Bab 05


Hari ini Salsa benar-benar kesal dengan Aksa yang sama sekali tidak bisa dihubungi. Berkali-kali dia memencet menu untuk menelfon Aksa namun masih tidak ada jawaban.

Salsa mengembuskan napas pelan, dia juga sempat datang ke Kafe Aksa, namun saat sampai di sana Salsa selalu mendapati Kafe itu tutup.

"Aksa, kenapa sih kamu itu nyebelin banget. Aku ini pacar kamu, tapi kenapa kamu ngilang terus sih." Salsa mengomel berkali-kali. Sekarang dia sudah berada di depan rumah Aksa. Dia meminta satpam untuk membuka pagar agar dia bisa langsung masuk ke dalam.

Sesampainya di dalam, dia langsung turun dari dalam mobil. Dengan waktu yang bersamaan, Aksa juga keluar dari dalam rumah.

"Aksa!"

"Sayang? Kamu kok ada di sini?"

"Kenapa? Kamu kaget? Kamu kemana aja? Kenapa telfon aku nggak kamu angkat? Kamu udah nggak sayang lagi sama aku? Kamu udah nggak peduli lagi sama hubungan kita?" tanya Salsa bertubi-tubi. Dia berdiri di hadapan Aksa. Rasa kesalnya beberapa hari yang lalu seakan meledak saat dia sudah berada di depan Aksa.

"Sayang, kamu jangan marah-marah dong. Aku bisa jelasin!"

"Aku nggak mau denger penjelasan kamu! Kalau kamu udah nggak cinta sama aku, yaudah kita nggak usah pacaran lagi!"

"Salsa!" Aksa memegang tangan Salsa dengan kencang.

"Aku ada alasan kenapa aku nggak hubungin kamu, Sa. aku minta maaf kalau misalnya aku nggak angkat telfon dari kamu. Kemarin ibu Ayana meninggal. Aku harus temani dia, Sa. Nggak mungkin aku tinggalin dia sendirian, aku harus hibur dia!"

Salsa membuka mulut, terkejut dengan jawaban Aksa.

"Apa? Ayana?" Lagi-lagi karena perempuan itu Aksa menomor duakan nya. Kemarin karena masalah kafe, lantas sekarang karena ibu perempuan itu meninggal?

"Kenapa sih, kalau udah meninggal ya udah. Ngapain ditangisi kayak gitu, nggak bakal hidup lagi. Kamu suruh Ayana iklas kan gampang!"

Kening Aksa berkerut saat mendengarkan perkataan Salsa. Tidak menyangka bahwa Salsa akan seperti ini.

"Sa, aku pernah ada di posisi Ayana. Sebanyak apapun orang yang suruh kita sabar dan ikhlas itu nggak bakal nolong kita yang lagi sedih karena kehilangan orang tua kita. Apalagi seorang ibu. Ayana itu cuma punya ibunya. Kamu juga nggak bakal ngerti apa yang dia rasain, kamu punya orang tua yang lengkap, mereka sayang sama kamu. Kamu juga nggak pernah merasakan hidup susah seperti Ayana. Jadi, jangan ngomong kayak gitu."

"Aku tetap nggak peduli! Aku marah sama kamu. Sekarang kamu mau ke mana?"

"Mau ke rumah Ayana, aku harus pastiin dia itu baik-baik aja atau enggak, dia udah makan atau belum."

"Tuh kan!"

"Kenapa lagi? Aku janji setelah aku ngecek kondisi Ayana, aku bakal temanin kamu kemanapun kamu kamu."

"Nggak! Aku nggak bakal biarin kamu pergi buat nemuin Ayana. Kamu itu menghargai perasaan aku nggak sih, aku itu sakit hati kalau kamu sedekat itu sama dia! Kamu seharusnya juga jaga perasaan aku, jangan cuma mikirin Ayana, Ayana dan Ayana. Kalau kamu terus-menerus berbuat baik sama dia dan dia baper gimana? Mustahil seorang laki-laki dan perempuan itu bersahabat. Salah satunya pasti punya perasaan lebih. Kalau bukan kamu ya pasti Ayana!"

