Bab 07
Saking takutnya membuat Salsa marah untuk ke sekian kali, Aksa tetap mengejar Salsa meski perempuan itu sudah naik ke taksi dan meninggalkannya.
Kala taksi yang ditumpangi Salsa sudah tiba di depan rumah, saat itu pula mobil Aksa sampai. Lelaki itu lekas turun dari mobil dan menyusul Salsa yang baru membuka pagar.
Aksa menyusul Salsa kemudian meraih pergelangan tangannya. "Sa, jangan gampang marah, dong. Aku minta maaf."
Salsa menapis pegangan tangan Aksa. "Aku udah bosen dengerin kata maaf dari kamu. Capek. Besoknya selalu diulangi lagi, diulangi lagi."
"Aku nggak tenang kalau sekarang balik ke kafe dalam keadaan ninggalin kamu yang ngambek."
"Tujuan kamu nyusul aku ke sini buat apa?"
"Untuk mastiin dulu kamu nggak marah. Aku nggak konsen kerja kalau kamu begini, Sayang." Aksa memegang tangan Salsa, menatap wajah perempuan itu secara tulus.
Sayangnya, Salsa malah mengambil kesempatan itu dengan mengeluarkan ide dadakannya. Tangan gadis itu refleks memegang kening dan tubuhnya lunglai. Hal itu membuat Aksa terkejut.
"Sal? Kamu kenapa?"
"Nggak tau, kepala aku tiba-tiba sakit. Pusing."
"Ya udah ayo masuk ke dalam." Aksa memapah Salsa menuju teras.
"Mana kunci rumahnya?"
"Nih, ambil di tas aku."
Aksa mulai mencari kunci rumah Salsa. Begitu ketemu ia membuka pintu dan kembali membantu Salsa berjalan. Salsa meminta diantar hingga kamar agar ia bisa berbaring dengan nyaman.
Sesampainya di kamar Aksa menidurkan Salsa di ranjang.
"Kayaknya aku kecapean, deh, Sayang. Aduh, pusing banget kepala aku," keluh Salsa sambil terus memegangi keningnya dan sesekali meringis.
Aksa menunjukkan ekspresi khawatir. "Terus gimana? Mau aku antar ke dokter?"
"Nggak usah, aku pengin di sini aja. Temenin aku, ya, Sayang? Aku nggak mau sendiri. Apalagi lagi sakit gini."
Kelewat cemas akan kondisi Salsa, Aksa sudah melupakan niatnya untuk kembali ke kafe dan membantu Ayana. Lelaki itu duduk di sisi ranjang dan memegang tangan Salsa. "Ya udah, aku temenin kamu. Kamu mau minum obat?"
"Boleh."
Aksa hendak berdiri, tapi tangannya di tahan Salsa.
"Sebelum makan obat kan harus makan dulu. Aku boleh minta dibuatin bubur nggak? Bubur buatan kamu enak banget. Aku lagi pengin makan itu sekarang."
"Tapi ...."
"Kalau kamu nggak mau buatin aku nggak mau minum obat." Salsa memalingkan muka. "Nggak pa-pa biar aku sakit aja."
"Bukan, maksud aku kalau bikin bubur itu lama, Sayang. Takutnya kamu malah kelaparan."
"Nggak pa-pa, Aksa. Aku bakal nunggu. Aku lagi pengin banget makan bubur buatan kamu."
Aksa tersenyum. "Ya udah, oke, oke. Aku bakal bikinin. Kamu istirahat aja, ya."
Wajah Salsa langsung sumringah. "Oke, sip."
Aksa keluar dari kamar untuk bergegas melakukan permintaan Salsa.
Sedangkan Salsa kembali tersenyum. Sebetulnya ia hanya akting sakit karena tidak mau Aksa meninggalkannya. Dengan meminta dibuatkan bubur adalah cara agar Aksa bisa lebih lama berada di rumahnya. Semenjak membuka usaha Aksa jadi lebih sibuk dan kurang memberi waktu untuknya.
Menggunakan bahan seadanya yang ada di kulkas, Aksa mulai membuat bubur. Pertama-tama ia memotong dadu wortel.
Direbusnya nasi hingga mendidih, kemudian dimasukannya wortel dan jamur yang tadi sudah disiapkan. Lalu ia mengaduknya secara rata. Untuk bumbunya ia memasukan lada bubuk, lada putih bubuk, dan oregano. Sambil menunggu tekstur nasi menjadi bubur ia mengaduknya secara terus menerus.
