Ayah Aku Rindu🥀
______________________________________
🌹Ura Kangen Ayah🌹
______________________________________
***
"Bunda, hiks," isak gadis kecil meringkuk di sudut kamar.
Keadaan sekarang lampu mati membuat pencahayaan tak ada di kamar ukurab 4×4 itu. Gelap dan takutlah yang ia rasakan.
Andai saja tadi ia mau mengikuti saran Bunda untuk tidur bersamanya, namun gadis kecil itu menolak.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka membuat ia mendongkakkan kepalanya. "Ura!" panggil Ayah menyorotnya dengan senter. Gadis itu langsung berdiri dan langsung berlari ke pelukan pria tersebut.
"Hiks, Ura takut," adunya membuat pria tersebut terkekeh. "Makanya keras kepala," ujar Ayah mengusap kepalaku. Ia hanya diam, tangan mungilnya digendeng masuk ke dalam kamarnya.
"Bundaa!" ujarku langsung naik ke atas ranjang. "Shut, jangan keras-keras ntar Adek bangun," ujar Bunda. Bibir mungil itu langsung mengatup, anggukan kecil membuat Bunda tersenyum. Di tengah-tengah mereka ada balita yang tengah tertidur lelap membuat aku ingin sekali mengigit pipi bakpaunya.
Tak lama pintu kamar kembali terbuka membuat aku menoleh, tenyata Abang dengan wajah bantalnya masuk dengan memangku bantal guling.
"Bunda, Abang takut," ujarnya masuk dan langsung melosot tidur di sampingku. Aku sempat menoel-noel pipi Bang Bihan tapi tidak membuatnya terganggu.
Lantas mata kecilku langsung menoleh ke arah Ayah tengah mengambil selimut di dalam lemari. "Ayah tidur di mana?" tanyaku pasalnya ranjang sudah penuh karena diisi oleh 4 orang.
"Di sofa, Ura tidur lagi ya Nak. Besok sekolah," ujar Ayah membuatku menggeleng.
"Ura tidur sama Ayah," ujarku langsung turun dari kasur.
Laki-laki tersebut menghela napas. "Nggak bisa tidur berdua di sofa loh," ujarnya mengingatkan karena mungkin hanya muat satu badan saja, itu pun tidur harus miring.
"Nggak mau pokoknya Ura harus tidur sama Ayah," ujarku tetap kuekeh dengan pendapatku.
Bunda yang duduk di atas ranjang hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku. "Sini aja sama Adek tidurnya," rayu Bunda. Aku lantas menggeleng dan langsung mendekat ke arah dan memegang tangannya.
"Nggak mau," ujarku.
"Yaudah kita tidur di kamar Ura aja ya," ajak Ayah membuatku mengangguk.
"Sama Ayah, kan?" tanyaku memastiin.
"Iya, yuk," ajaknya menggendeng tanganku keluar dari kamar tersebut.
Aku mengusap sudut mataku, air mata menetes begitu saja. Sekarang aku ditemani lentera kecil di dalam gelapnya malam ditambah gelapnya kamar yang minim pencahayaan.
"Ayah, nanti Ura mau diceritain dongeng ya sebelum tidur," ujarku tidur di pangkuan Ayah.
"Iya," sahut Ayah membuatku girang.
Di dalam gelapnya kamar, Ayah menceritakan dongeng si kancil. Aku menyimak dalam seksama. Apa yang diceritakan terekam rapi dalam ingatakanku.
"Sehebat apa pun kemampuan kamu, kamu tidak boleh meremehkan orang lain, apa lagi mengucilkan mereka. Karena setiap mahluk Tuhan itu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing." Ayah menutup ceritanya dengan pesan yang selalu aku dengar berulang kali.
"Ura kangen, Ayah," gumamku memeluk figuran yang teletak di atas nakas.
"Jika waktu dan takdir bisa ditukar, biarkan Ura yang pergi," gumamku.
Aku menghela napas gusar, lantas mematikan lentera elektronik kecil tersebut. Kamar sekamakin gelap, membuat diriku semangkin mudah terlelap.
***
"Kak Ura, help me!" teriak suara cempreng dari balik pintu kamarku.
Mata yang setengah terpejam harus terbuka sempurna membuatku berdecak sebal. Tergesa-gesa aku ambil jilbab instan yang tergeletak di atas kursi langsung saja aku pakai dan meninggalkan ritual bersih-bersih.
"Apa?" jawabku, pasalnya sekarang masih menunjukan pukul 5 pagi.
"Kakak." Tanggaku langsung dia raih, dan membisikan sesuatu.
Aku menatap Manda datar. "Nggak usah heboh juga kali," dengkusku.