Aksa berdecak dan menggaruk keningnya. Pusing dengan sikap Salsa yang sekarang. Padahal seharusnya Salsa mengerti bahwa Aksa sangat mencintainya, tidak perlu khawatir bahwa Aksa akan berpindah hati.

"Salsa, jangan ngomong kayak gitu. Ayana itu udah aku anggap kayak adik aku sendiri. Dia juga anggap aku seperti kakaknya sendiri dan itu udah pasti, kita dari kecil udah sama-sama dan mustahil kalau punya perasaan lebih. Kamu jangan cemburu seperti ini dong, Sayang." Aksa memegang kedua bahu Salsa. Matanya menatap wajah Salsa intens.

"Aku cinta sama kamu, cinta banget. Jadi aku harap itu udah jadi jawaban buat kamu, kamu nggak perlu mikir aneh-aneh. Kalau memang selama ini belum ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang murni, aku sama Ayana bisa pastikan itu. Kami nggak punya perasaan lebih."

Salsa tetap tidak percaya. Jika memang Aksa bisa seyakin itu, dia belum bisa percaya dengan Ayana. Bagaimana pun seorang perempuan lebih gampang tersentuh hatinya. Apalagi di posisi seperti ini, Salsa tidak ingin jika Ayana malah jatuh hati pada Aksa karena merasa bahwa Aksa lah yang sekarang selalu ada menemaninya.

Arya muncul di balik pintu, ternyata sejak tadi dia mendengar perdebatan Aksa dan Salsa. Sejak awal sebenarnya Arya tidak suka dengan hubungan Salsa dan putranya. Menurut Arya, Salsa tidak akan bisa mengurus Aksa dengan benar jika sudah menikah nanti.

Seperti sekarang, dia pun sama sekali tidak mau mendengarkan Aksa, selalu menuntut Aksa untuk memenuhi kemauannya.

Arya berjalan mendekati Aksa dan Salsa yang masih melanjutkan perdebatan perihal Ayana. Mata Arya memandang Salsa dengan antipati.

"Udah Ayah bilang, kamu bakal bosan sama perempuan manja dan egois seperti pacar kamu ini."

"Ayah!"

"Kenapa? Memang benar, kan? Pacar kamu ini egois. Makanya ayah nggak akan pernah suka kalau kamu tetap menjalani hubungan sama dia!" Kata Arya penuh penekanan. Sampai mati pun dia tidak akan pernah sudi jika anaknya berhubungan dengan Salsa.

"Kamu juga tidak berhak melarang kemana pun Aksa pergi. Dia itu cuma pacar kamu, kalau dia bosan sama kamu, kamu bisa ditinggalkan kapan pun dia mau. Aksa sama Ayana itu sudah dekat sejak lama, bahkan jauh sebelum kamu ada di hidup Aksa."

Salsa menghentakkan kaki kesal. Tidak terima atas penghinaan yang baru saja dia dengar.

"Cukup, Yah! Ayah nggak berhak atur hidup aku. Aku udah bilang sama Ayah kalau aku bisa memilih hidup aku sendiri, termasuk pasangan aku. Kita emang nggak pernah cocok jadi jangan pernah Ayah atur aku!"

"Aksa!" Kedua mata Arya terbelalak. Marah pada sang anak yang tidak pernah mau mendengarkannya. Padahal sejauh ini Arya selalu berusaha untuk menjadi ayah yang terbaik untuk Aksa. Lantas apakah selama ini semua hal yang dia lakukan salah? Padahal itu jelas untuk kebaikan Aksa.

"Salsa. Mending sekarang kamu pulang dulu, nanti aku bakal datang ke rumah kamu."

"Oke!" Salsa kembali masuk ke dalam mobil, ditutupnya pintu mobil dengan kuat hingga menimbulkan bunyi. Salsa menyalakan mesin mobil, dia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi sebagai bentuk bahwa dia sangat kesal kepada Arya dan Aksa.

"Mau ke mana kamu?" kali ini pertanyaan Arya beralih pada Aksa. Dilihatnya anaknya itu berjalan menuju garasi mobil. Arya pun mengikuti dari belakang.

"Aksa!"

