Bab 04

***

Di balik sikap kekanakan dan menyebalkan Aksa, dia juga memiliki sisi lain yang jarang dimiliki orang kebanyakan. Semenjak Melin masuk rumah sakit dia selalu mendampingi Ayana dalam menjalani masa-masa sulitnya. Istilah teman yang selalu di kala susah itu kini berlaku untuk Aksa kepada Ayana. Salah satu alasan mengapa Ayana selalu memaklumi segala kekurangan Aksa.

Dia juga belum membuka kafenya lagi. Aksa mengaku tidak bisa membuka kafe tanpa Ayana.

Semakin hari kondisi Melin memburuk, tapi Ayana selalu optimis ibunya akan sembuh. Dia tidak pernah pulang, selalu menunggu di rumah sakit. Meski Arya selalu menyuruhnya pulang, tapi dia bersikeras untuk tetap tinggal. Ayana ingin selalu ada di dekat ibunya.

Kadang Aksa membawakan makanan untuk Ayana ke rumah sakit, atau sekadar mengajak Ayana makan di kantin. Belum lagi ia yang selalu membawakan pakaian ganti untuk Ayana yang selalu menginap di rumah sakit.

"Kamu nggak mandi berapa hari, sih?" celetuk Aksa.

"Kenapa emangnya?"

"Bau."

Ayana mencium aroma tubuhnya.

"Udah tiga hari."

"Astagaaaa!!!"

Ayana mendelik namun terselip satu senyum di bibir melihat ekspresi berlebihan Aksa.

"Jorok kamu, Ay! Sana mandi! Liat tuh rambut kamu. Lepek."

"Aku nggak mood mandi. Bodo amat, ah. Udah cukup kamu paksa aku makan. Kalau mau protes mending pergi aja, aku mau sendiri."

"Ya udah, aku nggak bakal paksa kamu mandi. Oke. Sekarang makan, yuk."

"Enggak."

"Ayo." Aksa memegang tangan Ayana. "Ibu kamu nggak bakal marah kalau kamu nggak mandi, tapi kalau sampai nggak isi perut dia bakal marah. Dia nggak bakal rela."

Ayana masih duduk, tapi Aksa menariknya dengan cukup kencang hingga Ayana akhirnya berdiri. Wanita itu tidak menolak tidak juga mengiakan, tangannya pasrah ditarik Aksa ke kantin.

Mereka pun sampai di kantin. Duduk berhadapan. Aksa sudah memesan dua porsi nasi goreng.

"Aksa, maaf ya."

"Maaf untuk apa?"

"Gara-gara ini kafe kamu tutup berhari-hari. Padahal nggak pa-pa kamu buka sendiri."

"Mana bisa aku sendirian? Nanti kalau banyak pembeli aku keteteran gimana?"

"Kan kamu bisa minta bantuan ke teman-teman kamu."

"Aku males."

"Males dipiara," ledek Ayana.

Tak lama kemudian pesanan mereka sudah datang.

"Ibu bakal sembuh, nggak, ya?"

Gerakan Aksa saat menyendokkan nasi terhenti mendengar ucapan Ayana. Matanya langsung menatap wajah perempuan yang diselimuti kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran, dan segalanya yang berhubungan dengan ibunya.

"Apa jadinya hidup aku tanpa Ibu?" lanjut Ayana.

"Ya pasti sembuh, lah. Masa enggak? Ibu kamu belum liat kamu nikah. Ibu kamu belum liat kita sukses bangun kafe, kan? Ya sembuh, lah." Aksa menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan semangat sesuai ucapannya.

Jawaban Aksa membuat Ayana sedikit bahagia, meski di hati yang paling dalam ketakutan akan kehilangan tak bisa hilang.

"Haha iya, Ibu belum liat aku nikah. Iya, mana mungkin dia ninggalin aku, kan? Kan nggak lucu kalau nanti aku nikah nggak ada orang tua." Ayana tertawa dan ikut makan seperti Aksa.

"Nah itu kamu tahu!"

"Iya, iya kamu bener!"

Keduanya menikmati sarapan pagi itu dengan lahap. Berusaha mengusir semua pikiran buruk. Katanya jika isi pikiran kita buruk, nanti hasilnya juga buruk. Positif thinking itu diperlukan, bukan?

Aksa tersenyum ke arah Ayana, seolah memberikan semangat. Ayana mengangguk.

