Bab 03
Mendengar pernyataan Aksa tentu Ayana kesal. Dia sudah bangun lebih pagi dan menyiapkan semuanya untuk kafe Aksa hari ini. Lantas bisa-bisanya Aksa menyuruhnya untuk tutup? Bagaimana jika orang yang sudah membaca brosur tadi datang ke kafe ini?
"Aksa, jangan macem-macem deh. Kita baru aja sebar brosur, loh. Gimana kalau ada pengunjung. Kamu mau kemana? Kenapa harus tutup. Apa nggak bisa Salsa di kesampingkan dulu? Kamu jangan terlalu bucin, Aksa. Jangan santai kayak gini, dong!"
"Tunggu-tunggu, kamu kok jadi ngatur-ngatur aku kayak gini ya, Ay. Yang punya Kafe ini kan aku, terserah aku dong mau tutup atau buka."
Ayana membuka mulutnya, perkataan Aksa sungguh membuatnya kesal. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang, brosur juga tersebar ke beberapa orang. Ayana yakin hari ini pasti ad pengunjung, kalau seandainya Kafe ini tutup mereka tentu tidak mungkin datang di hari esok.
"Aku nggak ngatur kamu, Aksa. Aku cuma ngasih tau kamu hal yang benar. Kalau misalnya kamu pergi sama Salsa, nanti ada pelanggan gimana, kamu bayangin kalau seandainya Kafe ini tutup mereka pasti malas buat balik lagi ke sini besok."
"Yaudah kalau kamu nggak mau tutup kamu bisa sendiri jaga kafe? Enggak, kan! Tapi kalau kamu ngotot ya terserah kamu. Cuma hari ini aku emang benar-benar nggak bisa. Aku udah mau sebar brosur tadi, anggap aja itu kerjaan aku hari ini. Aku nggak mau hubungan aku sama Salsa rusak, oke." Aksa berdiri, melangkah pergi meninggalkan Ayana yang masih menyimpan kekesalan padanya. Bahkan tidak membiarkan perempuan itu kembali memprotesi soal keputusannya.
Aksa kembali mendekati Salsa yang duduk di kursi depan. Kepalanya terangkat saat Aksa tiba di depannya. Pandangannya seakan menunggu jawaban dari Aksa.
"Gimana? Masih mau buka kafe ini? Mau batalin lagi buat nemenin aku?"
Aksa dengan gemas memegang kedua pipi Salsa, kemudian menjepitnya dengan kedua telapak tangan.
"Sayang, jangan marah-marah. Kata siapa aku nggak mau temanin kamu, sekarang mau kemana? Ayok! Kita berangkat, aku siap antar kamu kemanapun."
Kedua sudut bibir Salsa tertarik ke samping, membentuk lengkungan manis. Dipegangnya kedua tangan Aksa yang ada di pipinya.
"Bener?"
"Iya, Sayang. Ayo!"
Ayana melipat kedua tangan di atas dada. Bisa-bisanya Aksa benar-benar pergi dengan pacarnya itu. Ayana menghentakkan kakinya kesal. Aksa selalu lemah jika diancam oleh Salsa. Kalau begini bagaimana mungkin kafe ini akan berkembang? Bibir Ayana terus mengomel saking jengkelnya dengan Aksa.
Salsa-lah yang menjadi salah satu alasan kenapa Aksa seperti ini. Aksa menjadi abai dengan usahanya sendiri, jika seperti ini terus, Ayana sendiri juga tidak yakin kalau Aksa akan berhasil.
"Sabar Ayana, sabar. Kamu nggak boleh emosi. Ingat, sesuatu yang kamu kerjakan harus sepenuh hati biar hasilnya juga memuaskan. Oke, nggak masalah kalau Aksa pergi sama Salsa. Kamu pasti bisa sendiri jaga Kafe ini. Gimana pun kamu harus bantu Aksa karena Om Arya udah baik sama kamu." Berkali-kali Ayana berusaha menyemangati dirinya.
Waktu Dhuhur sudah masuk, Ayana memilih untuk melaksanakan salat terlebih dahulu. Berharap setelah itu ada pengunjung yang datang.
Ayana yakin, kalau memang hari ini rezekinya, pasti tidak akan hilang.
***
"Permisi, Mbak, Mas. Mas sama Mbak mau pesan minuman apa nih? Kopi, Boba, jus?" Ayana memberikan buku menu kepada pengunjung pertama. Senang sekali rasanya saat kafe ini disinggahi oleh orang-orang. Semoga saja usahanya saat membagikan brosur tadi tidak sia-sia.