"Mau ketemu Ayana. Itu kan yang Ayah mau? Sekarang aku bakal jenguk Ayana. Aku pastiin dia baik-baik aja atau enggak, Ayah puas?" kata Aksa dengan intonasi tinggi. Aksa masuk ke dalam da pergi begitu saja. Tidak peduli bagaimana sang ayah terus memanggilnya.

***

Tidak seperti perkiraannya, sewaktu Aksa tiba di rumah Ayana, dia melihat gadis itu sedang menjemur baju di halaman. Dia itu kelewat rajin atau apa, sih?

"Ay, kok kamu ngejemur baju, sih? Emang harus ya nyuci hari ini?"

Nyaris jantung Ayana melorot ke perut melihat kehadiran Aksa yang tiba-tiba.

Aksa berdecak. "Tuh, kan, udah pasti sambil ngelamun.

"Emangnya kenapa?" tanya balik Ayana yang tengah memeras baju di tangannya hingga air bertetesan jatuh ke bawah.

"Ini serius? Aku kira sekarang kamu lagi nangis di kamar."

"Jadi orang itu serbasalah. Nangis dibilang cengeng, dikasih nasihat lain sebagainya, giliran nggak nangis disangka nggak punya rasa sedih sama sekali, bahagia aja kali ya hidupnya meski ditinggal pergi orang tua juga, nggak sayang orang tua, tuh."

"Ada apa, Ay?" tanya Aksa curiga.

Bukan hanya Aska, tetangga lain yang tadi tidak sengaja melihat Ayana pun memperhatikannya dengan tatapan aneh. Ayana sudah menumpahkan semua air matanya kemarin, mereka tidak tahu saja. Tapi Ayana tidak peduli pendapat orang, toh sejak dulu mereka juga suka berpikir yang tidak-tidak. Pernah muncul gosip soal kedekatan almarhum ibunya dengan ayah Aksa karena ayah Aksa yang sering datang ke rumah. Menganggap ibunya sengaja mengundang ayah Aksa ke rumah. Mentang-mentang janda katanya, bisa bebas memasukkan laki-laki ke rumah.

"Aku cuma mau beres-beres aja, itu salah satu cara aku supaya nggak berlarut-larut dalam kesedihan. Lagian rumah aku emang berantakan, banyak cucian karena kemarin-kemarin sibuk di rumah sakit."

"Tapi kan masih bisa dinantiin. Atau kamu suruh siapa, kek. Aku cariin orang buat bantu kamu beresin rumah. Aku tau kamu masih sedih, jangan dipaksain."

"Kalau ini adalah cara aku ngilangin kesedihan kenapa mesti berhenti? Udah, deh, aku nggak pa-pa."

"Ay ..."

"Daripada kamu ngomel gitu mending bantuin aku."

Aksa berpikir sejenak, menatap Ayana yang sibuk menjemur baju.

"Gimana? Mau nggak? Kalau enggak kamu pulang aja, biar aku nggak keganggu."

"Oke. Oke. Aku bantu. Apa yang harus aku lakuin?"

"Wastafel di dapur aku bermasalah, jadi sendat gitu. Bisa tolong dibenerin mungkin pipanya?"

"Boleh." Aksa pun masuk ke dalam rumah.

Rumah Ayana ternyata betulan berantakan.

Sementara itu Ayana kembali meneruskan pekerjaannya yang lain. Menyapu, mengepel, mengusir debu-debu dengan kemoceng, dan lain-lain. Setidaknya dengan bersih-bersih, ia bisa melupakan sejenak mimpi buruk yang kemarin mendera.

Selesai menyelesaikan pekerjaan rumah yang membuat tempat tinggal Ayana kinclong, Aksa dan Ayana menghempaskan tubuh di sofa. Mereka saling lirik.

Seperti biasa, Aksa akan berkeringat padahal kerjanya tidak berat-berat amat. Hanya sebatas membetulkan pipa, sisanya Ayana yang mengerjakan.

"Kita jalan, yuk?" ajak Aksa.

"Nggak mau."

"Ayolah, Ay, ikuti niat baik aku yang mau menghibur kamu ini."

"Tapi aku males."

"Ayana...." Aksa hendak memegang tangan Ayana, tapi gadis itu menghindarinya. Tiba-tiba saja ia teringat dengan ucapan ibunya soal batasan bersentuhan antara lawan jenis.

