Ayah Aku Rindu🥀
______________________________________
🌹Perang dingin🌹
______________________________________
***
Manda menatapaku sinis, dia duduk di ujung sana sambil memainkan handphonenya. Saat ini keluarga besar tengah berkumpul untuk membicarakan soal pernikahan Bang Bihan yang akan digelar satu bulan lagi.
Aku duduk di atas karpet sambil bermain dengan Syafa anak sepupuku, Kak Humairah.
"Tu anak kenapa?" tanya Kak Naila kebetulan duduk di sebelahku.
Aku melirik ke arah Manda, entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang beberapa kali keningnya berkerut menatap layar handphonenya.
"Kesambet setan pohon toge kali Kak," jawabku cuek.
"Masa sih," ujar Kak Naila menganggapi perketaanku serius.
Aku tersenyum masam. Kenapa sejak hamil Kak Naila begitu polos. Ah, apa karena debaynya atau emang dipolos-polosin.
Menyebalkan.
"Ura!" panggil Kak Humairah dari dalam. Aku lantas menitipkan Syafa kepada Kak Naila, untung saja balita itu enteng bisa dititipkan kesiapa saja.
"Iya, Kak kenapa?" tanyaku kepada Kak Humairah. Lantas dia memberikan setumpuk undangan ke tanganku.
"Bantu ya," pintanya. Aku menatap undangannya. Maksudnya bantu tulis nama atau nyebarnya.
"Dua-duanya. Tugas kamu nggak jauh kok, keliling komplek ini aja," saut Kak Humairah menebak isi pikiranku.
Mulutku mengatup. Ah, bodoh lah aku lansung mengambil pulpen dengan tinta warna emas dan mengambil beberapa sampul plastik untuk undangannya.
Cukup banyak, di sekitar komplek ternyata Bunda hampir mengundang semuanya. "Ciee, ntar ketemu Raihan nie ye," ledek Kak Naila saat aku meletakan undangan di sampingnya.
"Syafa jangan nakal ya. Oty Ura lagi dapat tugas dari Bunda kami," ujarku kepada balita tersebut. Balita berumur satu setengah tahun tersebut hanya diam dia mengambil beberapa undangan dan memain-mainkannya.
"Anak kecil kamu ceramahin, sama maknya sana gih," kekeh Kak Naila. Aku cuman mendengkus kesal. Lantas langsung mengambil buku tamu yang sudah dicatat Manda sebelumnya.
"Nih sekalian ya, kerja nggak boleh setengah-setengah." Kak Humairah datang dengan setumpuk undangan lagi. Aku menatap nanar pulpen yang ada di tanganku. Apa kabar nanti tangan?
"Ululu, anak Bunda mau tidur ya. Yuk sama Bunda," ujar Kak Humairah mengambil Syafa dari pangkuan Kak Naila.
Gadis kecil tersebut langsung merentangkan tangannya. "Manda bantu Kakak kamu ya," suruh Kak Humairah. Manda menatap sekilas, dia meletaka handphonenya di atas meja dan langsung beranjak duduk di sampingku.
Setalah Kak Humairah pergi di ruang depan hanya tinggal kami bertiga. Kak Naila asik dengan handphonenya, aku dan Manda sibuk dengan undangan.
"Banyak bener," gerutuku. Aku mendengkus kesal melihat Kak Naila, bukannya bantuin malah ketawa-ketawa melihat layar handphonenya.
"Manda, tumben diam-diam aja?" tanya Kak Naila membuatku mengangguk.
"Gak apa-apa," jawabnya singkat.
"Singkat, jelas, dan padat," celetuk Kak Naila. Manda menghela napas gusar lalu melanjutkan mencatat nama-nama.
"Kakak bantuin mumpung baik dan gabut," celetuknya.
"Dari tadi kek," ujarku mendengkus kesal.
"Kamu nggak minta," bela Kak Naila tersenyum mengejek.
"Untuk aku sabar," gumamku mengusap dada.
"Iya, Kakak emang cantik. Makasi," sahutnya tersenyum-senyum.
"Kenapa nggak langsung sama jasa cetak undangannya aja kasih namanya?" tanya Kak Naila mulai pegal tangannya.
"Biar Kak Naila ada kerjaan," celetuk Manda tanpa menoleh.
"Baru suara emasmu keluar dari tadi kesangkut di mana?" tanya Kak Naila menaik-naikan alisnya menatap Manda. Namun, orang yang dia tanya cuek malah asik membolak balik buku.