Selain di buku menu, mereka juga bisa melihat tulisan menu di bagian depan dapur yang terpampang jelas
"Ini menunya ini aja, Mbak? Nggak ada yang spesial, ya?"
"Sebenarnya gini, Mas. Kita mau adain promo besar-besaran nanti, nah pas acara peresmian kafe ini dibuka kita mau bikin semacam request kepada pelanggan. Siapa yang berhasil usulin nama menu terunik nanti bakal kita kasih makanan gratis di sini. Pesan makan apa pun gratis."
"Wah, kapan tuh, Mbak? Boleh, nih. Nanti kita ajak teman-teman kita bisa kan, ya?"
"Bisa dong Mas, Mba. Ajak siapa pun boleh."
"Oke-oke, saya pesan minuman Boba Vanilla Contains, kalau kamu apa yang?" Tanya perempuan itu pada laki-laki yang sudah pasti kekasihnya.
"Aku rasa Vanilla Late aja."
"Oke, tunggu sebentar ya Mas, Mbak." Ayana kembali berjalan menuju warung yang ada di halaman kafe, kali ini dia harus membuat minuman itu enak dan rasanya pas, agar dua orang pertama yang datang siang ini tidak kecewa.
Satu per satu pembeli datang dengan membawa brosur. Tandanya ide Ayana tadi ampuh juga. Mereka tertarik datang untuk mencoba.
"Mbak, saya mau pesan menu terenak." Ayana yang sedang fokus memanaskaan ayam dan daging sapi sesuai pesanan, disodori brosur dari tangan seorang laki-laki.
"Tapi gratis, ya?" lanjutnya.
"Hah? Kok gratis, sih?"
"Sebagai gantinya saya bantuin Mbak di sini. Liat aja, banyak pembeli yang datang. Memangnya Mbak sanggup handel sendirian?"
Ayana melihat kondisi di depannya. Benar juga apa kata dia, pembeli semakin membludak gara-gara diskon, terlebih banyak anak sekolah yang berbondong-bondong ke sini, belum lagi tadi ia melihat ada rombongan anak yang memilih tempat di lantai dua. Sepertinya tawaran dari laki-laki ini tidak boleh dilewatkan Ayana begitu saja.
"Eum, ya udah, boleh, deh. Sini masuk.
" Ayana mempersilakan pria itu masuk ke dapur. Ia pun langsung masuk.
"Kenalan dulu, Mbak. Nama saya Alfi. Saya mahasiswa jurusan tata boga."
"Tata boga?!" Menerima bantuan saja sudah membuat Ayana senang, apalagi ini, yang akan membantunya pasti sudah tidak asing lagi dengan urusan masak-memasak.
"Iya, jadi Mbak percaya sama saya, kan kalau saya bisa bantu? Saya juga suka masak dan bikin minuman. Itulah kenapa saya kuliah jurusan itu."
"Haruskah saya rekrut kamu jadi pegawai tetap di sini? Koki? Waiters?" Ayana terkekeh. Tuhan selalu punya cara untuk memberikan jalan keluar bahkan di saat yang paling mendesak sekali pun. Kehadiran pria ini amat membantu Ayana dan menghilangkan kekesalannya pada Aksa.
"Mau saya bantu mulai dari apa, nih, Mbak? Sebentar .... saya boleh, kan pakek celemek ini?" Pria itu meraih celemek yang tersampir di kursi.
"Oh, boleh, pakek aja, yang punyanya juga lagi nggak ada. Eh, nama kamu siapa? Aku lupa. Aduh! Kenalan dulu, lah, biar enak," usul Ayana.
"Oh, iya, baik, Mbak." Ia mengulurkan tangan. "Nama saya Alfi. A l f i. Alfi. Ingat ya, jangan sampai lupa lagi."
"Alfi? Okee." Ayana tertawa pelan, menerima uluran tangan Alfi. "Kalau nama saya Ayana."
"Mbak Aya?"
"Terserah kamu mau panggil saya apa."
Alfi tersenyum manis, jabatan mereka pun terlepas.
"Bentar, saya kayak pernah liat kamu, deh," ucap Ayana.
"Ya jelas, lah, kan Mbak tadi pagi kasih brosur ini ke saya."
"Oh, iya, ya. Kamu yang tadi, kan? Oh iya saya ingat."
Alfi kembali tersenyum.
