Bab 06
Seperti biasa, jangan harap Aksa akan menjawab telepon di pukul tujuh pagi. Terpaksa harus mau menunggu sampai dia bangun dan Ayana yang akan beres-beres kafe sebelum buka. Ia sendiri tidak tahu akan buka hari ini atau tidak.
Ayana yang sudah ada di kafe juga sudah menelepon Alfi untuk datang lantaran kunci kafe masih ada padanya.
Sambil menunggu, Ayana mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera.
Dia memerhatikan wajahnya lewat pantulan kamera depan, memerhatikan juga kain yang membingkai wajahnya. Kembali berpikir ia terlihat aneh atau tidak, ya?
"Sayang, rambut perempuan itu adalah aurat. Jadi kamu harus menutupnya. Jangan sampai enggak, ya? Janji sama Ibu. Jangan memperberat hisab orang tua kamu nanti di akhirat. Kalau kamu sayang kami, kamu harus mau menutup aurat kamu, karena berhijab itu adalah kewajiban perempuan. Perintahnya tertera jelas dalam Alquran. Ingatlah, kamu hidup di bumi Allah, jadi kamu harus ikuti peraturan yang Allah buat dalam Alquran agar kelak kamu selamat."
Beberapa hari lalu Ayana memimpikan ibunya yang sudah pergi. Ayana pikir ibunya masih ada, wanita itu memeluk putrinya sambil mengelus kepala, menyampaikan pesan-pesan penting soal aurat wanita.
Mimpi itu terasa sangat nyata hingga membangunkan Ayana di tengah malam. Ada rasa kecewa dan sesak karena mengetahui bahwa pertemuannya dengan sang ibu hanya mimpi. Padahal Ayana sangat berharap kematian ibunyalah yang hanya mimpi.
Namun mimpi itu menyadarkan Ayana juga soal keinginan ibunya yang ingin Ayana memakai hijab sebelum ia wafat.
Ayana tidak bisa melupakan itu. Bagaimanapun itu adalah keinginan sang ibu yang sepertinya tidak boleh untuk dibantah. Ayana juga dibuat merinding oleh mimpinya lantaran apa yang disampaikan sang ibu begitu dalam maknanya.
Hari itu juga Ayana putuskan untuk membeli kerudung. Seumur hidup ia belum pernah memakai kain yang menutupi kepala perempuan pada umumnya. Ayana tidak pernah tertarik lantaran menurutnya itu adalah suatu hal yang ribet. Ayana suka yang simpel-simpel. Bukan hanya berdandan memakai make up, memakai hijab juga ia malas.
Sampai akhirnya hari ini ia mantap mengubah penampilannya dengan memakai hijab. Akhir-akhir ini ia sering membuka dan membaca kitab suci umat Islam yang jarang ia sentuh hingga berakhir berdebu. Ia menemukan salah satu ayat yang dimaksud sang ibu tentang kewajiban menutup aurat. Hatinya langsung mencelus seraya mengingat kata-kata ibunya kembali.
"Ingatlah, kamu hidup di bumi Allah, jadi kamu harus ikuti peraturan yang Allah buat dalam Alquran agar kelak kamu selamat."
Ada rasa takut dalam jiwa Ayana. Ia sangat menyayangi orang tuanya. Ia tidak mau membuat mereka kesusahan di akhirat nanti. Jika dia dunia ia belum mampu membahagiakan, setidaknya di akhirat ia tidak membebankan.
Ayana mengembuskan napas sembari menutup kamera. Selepas berkaca bukannya tenang tapi ia malah resah. Hijab pasmina yang ia pakai membuat ia tidak percaya diri. Bahkan ada keinginan dan suara hati ia ingin melepasnya padahal kemarin malam sudah mantap. Memang sifat manusia yang sering lupa dan hatinya bolak-balik.
Tak berselang lama, sebuah motor memasuki halaman kafe. Akhirnya yang ditunggu sudah datang juga.
Alfi turun dari motor kemudian menghampiri wanita yang berdiri di depan kafe yang tertutup rolling door secara rapat.
"Maaf, Mbak siapa ...."
Pertanyaan Alfi terpotong kala menyadari bahwa wanita ini adalah Ayana. Tadinya ia pikir dia orang lain atau pelanggan yang ingin masuk.