Awalnya Ayana menganggap remeh, tapi setelah ibunya pergi Ayana jadi kepikiran. Jujur saja semalam ia mencari tahu soal larangan itu. Benar saja, dalam agama yang dianutnya ternyata bersentuhan dengan lawan jenis bukanlah dosa yang kecil atau disepelekan.

Ponsel Aksa berdering. Ia pun merogoh benda itu, melihat layar yang menampilkan nomor tidak dikenal.

"Halo, ini siapa?"

"Alfi? Alfi siapa?"

Mendengar nama yang tidak asing keluar dari mulut Aksa, Ayana mengalihkan pandangan. Ia pun meminta agar Aksa mau memberikan ponsel padanya.

"Alfi, ya? Yang waktu itu datang ke kafe dan bantu saya?"

Aksa melirik Ayana, gaya bicara dia dengan manusia bernama Alfi itu seperti sudah saling mengenal lama.

"Kamu simpan aja dulu. Nanti kalau kita mau buka kafenya lagi, kita hubungi kamu. Nggak lama lagi, kok."

"Terima kasih, ya sebelumnya. Saya juga belum sempat minta maaf. Nanti saya jelasin semuanya."

"Iya. Waalaikumussalam."

Begitu sambungan terputus, Aksa langsung memprotes.

"Kamu percaya banget ya sama dia?" tanyanya sambil merebut ponselnya dari tangan Ayana.

"Iya, kenapa? Lagian kamu juga lupa kan sama kafe kamu? Kuncinya di mana, segalanya gimana."

Aksa mengembuskan napas, bisa-bisanya ia melupakan itu semua. Lelaki itu pun menatap Ayana cukup serius. "Itu karena aku terlalu khawatirin kamu. Aku lupa segalanya. You understand?"

Ada yang mencelus di dada Ayana.

Ucapan dan tatapan Aksa terasa sangat tulus.

Sebegitu besarkah kekhawatiran Aksa?

Ayana baru menyadari betapa pedulinya Aksa kepadanya. Sejak ibunya masuk ke rumah sakit hingga sekarang, Aksa tidak pernah meninggalkannya. Di mana lagi ia menemukan teman seperti itu? Dia yang tidak pernah pergi meski diminta untuk pergi.

Ayana rela tidak memiliki banyak teman, asal ada satu orang sahabat yang mau menemani dalam suka dan duka, dan Ayana memiliknya, yaitu Aksa.

Ini salah satu alasan mengapa Ayana kuat sekali menahan perasaannya. Jika cinta akan menghancurkan mereka, maka Ayana akan merahasiakannya sebisa dia. Menahan lebih baik daripada kehilangan.

"Udah, aku percaya kok sama Alfi. Kalau sampai dia macem-macem, aku sendiri yang bakal tanggung jawab," ucap Ayana optimis.

"Oh, ya?"

"Iya. Atau kamu mau ambil kuncinya sekarang?"

"Males."

"Tuh, kan, kamu sendiri yang males." Ayana mendorong lengan Aksa.

Sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.

Ayana sadar tak akan semudah itu menjaga jarak dengan Aksa. Menahan diri untuk tidak menyentuh Aksa seperti menahan diri untuk tidak mendekati apa yang sudah menjadi candu. Seperti perokok yang sulit meninggalkan rokok, mungkin?

Aksa malah menyandarkan kepala ke sandaran kursi sambil memeluk bantal. Matanya memejam.

"Kamu mau ngapain?" tanya Ayana.

"Aku mau tidur, capek."

"Eh, jangan di sini, dong. Nanti ada tetangga salah paham gimana?"

"Bilang aja cuma temen ini."

"Tetep aja Aksa. Udah deh mending sekarang kamu pulang."

"Cuma ada dua pilihan. Biarin aku tidur di sini, atau kita pergi jalan-jalan."

"Kok kamu maksa, sih?"

Aksa malah menutup dua matanya.

"Pulang, Aksa, aku mau istirahat."

"Enggak."

"Pulang!"

"Enggak!"

"Tolooooooong!!!!!" teriak Ayana.

Aksa terperangah. Cepat-cepat ia membekap mulut Ayana yang meronta. Tidak tahan mulutnya dibekap, Ayana menggigit tangan Aksa hingga lelaki itu memekik dan melepas tangannya. Ayana tertawa melihat Aksa yang kesakitan.

