Ya udah, Ayah pulang dulu."

Arya meninggalkan dapur dan ia kembali bertemu dengan Ayana.

"Om mau makan atau minum dulu? Biar aku yang buatin."

"Nggak perlu, Ay. Om udah kenyang."

"Ooh. Om mau langsung pulang?"

"Iya. Om titip Aksa sama kamu, ya. Kalau dia buat masalah atau sebagainya, kamu lapor aja ke Om. Biar Om yang marahi dia."

Ayana tertawa. "Enggak, kok, Om. Semuanya lancar. In syaa Allah. Om percaya aja sama kita."

Arya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Meski Aksa putra kandungnya ia lebih memercayai Ayana. Lelaki itu kemudian pamit pergi.

Setelah Arya meninggalkan area kafe, Aksa keluar dari dapur. Alfi berbisik bahwa perangai Aksa dan ayahnya sangatlah berbeda. Ayana yang sudah tahu sejak lama tertawa membenarkan.

Melihat kedekatan dan keakraban yang ditunjukkan Ayana dan Alfi membuat Aksa mendekat dengan mata yang menilik-nilik.

"Sejak kapan kalian sedekat ini?"

"Oh iya, Mbak." Alfi ingat ia harus ke kampus sekarang. Hampir ia lupa karena keasyikan bekerja di sini.

"Harus ke kampus, ya?"

Aksa mendelik karena merasa dikacangi.

Alfi membisikan sesuatu di telinga Ayana.

"Ooh, iya, hampir lupa," respons Ayana.

Alfi tersenyum.

"Iya, nanti aku bicarakan soal itu."

"Oke, makasih, ya, Mbak." Alfi berlari mengambil tas yang ia simpan di dapur kemudian kembali lagi. Ia pun berpamitan kepada Aksa dan Ayana.

Beberapa pengunjung yang tadi makan dan nongkrong juga satu per satu sudah pulang. Ayana bersiap membersihkan setiap meja. Aksa mendekati Ayana dan ikut membantu.

"Sekarang udah punya sahabat baru, ya?"

"Kenapa? Cemburu?"

"Kayaknya lebih dekat sama dia ya sekarang."

Dih. Nggak tahu aja selama ini aku menahan cemburu selama bertahun-tahun. Apa dia nggak ngaca kalau hampir setiap hari dia yang selalu asyik dengan Salsa?

"Alfi baik, kita sefrekuensi, jadinya cepat untuk dekat." Ayana berlalu sambil membawa beberapa wadah kotor untuk dibuang ke tong sampah.

***

Malam hari, sekitar pukul tujuh. Ayana dan Aksa duduk di meja pengunjung yang kini sedang kosong. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak mengobrol dan bercanda seperti ini. Mungkin ini gara-gara kecemburuan Aksa yang tadi melihat Ayana lebih akrab dan hangat kepada Alfi ketimbang dirinya.

Berlalih ke masalah inti, Ayana ingin membicarakan soal keinginan Alfi yang ingin mengajak temannya kerja di sini.

"Ya udah. Aku pulang sekarang, ya, Ay." Aksa berdiri dan melihat jam di pergelangan tangan.

"Mau ke mana kamu?" Padahal Ayana belum sempat mengungkapkan keinginannya.

"Keluar sebentar."

"Ketemu Salsa?"

"Kalau iya?"

"Kamu udah janji, lho, mau serius." Ayana ikut berdiri. Baru saja tadi melihat Aksa insyaf, masa mau kumat lagi?

"Tadi kan aku udah seharian di sini. Aku tunaikan semua kewajiban aku. Sekarang waktunya istirahat, lah. Aku juga harus bagi waktu aku."

"Astagaaa." Bola mata Ayana terputar. "Baru satu hari, lho, Sa. Baru satu hari kamu rajin di kafe. Itu pun belum penuh selama 24 jam. Kayaknya kaki kamu gatel banget pengen keluar dari sini."

"Tapi kan tugas aku udah ...."

Belum sempat Aksa melanjutkan ada beberapa orang masuk ke kafe, sepertinya mereka orang kantoran yang ingin mengisi perut selepas bekerja.

"Nah, lihat, kan?" Ayana menunjukkan ekspresi bahwa mustahil Aksa pulang malam ini.

"Aku sendirian, nggak ada Alfi. Dia udah pulang. Kamu tega ninggalin aku?"

Aksa berbalik, melangkah hendak keluar tanpa basa-basi.