***
Saat ini aku dan Manda tengah menyesuluri jalan komplek, entah apa yang sedang dipikirkan anak itu. Dari tadi pagi dia hanya diam bahkan ditanya kadang tidak dijawab.
"Kenapa?" tanyaku menatap lurus ke depan.
"Gak apa-apa. Cuman nggak mood aja," saut Manda.
Aku mengangguk singkat, percuma sekarang bertanya banyak ke Manda. Dia hanya akan menjawab seadanya saja.
"Mumpung belum jauh jalannya kalau keadaan nggak baik, pulang aja," suruhku.
Manda mengangguk. "Manda pulang," ujarnya. Aku hanya mengangguk singkat lantas memperhatikannya berjalan pulang.
Aku tersenyum kecil dan memilih melanjutkan perjalanan. Beberapa undangan sudah sampai di alamat tujuan. Aku menghela napas lelah, capek juga ya mengelilingi komplek ini apa lagi sendirian. Lebih baik tadi aku juga mengajak bumil, Kak Naila ikut dengannya sambil jalan-jalan sore.
"Maura," sapa Kak Raihan membuatku terkejut.
"Ke mana?" tanyanya membuatku tak menoleh. "Hai."
"Ha?"
"Mau ke mana?" tanyanya lagi. Aku lantas menunjukan isi paper bag yang dipegang. "Sendirian aja?" tanyanya lagi.
"Iya," jawabku singkat. Kak Raihan mangut-mangut, "Yaudah yuk, saya temanin," ajaknya menarik tanganku mengikutinya. Aku terpaku dengan tangan yang dinggamnya. Kenapa jantung ini tidak bisa diajak kompormi. Moga saja pipi ini tidak merah.
"Eh, btw mau ke mana dulu nih?" tanya Kak Raihan. Aku mengercapkan mataku beberapa kali.
"Eum, ini," ujarku menyodorkan beberapa undangan. Kak Raihan mengambilanya lantas mengangguk singkat. Ah, aku merasa beruntung juga bertemu dengannya, kalau aku sendiri jalan pasti sudah kelimpungan sendiri karena tidak mengenal sangat orang-orang komplek di sini.
"Kak, Kak Safira ada di rumah?" tanyaku dari pada tidak ada yang mereka bicarakan.
Kak Raihan menggeleng, "Lagi di Solok. Di rumah mertua," jawabnya tersenyum.
Andai saja Manda sekarang bersamanya pasti gadis itu akan senang nggak ketulangan melihat senyum manis pria yang ada di sampingnya saat ini.
"Bu Salim, di sini," ujar Kak Raihan menatap nama yang tertera di undangan. Aku hanya mengekori dari belakang.
Untung saja setiap rumah yang kami simggahi terdapat penghuninya jadi tidak susah harus menitipkan undangannya. "Berapa lagi?" tanyanya menatapku.
Aku meronggah semuanya dari dalam paper bag. "Sepuluh," sautku. Raihan mengangguk dan mengambil semuanya. Lantas kami kembali melanjutkan singgah dari rumah ke rumah dan persingahan terakhir di rumah Kak Raihan.
"Ah, capek juga ya," ujarnya duduk di teras. Aku mengangguk setuju sekitar satu jam-an lebih kami mengitari komplek yang ku rasa tidak terlalu luas.
"Eh, ini Kak," ujarku mengeluarkan undangan untuk Kak Safiran dan Kak Raihan.
"Wah, makasi ya. "Dua belas, dua belas. Tanggal cantik," ujarnya membaca tanggal yang berada di depan.
"Eh, maap-maap kamu mau minum apa. Lupa nawarin," saut Kak Raihan menoleh ke arahku.
Aku menggeleng, "Nggak usah Kak. Mau pulang juga," tolakku halus. Pasalnya sekarang sudah menunjukan pukul 4 sore.
"Makasi ya Kak. Maaf repotin," ujarku membuat Kak Raihan menggeleng. "Sama-sama," sautnya.
"Yaudah, aku pamit dulu," pamitku namun tanganku langsung dicekal olehnya.
"Tunggu."
Dia bergegas masuk ke dalam rumah, tak lama dia datang dengan kunci motor di tanganya. "Saya antarin."
"Dekat," tolokku lagi pasalnya rumah kami hanya berjarak beberapa meter saja.
"Nggak apa-apa," sautnya.
***
______________________________________
Kenyamanan membuatku keluar dari zona yang seharunya tak ku lalui.
______________________________________
🥀🥀🥀
(BAB 16)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top