Selama kurang lebih 40 menit akhirnya bubur sudah siap untuk disantap. Aksa membawa bubur yang sudah dimasukkan ke dalam mangkuk ke kamar Salsa.
Didapatinya Salsa tengah tertidur. Aksa letakan bubur itu di atas nakas. Sebenarnya ia tidak ingin membangunkan Salsa, tapi ia harus segera makan dan minum obat.
"Sal, bangun dulu, yuk. Buburnya udah jadi." Pria itu membelai pipi Salsa.
Salsa melenguh.
"Sal ..."
Dua mata Salsa akhirnya terbuka dengan pandangan yang masih samar-samar, hidungnya juga ikut menghirup aroma sedap.
"Makan dulu buburnya, minum obat, baru deh tidur."
"Oh, udah jadi, ya?"
Aksa mengangguk. Ia membantu Salsa bangun dari rebahan. Setelah itu ia membawa mangkuk berisi bubur wortel.
"Emang ada ya bahan-bahannya? Aku baru inget," tanya Salsa.
"Pacar kamu ini pintar masak. Jangan lupa. Apa pun itu bisa dijadiin resep."
"Uuuu pacar aku emang serbabisa. Udah ganteng, baik, plus pinter masak."
Aksa tertawa bangga.
"Suapiiiin," ucap Salsa dengan nada manja.
"Okeee.. Aaa..." Aksa memasukkan sesendok bubur ke mulut Salsa.
"Gimana rasanya? Enak?"
Salsa mengangguk-anggukkan kepala. "Enak banget. Aaa lagi."
Aksa memasukkan suapan ke dua. Salsa terlihat begitu menikmatinya hingga akhirnya bubur tandas. Berlanjut ke minum obat. Kebetulan Salsa menyetok obat sakit kepala di rumahnya.
"Aku mau tidur lagi. Kamu temenin aku sebentar, ya? Aku nggak mau ditinggal sendiri."
"Ya udah." Aksa ikut naik ke kasur. Ikut membaringkan badan di sebelah Salsa. Mereka berbelukan.
Niatnya hanya menemani sebentar sampai Salsa menutup mata, tapi yang terjadi malah Aksa yang tidur duluan. Salsa tersenyum sambil terus menatap wajah Aksa.
Salsa melepas tangan Aksa yang memeluk tubuhnya, membawa ponsel di dalam tas. Ia mengambil foto bersama Aksa yang sedang tertidur pulas.
Salsa mengirim hasil foto ke snap whatsapp dengan caption 'mine' disertai emoticon love.
***
Ayana baru saja bisa bersantai setelah diserbu pelanggan beberapa waktu lalu. Dia merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal, belum lagi kakinya yang terasa keram lantaran mondan mandir mengantarkan pesanan.
Beruntung Alfi juga pandai memasak, membuat pelanggan tak memprotes karena dirasa makanan ya mereka pas di lidah.
"Mbak, pegal banget, ya?" Alfi tiba-tiba muncul dari dapur sambil membawa segelas air putih dingin dan diberikan kepada Ayana. Dia duduk tepat di depan Ayana, memandang wajah Ayana yang tampak lesu.
"Minum dulu, Mbak Ayana harus banyak-banyak minum air putih, apalagi kalau kerja kayak gini. Jangan sampai kurang minum. Tubuh kita sangat butuh air putih."
Ayana mengambil segelas air putih yang diberikan Alfi, meneguknya secara perlahan hingga membasahi tenggorokan yang terasa kering. Sebetulnya dia memang haus, tapi Ayana lupa mengambil air minum.
"Iya, tapi aku senang. Kafe ini ramai. Itu artinya sudah ada kemajuan."
Alfi hanya menganggukkan kepalanya. Berharap kedepannya kafe ini akan selalu ramai dikunjungi para muda-mudi.
Di sini sudah di fasilitasi dengan WiFi yang gratis, sangat cocok untuk tongkrongan mahasiswa dan memudahkan mereka saat mencari tugas kuliah.
"Ini Aksa masih belum balik, ya."
"Nggak usah nungguin dia balik, dia kan bos. Makanya bisa seenaknya." kata Ayana dengan nada jengkel.
Ayana mengeluarkan ponsel dari kantong celemek. Membuka WhatsApp berniat untuk membuat story lantaran kafe sudah tutup dalam keadaan semua makanan habis terjual.
Namun saat akan mbuat story Ayana justru lebih dulu melihat postingan Aksa yang ada di urutan pertama.
