Ayah Aku Rindu🥀


______________________________________

🌹Senyum Kecil🌹
______________________________________

***

Ujian akhir semester sudah menunggu di depan mata. Saat ini aku dan kedua temanku tengah berkutat dengan tugas-tugas.

"Ra aku dengar-dengar kamu lagi dekat ya sama Kakak angkatan kita, eh siapa namanya Raihan kalau nggak salah," ujar Windy menjerut jusnya.

Aku menoleh ke arah Windy jari tagan yang sebelumnya mengetik di atas keyboard laptop berhenti. "Kata siapa?" tanyaku bingung.

"Nggak kata siapa-siapa sih, tapi baik angkatan kita maupun dia udah banyak tau kedekatan kalian," jelas Najwa menimpali. Windy mengangguk membuat kerutan di keningku bertambah.

Aku lantas menutup laptop seketika dan menatap kedua temanku itu seksama.

"Nggak, kami aja tetanggan," ujarku.

"Uhuk!" Najwa tersetak membuatku menatap mereka bertanya.

"Pantes, tapi kalian cocok kok," ujar Windy menyerup teh esnya.

Najwa mengelap bibirnya dengan tisu. Dia berdehem sejenak, "Benar kata Windy kalian itu pasangan couple diangkatan kita," ujarnya menyodorkan handphonenya ke wajahku. Karena cahaya yang langsung merubuk ke dalam lensa mata aku sedikit mendorong handphone Najwa dari wajahku.

"Cepatan ih, pegal," gerutunya karena aku masih menatap handphone tersebut. Mataku langsung membulat melihat postingan di instagram. "What!!" Aku langsung merebut paksa handphone tersebut dari tangan Najwa. Deretan komentar berjejaran di sana.

"Kan," ujar Windy membuat Najwa mengangguk. Dipostingan tersebut memang benar bahwa itu dirinya. Foto tersebut pasti diambil waktu mereka tak sengaja bertemu di Taplau.

"Serah mereka mau berkata apa," dengkusku mengembalikan handphone Najwa.

"Santai bangat yak," celetuk Windy.

Aku hanya tersenyum kecil dan kembali fokus mengerjakan tugas.

***

Saat ini aku sudah berada di rumah. Saat melewati kamar Bunda tak sengaja melihat beliu tengah merapikan sesuatu. "Bunda," panggilku sendikit mendorong pintu kebuka lebar.

"Eh, Kakak udah pulang," ujar Bunda. Aku mengangguk lantas masuk ke dalam kamar Bunda. Mataku menatap baju-baju mendiang Ayah yang tengah dilipat Bunda.

"Baju Ayah?" Penglihatanku tak lepas dari baju tersebut. Bunda tersenyum, "Iya, Bunda rencananya mau sumbangin, masih bagus-bagus kan bajunya. Sayang kalau nggak kepakai," jelas Bunda membuatku terdiam. Aku menatap Bunda dalam diam, dari pancaran matanya terlihat sorot rindu yang tertahankan.

"Ide, bagus Bun," sautku. Bunda tersenyum tipis lantas menyimpan ke beberapa paper bag baju tersebut.

"Oh, ya nanti Bunda mau ke rumah Tante Nanad kamu mau ikut?" tanya Bunda. "Boleh-boleh, udah lama juga nggak main ke sana Bun," ujarku ikut memantu Bunda melipat-libat beberapa baju lagi. Setelah semuanya selesai kami memutuskan langsung pergi ke rumah Tante Nanat yang ada di Kuranji.

"Assalamualaikum," sapa kami masuk ke dalam rumah. Terlihat semua berkumpul apa lagi semua sepupuku pada datang.

Aku langsung menghempaskan badanku ke atas sofa sambil memungut setoples makaroni. "Kak Ura," ujar Sisil anak Tante Nanad menghempiriku.

"Eh, Sisil." Gadis tujuh tahun itu langsung duduk di sebelahku dan memakan makaroni yang ada dipangkuan.

"Kak Manda mana, ndak ikut?" tanyanya. Aku  menggeleng, "Masih Sekolah, kamu nggak sekolah?" tanyaku. Gadis itu menggeleng, "Libur," ujarnya. Aku hanya mengangguk singkat. Di luar terdengar suara Kak Naila langsung saja aku bangkit dan memberikan toples makaroni ke pangkuan Sisil.

"Kak Ura mau ke mana?" tanyanya.

"Ke depan bentar, ikut?" tanyaku. Lagi-lagi gadis tersebut hanya menjawab dengan gelengan kepala.