"Ya maaf, kamu, sih."

"Padahal niat aku baik, tapi ini balasan kamu?" tanya Aksa hiperbolis.

"Aksa, dengerin aku! Aku capek pengen istirahat terus aku nggak mau dapat masalah sama Salsa. Nanti kalau dia tiba-tiba datang gimana? Aku malas berdebat sama dia. Tapi ..." Ayana menarik napas kemudian mengembuskannya. "Makasih ya buat semuanya. Aku tahu tujuan kamu baik mau hibur aku, tapi aku lagi nggak mau. Makasih udah nemenin aku dari semenjak Ibu aku sakit. Makasih buat semuanya."

Melihat keseriusan di wajah Ayana, Aksa tak akan membalasnya dengan candaan. "Sama-sama, Ay. Itulah gunanya sahabat." Aksa mengusap puncak kepala Ayana.

***

Setelah pulang dari rumah Ayana, Aksa memenuhi janjinya untuk menemui sang kekasih. Bagaimanapun caranya Aksa harus mengembalikan moodnya yang sudah terlanjur hancur.

Aksa tahu ini memang tidak mudah. Namun ini sudah risiko yang harus Aksa tanggung karena dia sudah memutuskan untuk mencintai Salsa, itu artinya dia harus siap menerima segala konsekwensinya saat menghadapi sikap Salsa.

"Kamu masih mau marah sama aku?" tanya Aksa. Sekarang dia sudah berada di rumah Salsa.

"Pikir aja sendiri." kata Salsa kesal. Bagaimana dia tidak marah, dia sudah melarang keras agar Aksa tidak menemui Ayana. Tapi Aksa malah keras kepala dan tetap memilih pergi untuk menemui perempuan itu.

"Aku udah jelas-jelas ngelarang kamu jangan temuin Ayana. Tapi kamu malah nggak mau dengerin aku. Lagian aku yakin dia bakal baik-baik aja. Palingan dia nangis cuma sehari karena kematian ibunya. Kamu sendiri kan yang bilang dia perempuan yang kuat, jadi seharusnya kamu tau kalau dia pasti bisa ngelewatin kesedihannya itu. Nggak perlu kamu jenguk dia setiap saat buat pastiin dia baik-baik aja. Setelah kamu ke sana dia gimana? Baik-baik aja kan? Nggak lakuin hal-hal aneh apalagi nangis darah!" Salsa tidak berhenti mencecar Aksa. Seakan tindakan Aksa untuk memastikan kondisi Ayana adalah kesalahan yang sangat besar.

Aksa mengerti kecemburuan Salsa. Tapi tidak tidak menyangka bahwa kecemburuan Salsa akan membabi-buta seperti ini.

"Sayang. Apa sih yang harus kamu permasalahkan? Kedekatan aku sama Ayana? Berapa kali aku bilang sama kamu, Sa. Aku sama Ayana itu cuma sahabat. Nggak akan pernah lebih, buat apa kamu cemburu kalau aku mau pun Ayana sama-sama nggak punya perasaan lebih."

Aksa menarik tangan Salsa untuk digenggam, namun dengan cepat Salsa menepisnya. Jujur Aksa juga bingung bagaimana harus meminta pengertian dari Salsa. Bagi Aksa, Salsa dan Ayana sama-sama perempuan yang penting dalam hidupnya. Dia sama sekali tidak bisa memilih antara Salsa mau pun Ayana.

"Ada atau enggak tetap aja aku sakit hati, Aksa! Belum lagi ayah kamu yang maki-maki aku. Gimana nggak makin sakit hati!" Salsa membuang muka ke samping. Sejak tadi matanya enggan menatap Aksa. Rasa sakit hatinya kali ini benar-benar sudah besar. Aksa secara terang-terangan lebih memilih Ayana daripada dia.

Bahkan sekarang untuk mendapatkan restu dari ayah Aksa rasanya semakin sulit. Bagaimana dia bisa berbuat baik pada Arya kalau laki-laki itu saja tidak mau berbicara pelan kepadanya.
Arya selalu mencernanya sebagai perempuan yang hanya bisa menyusahkan Aksa.