***

"Arya, kondisi saya kondisi saya yang sering sakit-sakitan membuat saya semakin tidak tahu kapan saya akan bertahan hidup di dunia ini. Kita memang tidak tahu kapan ajal bisa datang, hanya saja saya lebih waspada."

Seperti biasa, setiap bulan Arya selalu datang ke rumah Melin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Juga memberikan uang untuk pengobatannya yang tidak sedikit.

Arya terdiam mendengan perkataan dari istri mendiang sahabatnya. Semenjak Anton---suami Melin---meninggal dunia, Arya mengemban tugas dari sahabatnya itu untuk menjaga anak dan istrinya.

"Saya berterimakasih sama kamu, segala biaya hidup kami selalu kamu tanggung termasuk pengobatan saya." Melin menundukkan kepala. Sejak suaminya meninggal, Arya-lah yang memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap bulan, dia selalu datang membawakan beras dan kebutuhan lainnya. Melin sempat beberapa kali menolak, namun Arya tidak mau mendengar penolakannya.

"Arya, saya bisa minta tolong sama kamu?"

"Apa itu?" tanya Arya penasaran.

"Jika saya meninggal dunia, saya titip Ayana sama kamu. Sebab hanya kamu yang bisa saya percaya untuk menjaga Ayana. Bagi saya dia adalah segalanya, dia hidup saya," kata Melin dengan penuh permohonan. Dalam ucapannya ada rasa kekhawatiran yang mendalam. Tatapan matanya seakan ragu meninggalkan Ayana jika tidak ada yang bisa dipercaya untuk menjaga anaknya itu. Hal yang paling ditakutkan seorang ibu adalah ketika ia meninggalkan anaknya di dunia sendirian, dan ketakutan itu tengah dirasakan Melin. Setiap hari yang ia pikirkan hanyalah soal Ayana dan Ayana, termasuk tentang masa depannya kelak. "Tolong ya, tolong jaga Ayana."

Arya menggeleng kepala, tidak senang jika Melin berbicara seperti itu. Setahunya Melin selalu semangat ingin sembuh demi Ayana. Tapi kenapa sekarang Arya hanya melihat keputusasaan di mata Melin?

"Ayana sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Kamu jangan bicara seperti itu, Melin. Ayana butuh kamu, kamu harus optimis untuk sembuh. Perihal menjaga Ayana, tanpa kamu minta saya pasti akan menjaga dia."

"Ini hanya berjaga-jaga saja, karena kita nggak pernah tahu kapan maut akan menjemput. Satu lagi pesan dari saya, Arya. Tolong carikan Ayana laki-laki baik yang nanti akan menjaganya, saya nggak mau Ayana mendapatkan suami yang buruk perilakunya. Dia harus berakhir di tangan laki-laki baik yang akan memberikan dia kebahagiaan dunia dan akhirat, yang nggak berani menyakiti dia."

Arya menitikkan air mata saat mengingat sepenggal fragmen bersama Melin beberapa hari yang lalu. Mungkin ini sebabnya kenapa Melin sampai berbicara seperti itu, bahkan sampai membahas masa depan Ayana tentang sosok suaminya nanti. Firasat seroang ibu tidak ada yang salah, dia tidak akan pergi sebelum memastikan bahwa anaknya akan baik-baik saja setelah dia tinggalkan.

Terbukti, sekarang Melin sudah mengembuskan napas terakhirnya. Dia seakan pergi tanpa beban. Semua alat medis yang tadinya tertempel kini sudah lepas.

"Melin, kamu jagan khawatir. Saya pasti akan menjaga Ayana," kata Arya dalam hati. Matanya menatap Melin yang sudah ditutup kain putih hingga puncak kepala. Melin siap untuk dimandikan.

Bersamaan dengan itu, Ayana dan Aksa kembali dari kantin. Tatapan Ayana heran saat melihat beberapa suster mendorong brankar keluar dari ruangan ICU.

Ayana menggelengkan kepala dengan telak, mencoba untuk berpikir positif bahwa dugaannya salah. Dengan cepat Ayana langsung berlari mendekati Arya yang masih berdiri di depan ruangan ICU. Matanya merah, menatap Ayana iba.

"Om, tadi aku ngeliat beberapa suster bawa seseorang keluar dari ruangan ICU. Ibu mana? Ibu aku udah dipindahin ke ruangan rawat? Di mana, Om? Kenapa Om masih di sini? Kenapa Om nggak bilang sama aku kalau ibu aku udah dipindahin?" Ayana menghujani Arya dengan beberapa pertanyaan tanpa jeda. Tidak memberikan Arya untuk menjawabnya terlebih dahulu.