"Untuk kesalahan-kesalahan aku yang kemarin, aku minta maaf. Aku janji nggak bakal ulangi lagi. Aku bakal fokus mengembangkan usaha kafe ini. Kalau suatu saat nanti aku melanggar janji ini, aku rela kamu hukum dalam bentuk apa pun."

Rekaman itu terputar dan masuk ke gendang telinga Aksa. Lelaki itu berdecak, menarik napas, kemudian membuangnya. Tak ada cara lain selain putar balik dan ia kembali berhadapan dengan Ayana yang tengah memamerkan ponsel.

"Kamu boleh pergi. Sebagai hukumannya kamu jangan harap aku mau ngobrol lagi sama kamu."

Ayana segera menghampiri meja yang sudah ditempati pengunjung tadi, segera menuliskan pesanan mereka dengan wajah ramah setelah sempat dibuat kesal oleh kelakuan Aksa. Sesekali ia  mengalihkan pandangan ke Aksa yang berjalan menuju dapur. Syukurlah lelaki itu masih punya rasa takut dan tanggung jawab juga.

Sebagai konsekuensinya pastilah Aksa akan kena amuk oleh Salsa.

Ayana menggeleng-gelengkan kepala enggan memikirkan kalau besok gadis berisik dan manja itu akan datang dan marah-marah. Dasar ratu drama!

***

"Aku minta maaf ya, Sayang. Aku nggak bermaksud buat bikin kamu marah dan nunggu kedatangan aku. Tapi tadi kafe aku benar-benar ada pengunjung. Aku nggak mungkin usir mereka. Kalau aku usir mereka otomatis aku bakal kehilangan calon pelanggan aku." Kini Aksa sudah sampai di rumah, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Setelah Kafe tutup, Aksa terlebih dulu mengantarkan Ayana pulang. Memastikan kalau sahabatnya itu sampai di rumah dalam keadaan selamat.

Baru saja Aksa membaringkan tubuh di atas kasur, ponselnya sudah berbunyi menandakan adanya panggilan masuk.

Aksa sempat terkejut saat nama Salsa muncul di layar ponselnya.

"Aku sedih, karena sekarang aku ngerasa kamu udah nggak cinta lagi sama aku, Aksa."

"Kok kamu bilang gitu sih, sayang?"

"Karena itu yang aku rasain. Dulu apa pun itu kamu selalu berusaha prioritasin aku. Apa ada yang nekan kamu? Ayana nekan kamu, ya?"

"Ini semua demi kebaikan kafe aku, sayang. Emangnya kalau aku sukses kamu nggak bangga?"

Aksa mendengar di seberang sana Salsa berdecak sebal. Dalam memori Aksa sudah melintas bagaimana raut wajah Salsa saat ini.

"Aku bingung lho, kamu marah-marah terus kalau aku nggak penuhi permintaan kamu."

"Gimana aku nggak marah, kamu batal pergi sama aku karena Ayana. Alasan aja kafe sama pelanggan. Ini semua taktik, Ayana. Aku udah hafal kok gimana seseorang yang cemburu."

"Cemburu gimana maksudnya?"

"Kamu itu nggak peka, Aksa. Aku bisa liat kalau Ayana itu nggak suka sama kedekatan kita. Harus berapa kali aku bilang sama kamu. Kalau Ayana itu punya perasaan lebih ke kamu, dia pasti menginginkan sesuatu."

Aksa mengusap rambutnya frustasi. Sungguh Salsa sudah salah paham sejauh ini.

"Nggak mungkin, Sal. Nggak mungkin Ayana seperti itu. Aku udah kenal siapa dia, aku tau dia bukan setahun dua tahun, lho. Nggak mungkin dan nggak akan mungkin Ayana mengkhianati persahabatan kita."

Karena perdebatannya dengan Salsa itu, Aksa sudah melupakan rasa lelahnya.

"Aksa, nggak ada yang tau hati seseorang. Kamu mungkin ngerasa biasa aja. Tapi aku tau kalau ini nggak wajar. Lagipula mama ada sih persahabatan perempuan sama laki-laki yang pure cuma persahabatan doang. Salah satunya itu pasti ada rasa. Iya kalau kamu nggak ada rasa, Ayana gimana? Apalagi kamu sama Ayana itu sering ketemu. Cinta itu bisa tumbuh karena seseorang bisa bersama. Aku takut, Aksa. Aku takut dia berhasil ngerebut kamu dari aku."

Aksa mengembuskan napas resah. Sepertinya percuma meyakinkan Salsa bahwa Ayana tidak memiliki perasaan apa pun padanya.