"Menu di sini tinggal panas-panasin aja pakek microwave, semua bahannya ada di freezer. Jadi kita itu nyetok makanan terus dibekuin biar nggak basi. Jadi kalau ada pembeli tinggal dipanasin aja, supaya cepat dan praktis. Itu usulan bosnya."
"Oh, saya ngerti."
"Ya udah, kamu bagian dapur, saya bagian depan untuk bikin minuman, ya. Kalau kebab juga tinggal panasin, ada di dalam kulkas. Dan bahan lain juga di kulkas."
"Sip. Semangat, Mbak!" Alfi mengangkat tangan.
"Kamu ini." Padahal baru kenal, tapi pembawaan Alfi yang ramah sekali membuat interaksi mereka terlihat seperti teman lama yang dipertemukan kembali, tidak ada canggungnya sama sekali. Ayana pun keluar dari dapur untuk membuat minuman sesuai pesanan yang tadi sudah ia lihat di kertas.
Semoga ini awal yang baik. Kalau ramai hanya karena diskon saja, ya terpaksa Ayana harus membuat inovasi baru soal menu makanan. Dan Aksa harus mau mengikuti usulannya. Kalau menunya terlalu pasaran, pasti akan kalah saing dengan menu dari kafe lain. Rezeki memang sudah ada yang mengatur, tak akan pernah tertukar, tapi tidak ada salahnya juga kita berikhtiar.
Alfi seperti sudah berpengalaman dalam melayani pembeli. Ia begitu cekatan menyiapkan makanan.
Tiba kembali ke dapur setelah mengantar pesanan, Alfi melihat ponsel yang ia pikir milik Ayana berkedip-kedip pertanda ada panggilan masuk. Sepertinya itu sudah terjadi berulang-kali, barangkali amat penting. Alfi pun membawa ponsel Ayana dan pergi keluar untuk menemui pemiliknya.
Alfi masuk ke tempat pembuatan minuman, memberikan ponsel Ayana.
"Ini, Mbak, ada yang telepon."
"Oh, ya?" Ayana yang tengah mem-blend minuman segera mengambil alih ponselnya. Ia melihat layar dan tertera nama Om Arya di sana.
"Iya, Om? Mau cari Aksa?"
"....."
"Apa? Ibu masuk rumah sakit?" Raut wajah Ayana terlihat panik sekali.
"...."
"Iya, Om, saya segera ke sana."
Begitu sambungan telepon putus, Ayana lekas melepas celemeknya.
"Ada apa, Mbak? Gawat, ya?"
"Ibu saya masuk rumah sakit. Saya harus cepet-cepet ke sana. Oh iya, tapi .... Kafe ini? Apa harus saya tutup aja, ya?"
"Eum nggak usah, Mbak. Kan ada saya."
"Kamu kan cuma bantu, saya nggak enak sama kamu."
"Udah, Mbak, nggak pa-pa, tenang aja. Mbak sekarang pergi aja, urusan kafe biar saya yang urus."
"Kamu yakin bisa?"
"Bisa, in syaa Allah. Lagi pula udah nggak sebanyak tadi. Saya juga kebetulan lagi free."
"Ya udah, saya pamit dulu, ya."
"Iya, Mbak, hati-hati. Semoga ibunya baik-baik aja."
"Oke. Makasih."
Ayana bergegas keluar dan langsung memesan ojek online agar bisa tiba cepat di tempat tujuan.
***
Saat Ayana tiba di rumah sakit ternyata ibunya sudah dipindahkan ke ICU karena kondisinya yang kritis. Lutut Ayana lemas melihat tubuh sang ibu yang terbujur di atas ranjang dengan alas medis yang tertempel di tubuhnya.
Perempuan paruh baya itu sudah melakukan cuci darah sebanyak 32 kali. Dalam satu bulan terakhir ini, Melin lebih sering melakukan cuci darah untuk memperpanjang usianya. Dalam satu pekan Melin bahkan harus cuci darah sebanyak dua kali, hal itu sekarang membuat kondisi tubuhnya membengkak.
Menurut pengakuan Arya, Melin sudah tidak sadarkan diri sejak tadi pagi, tepat saat dia membawa Melin ke rumah sakit.
Air mata Ayana tak berhenti mengalir. Padahal tadi pagi sebelum dia berangkat untuk bekerja, Melin masih sempat menyiapkan air panas untuknya, menyiapkan teh hangat dan sarapan pagi. Secepat itu keadaan berubah. Benar, ya, kita benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ayana tidak yakin akan kuat untuk menghadapi kenyataan yang sedang menantinya di depan, begini saja ia seperti kehilangan sebagian tenaga.
