Ayah Aku Rindu🥀

______________________________________

🌹Setangkai Mawar🌹
______________________________________

***

Aku termenung duduk di kursi sambil menatap ke depan. Saat ini aku memilih pindah ke pojok kelas belakang yang ada tiga kursi di sana.

Decitan kursi dengan kursi membuatku meneloh, "Ngapain?" tanyaku menatap sinis Najwa.

"Selow Mbak," ujarnya membuatku mendengkus.

"Uhuy, kado dari sapa tuh?" tanya Najwa menatap sebuah kotak di dekat tasku.

Aku mengedikan bahu, "Kenapa yak hari ini lambat banget, lebih baik nggak datang aja. Dosennya juga nggak ada," curhatku membuat Najwa tertawa.

"Nggak semudah yang kamu ucapkan furgoso," kekehnya.

"Bilang aja mau menghindar," ledek Najwa. Aku cuman diam menatap nanar ke depan.

Entah kenapa rasanya di dadaku terasa sesak sekali. "Dah lah," gumamku menghela napas lelah.

Aku kembali meronggah tas dan mengeluarkan handphone. Lagi-lagi aplikasi yang pertama aku buka adalah instagram. Masih banyak notifikasi masuk membuatku menyebikan bibir kesal.

"Untuk aku sabar ya," gumamku. Najwa mengangangguk singkat. "Ya, ya," sautnya.

"Windy ke mana?" tanyaku karena tidak melihat batang hidung anak itu.

"Palingan ngantin, kenapa?"

"Laper, nyusul yuk," ajakku. Najwa mengangguk. Aku lantas mengambil barang-barangku karena siap ini akan pulang juga karena jam kelas terakhir dan dosen juga nggak datang.

"Langsung pulang, ntar?" tanyanya bangkik. Aku lantas mengangguk, "Sumpek kalau di sini terus," ujarku. Najwa tersenyum-senyum, hari demi hari dia mengetahui karakter Maura lebih dalam, salah satunya dia tidak mau menjadi pusat perhatian. Sungguh aneh sekali anak itu.

"Najwa cepatan," gretakku karena anak itu masih sibuk melamun malah senyum-senyum sendiri lagi, kesambet setan tau rasa.

"Iya-iya, bawel banget sih kamu," dengkus Najwa.

Kami langsung saja menuju kantin. "Ciee, jadi pusat perhatian nie ye," ledek Najwa setengah berbisik.

"Shut, diam," sinisku.

"Ya Allah, Mbak. Kenapa sensian sekali anda," dengkus Najwa. Aku tekikik geli, akhir-akhir ini entah kenapa aku cerewet.

"Nah, tuh pujaan hati kamu," celetuk Najwa menyenggol lenganku.

Aku hanya diam menatap datar ke depan. Lantas aku langsung menyeret tangannya agara lebih cepat berjalan. "Jangan banyak bacot," ketusku.

"Astafirullah," ucap Najwa mengusap-ngusap dadanya.

Kini dia tengah diseret oleh Maura hingga tiba di pintu kantin. Mataku menyipit menatap sekitar, "Nah, tuh Windy," ujarku. Aku langsung melangkah menghampirinya meninggalakan Najwa yang masih mematung di tempat.

"Misi," ujarku langsung duduk di samping Windy. Kebetulan dia tengah makan nasi goreng. Mentimunnya aku comot. "Ais, kebiasaan," dengkusnya.

"Yasalam. Maura," dengkus Najwa tiba-tiba datang duduk di hadapanku.

"Apa?" tanyaku cuek. "Eh, pesanin nasi goreng dong," pintaku.

Mulut Najwa menganga. Membuatku tersenyum manis namun menyebalkan. "Eum," gumamnya.

Dia langsung bangkit dan pergi memesan nasi goreng. Aku menggulung senyum walau jengkel Najwa tetap menuruti permintaannya.

"Kenapa sih kamu?" tanya Windy karena sikapku yang nggak biasanya.

"Nggak apa-apa. Mau nguci kesabaran Najwa aja," kekehku.

"Dasar," tawa Windy membuatku tersenyum-senyum.

"Kak Maura," sapa seseorang menghampiriku.

"Iya," sapa aku melainkan Windy.

"Ada titipan buat Kakak," ujarnya menyodorkan sesuatu ke hadapanku.

Aku lantas saling pandang dengan Windy. "Dari siapa Kak?" tanya Windy. Aku hanya diam menyimak mereka berdua.

"Kurang tau Kak. Tapi cuman nitipin aja ke saya," ujarnya. Lantas dia pamit berlalu dari hadapan kami. Setangkai mawar merah di dalam paper bag.

"Wow, mawar merah," decak Windy.

"Dari siapa ya kira-kira, tadi di perpustakaan aku juga dapat," ujarku menatap Windy lalu mengeluarkan kota tersebut di dalam tasku.