Kedua bola mata Ayana terbuka lebar, bisa-bisanya Aksa tertidur pulas bersama Salsa sementara dia sudah melupakan kafenya begitu saja.
"Kenapa, Mbak?"
"Lihat."
Ayana memperlihatkan postingan Aksa.
"Ini Aksa tidur di rumah pacarnya itu, ya?"
"Yaa menurut kamu?"
"Astagfirullah, kok bisa gitu sih. Nggak baik lho berduaan apalagi dalam ruangan tertutup kayak gini. Apa dia nggak malu bawa laki-laki yang belum mahramnya ke dalam kamarnya sendiri?"
Ayana mengangkat kedua bahunya, tak mengerti bagaimana jalan pikiran Salsa.
Meskipun dia tidak terlalu paham agama, tapi Ayana tahu bahwa membawa laki-laki apalagi sampai ke dalam kamar adalah hal yang salah.
Pikiran Ayana sudah kemana-mana. Bagaimana jika seandainya Aksa melakukan hal-hal yang terlarang?
Dada Ayana sesak seketika, tidak rela jika Aksa betul-betul melakukan hal itu dengan Salsa.
"Apa Mbak nggak coba buat nasehatin dia?"
"Percuma kalau ngingetin orang yang lagi jatuh cinta, Fi. Gimanapun kita ngingetin yang benar, kalau orangnya nggakau dengerin nasehat kita gimana? Sekarang aku nggak mau capek-capek lagi ngomong sama dia. Biarin aja dia sadar sendiri."
Alfi bisa melihat jelas bagaimana ekspresi wajah Ayana yang cenderung cemburu. Padahal dulu saat pertama kali melihat Aksa dan Ayana, Alfi menyangka bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Terlihat cocok dan saling menyayangi.
Kalau keduanya memang hanya bersahabat, apa mungkin salah satu dari mereka menginginkan hal yang lebih?
Seperti apa yang pernah Alfi dengar dari mulut ke mulut. Bahwa tidak ada persahabatan yang pure antara perempuan dan laki-laki. Salah satunya pasti memiliki perasaan yang lebih.
Jika seandainya Aksa yang mencintai wanita lain, apa itu artinya Ayana lah yang menaruh perasaan lebih kepada Alfi? Sebab Alfi bisa melihat jelas bagaimana reaksi Ayana setiap kali membahas tentang Aja Adan Salsa.
"Iya sih. Jadi gimana? Apa kita langsung tutup aja?"
"Belanja dulu kali ya. Ke swalayan aja. Jadi besok pagi nggak usah ke pasar lagi. Aku takut telat bangun." Kata Ayana. Jika dulu ada ibu yang selalu membanggakan dikala Isyana bangun siang, kini alarm terbaik Ayana hanyalah ponselnya.
Kadang memang sulit sekali mengusir rasa sepi dikala dia berada di rumah. Bayangan Melin sang ibu selalu saja menghantui pandangan matanya. Entah itu di ruangan TV atau di dalam kamar.
Ternyata benar kata orang, rumah yang tak ada lampu saja gelap, apalagi dunia tanpa seorang ibu.
"Boleh."
***
Ayana sibuk memilih bahan-bahan untuk keperu Kafe. Mulai dari daging, sayuran, ikan, kentang dll. Seperti pengantin baru, keduanya tampak asik ditemni obralan kecil yang diiringi tawa.
Alfi mendorong troli yang nyaris penuh. Mengikuti kemanapun langkah Ayana.
Kini keduanya sampai di rak minyak gorong.
"Minyak goreng kita kayaknya masih ada, kan?"
"Ada..."
"Oke berarti ini aja. Yuk kita langsung bayar. Habis itu kamu bisa langsung pulang, makasih ya udah mau nganterin aku. Kalau aja Aksa nggak keluyuran aku nggak bakal nyusahin kamu. Apalagi kamu besok pasti mau kuliah, kan?"
"Udah nggak apa-apa. Santai aja, Mbak. Habis ini aku juga masih bisa antar kamu pulang."
"Eh nggak usah, aku bisa jalan kaki. Kan rumah aku dari kafe nggak begitu jauh. Setengah jam doang jalan kaki."
"Setengah jam doang Mbak bilang nggak jauh? Bahaya, Mbak. Gimana kalau ketemu sama orang jahat? Udah biar aku juga tenang, aku bakal antar kamu pulang. Gimanapun kamu udah kasih aku kerjaan, masa aku biarin bos aku pulang jalan kaki."
"Eh bukan aku bosnya, tapi Aksa."