"Udah, mending sekarang gini kamu tenangin dulu diri kamu, kamu istirahat biar nggak makin ngelantur.  Kalau kamu udah nggak marah lagi sama aku, kamu bisa temuin aku besok di Kafe. Aku minta maaf nggak bisa samperin kamu besok. Karena tadi ada beberapa orang kantoran yang singgah di Kafe aku. Mereka besok request mau meeting di Kafe aku. Jadi, aku sama Ayana harus siapin ruangan buat mereka. Kasian kalau aku harus tinggalin Ay..." Belum sempat Aksa menyebut nama Ayana lagi, sambungan telfon sudah diputuskan begitu saja.

Aksa menghela napas. Menatap layar ponsel yang sudah tak menyala.

"Sal, sampai kapan sih kamu bisa ngertiin aku." Kata Aksa. Tanpa dia sadari ternyata sejak tadi sang ayah diam-diam mendengarkan percakapannya dengan Salsa.

Arya lantas masuk ke dalam kamar putranya itu.

"Kamu tertekan pacaran sama dia? Kalau pacaran kamu itu tidak sehat, buat apa dilanjutkan?"

Kening Aksa mengerut.

"Ayah, ini nggak seperti yang ayah kira. Salsa kayak gini cuma karena cemburu kok. Perempuan emang kayak gitu, kan?" Kata Aksa dengan santainya.

Arya hanya berekspresi datar. Entah bagaimana caranya menyadarkan Aksa bahwa Salsa bukanlah perempuan yang tepat untuk anaknya.

"Baru pacaran aja sifatnya sudah seperti itu. Gimana mau dijadikan istri? Setelah menikah nanti kamu bisa lebih terkejut lagi dengan tabiat dia yang belum kamu lihat."

Aksa hanya diam. Malas berdebat dengan sang ayah yang pada akhirnya akan selalu menang.

"Kalau kamu seperti ini terus, Kafe kamu tidak akan berhasil. Memangnya kamu bisa kembalikan uang ayah lagi?"

"Ayah tenang aja, secepatnya aku bakal kembalikan uang, Ayah."

Arya hanya mengangguk dan keluar dari kamar Aksa.

"Oh iya satu lagi. Ayana, kamu jangan semena-mena sama dia. Jangan mentang-mentang dia sahabat kamu, kamu malah seenaknya sama dia." Kata Arya sebelum meninggalkan kamar Aksa. Aksa hanya merespon denga dehaman saja.

***
Pagi-pagi sekali Aksa dan Ayana sudah membuka Kafe. Ayana jadi senang karena Aksa bisa menepati janjinya.

Semua ruangan sudah rapi, jika ada pelanggan mereka tidak perlu risih karena harus dibersihkan lagi.

"Oh iya."

Aksa menghadap ke Ayana saat gadis itu sepertinya ingin membicarakan hal yang serius

"Kenapa?"

"Kemarin aku ngobrol sama Alfi. Kalau dia punya teman namanya Alfira. Jadi dia itu lagi butuh kerjaan. Aku rasa nggak masalah deh kalau di Kafe kita nambah satu karyawan lagi. Kamu liat aja kemarin ramai kan?"

"Kok kamu nggak bilang sama aku?"

"Semalam aku mau bilang, tapi aku keburu kesal karena kamu mau pergi lagi. Ditambah ada pelanggan datang kan semalam, orang kantoran lagi. Jadi ya aku udah nggak sempat bilang."

"Itu teman apa kembaran. Namanya bisa sama begitu, curiga aku kalau itu kembaran dia. Nanti ujung-ujungnya malah bawa satu keluarga kerja di Kafe aku."

"Kamu pikirannya jangan suudzon mulunsama orang. Itu temannya, butuh kerjaan. Sementara kita juga butuh bantuan tenaga kan di sini."

"Yaudahlah terserah kamu. Mau nambah karyawan asalkan kita nggak rugi ya boleh aja."

"Oke. Kayaknya sebentar lagi mereka datang. Kamu di Kafe kan hari ini. Awas aja kalau main kabur-kaburan lagi. Ingat janji kamu, kalau kamu langgar siap-siaplah sama hukuman dari aku." Ayana menepuk pundak Aksa sambil tersenyum penuh kemenangan, kemudian melangkah pergi meninggalkan Aksa.

"Untung aku sayang sama kamu, Ay. Coba enggak. Mana mau aku kamu tekan kayak begini." Kata Aksa dengan mimik wajah yang masih tak terima.

Andai saja Salsa tidak keras kepala dan selalu salah paham. Aksa akan jauh lebih bahagia jika Salsa dan Ayana bisa dekat dan berteman baik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top