"Eh, Kak." Aku menoleh. "Nggak jadi," ujarnya menyetir kuda. Aku langsung melongos pergi dari ruang tengah ke depan. Memang benar Kak Naila bersama suaminya.

"Ura," sapanya langsung memelukku singkat. "Bang," sapaku kepada suaminya. Kak Naila langsung menyeretku masuk dan membawaku masuk ke dalam kamar tamu.

Aku berdiri di depan pintu menatap Kak Naila bingung. "Kenapa Kak, lihat kembaran Kakak ya," celetukku melangkah menghampirinya.

"Bentar ih," ujarnya mencari sesuatu dari dalam tasnya.

"Nah, ini," ujarnya mengeluarkan benda pipih di dalam tasnya. Aku mengerjabkan mataku beberapa kali.

"Benaran?" tanyaku dengan mata berbinar. "Bang Yuda udah tau?" tanyaku menatap test peck yang menunjukan dua garis merah itu.

Kak Naila menggeleng, nampak binar kebahagian terpancar dari sorot mata Kak Naila. Akhirnya buah kesambarannya selama lima tahun ini terbayar sudah.

"Makanya Kakak kasih tau kamu, bantu kasih kejutan buat Bang Yuda ya," pinta Kak Naila. Aku mengangguk semangat, dan kami menyusun rencana untuk kejutan nanti sore.

Mataku tak lepas dari Sisil yang tengah bermanjaaan dengan papanya. Sontak Kak Naila memukul bahuku. "Bengong mulu, kesambet cogan baru tau rasa," kekeh Kak Naila membuatku mendengkus.

"Sepertinya yang di dalam cowok deh, teman gelut aku ntar," candaku. Kak Naila geleng-geleng kepala. "Dah tuir kamu baru dia besar, dah ketinggapalan zaman ngajak main squad game," timbal Kak Naila. Aku menyetir kuda ada-ada saja.

Terdengar suarakan teriakan suara cempreng dari luar, sontak semua menoleh ke sana. Dengan penampilan berantakan Manda langsung melongos duduk di sampingku.

"Kak capek," gumamnya menyadarkan kepalanya ke bahuku.

"Kasian," celetuk Kak Naila. Manda hanya diam dia memejamkan matanya nampak bulir keringat dipelipisnya.

"Eh, Kakak baru ngeh. Kamu mulai pakai jilbab?" tanya Kak Naila. Aku menoleh, "Iya, Kak."

"Alhamdulillah, semoga tetap istiqamah ya," ujar Kak Naila menyemangati. Aku mengangguk  mantap.

Setelah acara kumpul-kumpul aku memilih memisahkan diri ke halaman belakang. Kebetulan di dalam mereka sedang makan. Aku menatap pot-pot bunga yang berjejeran rapi di taman bunga kecil milik Tante Nanad.

Mungkin di luar aku seperti biasa saja. Tapi di dalam aku bergitu rapuh dan butuh tempat sanggahan. Sebenarny aku ingin melarang Bunda untuk membagikan baju Ayah. Tapi, di sisi lain, apa yang dikatakan Bunda juga benar. Ada rasa yang tak enak menganjal di hati yang selalu disembunyikan dibalik senyum ayu itu.

"Eh, Kakak masih di sini toh," ujar Manda datang. Penambilannya sekarang sudah fress kembali. Aku hanya diam sambil memutar-mutar pena yang entah dari mana ku dapat tadi.

"Nih, Manda bawain jus alpukat," ujarnya duduk di sebelahku. Aku mengangguk dan lansung meneguknya.

"Kenapa sih diam-diam waee. Indak seperti biasonyo," ujarnya mencampur-campurkan tiga bahasa sekaligus.

"Naon? Biasa aja mah," balasku. Manda terkikik geli, "Dah ah, kabutnya nggak bermanfaat," ujarnya. Aku lantas mengangguk, "Ya, ya. Anda benar sekali," celetukku.

"Eh, Dek. Ntar kita beli mie ayam yuk," ajakku, mendengar mie ayam mata Manda langsung berbinar. "Ayuk, tapi Kakak yang beliin," ujarnya.

Aku mengacungkan jempolku. "Ululu, makin cayang deh," ujarnya memelukku dari samping. Aku tak menolak saat dia memeluk. Aku mengadah menatap langit di atas sana. Terukir senyum kecil di bibir tipisku.

***

______________________________________

"Hatimu tak berbicara namun matamu yang menjawab semua pertanyaannya."
_

_____________________________________

🥀🥀🥀

(BAB 12)





















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top