"Sama aja. Kan Mbak sama Aksa yang bangun kafenya."
"Yaudah, makasih, ya."
"Sama-sama."
***
Ayana menutup kulkas setelah memasukkan semua belanjaan ke sana. Saat keluar dari dapur matanya melihat sebuah mobil parkir di depan kafe.
Itu mobil Aksa.
Mata Ayana mendelik lalu menghampiri Alfi untuk mengajaknya pulang sesuai kesepakatan mereka tadi.
Aksa sudah masuk ke kafe dengan santainya. Ayana kesal melihat wajah tanpa penyesalannya itu. Pergi dan pulang sesuka hati. Tidak ada kontribusinya sama sekali dengan usahanya sendiri. Belum lagi kalau ingat postingan di media sosial tadi. Entah mana yang paling mendominasi membuat Ayana emosi.
"Udah mau pulang, Ay?" tanya Aksa.
"Iya."
"Ya udah ayo aku antar pulang," ajak Aksa. "Aku kira masih ada pelanggan."
Bukannya minta maaf malah mengajak pulang, seolah tidak terjadi apa-apa. Dia itu tidak peka atau bagaimana, sih? Sampai kapan Ayana harus mengerti? Ini bukan untuk yang pertama kali Aksa berlaku seenaknya. Kalau dibiarkan terus dia tidak akan pernah bisa berpikir.
"Nggak perlu." Ayana memberi Alfi kode untuk mengikutinya keluar. Dia melangkah tanpa melirik Aksa, Alfi berpamitan kepada Aksa dan mengikuti Ayana.
Merasa diabaikan, buru-buru Aksa ikut keluar.
"Ay! Kamu kenapa? Sinis gitu."
"Mikir sendiri." Ayana menerima helm yang disodorkan Alfi.
"Ay, udah malem, bahaya kalau pulang sendiri."
"Kata siapa aku pulang sendiri? Ada orang yang lebih bisa diandalkan." Wanita itu memasangkan helm di kepala.
Pandangan Aksa beralih kepada Alfi. Lelaki itu malah tersenyum kikuk.
"Yuk," ajak Ayana kepada Alfi. Lelaki itu naik ke atas motor, disusul Ayana yang duduk di jok belakang.
Belum sempat Aksa bicara lebih banyak Ayana dan Alfi sudah pergi dari sana meninggalkannya seorang diri. Sebetulnya Aksa juga sadar akan kesalahannya yang meninggalkan kafe, tapi ia tidak menduga Ayana akan semarah ini hingga bicara pun sepertinya enggan.
Motor yang dikendarai Alfi akhirnya tiba di depan rumah Ayana. Ayana segera turun dan melepas helm, diberikan kembali kepada pemiliknya.
"Sekali lagi makasih, ya, Fi."
"Mbak tinggal sendirian di sini?"
"Iya." Ayana menganggukkan kepala.
Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini, bagaimanapun pasti Ayana masih dalam suasana berkabung.
"Oh, ya, Mbak ...." Alfi menjeda ucapannya, Ayana menunggu. "Saya ada temen yang lagi butuh kerjaan. Barangkali Mbak masih butuhin pegawai. Saya lupa mau bicara soal ini. Baru inget tadi waktu di motor."
"Eum, kalau soal itu aku bicarain dulu sama Aksa, ya, Fi. Karena dia yang paling berhak nentuin. Kalau menurut aku sih boleh dicoba. Soalnya tadi kamu liat sendiri, kafenya udah mulai ramai."
"Oke, Mbak, kalau begitu. Makasih, ya, Mbak."
"Sip. Aku juga makasih kamu udah mau antar pulang." Ayana tersenyum.
"Ya, sama-sama, Mbak. Udah berapa kali Mbak ngomong makasih?"
Ayana terkekeh pelan.
"Saya balik dulu."
"Iya, hati-hati." Ayana berbalik.
"Eh, Mbak. Tunggu."
Ayana menengok ke belakang lagi. "Ya?"
"Saya cuma mau bilang kalau saya senang bisa kerja sama Mbak."
Dua alis Ayana menyatu. Kurang paham dengan kalimat Alfi.
"Sampai ketemu besok." Jawaban kali ini lain dengan yang sebelumnya.
"Ooh, oke."
Alfi tersenyum lalu menyalakan mesin motor lagi.
Ketika Ayana tiba di teras, ponselnya berdering. Ia melihat nama si penelepon.
Aksa.
Ayana sengaja tidak mengangkatnya dan memilih masuk ke dalam untuk segera mengistirahatkan tubuh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top