Ayah Aku Rindu🥀

______________________________________

🌹Skandal Kampus🌹
______________________________________

***

"Astafirullah," ucapku menatap mading di hadapanku. Dosa apa aku harus menerima skandal seperti ini.

"Mereka terlalu nekat," saut seseorang di sampingku. Aku mengangguk, "Menyebalkan sekali mereka," gumamku mengambil selebaran yang tertancap paku kecil di mading.

Ku gumpalkan selebaran tersebut  dan membuangnya ke tong sampah yang tak jauh dariku.

"Eh." Aku memejamkan mataku, tersentak karena sosok yang masih ada di sampingku. Aku baru menyadari siapa itu dari suaranya.

"Kak Raihan," ujarku menoleh, dan memang benar dia tengah berdiri di sampingku.

Dia mengangguk kecil, kekehan ke luar dari mulutnya melihat ekspresiku yang menggemaskan di matanya. "Ais, jan ketawa. Banyak mata-mata," gerutuku. Lantas Kak Raihan mengangguk menggulun senyumnya.

"Kakak udah lama di sini tadi?" tanyaku melirik sekitar untung saja keadaan sepi.

"Dari kamu turun mobil Abang kamu tadi sampai sini masih sama-sama," jelasnya membuatku terkejut.

"Dasar kang ngintilin," omelku.

"Dasar cerewet," balasnya.

Aku mendengkus kesal. Bukan cerewet tapi cuman banyak bicara aja. Aku lantas melirik jam tanganku. "Eh, aku duluan ya Kak," pamitku, Kak Raihan mengangguk. "Hati-hati," ujarnya membuatku berkelik kesal.

"Iya-iya, kalau jatuh ntar bisa berdiri sendiri kok," desisku.

"Anak pinter, sana," usirnya.

Aku lantas pergi dari sana. Saat melewati koridor yang menghubungkan kelas dan taman. Tatapan beragam mengarah ke arahku. Aku hanya bisa menghela napas dan bersikap biasa saja. Lontaran sapaan kadang menyapaku dan kadang tatapan sinis juga menghampiriku. Ini bukan tentang diriku saja, namun tentang semua yang terlibat. Kenapa serasa begitu menjengkelkan sekali, ah sudahlah di sini tujuanku hanya untuk menuntut ilmu bukan pensos.

Kakiku segera kupercepat melangkah masuk ke dalam kelas. "Bodo, bodo, bodo," omelku dalam hati. Saat berada di depan pintu kelas anak-anak kelas menatapku dengan sorot mata yang berbeda-beda.

"Selamat ya Ra," ujar Rio sepertinya mewakili anak-anak kelas lainnya.

Aku menatap Windy dan Najwa yang duduk di pojok, mereka bertepuk tangan kecil sambio menatapku tersenyum. Senyum manis yang mereka tebarkan begitu menyebalkan bagiku.

"Selamat buat?" tanyaku bingung.

Tiba-tiba Rio menarikku duduk di sebelahnya. Kebetulan di mejanya sudah menyala laptop. "Ha!" pekikku membuat Rio menutup telingannya.

"Nggak usah teriak-teriak, suara cempreng," dengkusnya. Aku tak mengindahkan perlakataannya di depanku banyak postingan yang mengataskan dirinya dan juga Kak Raihan.

"Kok bisa?" tanyaku pelan memastikan sekali lagi. Lantas aku langsung meronggah handphone yang ada di dalam tas. Saat pertama kali membuka aplikasi yang bernama instagram tersebut, banyak notifikasi masuk. Baik tag maupun chat yang bertebaran. Langsung saja aku matikan data dan meletakan handphoneku kasar di atas meja.

"Kok bisa?" tanyaku kepada Rio yang duduk di sebelahku. "Terima aja kali Ra, bagus juga buat angkatan kita kan," saut anak-anak lainnya.

Tatapanku berubah menjadi sinis. "Enakan dikalian itu mah," gerutuku. Tanganku ku lipat di atas meja.

"Terima aja kali Ra," saut Rio. Aku cuman dia manatap lurus ke depan.

"Diem," ketusku membuat Rio bungkam. Anak-anak lain malah tertawa melihat sikapku.

"Macam ngamuk," celetuknya.

"Jam berapa sekarang?" tanyaku kepada Rio. "Sebelas," jawabnya singkat karena mau bertanya kenapa pasti kena lagi dia. Lebih baik cari aman saja.

"Udahlah Ra. Jan ngamuk dulu, palingan bentar lagi fans kamu datang," celetuk Najwa dari belakang.