"Terus sekarang kamu maunya gimana?"

"Berhenti perhatiin Ayana."

Aksa mengembuskan napas resah. Salsa sangat keras kepala. Susah sekali untuk mau mengerti keadaan orang lain.

"Ayana itu udah nggak punya siapa-siapa lagi, Sa. Cuma aku sama  ayah yang dia punya. Kalau semua orang ninggalin dia, kasihan dia."

"Ya aku nggak peduli, Aksa! Tuh kan bener, kamu cuma mau mikirin perasaan dia dibandingkan perasaan aku."

"Gini aja, gimana kalau kamu ikut kerja di Kafe aku? Kita bangun kafe itu sama-sama. Jadi, tiap hari kita bisa sama-sama."

"Apa?" Salsa membuka mulutnya karena terkejut atas ucapan Aksa. Lelaki itu memintanya untuk bekerja di Kafe-nya?

"Kamu minta aku buat kerja di Kafe kamu? Yang bener aja Aksa! Masa aku harus kerja di Kafe kamu itu. Di dapur gitu? Masak! Aku nggak bisa, lagian aku nggak nggak terbiasa berbuat sama dapur kayak gitu. Di rumah aja aku nggak disuruh ngapa-ngapain. Kamu malah berani-beraninya suruh aku buat kerja di Kafe kamu?"

"Ya terus solusinya apa sayang? Kamu pengen kita sama-sama terus, ya kita harus ada di tempat yang sama supaya setiap waktu bisa ketemu."

"Tapi aku nggak mau kerja di Kafe kamu. Aku mau kamu nikahin aku secepatnya!"

Kedua tangan Aksa terkepal kuat, jangan sampai dia gagal mengendalikan emosinya.

"Aku harus sukses dulu supaya aku punya modal buat nikahin kamu, Sa. Aku nggak mungkin minta uang sama ayah buat ngadain pesta pernikahan sama kamu, dapat restu dari Ayah aja sudah apalagi uang. Belum lagi aku harus nafkahi kamu, kalau aku nggak ada usaha dari mana aku bakal dapatin uang. Semuanya nggak segampang itu, Sa."

"Papa aku bisa biayain semuanya."

Aksa menggelengkan kepala tak setuju. Sama saja Aksa menghancurkan reputasinya sebagai seorang laki-laki.

"Nggak bisa, Sa. Aku pengen nikah sama kamu dari hasil kerja keras aku sendiri. Biar lebih berkah sayang."

"Terus aku harus nunggu sampai kapan? Kafe kamu aja sepi, kan?"

"Nanti pasti ramai, sayang. Namanya juga berjuang. Kamu mau kan nunggu aku?"

Salsa hanya diam, tidak memberikan respon apa pun. Dia sendiri juga tidak yakin bahwa Aksa akan sukses dengan usahanya yang sekarang. Belum lagi dengan sikap Arya membuat dia semakin yakin, bahwa untuk bersatu dengan Aksa semakin sulit.

Lagipula apa yang salah jika Aksa bekerja di perusahaan papanya? Aksa tidak perlu kerja kerasa membangun usaha dari nol.

"Gini aja, aku nggak mungkin kerja di Kafe kamu. Jadi aku tiap hari datang ke sana cuma buat nemuin kamu. Satu lagi, jangan pernah protes kalau aku marahin Ayana kalau dia berani ngedeketin kamu. Gimana?"

"Dia sahabat aku, Sa." 

"Tuh kan, belum apa-apa kamu udah protes!" Salsa melipat kedua tangannya di atas dada. Kembali dibuat kesal karena lagi-lagi Aksa memprotesnya.

"Oke-oke. Terserah kamu, kalau itu bikin kamu nggak marah lagi dan menurut kamu itu yang bikin kamu senang, boleh. Kamu boleh datang setiap hari ke Kafe aku. Kamu bebas mau lakuin apa pun asal jangan di luar batas."

"Tergantung, kalau Ayana kegatelan ya terpaksa aku bertidak."

"Oke, terserah kamu." Kata Aksa pada akhirnya. Setidaknya sekarang lebih baik dia mengiyakan apa pun yang dikatakan Salsa. Untuk urusan nanti, akan dia pikirkan lagi. 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top