"Ayana..."
Ayana mengangkat kepala. Dilihatnya Arya yang berdiri tepat di hadapannya. Laki-laki itu tersenyum, seakan memintanya untuk ikut tersenyum. Meyakinkan Ayana bahwa semuanya akan baik-baik saja. Keberadaan ayah Aksa sedikit meringankan beban yang kini ditanggung Ayana, ia sudah Ayana anggap sebagai ayah sendiri. Setidaknya ia tidak sendirian menghadapi ujian ini.
"Om, ibu aku bakal baik-baik aja kan, Om?"
Ayana tahu tak sepantasnya dia melontarkan kalimat seperti ini. Namun saat melihat kondisi sang ibu yang sudah tidak sadarkan diri membuatnya benar-benar merasakan takut yang luar biasa. Di dunia ini hanya sang ibu yang dia miliki, jika Tuhan tega mengambil ibunya, lantas dengan siapa dia harus berlindung?
Tuhan sudah tega mengambil ayahnya, apakah Tuhan juga tega untuk mengambil ibunya sekarang?
Ayana duduk di kursi tunggu, kedua telapak tangan digunakan untuk menutupi wajah. Ayana tidak tahu bagaimana cara meluapkan kemarahannya saat ini. Dia juga tidak tahu bagaimana caranya berbicara pada Tuhan agar Tuhan mau mengabulkan doanya agar tidak mengambil ibunya. Tapi ia berharap Tuhan mau mendengar teriakan dalam hati yang paling dalam bahwa ia belum mau ditinggalkan wanita yang sudah melahirkan ke dunia sekaligus merawatnya hingga sekarang.
Arya yang melihat Ayana menangis, ikut sedih. Disentuhnya bahu Ayana dengan lembut.
"Percaya sama, Om. Allah pasti tau yang terbaik untuk ibu kamu. Yang penting selama ini kita sudah berusaha untuk kesembuhan dia. Allah nggak mungkin mengabaikan usaha kita."
Ayana mengangguk meski kini keraguan dan ketakutan sedang menggerogotinya.
***
Setelah mengantar Salsa ke rumahnya, Aksa kembali lagi ke kafe. Dia membuka pintu kafe dan melihat kursi-kursi yang terbiasa kosong kini diisi beberapa orang. Artinya Ayana nekat membuka kafenya sendiri. Pandangan Aksa tertuju ke arah dapur, ada pria asing yang tengah berdiri di sana. Kening Aksa mengernyit, ke mana Ayana? Ia pun melangkah dan memasuki dapur.
"Eh, lo siapa?" tanya Aksa langsung.
"Mas siapa?" tanya balik Alfi.
"Gue pemilik kafe ini, dan lo siapa? Kenapa bisa masuk ke dapur gue?"
"Oh, iya, saya kenalannya Mbak Ayana."
"Gue masih nggak ngerti, maksud lo apa? Ini, Ayana mana? Kemana dia? Kenapa jadi lo yang ada di sini?" Aksa mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kafe, dia pun keluar dari dapur, bermaksud mencari Ayana di lantai dua, barangkali dia ada di sana. Tapi tak lama kemudian Aksa sudah turun dan berkahir di dapur lagi. "Mana, sih, tu anak?!"
Perhatian Aksa tertuju pada Alfi lagi. "Gue nggak suka ya ada orang asing masuk sembarangan ke dapur gue! Sekarang lo pergi, deh! Jangan sentuh barang-barang di sini!" Aksa memprotes habis-habisan, tangannya menunjuk Alfi berkali-kali.
"Saya, cuma mau bantuin mbak Ayana, Mas. Tadi saya liat mbak Ayana keteteran karena saking banyaknya pelanggan yang datang, kafe ini tadi penuh. Saya berisiatif buat bantuin mbak Ayanna, tiba-tiba tadi dia dapat telfon kalau ibunya masuk rumah sakit. Sebenarnya mbak Ayana mau tutup kafenya tapi kan sayang, nggak mungkin juga kita ngusir pelanggan, kan?" kata Alfi santai. Dia tahu laki-laki ini pasti tidak suka dengan kehadirannya di sini. Tapi sungguh, dia tidak bermaksud buruk dan benar-benar hanya ingin meringankan pekerjaan Ayana. Ia juga mengerti posisi Aksa, wajar dia marah karena Ayana sudah pasti belum memberi tahu bosnya tentang ketersediaan dia membantu pekerjaan di sini.
