Ayah Aku Rindu🥀
______________________________________
🌹Waktu Yang Akan Manjawab🌹
______________________________________
***
Manda menatap Bihan tajam yang duduk di sofa single di ujung. Tatapan nyalangnya tersimpan rasa takut kehilangan.
Aku duduk di antara mereka cuman memangku bantal sofa dipangkuan dan ditemani makaroni.
"Kenapa sih Dek?" tanyaku memasukan makaroni ke mulut. Manda hanya diam tetap menatap Bihan.
Bihan menghela napas lantas bangkit duduk di sebelah Manda. "Kenapa, hamm?" tanyanya memangku pundak Manda namun langsung di tepis oleh Manda.
"Sana," usir Manda memalingkan wajahnya. Matanya berkaca-kaca membuat aku dan Bang Bihan saling pandang.
"Kenapa dia?" tanyaku tanpa bersuara. Air mata Manda jatuh dari pelupuk matanya membuat aku terheran. Setau ku dia tidak dalam malasah.
"Coba cerita?" tanyaku beralih duduk di sebalah Manda. Manda langsung memangkuku, dia terisak dalam dekapan.
"Hei, kenapa?" tanya Bihan mengusap bahunnya. Tangis Manda sakin menjadi.
Manda melepaskan pelukannya dari ku lantas dia bergegas naik ke lantai atas tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Kenapa dia?" tanya Bihan bingung. Aku menggeleng, "Kayaknya ngambek deh sama Abang," ujarku. Bihan menatapku bingung. "Kok bisa, Abang nggak ngapa-ngapain dia," gumamnya menerawang mengingat kembali waktu Maura dan Manda pulang, saat itu dia sedang bertelefonan dengan Geysa.
"Abang tau," gumamnya menepuk dahinya. "Apanya?" tanyaku.
Dia langsung menarik tanganku menyuruh mengikutinya. Kami lantas naik ke lantai atas ke kamar Manda. Untung saja kamar gadis tersebut tidak dikunci.
Manda masih saja menangis terdengar dari isak tangisnya. Gadis tersebut menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Manda," panggil Bang Bihan duduk di pinggir kasurnya, tidak ada sahutan kecuali isaknya.
Bihan menarik selimut yang menutupi badan adiknya itu. Tak ada perlawanan dari Manda gadis itu meringkuk menangis. Aku lantas duduk di samping Bang Bihan, "Kenapa nangis coba cerita?" tanyaku menarik tangan Manda agar duduk. Gadis itu menurut membuat aku tersenyum kecil.
"Coba cerita sama Kakak," ujarku. Manda cuman diam melirik Bang Bihan. Bihan tersenyum, "Kamu dengar percakapan Abang tadi?" tanya Bihan mengusap surai hitam Adik bungsunya.
Manda mengangguk kecil membuat Bihan terkekeh. "Dasar kang nguping."
Dahiku berkerut menatap kedua orang yang ada di hadapanku saat ini. Pembicaraan yang mana? Kan aku juga kepo.
"Tatap Abang," pintanya. Manda menurut menatap manik matanya.
"Coba bilang apa yang Manda dengar," ajak Bihan membuat Manda menunduk.
"Takut," lirihnya. Bihan menghela napas gusar, apa yang dia pikirkan ternyata memang benar-benar terjadi.
Bihan memegang dagu Manda supaya menatapnya. "Hai, apa yang kamu takutkan? Abang pergi?" tanyaku. Manda hanya diam wajahnya menatap ke arah Bihan namun bola matanya menatap ke sudut kamarnya.
Aku yang hanya menyimak sedikit paham dengan apa yang terjadi, lantas sudut bibirku tertarik kecil ke atas.
"Kakak paham apa yang kamu rasakan, begitu juga dengan Kakak. Takut kehilangan," ujarku membuat dua pasang mata itu menoleh ke arahku.
"Hidup kita bukan saja tentang Bunda, Abang, Kakak, atau kamu. Akan ada saatnya kita hidup di jalan pilihan kita sendiri dan keluarga masing-masing. Namun, kita tetaplah kita yang tak akan ada yang memisahkan," ujarku.