"Eh, Mbak Ayana. Lama nggak ketemu, Mbak. Jadi saya pangling."
"Saya tau kok, pasti karena kerudung saya ini, kan?" tanya Ayana agak canggung.
"Mungkin karena kebetulan kemarin saya liatnya nggak pakai hijab jadi ...."
"Ini baru pertama kali, kok."
"Oh baru pertama kali."
"Makanya saya agak nggak nyaman juga. Jelek, ya?"
Alfi langsung mengangkat dua tangan dan menggoyangnya. "Enggak, kok, nggak, Mbak. Nggak jelek. Malah bagus."
"Ah, bohong kamu. Saya dari tadi nggak percaya diri. Pengen dilepas aja."
"Bener, Mbak, saya nggak bohong. Jangan dilepas. Sayang, lho."
"Sayang kenapa?"
"Justru lebih bagus pakek hijab."
"Jangan bohong."
"Beneran. Aku berani bersumpah."
Ayana pun tertawa. "Iya, iya, deh aku percaya."
"Jadi jangan dilepas, ya. Mbak percaya diri aja. Nggak perlu peduliin penilaian orang. Kadang overthinking itu cuma datang dari otak kita aja, tapi sebenernya orang lain nggak peduli sama sekali."
"Eum, iya, sih. Benar apa kata kamu."
Kalimat singkat Alfi membuat rasa percaya diri Ayana naik lagi dan membuat hatinya tenang. Ternyata Alfi punya aura positif juga, padahal baru kenal.
"Oh iya, nih." Alfi melepas tas gendongnya, kemudian mengeluarkan kunci kafe, lalu diberikannya kepada Ayana. "Ini kuncinya, Mbak. Maaf, ya kalau saya bawa-bawa."
"Oh, nggak pa-pa. Justru saya terima kasih banget sama kamu karena udah jagain kunci ini. Makasih, ya."
"Iya, Mbak, sama-sama."
Ayana mulai membuka gembok yang ada pada rolling door. Setelah terbuka ia mendorong pintu besi itu ke samping, dibantu oleh Alfi yang ikut membantu mendorong. Mereka pun masuk ke dalam.
Seperti dugaan, kafenya berdebu.
Ayana berpikir bahwa ia akan membersihkan kafenya dulu sampai menunggu Aksa datang.
"Wah, kayaknya harus dibersihin nih, Mbak," sahut Alfi yang sadar saat meninggalkan kafe dia tidak sempat menyapu dan mengepel.
"Iya, nih. Mau gimana lagi? Orang setiap hari juga harus dibersihin, apalagi udah ditinggal berhari-hari karena hari terakhir pasti kotor banget karena banyak pelanggan."
"Saya bantu, ya, Mbak?"
"Eh, kok? Nggak usah. Kan kamu mau berangkat kuliah?"
"Kebetulan hari ini saya adanya kelas siang, Mbak. Jadi masih ada waktu."
"Tapi tetep aja."
"Udah, nggak pa-pa. Kayaknya di atas juga kotor. Saya bagian atasnya ya, Mbak."
"Hm, ya udah, deh. Makasih, ya."
Alfi mengangguk penuh semangat. Ia bergegas naik ke lantai atas. Mereka bergotong royong mengangkat kursi ke atas meja dahulu agar proses pembersihan bisa lebih gampang. Setelah itu Ayana membawa sapu yang ada di gudang dan Alfi berlanjut ke lantai atas.
Selesai menyapu Ayana naik ke atas untuk mengambil ember yang ada di toilet.
Di atas dia bertemu dengan Alfi yang baru selesai menyapu, hendak membuang sampah di pengki ke bawah.
"Udah, sekarang giliran saya yang pel, ya. Kamu duduk aja," ucap Ayana. "Alat pelnya cuma satu."
"Ya udah biar saya aja, Mbak."
"Eh nggak usah, aku nggak enak."
"Ya udah saya beres-beres di dapur, ya."
"Oke."
Ayana bergegas ke toilet sambil membawa alat pel di tangannya. Untung saja ada AC, jika tidak ia pasti merasakan gerah yang teramat. Baru sehari memakai kerudung plus langsung harus membersihkan kafe yang berantakan tentu saja membuatnya kegerahan.