Aksa berdecak kesal sambil berkacak pinggang. Dia pun mengambil ponsel dari saku celana. Kemudian berjalan menjauh dari laki-laki asing itu. Kali ini, dia harus mendengar penjelasan dari Ayana. Apa pun alasannya tetap saja tindakan Ayana ini salah besar.
"Apa-apaan ini Ayana. Sembarangan masukin orang ke kafe. Kalau dia maling gimana!" omel Aksa, kemudian memencet menu memanggil Ayana.
Tapi teleponnya tidak diangkat. Aksa semakin jengkel.
Menelepon lagi, tetap saja tidak diangkat.
Di luar dugaan, ternyata yang ditelepon muncul di pintu.
Aksa meletakkan ponsel, menunggu Ayana yang kemungkinan besar akan langsung masuk ke dapur dengan tatapan penuh perhitungan.
"Eh, kamu udah pulang?" tanya Ayana begitu tiba di dapur.
"Kamu apa-apaan, sih? Bawa orang asing masuk ke dapur kafe? Bisa-bisanya kamu ceroboh dan ninggalin dia di sini! Kalau dia niat jahat yang mau tanggung jawab siapa? Kenapa sih kamu nggak bisa hilangin sifat ceroboh kamu itu? Kalau dia bawa uang hasil penjualan kabur gimana? Kamu mau ganti rugi?!" Bukannya mendapat jawaban atas pertanyaannya, Ayana malah dihujani cercaan tiada jeda dari Aksa. Ia menelan liur melihat kemarahan di wajah sahabatnya.
"Kamu nggak becus jaga kafe!" lanjut Aksa lagi. "Dasar ceroboh!"
"Astaga, aku baru pulang kamu langsung ngomel begini?"
"Gimana aku nggak ngomel? Kamu sembarangan masukin orang ke dapur. Kesalahan kamu fatal!"
"Fatal? Kamu nggak mau tau apa penyebabnya? Kamu nggak mau dengerin penjelasannya dulu? Kamu nggak mau mencoba untuk berprasangka baik dulu?"
"Apa pun alasannya tindakan kamu ini tetap yang salah!"
"Kamu nyalahin aku?! Kamu yang salah, Aksa! Kamu yang ninggalin aku dan pergi sama Salsa. Kamu nggak tau kan tadi kafe kamu itu ramai banget, kalau aku tutup kamu yang rugi!" Ayana balik menentang Aksa. Kesalnya pada Aksa semakin menjadi-jadi. Bukannya berterimakasih, Aksa malah seenaknya marah-marah dan menuduh hal yang macam-macam. Padahal tadi ia berusaha mati-matian untuk terlihat baik-baik saja di tengah guncangan batin tentang kondisi ibunya, tapi sekarang Aksa malah memancing emosi.
"Kamu jangan selalu berpikiran buruk sama orang, nggak semua orang jahat, Aksa!"
"Lho, justru kamu yang jangan gampang percaya sama orang, Ayana! Emang kamu kenal sama dia? Dia orang asing dan bisa-bisanya kamu biarin dia utak-atik dapur kita, Ay!"
"Udahlah Aksa! Terserah kamu mau marah atau gimana. Yang jelas tadi usaha kita buat sebar brosur nggak sia-sia! Banyak orang yang datang walaupun itu pengaruh harga diskon. Kalau nggak ada dia, aku nggak tau, mungkin aku udah dimaki-maki karena lama nyiapin pesanan pelanggan!" Kata Ayana dengan intonasi tinggi, tidak hanya itu Aksa juga mendengar suara Ayana bergetar menahan tangis.
"Aku bela-belain tetep balik ke kafe lagi padahal kondisi ibu aku kritis, tapi apa yang aku dapat? Kamu marahin aku. Pikir, dong, Ibu aku lagi bertarung antara hidup dan mati. Kurang apa lagi aku sama kamu? Kurang apa lagi aku khawatirin kafe kamu? Belum lagi rasa nggak enak aku sama Alfi karena dia udah mau bantu aku dan handel kafe sendirian. Seenggaknya bilang, dong, 'Terima kasih, Ayana'. Aku capek! Kerja keras aku selama ini kayaknya nggak ada harganya di mata kamu .... Kesalahan kecil aja kamu anggap besar, lalu apa kabar kamu? Ke mana tanggung jawab kamu?!"