Aksa menangkap sesuatu yang tidak mengenakkan, eskpresi sang ayah terlihat tidak biasa.

"Ayah, Ayana tanya sama Ayah!" teriak lelaki itu.

Arya mengembuskan napas pelan. Dibawanya Ayana ke dalam dekapan. Arya benar-benar kasihan dengan Ayana. Dia masih terlalu belia saat ditinggalkan kedua orang tuanya. Bibirnya berat sekali mengatakan berita duka ini. Tapi Ayana berhak tahu.

"Ibu kamu sudah sembuh."

"Maksud, Om?"

Ayana melepaskan pelukan Arya. Apa dia tidak salah dengar?

"Ibu aku sembuh? Apa aku nggak salah dengar?" Mata Ayana berbinar.

Arya menganggukkan kepala pelan. "Allah sangat menyayangi ibu kamu, dia sudah menyuruh ibu kamu pulang agar dia tidak merasakan sakit lagi."

Ayana membuka mulut, rasa sesak di dada menghujam begitu tajam. Gadis itu bahkan tidak mampu berkata-kata lagi. Kakinya terasa lemas, Ayana menjatuhkan tubuhnya di atas ubin yang keras.

Giliran Aksa yang menanyai sang ayah. "Yah, beneran? Tante Malin udah meninggal? Yang tadi itu jasadnya Tante Melin?"

"Iya, Aksa. Tante Melin udah nggak ada," jawab ayahnya penuh sesal.

Aksa yang melihat Ayana menangis di lantai turut  berjongkok, dipeluknya Ayana dengan erat. Dia tahu bagaimana perasaan Ayana sekarang. Sebab dulu waktu kecil dia pernah merasakan kehilangan seorang ibu.

"Ibu...." lirih Ayana pelan, sangat pelan. Ayana meremas lengan Aksa dengan kuat.

"Kamu harus kuat, Ay."

Ayana melepaskan pelukan Aksa. "Aksa, ini nggak mungkin, kan? Nggak mungkin Ibu meninggal. Tadi kita optimis Ibu bakal sembuh. Tapi sekarang apa?" Mata Ayana yang menatap Aksa sudah basah oleh air mata. "Kamu bilang sama aku kalau ibu aku nggak bakal ninggalin aku, kamu lihat Aksa. Sekarang ibu aku ninggalin aku! Kenapa kamu bohong, Aksa! Kenapa kamu bohong!" Tangis Ayana pecah. "Untuk apa aku berharap tadi kalau pada akhirnya begini? Kenapa Tuhan tega ambil Ibu dari aku? Kenapa Tuhan bikin aku sebatang kara."

Aksa tidak bisa menjawab pertanyaan Ayana. Karena mau berkata apa pun, tidak akan berefek apa-apa untuk Ayana. Dia berhak menangis sepuasnya, karena dengan menangis semua terasa lebih ringan.

"Kenapa kamu tadi pede banget bilang Ibu aku bakal sembuh? Taunya hari ini Ibu meninggal. Ibu meninggal ...." Suara Ayana melemas. "Ibu .... Ibu .... Waktu kita bersama belum lama. Kenapa Ibu tinggalin aku?"

***

Langit yang pekat seakan mewakili perasaan Ayana yang kini menatap gundukan tanah merah di hadapannya yang dipenuhi bunga serta batu nisan bertuliskan 'Melin'. Pandangan gadis itu kosong. Dari sekian banyaknya perpisahan, kenapa malah kematian yang sang ibu pilih untuk meninggalkannya?

Satu pintu doa sudah tertutup untuk selamanya. Ibunya yang segalanya juga sudah menghilangkan semua yang ada dalam hidup Ayana. Doa ibu, alasan hidup, motivasi untuk berhasil, dan semangat untuk membanggakannya.

Jika wanita yang menjadi alasan dia untuk selalu bersemangat sudah pergi, untuk apa lagi dia berjuang?

Pandangan Ayana beralih ke kuburan sang ayah yang berada tepat di sebelah makam sang ibu. Berdampingan. Kini ayahnya tidak sendiri lagi, tapi sebagai gantinya dirinya yang ditinggalkan sendiri di dunia. Mereka sudah meninggalkan kewajibannya untuk merawat putrinya ini.

