Ayah Aku Rindu🥀

______________________________________

🌹Ruang Kosong🌹
______________________________________

***

Ayah, diriku hampa. Diriku merasa tak berarti. Berjalan di jalan yang tak ada persimpangan.

Aku termenung menatap gundukan tanah yang ada di hadapanku. Air mataku menetes begitu saja. 20 Januari 2017 yang lalu kau tempat menghembuskan napasmu.

Ketika duaku hancur, tak ada sanggahan untuk berpegang. Hanya diriku lah sendiri menjadi tempat sandaran.

Sakit? Ya, terlalu sakit untuk menerima kenyataan ini. Di setiap langkah perjalananku kau selalu menbututiku, tapi sekarang tidak. Kau sudah tenang dikeabadian sana.

Ayah, diriku masih gadis kecil yang masih butuh dekapan. Ketika takdir yang mempermainkan, ketika harapan yang tak  sesuai dengan kenyataan. Di sanalah aku menangis dalam ruang kekosongan.

"Ayah, hanya doa yang bisa Ura kirimkan dari sini," gumamku menaburkan kelopak bunga mawar di atas makam beliau.

Bang Bihan menepuk bahuku, "Pulang yuk," ajaknya tersenyum. Aku kembali mengusap sudut mataku, lantas mengangguk.

"Yaudah," jawabku pelan.

"Ura pulang," gumamku lirih. Bang Bihan mengangguk lantas berdiri. Dia mengendengku membuatku tersenyum kecil.

"Mau makan?" tanyanya kepadaku. Aku menggeleng lalu mengangguk kecil. "Mie ayam," ujarku menyetir kuda. "Dasar," gumamnya.

"Kita jemput Manda dulu ya." Kebetulan gadis tersebut sekolah dan tidak ikut dengan kami. 

"Sekalian ajak Kak Geysa kita makan di luar," sautku karena aku tau bahwa calon kakak iparnya itu sekarang masih berada di kantor.

"Oke, tuan putri," kekeh Bang Bihan.

***

"Kalian dari mana?" todong Manda kebetulan gadis itu baru saja keluar dari gerbang sekolahnya dan langsung naik ke atas mobil yang dikendarai Bang Bihan.

"Kepo," sautku dari kursi di sebelah kemudi.

"Heleh," desisnya. "Bang makan yuk," ajak Manda.

"Nasi Padang," tambahnya lagi. "Nasi Padang atau mie ayam?" Dia melirik Manda dari kaca spion.

"Dua-duanya," timpalnya dengan senyum mengembang.

"Bang, Kak Geysa nggak bisa," sautku menatap layar handphone.

"Yuadah next time aja." Bang Bihan mengangguk. "Eh, jadinya gimana nih, nasi Padang atau mie ayam?" tanyanya lagi kepada kami.

"Nasi Padang dulu, ntar mie ayam bungkus bawa pulang." Kini giliranku menyaut membuat Manda mengangguk setuju.

Bang Bihan mangut-mangut langsung saja dia kembali berputar arah ke tempat langganan nasi Padang mereka.

Setibanya dipakiran Bang Bihan menatap kami, makan di atas atau lesehan. "Di atas tapi lesehan," jawab Manda. Soal makan lesehan dialah yang paling semangat.

Bang Bihan lantas menatapku. "Kakak?"

"Nurut aja, yang penting nggak di atas meja aja," jawabku tersenyum menyebalkan.

"Sama aja," dengkusnya.

Kami turun dan langsung naik ke lantai atas restoran nasi Padang tersebut. Kebetulan restoran tersebut tiga lantai, dua lantai di atas dengan keadaan terbuka hingga menyebabkan angin sepoy-sepoy masuk ke dalam ruangan.

Makanan sudah tersaji di hadapan. "Om, Manda minta tambahan sup tulang sapi ya. Yang banyak sum-sumnya," pesan Manda kepada waiternya.

Aku geleng-geleng kepala, pada dasarnya sama. Pencinta sup tulang sapi. "Kakak awas minta ntar," ujar Manda tau akal licikku.

Aku tersenyum manis yang menurutnya menyebalkan. "Iya, ntar bantu nyicip doag," ujarku.

"Kan."

Bang Bihan geleng-geleng kepala melihat kami selalu seperti Tom and Jery. "Ntar Abang juga bantu cicipi kuahnya ya," saut Bang Bihan membuat Manda mendengkus kesal.

"Nggak boleh," gerutunya tersenyum licik menatap kami berdua.

"Biarin," timpal kami berbarengan tak mau kalah.