Kali ini mulut Aksa terkatup, diamnya menutupi keterkejutan yang ia rasakan. Menatap Ayana yang tengah mencurahkan kemarahan yang mungkin selama ini ia tahan.
"Tapi kalau begini caranya, mending aku nggak usah balik aja, bodo amat kafe ini kemalingan atau apa, karena pemiliknya aja nggak pernah menghargai usaha orang lain. Emang udah saatnya aku bersikap bodo amat!" Setetes air mata yang turun di pipi Ayana langsung ia singkirkan, ia pun bergegas keluar dari dapur, tidak peduli beberapa pembeli yang masih menikmati makanannya menyaksikan pertengkaran sengit tadi.
Alfi juga tidak bisa berbuat apa-apa selain memendam rasa simpatiknya terhadap Ayana. Ia melirik Aksa yang menunduk, sepertinya laki-laki itu sudah sadar akan kesalahannya.
***
Aksa turun dari mobil dan berlari menuju gedung rumah sakit. Dilangkahkan kakinya lebar-lebar agar segera sampai di ruangan Melin. Kali ini dia terpaksa untuk meninggalkan kafe kepada lelaki asing itu, yang jelas setelah pulang dari rumah sakit dia harus kembali ke sana untuk memarahi laki-laki itu. Aksa harus bicara baik-baik lagi kepada Ayana dan meluruskan kesalah-pahaman mereka.
Setelah menanyakan pada bagian resepsionis, Aksa akhirnya tahu dimana ruangan Melin. Dilihatnya Ayana yang masih menangis di depan ICU tempat ibunya dirawat.
Aksa yakin pasti kondisi ibu Ayana sedang tidak baik-baik saja kalau sudah masuk ICU. Cepat-cepat Aksa menghampiri Ayana dan ayahnya yang juga ada di sana. Mereka yang memiliki hubungan kurang hangat hanya saling pandang sebentar, Aksa fokus kepada Ayana.
"Ay..." Panggil Aksa pelan. Ayana mendongakkan kepalanya, sekarang dilihatnya Aksa sedang berdiri di hadapannya.
"Buat apa kamu susul aku? Mau marahin aku? Tolong, jangan dulu. Udah cukup aku teriksa sama kondisi ibu aku."
"Ay, aku minta maaf, aku terlalu emosi tadi."
"Ada apa, Aksa?" tanya sang ayah. "Kamu berulah lagi?"
Aksa mengembuskan napas. Tidak salah saja ia selalu dimarahi, apalagi bersalah betulan.
"Kamu bikin repot Ayana lagi? Mau sampai kapan sih kamu berulah? Bahkan di saat ibunya Ayana kritis?" tanya sang ayah tak habis pikir.
Ayana memilih pergi dari sana untuk menenangkan diri, ia butuh waktu sendiri di tempat sepi.
Aksa tidak tinggal diam, dia bergegas menyusul Ayana.
"Ay, aku minta maaf. Aku nggak tahu kalau kondisi Tante Melin separah ini," ucap Aksa sambil terus menyusul Ayana. "Ay, tolong jangan begini. Kita bisa lewatin ini sama-sama. Aku bakal temenin kamu apa pun kondisinya."
Ayana berhenti, Aksa lekas berdiri di depannya. Tidak ada jawaban dari Ayana, matanya memerah dan menunduk.
"Ay, aku bener-bener minta maaf. Maafin aku, ya? Jangan marah." Aksa terus memohon seperti anak kecil yang menyesal karena sudah membuat ibunya marah.
"Aku sadar aku salah." Kali ini Aksa memegang dua lengan Ayana. "Aku bener-bener minta maaf." Suara Aksa terdengar sangat tulus. "Maafin aku."
Akhirnya Ayana mengangguk, saat itu pula Aksa membawa Ayana ke dalam pelukan, pun dengan isak tangis Ayana yang turut merebak.
"Rasa takut aku lebih mendominasi, Aksa. Aku takut ibu aku ninggalin aku."
Aksa hanya mengelus rambut Ayana.
"Aku takut banget. Aku nggak bisa bayangin hidup aku tanpa dia. Udah cukup aku kehilangan ayah, jangan lagi."
Aksa mengangguk, mencoba mengerti perasaan Ayana. Bagaimanapun dia pernah kehilangan seorang ibu. "Kamu harus berpikir positif, semuanya bakal baik-baik aja. Ibu kamu bakal sembuh, dia bakal liat kamu
"Beneran?"
"Bener. Percaya sama aku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top