Lagi dan lagi air mata Ayana menetes.
Belum sanggup dan siap menerima kenyataan bahwa ia sudah resmi menjadi yatim piatu.

Ayana merasakan sentuhan di bahu, itu adalah tangan Aksa. Lelaki itu mengajaknya untuk pulang. Ayana kembali menangis.

"Ayana, kita pulang, ya. Ini mau hujan, kalau kamu di sini dan kena hujan, kamu bisa sakit."

Ayana menggelengkan kepala. Sekarang dia sudah tidak peduli lagi dengan tubuhnya. Sekali pun dia sakit, dia juga tidak peduli. Sendirian di dunia membuat Ayana benar-benar gelagapan. Ayana merasakan satu-satunya arah tujuan hidupnya lenyap seketika.

Kehilangan seorang ibu rasanya benar-benar menyakitkan. Biasanya, setiap pulang bekerja, ada seseorang yang menunggunya di rumah. Setiap dia telat makan selalu ada yang mengingatkan, setiap dia tidur larut malam selalu ada yang mengingatkan dan setiap dia ingin pelukan selalu ada dekapan hangat dari sang ibu.

Sekarang semuanya benar-benar sudah terenggut dari hidupnya. Tidak ada lagi yang akan menyambutnya saat tiba di rumah, tidak ada lagi yang memberinya nasehat-nasehat ketika melakukan kesalahan. Detik ini dan seterusnya, Ayana hanya akan disiksa oleh kerinduan yang tidak ada obatnya.

"Ay, aku tau kamu sedih. Tapi kamu harus peduli sama kesehatan kamu. Kalau kamu terus-terusan kayak gini kamu bisa sakit, dan itu bakal bikin ibu kamu sedih."

"Aku pernah dengar, seseorang yang udah meninggal hubungan mereka dengan dunia sudah terputus, mereka nggak bakal ingat lagi sama orang-orang yang mereka tinggalkan di dunia karena mereka yang bertakwa udah bahagia diberikan surga. Terus kamu bilang ibu aku sedih, apa dia ingat aku di sini? Apa dia masih bisa merasakan sedih karena ninggalin aku sendirian? Aku nggak punya siapa-siapa, apa salah aku nangis? Ayah udah ninggalin aku dari kecil, sekarang giliran ibu. Padahal aku belum sukses, aku belum bisa bahagiain ibu, aku belum bisa balas semua kebaikan ibu."

Aksa berjongkok di samping Ayana, dirangkulnya Ayana dengan hangat.

"Siapa bilang kamu sendiri? Ada aku, ada ayah. Kita sayang sama kamu, aku sama ayah nggak akan biarin kamu sendirian, Ay."

Ayana tersenyum tipis, dilepaskannya tangan Aksa yang ada di bahunya. Tetap saja semuanya tidak akan sama. Kenyataan dia tetap sebatang karang. Arya dan Aksa tidak memiliki hubungan darah dengannya.

"Sekarang gini, aku antar kamu pulang, habis itu kamu ikut ke rumah aku. Nggak mungkin kamu tinggal sendiri aku nggak akan biarin itu terjadi."

"Aku pengen sendiri, Aksa. Mending kamu sama om Arya pulang. Aku butuh waktu sendiri."

"Enggak, Ay. Aku nggak bakal ninggalin kamu sendiri." Aksa menolak mentah-mentah. Dia takut jika Ayana melakukan hal-hal di luar batas yang bisa membahayakan dirinya.

"Aksa. Udah, mungkin Ayana butuh waktu sendiri. Kamu jangan paksa dia."

Aksa berdecak kesal. Bisa-bisanya sang ayah berbicara seperti itu.

"Ayah!"

"Aksa! Kamu jangan keras kepala. Gimana pun Ayana berhak untuk lakuin apa yang dia mau. Ayah yakin dia akan baik-baik aja. Kadang seseorang butuh waktu sendiri untuk menyembuhkan lukanya."

Arya kemudian berjongkok dan memegang bahu Ayana.

"Ayana, kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan buat hubungin Om. Bagaimanapun ibu kamu sudah menitipkan kamu ke Om. Mulai sekarang kamu adalah tanggung jawab om sepenuhnya."

Ayana hanya diam. Beberapa saat setelah itu Arya membawa Aksa secara paksa dari pemakaman itu. Berkali-kali Aksa berontak namun Arya menghiraukan anaknya itu.