"Fans mu," celetuk Najwa tiba-tiba datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua nasi goreng di atas nampan.

Aku tersenyum manis. "Terima kasih Kakak Najwa," ujarku mengedipkan sebelas mata.

"Jijik aku," ketusnya balik.

Aku tertawa membuatnya wajah Najwa semakin masam. "Oke, oke. Aku mode kalem lagi," ujarku menetralkan ekspresiku.

"Pantasan Kak Raihan suka sama Kak Maura," celetuk seseorang terdengar olehku. Ekspresiku berubah seketika membuat Najwa terbahak.

"Pantasan ya," gumamku. Windy dan Najwa mengangguk. "Dah ah, aku mau pulang dulu," ujarku meletakan kembali sendok ke piring. Nasi goreng yang dipesan Najwa belum ada masuk ke dalam mulutku sesendok pun.

"Titip yak," ujarku menyodorkan uanganya sekalian punya kamu.

"Lah, nggak dimakan dulu?" tanya Najwa heran. "Nggak napsu," celetukku menyerup jus jeruk.

"Buat kalian aja. Aman belum dimakan kok," pesanku. Lantas aku bergegas pergi dari kanti dari pada harus mendengarkan entah pujian atau cacian yang ia dapat.

***

Aku menghirup udara bebas di luar kampus. Sekarang aku tengah menunggu angkutan umum.

Terik matahari membuatku menepi mencari tempat teduh. "Panas banget," gumamku memperagakan salah satu iklan yang ada di tv.

"Kak," sapa anak kecil menghampiriku.

"Iya," sapaku balik menoleh ke arahnya. Aku berjongkok menyamakan tingginya dengan tinggiku.

"Kenapa hum?" tanyaku gemes dengan rambut kepang duanya. Dia menyetir kuda, lalu menyodorkan setangkangkai bunga mawar ke arahku.

"Buat Kakak," ujarnya menyetir kuda. "Wah, makasi sayang," ujarku senang hati menerimanya.

"Dari Kakak itu," tunjuknya menoleh ke sebrang jalan. Aku lantas mengikuti tunjuknya ke sebrang sana.

Terlihat oleh mataku pria jakung tengah melambaikan tangan ke arah kami. "Kak Raihan," gumamku. Dia lantas menghampiri kami.

"Abang," ujarnya langsung meloncat ke pangkuan Kak Raihan.

"Aya berat ih," ujar Kak Raihan membuat gadis itu mencibir. "Biarin," ujarnya menyembunyikan wajahnya di leher Kak Raihan.

"Dia Aya sepupu saya," ujar Kak Raihan memperkenalkan gadis kecil tersebut.

Aku lantas mengangguk singkat. Kemudian menyodorkan bunga itu di hadapan kami. Dia lagi-lagi membalas dengan senyuman membuatku bingung saja.

"Buat kamu," ujarnya mengelur rambut Aya.

Hatiku menjerit entah sakit atau senang melihat pandangan di depanku. Ternyata Kak Raihan sosok penyayang anak kecil.

"Terima kasih," ujarku tersenyum tipis. Dia mengangguk, "Mau pulang kan. Yuk bareng," ajak Kak Raihan mengendeng tanganku. Namun, saat kami mau melintas terdengan suara ceprekan dari kamera handphone.

Aku dan Kak Raihan menoleh ke belakang. "Kalian," ujarku melihat Najwa dan Windy menyetir kuda di belakang kami.

"Jadi kalian?" dengkusku.

"Eh, kabur," ujar Najwa dan Windy berbarengan. Aku mengehela napas, ah sial sekali kau Maura.

"Biarin aja, yuk," ujarku.

Aku hanya mengangguk pelan dan mengekori Kak Raihan dari belakang.
"Bang, aku duduk di pangkuan Kak Ura ya," pinta Aya membuatku mengangguk semangat. Belum sempat  Raihan ngomong langsung ku sela.

"Yuk, duduk di tempat Kakak," ujarku. Gadis itu langsung berpindah dan duduk di pangkuanku.

"Nggak apa-apa Kak," sautku.

Akhirnya Kak Raihan membiarkan Aya duduk di pangkuanku.

"Ra, boleh saya nanya sesuatu?" tanya Kak Raihan membuatku menoleh langsung mengangguk kecil.

"Seandainya—"

***

______________________________________

Bukan akhir dari segelanya. So, dirimu berharga dari apa pun.
______________________________________

Hayoo, Kak Raihan mau bilang apa itu.

Seandainya ....

Seandainyan ...

Dan seandainya ....

Oh ya Gadis Typo mau bilang sesuatu Ayah Aku Rindu hanya up sampai Bab 20 ya. Berarti ini ya terakhir.

Jadi ....

Mohon maaf yang penasaran tunggu update lagi dari Gadis Typo

Dan tunggu kabar baiknya.

See you.

Sampai jumpa di cerita selanjutnya

Salam hangat 




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top