Gadis itu hanya menyetir kuda, lansung saja aku masuk ke dalam kamar dan mengambil sesuatu dari dalam lemari.
"Nih," ujarku.
"Makasi Kakak cantik," ujarnya meraih tanganku untuk salim dan langsung cus pergi ke kamarnya.
Aku menghela napas, langsung saja menutup pintu kamar dan masuk ke dalam kamar mandi.
Setalah 30 menit ritual mandiku sudah selesai, langsung saja aku langsung melaksankan ibadah shalat Subuh.
Setelah menyiapkan semua keperluan pribadi aku segera turun ke bawah. Terlihat dari tangga wanita yang sangat kami sayangi itu tengah berkutat di dapur. Aku lantas meluncur ke dapur.
"Morning, Bun," sapaku duduk di bangku bar.
"Morning, eh udah bangun," ujar Bunda menoleh.
Aku mengangguk kecil, "Bun semalam lampu mati sampai pagi?" tanyaku menuangkan air manas ke dalam gelas.
"Jam satu malam udah hidup lagi kok," sahut Bunda memindahkan nasi goreng ke mangkuk.
Aku mangut-mangut, "Nanti Bunda ke butik, mungkin pulang agak sorean," pesan beliau.
"Kamu pulang kuliah nggak ke mana-mana kan?" tanya Bunda beranjak duduk di sampingku.
"Sepertinya dari planing pagi ini tidak, tapi nggak tau juga sih," jawabku.
"Dasar," gumam Bunda.
"Yuadah, bangunin Adek sama Abang gih," suruh Bunda. Lantas aku langsung melaksankan perintah Bunda, tapi sebelum meluncur ke atas aku tak lupa menghambiskan susu yang ku buat barusan.
Membangunkan Bang Bihan bukanlah perkara mudah, aku langsung menerobos masuk ke dalam kamarnya. Yap, benar saja apa yang aku pikirkan ternyata masih tidur dengan nyenyaknya.
"Abang!" Ku goyang-goyangkan lengannya supaya bangun. Namun, nihil tetap saja susah dibangunin. Aku duduk di pinggir kasur sambil menatapnya. Kalau dipikir-pikir apa nanti setelah menikah Bang Bihan tetap susah dibangunin, ah memikirkannya membuatku gila saja.
"Abang!" pekikku tepat di sebelah telinganya. Dia mengeliat kecil dan makin memeluk bantal guling erat.
"Astafirullah," decakku.
"Oke, cara terakhir," gumamku mengambil botol air yang berisi seperempat di atas nakas.
"Bismillah," gumamku tersenyum. "Bang banjir!" teriakku. Air yang berada di dalam botol langsung menyiram wajahnya.
"Ha, banjir!" pekiknya langsung duduk karena kaget.
"Banjir," celetukku. Dia mengusap wajahnya. "Bangun," ujarku sedikit berteriak. Bang Bihan menatapku tajam.
"Kualat," gerutunya.
"Biarin, dari pada kebo," ledekku.
Aku langsung ke luar dari pada diamuk sebelum macan itu tersadar sepenuhnya.
"Misi pertama selesai," gumamku menepuk tangan kecil. Saat ini aku tengah berdiri di depan pintu kamar Manda. Walau gadis itu sudah bangun tadi pasti tidurnya dilanjutkan.
Pintu kamar terbuka. Gadis itu masih bergelut di dalam mimpinya. Soal membangunkan Manda itu hal yang paling gampang.
Ku tarik selimut yang menyuntai di lantai. "Dek, bangun," ujarku. Dia bergumam tidak jelas, lansung saja dia membuka matanya.
"Dah pagi ya," gumamnya.
"Udah, siang," celetukku.
"Ha, apa?!!" pekiknya. "Nggak usah triak-triak bukan hutan," dengkusku.
"Yang bilang hutan siapa?" dengkusnya. Aku mengedikan kedua bahuku.
"Cepatan yaa," ujarku dia langsung membereskan tempat tidurnya ketika aku keluar.
Aku memilih masuk ke dalam kamarku terlebih dahulu untuk mengambil tas.
*
**
______________________________________
Mulut ini mungkin tak pernah mengatakan rindu. Namun, di dalam sepi rindu semakin menghimpit hati.
______________________________________
🥀🥀🥀
Hayoooo!
Gadis typo kembali menyapa😋
Tak disangka dah 14 part aja ya.
Heum, bentar lagi😲
Bentar lagi apa tuh Kak?
Ada deh😉🤗
Eh, btw ada yang tau nggak apa yang dibisikan Manda tadi?
Yang tau yuk bincang-bincang dikolom komentar.
Part 15 up nanti malam ya.
Stay tune jangan sampai ketinggalan😬
(BAB 14)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top