Kini tinggal hanya Ayana sendirian di makam itu.

***

Ayana membuka pintu rumah, dinyalakannya saklar lampu, ruangan berubah terang, tapi keheningannya tidak berubah. Rumah ini sepi. Ayana menutup pintu, saat itu pula mobil Aksa tiba di depan rumah Ayana.

Setelah pulang bersama ayahnya, Aksa memilih untuk pergi lagi. Ia tidak mungkin membiarkan Ayana sendirian meski wanita itu memaksa ingin sendiri. Dia kembali ke pemakaman, kemudian melihat Ayana keluar dari pemakaman. Ayana menaiki taksi daring, kemudian Aksa mengikutinya. Syukurlah tujuan Ayana ternyata ke rumahnya. Jadi tibalah Aksa di sini sekarang.

Aksa turun dari mobil. Memasuki halaman rumah. Langit sudah lumayan gelap, sebentar lagi waktu Magrib akan tiba.

Kaki Aksa menapaki teras rumah, ia melihat keadaan rumah lewat jendela, mencari keberadaan Ayana, tapi sepertinya ia masuk ke kamar.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Aksa duduk di teras. Ia memesan makanan lewat aplikasi. Jelas saja ia belum melihat Ayana makan selain sarapan di kantin rumah sakit tadi pagi. Azan magrib berkumandang.

Di dalam, Ayana sedang berbaring di atas ranjang. Sekarang adalah masa tersulitnya. Mau satu dunia menyuruhnya untuk semangat pun tidak akan membuatnya bersemangat. Ia hanya butuh waktu untuk menerima semua ini dengan lapang.

Beberapa detik kemudian ia mendengar suara ketukan di pintu secara berulang kali. Dengan badan tidak bertenaga ia turun dari ranjang dan berjalan lunglai menuju pintu.

Ayana membuka pintu, ada sebingkis makanan di atas lantai. Ayana membungkuk untuk mengambilnya.

Siapa yang membelikan ini?

Ayana melempar pandangan ke sekitar halaman, tapi tidak menemukan siapa pun. Namun ia sangat yakin, bahwa ini pasti perbuatan Aksa.

Siapa lagi yang berani melakukan ini kalau bukan dia yang tukang maksa itu?

Sekembali Aksa dari masjid untuk melaksanakan kewajiban tiga rakaat, ia melihat pintu rumah Ayana masih tertutup rapat, namun makanan yang tadi ia simpan sudah tidak ada. Aksa tersenyum. Setidaknya Ayana masih mau mengambilnya dan semoga dia memakannya.

Ia pun berjalan lagi ke teras, mengetuk pintu rumah. Belum menyerah untuk melihat keadaan Ayana.

Satu ketukan dua ketukan, tidak kunjung ada respons. Aksa mulai kalang-kabut. Kalau tadi Ayana sempat membuka pintu, kenapa sekarang tidak?

"Ayana!" panggil Aksa sambil menggedor pintu.

"Ay, buka pintunya! Aku cuma mau liat keadaan kamu! Ay, kamu baik-baik aja, kan di dalam! Buka, Ay!" Aksa berusaha membuka tapi percuma pintunya dikunci.

"Ay, buka pintunya! Kamu denger aku, kan? Ayana!" Ketukan di pintu tak kunjung berhenti.

"Ayana!" Pria itu semakin panik.

"Ayana!"

Tak lama kemudian, pintu terbuka dari dalam, muncul sosok perempuan dengan balutan mukena, Aksa bernapas lega.

"Kamu kenapa nggak sabaran banget, sih?" tanya Ayana kesal.

"Oh, kamu lagi sholat? Aku khawatir kamu kenapa-kenapa. Ketukan yang pertama tadi dibuka, masa yang tadi enggak. Jelas aku panik. Takut di dalam terjadi sesuatu, takut kamu ngelakuin hal-hal aneh."

"Lagian kamu ngapain di sini? Sana pulang," ucap Ayana.

"Kamu ngusir aku?"

"Iya, Aksa. Aku mau sendiri. Tolong hargai aku. Makasih buat makanannya, nanti aku makan. Tapi aku mohon, aku bener-bener lagi pengin sendiri."

"Nggak mau ditemenin? Sepi lho, Ay. Kamu nggak takut?"