Aku  hanya diam. Ah, kenapa hari ini sungguh menyebalkan sekali. Lantas aku bangkit, tas dan handphone tergelatak begitu saja di atas meja. Aku tidak berkata apa pun langsung saja keluar tanpa meninggalakan pesan kepada mereka.

"Lah, ngambek," celetuk Windy.

Windy dan Najwa lantas bangkit. "Titip barang-barang kami ya," ujarnya menepuk bahu Rio.

"Emang gue babu apa?" dengkusnya mengangguk kecil.

"Terima aja Beb," saut Witri dengan galak tawa.

Aku menyesuluri kampus FK. Entah kemana tujuanku sekearang. Yang terpenting ingin menghilang semnetara dari human-human yang ada di sini.

"Oh, ya perpus," gumamku.

Saat kakiku mau melangkah, tanganku langsung diseret oleh Najwa dan Windy. "Eh, mau ke mana kamu?" tahan Windy membuatku menghela napas.

Aku menghela napas. "Mau ke mana hayo?" tanya Najwa. Aku langsung terduduk kebetulan ada bangku di dekat kami.

"Kanapa sih?" tanya Windy heran.

"Are you oke?" tanya Najwa kali ini. Aku hanya diam dengan tatapan kosong ke depan.

"Hai!" Windy melabai-labaikan tangannya di depanku. Aku sontak tersenyum-senyum sendiri.

"Nggak kesambet kan?" tanya Windy takut.

"Ngadi-ngadi," dengkus Najwa. Dia langsung mencubit punggung tangan membuatku meringis sakit.

"Sakit tau," gerutuku mengusap-ngusap punggung tanganku yang dicubit Najwa.

"Makanya ngelamun terus," omelnya. Aku menatapnya datar. "Au ah," gumamku.

"Kamu kenapa sih, semejak tau kabar tadi bawaannya aneh mulu," ujar Najwa diangguki Windy.

"Gak apa-apa," sautku dengan ekspresi datar.

"Nggak biasanya loh Ra. Biasanya kamu cuek aja kalau masalah beginian," saut Windy.

Aku hanya diam menatap ke depan. Membuat mereka berdua saling pandang. "Kalau ada masalah cerita jangan pendam sendiri," ujar  Windy mengusap pelan bahuku.

"Astafirullah," ucapku membuat mereka kaget.

"Ha? Apa?" tanya Najwa bingung.

"Ada teman kalian lewat," ujarku cuek. "Au, ah. Aku mau ke perpustakaan dulu. Balik kelas sana kalian pada," usirku membuat mereka menyebik kesal.

Dengan tanpang nggak bersalah aku berdiri dan meninggalkan mereka. "Subahanallah punya teman gini amat," gumam Najwa.

"Untuk aku sabar," saut Windy.

"Au ah, balik ke kelas yuk," ajaknya.

***

Beberapa buku sudah ada di hadapanku. Aku duduk di bagian pojok jadi kurang kelihatan dari depan saat masuk.

Entah apa yang sedang ada dipikiranku menatap buku saja membuatku bosan. Tidur? Ah, nanti keblablasan karena ruangannya yang dingin ditambah tidak riuh.

Baca buku? Membuatku mengantuk saja. Handphone kenapa ada acara ketinggalan segala lagi, sungguh hari yang tak berpihak dengannya.

"Kak Maura," sapa seseorang membuatku terpelonjak kaget.

"Eh, iya," sapaku balik menatap bingung remaja mungkin seusianya.

"Ada titipan buat Kakak," ujarnya menyodorkan kotak ke hadapanku.

"Buat aku?" tanyaku memastikan.

"Iya."

"Dari siapa Kak?" tanyaku sekali lagi.

"Ee, d-ari. Eh iya. Maaf Kak udah telat kelas aku udah mulai," jawabnya bingung. Langsung saja dia pamitan membuat kerutan dikeningku bertambah.

"Nggak beres," gumamku membalik-balikan kotak tersebut. Tidak ada tanda mengirim sama sekali membuatku semakin dibuat bingung olehnya.

"Dah lah," ujarku meletakan kotak itu di samping. Aku lantas mengambil buku sejarah yang cukup tebal yang tak jauh raknya dariku.

"Dari pada nggak ada kerjaan," gumamku mengedikan kedua bahu dan membuka buku tersebut.

***

______________________________________

Hidupku bukan tentang diriku saja. Tapi juga mereka
____________________________________

🥀🥀🥀

(BAB 19)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top