Tak membutuhkan waktu lama, Ayana sudah ada di bagian lantai bawah. Ia mengepel lantai dengan cara menundur, membersihkan setiap detil lantai.
Ia terus mundur, tanpa Ayana sadari ia menginjak sesuatu, yang membuatnya berbalik ke belakang, bertemulah dia dengan wajah seseorang. Pandangan mereka berserebok.
Aksa.
Lekas saja Ayana mundur, namun naas kakinya terpeleset karena lantai yang masih sangat licin, Aksa langsung meraih tangan Ayana yang tubuhnya nyaris terjungkal ke belakang, kemudian ditariknya ke depan, hingga akhirnya dua dada mereka bertubrukan layaknya orang berpelukan.
"Kenapa, sih? Ceroboh banget," ucap Aska seraya mundur membuat jarak.
Ayana masih mati kutu. Jantungnya berdetak sangat cepat. Entah karena dia yang nyaris terpeleset atau karena aksi Aksa yang menolongnya. Kini ia terlihat seperti orang linglung. Alfi yang ada di dapur pun hampir kaget jika tadi Ayana betul-betul jatuh.
"Malah bengong. Kalau masih banyak pikiran kenapa maksain ...."
"Lagian kamu, bikin kaget aja!" potong Ayana cepat.
"Kamu yang salah."
"Udah jelas-jelas kamu yang ngagetin aku. Aku kira siapa. Lagian masuk nggak bilang-bilang."
"Emangnya aku harus bilang-bilang masuk ke kafe aku sendiri. Malah aku tadi bingung. Aku kira siapa yang lagi ngepel."
Ayana mulai kalang kabut. "Kenapa emangnya? Kenapa?"
Bukannya menjawab, lelaki itu malah menatap Ayana dari bawah hingga ke atas. Celana kulot, atasan berlengan panjang, juga hijab pasmina. Wajar saja Aksa sempat tidak mengenali Ayana. Ayana yang ditatap seperti itu merasa risi dan semakin tidak percaya diri.
"Kamu ... kamu ... ganti cara berpakaian?" tanya Aksa.
"Kenapa emangnya? Jelek, ya?"
Aksa menutup mulut.
"Kamu ketawa?"
"Enggak."
"Ketawa."
"Enggak. Aneh aja."
"Apa? Aneh kamu bilang?" Wajah Ayana memerah.
"Ya aneh aja. Kan kamu nggak pernah make sebelumnya. Jadi wajar kan aku ngerasa aneh. Aku juga tadi pikir bukan kamu, hampir aja tadi aku marah-marah."
"Jadi aneh ya menurut kamu?" Masih dengan pertanyaan yang sama.
"Bukan aneh jelek, aneh karena ini baru pertama kali."
"Beneran?"
Aksa mengangguk. "Bener."
***
Setelah mampir sebentar ke Kafe-nya Aksa kembali pergi begitu saja, meninggalkan Ayana dan Alfi. Melihat kepergian Aksa, lagi-lagi Ayana hanya bisa mengembuskan napas resah.
Aksa selalu seperti itu, tidak mau peduli dengan apa yang sudah dia jalankan. Mungkin jika dipikir-pikir, Ayana lah yang sepertinya lebih ambisius untuk memajukan kafe milik Aksa.
"Mbak Ayana sama Aksa itu pacaran, ya?"
"Hah? Bukan. Dia itu teman aku."
"Terus sekarang dia kemana?"
"Nggak tau, nemuin pacarnya kali." Kata Ayana dengan nada malas.
Melihat reaksi Ayana yang seperti itu, kening Alfi mengkerut. Ada yang aneh setiap kali Aksa pergi meninggalkan kafe ini.
"Saya liat kayaknya Mbak nggak suka ya kalau Aksa pergi sama pacarnya?"
"Iyalah, Al. Gimana aku nggak kesal. Yang punya kafe ini kan dia, yang mau usaha ini kan juga dia, tapi dia kayak yang tenang aja seakan nggak ada beban."
Alfi melirik jam yang melingkar di tangganya. Sebentar lagi jam kuliahnya akan di mulai, artinya dia tidak bisa lagi menemani Ayana di sini. Terlebih ada berapa pelanggan yang ada di depan. Membuat Alfi semakin yakin jika dia meninggalkan Ayana, gadis itu pasti akan kewalahan.