Ayana menggaruk keningnya, "Aku pengin sendiri untuk hari ini aja. Aku tahu kamu khawatir. Makasih udah khawatirin aku. Tapi bener, sekarang aku lagi pengin sendiri. Plis, aku mohon."

"Hmmm .... Ya udah, aku pulang." Akhirnya Aksa mengerti. "Tapi kalau ada apa-apa, kamu wajib hubungi aku."

"Iyaaa, udah sana."

"Oke! Aku pulang."

Ayana menutup pintu, Aksa menatap sebentar pintu yang baru tertutup itu, dia pun berjalan menuju mobilnya.

***

Alfi mengembuskan napas resah. Ini sudah hari ketiga dia kembali ke kafe. Namun sampai detik ini dia tidak melihat Aksa atau pun Ayana di sana.

Apa terjadi sesuatu pada ibu Ayana? Alfi menjadi kepikiran dengan ibu dari perempuan itu. Meskipun baru kenal dengan Ayana tetap saja dia merasa khawatir jika ibu Ayana sakit parah. Apalagi jafe sampai tutup seperti ini.

Pikiran Alfi juga menjadi tidak tenang. Dia hanya bisa berdoa semoga saja ibu dari perempuan itu baik-baik saja.

"Kayaknya ini nggak ada yang bakal datang lagi deh, Pi." Kata seorang perempuan di sampingnya, namanya Alvira---teman dekat Alfi--- yang beberapa hari belakangan ini menemani Alfi untuk menunggu pemilik kafe ini kembali. Sebab bagaimanapun dia harus menyerahkan uang dan kunci kafe ini kepada Aksa.

"Nggak apa-apa. Biar aku tunggu aja," kata Alfi santai. Dia tidak peduli seberapa lama menunggu Ayana dan Aksa di sini. Sebab dia optimistis bahwa tidak mungkin kafe ini tutup begitu saja. Pasti ada satu hal yang membuat Aksa mau pun Ayana tidak membuka kafe mereka dalam beberapa hari belakangan.

Vira menganggukkan kepala. Tidak masalah baginya jika harus menemani Alfi di sini.

"Kalau misalnya kamu mau pulang nggak apa-apa."

"Kamu ngusir aku?"

"Bukan gitu..."

"Aku di sini, sebagai teman yang baik aku nggak mungkin biarin kamu kayak orang linglung bengong sendirian di sini. Lagian kamu kan janji mau kasih aku kerjaan, ya siapa tau mereka butuh tenaga aku. Ya nggak?"

Alfi tertawa pelan mendengarkan perkataan Vira. "Ada maunya juga, ya?"

"Iya, dong, namanya juga cari uang, ya harus diusahakan apa pun caranya asalkan halal."

Beberapa orang sempat datang menanyakan kepada Alfi mengapa kafe ini tidak buka. Sayang sekali memang, tapi dia sendiri juga tidak ada hak untuk membuka kafe ini. Dia ke sini hanya ingin mengembalikan kunci dan memberikan uang dari hasil penjualan tiga hari yang lalu.

"Alfi!"

"Kenapa?"

"Kenapa kita bodoh banget sih!"

"Bodoh gimana maksud kamu?"

"Liat itu." Alvira menunjuk spanduk yang menggantung di depan kafe Aksa.

"Itu kan ada nomor pemilik kafe ini. Seharusnya kita hubungin ke nomor itu dari kemarin, jadi kita nggak perlu nunggu si pemilik kafe ini di sini. Kita tinggal telfon dan suruh dia ambil kunci kafe dan selesai, kan?!"

Alfi menggaruk kepalanya yang tak gatal. Benar juga apa yang dikatakan temannya itu.

"Iya ya, kok nggak kepikiran sih."

Alfi ikut menertawakan diri sendiri. Dia mengambil ponsel dari saku celananya. Namun tidak ada jawaban. Alfi kembali mencoba hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban.

"Nggak diangkat, Ra."

"Kok aneh ya?"

"Aneh gimana?"

"Ya aneh aja, Pi. Masa iya nggak diangkat."

"Kemarin aku sempat dengar kalau ibunya mbak Ayana masuk rumah sakit, apa kondisi ibu ya parah, ya."

Vira mengangkat kedua bahunya. "Bisa jadi, sih."

"Semoga ibunya mbak Ayana baik-baik aja deh."

Meski baru pertama bertemu tapi Alfi sudah memiliki perasaan khawatir seperti ini pada orang yang baru dikenalnya

Semoga semuanya memang baik-baik saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top