Tak lama sup tulang sapi Manda datang, benar-benar ya gadis tersebut tidak mau membaginya, bahkan dia meletkannya di samping tubuhnya.

"Nggak boleh," larangnya.

"Lebih enak prekedel kentang tauk," ledekku mengambil prekedel kentang dan sambal lalapan.

"Bodo," celetuk Manda menyedot sum-sum yang ada di dalam tulang.

"Enak loh, Kak," goda Manda menyeka mulutnya dengan tisu.

Aku hanya diam menikmati makananku. "Bang ntar beli batagor ya yang ada di Bepas itu," sautku. Bang Bihan mengangguk. Manda yang merasa dicuaki merenggut kesal dia mengambil nasi dan melekan di piringnya. Nasi, sayur, rendang, sate, sambal, dan prakedel lengkap sudah berada di piringnya.

"Gulai ikan nggak mau juga," tawar Bang Bihan meneguk salvihnya sendiri melihat porsi yang diambil Manda.

"Bentar, habisin ini dulu. Tenang aja," sautnya.

Aku melihat porsi makan Manda membuat perutku ngilu sendiri, nanti mau ditaro di mana makanannya.

"Makan-makan. Yang bayar Bang Bihan kok," ujarnya kepadaku. Aku langsung menoleh dan mengambil satu potong prekedel lagi.

***

"Manda!" teriakku dari lantai bawah. Enatah sudah berapa kali aku memanggil-manggil namanya dari tadi. Semenjak pulang tadi dia langsung naik ke lantai atas, kamarnya dan belum ada kembali turun sampai sekarang.

Aku segera naik ke atas. Melihat gulungan selimut di atas ranjangnya membuatku berdecak sebal. Bukannya bersih-bersih dia langsung tidur dan seragam sekolah masih melekat di tubuhnya.

"Manda!" pekikku persis di dekatnya. Dia mengeliat kecil, namun tetap saja tidurnya nggak keusik sama sekali.

"Abang sama Adek sama-sama kebo," dengkusku. Aku kembali keluar dan menutup pintu kamarnya.

"Ah, sepi," gerutuku menghempaskan tubuh di atas sofa ruang tengah. Bang Bihan kebetulan setelah keluar dia langsung keluar kembali dan entah pergi ke mana. Kalau Bunda jam segini masih di butik. Kalau Manda, lagi tidur dia.

Aku lantas berjalan ke dapur. Mengupas mangga yang aku ambil kemarin dan membuatnya jus. Serta mengambil beberapa snak dan tak lupa makaroni.

Semua itu ku bawah ke ruang tengah.
Ku letakan semua di atas meja. Lalu tak lupa menghidupkan tv yang terpampang nyata di hadapanku.

"Astafirullah Kakak," ujar Manda mengejutkan ku.

"Astafirullah, setan," omelku menapanya memakai piyama warna putih. "Eh, enak aja," gerutunya duduk di sampingku.

"Kan emang iya," gerutuku.

"Idih."

"Ngemil nggak ngajak-ngajak," gumamnya menatapku sinis. "Emang situ siapa?" tanyaku membalasnya menatap sinis.

"Dah, ah," gumamnya memangambil toples makaroni.

"Ah, jus mangga. Seger," decak Manda mengambil gelas tersebut. Tangannya langsung ku pukul. "Enak aja," gerutuku.

"Kalau mau buat sendiri."

"Mangganya?" tanyanya pasalnya di dalam kulkas jarang menyetok buah seperti mangga.

Aku tersenyum manis. "Di belakang kan ada pohonnya. Tinggal manjat," jawabku mengledeknya.

"Ogah," sanggahnya berwajah masam.

"Yaudah, tahan selera aja," ujarku memuatar-mutar bibir gelas di depan wajahnya.

"Untung Manda baik hati, tidak sembong, dan rajin menabung," ujarnya mengusap-usap dadanya.

"Nyeh," ledekku.

"Eum, Manda belum ke makam Ayah," ujarnya tiba-tiba membuatku terdiam.

Tatapan sandunya membuatku mengiba. "Nanti ya. Tungguin Abang," hiburku. Karena kalau aku dan Manda pergi ke sana berdua tidak memungkinkan karena motor yang biasa kami bawa di pinjam oleh Kak Naila dan Bang Yuda, karena mereka berkunjung ke rumah mertua yang berada di Sawah Lunto.

Manda mengangguk kecil.

***

______________________________________

Ruang kosong, ketika rindu itu memuncak dalam kalbu.
______________________________________

🥀🥀🥀

(BAB 18)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top