Mata Ayana sekilas melirik Alfi, sadar bahwa lelaki itu juga punya kesibukan.
"Udah mau jam kuliah ya? Kamu pergi aja, nggak apa-apa. Saya bisa kok sendiri, kalau nanti ramai dan Aksa nggak balik aku bisa telfon dia."
"Iya sih, Mbak. Tapi saya yang nggak enak."
"Udah, nggak apa-apa. Palingan nanti sore kamu juga balik kan? Kalau misalnya kamu nggak capek bisa kok balik lagi ke sini."
Hampir tiga puluh menit setelah kepergian Alfi. Benar saja kafe itu mendadak menjadi ramai kembali. Entah ini kebetulan atau memang Alfi lah yang membawa hoki. Sebab semenjak kedatangan Alfi, Kafe ini perlahan menjadi ramai.
Ayana berusaha menghubungi Aksa agar secepatnya datang kembali. Padahal Aksa tadi hanya berjanji akan pergi sebentar saja. Tapi sudah satu jam lebih dia tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Ternyata percuma saja Ayana menasihatinya, karen pada kenyataannya Aksa tak kunjung mau berubah. Salsa tidak pernah terbantahkan di benaknya.
Ayana mengantarkan kopi menuju meja nomor 06. Matanya juga melihat tiga orang perempuan memasuki kafe dan duduk dieja nomor 04. Ayana betul-betul kewalahan kalau seperti ini.
"Awas aja kalau balik bakal aku omelin!" Umpat Ayana dalam hati. Dia kembali ke dapur setelah mengantarkan pesanan. Mengambil ponsel dan memotret kafe yang dipenuhi para pelanggan.
"Cepat balik atau aku nggak mau lagi kerja di sini." Begitulah pesan yang Ayana kirim pada Aksa disertai foto yang dia potret tadi. Lama-lama Ayana bisa terkena darah tinggi kalau seperti ini.
Selang beberapa saat dia Alfi tiba-tiba memasuki dapur. Membuat Ayana terkejut dan bingung. Bukankah dia harusnya kuliah?
"Lho, Alfi? Kok kamu di sini? Bukannya tadi udah pamit buat kuliah?"
"Dosen saya nggak masuk, jadi ya gitulah. Nggak ada kelas. Cuma ngerjain tugas ya biasalah dikerjain nanti malam. Nah dari pada saya nggak ngapa-ngapain, bengong doang di kampus ya saya ke sini aja. Saya kepikiran sama mbak Ayana. Ternyata benar feeling saya, kafenya ramai kan?"
"Ah, iya. Untung kamu balik, Alfi. Hampir aku tuh putus asa. Bukannya nggak suka sih kedatangan banyak pelanggan. Cuma kalau aku handle sendiri kan susah. Kamu liat aja itu banyak banget yang datang, kalau pesanannya jadi lama kan mereka pasti kesal karena nunggu terlalu lama."
"Yaudah mbak, itu tadi saya sempat nanya di depan. Ada yang pesan Nachos sama Chicken Fingers. Saya bikin dulu ya, Mbak."
***
"Udah ya. Aku udah temanin kamu nonton. Nggak usah kemana-mana lagi. Kasian Ayana aku udah ninggalin dia Berjam-jam. Gimana kalau kafe ramai. Dia pasti capek, Sa."
Langkah Salsa terhenti saat berjalan keluar dari bioskop. Ekspresi wajahnya langsung berubah.
"Kamu kan udah janji sama aku kalau kamu nggak bakal dukung aku kan? Udah ya. Kapan-kapan kita jalan lagi. Lagipula aku juga izin keluar sebentar kan sama Ayana."
Salsa hanya berdecak tanpa bersuara. Ini menyatakan bahwa dia tidak suka karena merasa terbatasi saat bersama Aksa.
"Sayang..."
"Yaudalah, kamu balik aja ke Kafe. Aku mau pulang."
"Tuh kan kamu marah."
"Aku bete lah. Udah aku udah nggak mood lagi. Mau pulang." Salsa mengentakkan kaki dan pergi meninggalkan Aksa begitu saja. Aksa mengembuskan napas mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Sal, Salsaaa!" Aksa kembali mengejar Salsa yang sudah mulai jauh meninggalkannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top