Air mata Manda kembali menetes, dia menunduk meremas-remas jari tangannya.
Bihan tersenyum mendengar penjelasanku. "Kata Kakak benar, lalu yang Manda takutin apa? Raga Abang mungkin nanti nggak akan tetap berada di samping kalian, namun—" Bihan mengambil tangan Manda lalu meletakan di dadanya.
"Namun, kalian tetap di hati Abang dan tak akan pernah tergantikan," gumamnya. Manda langsung menerubuk badan jakung Bihan dan memeluknya erat.
"Janji?" gumam Manda mengacungkan jari kelingkingnya ke depan. "Janji," saut Bihan mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Manda.
"Dah, akur kan cakep," ledekku. Manda menyetir kuda lalu melepaskan pelukannya dari Bihan. "Manda lapar," ujarnya menatap Bihan.
Bihan mendengkus kesal, "Oke, jadi babu untuk hari ini," gerutunya.
Manda tersenyum lebar, "Baru Abang Manda," kekehnya mengacungkan kedua jempolnya.
Bihan melongos pergi dari kamar Manda. Dia langsung tancap gas ke tempat langganan mie ayam mereka.
***
Aku duduk bersantai di taman belakang sambil berendam kaki di dalam kolam ikan.
Bikiranku merawang memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu.
"Kenapa? Melamun mulu," ujar Bihan mengagetkanku.
Aku menoleh ke belakang. Bihan tengah menyinsing kaki celananya ke atas lalu duduk di sampingku.
"Abang bingung mau nanya apa," kekehnya membuatku memayunkan bibirku.
"Aku bingung mau jawab apa," balasku. Bihan mengusap lembut kepalaku dan menarik ke bahunya.
"Kamu lagi dekat sama teman kamu itu ya?" tanya Bang Bihan. Teman? Teman yang mana? Najwa dan Windy?
"Siapa, Najwa sama Windy maksud Abang?" tanyaku bingung.
Bihan menggeleng. "Temanmu yang di ujung jalan, cowok," ujarnya lagi. Ah, aku inget mungkin maksudnya Kak Raihan.
"Kak Raihan?" tanyaku. Bang Bihan mengangguk, "Nah, iya."
"Emang kenapa?" tanyaku lagi.
"Nggak apa-apa, Adek Abang udah besar," ujarnya menyentil dahiku dengan jarinya.
"Sakit ih, emang aku kecil-kecil mulu. Oh, Abang salah," gerutuku.
"Eleh," gumamnya menyentil kembali dahiku.
Aku cuman diam sambil memainkan kaki di dalam air. "Oh, ya kapan rencananya Abang mau lamar Kak Geysa?" tanyaku menatap kosong ke air.
"Kenapa?" tanyanya memiringkan kepalanya menatapku.
"Ya, biar aku ada temannya lah," ujarku.
"Idih, palingan teman curhat ntar," ledek Bang Bihan membuatku mengangguk.
"Pasti dong," ujurku menaik-naikan alisku menatap Bang Bihan.
Bang Bihan mendengkus kesal. "Kapan Bunda ngijinin," sautnya, aku mengangguk paham sebernanya Bunda sudah mengizinkan Bang Bihan untuk membina rumah tangga namun Bang Bihan lah yang menolak cepat karena ingin bahagiain adik-adiknya.
Aku mangut-mangut, "Secepatnya biar Kak Gesya-nya nggak diikat orang lain," ledekku membuat wajah Bang Bihan masam.
"Dasar bocil," gerutunya. Bihan terdiam sejenak menatap wajahku dari samping, dia menarik sudut bibirnya ke atas.
"Makasi ya, udah mau ngertiin Manda," ujarnya, aku menoleh menatap datar.
Lantas aku tersenyum sinis. "Nggak gratis," celetukku.
"Mau apa? Mie ayam lagi?" tanya Bang Bihan, aku menggeleng jari telunjukku mengetuk-ngetuk keramik sambil berfikir.
"Gampang kok, cukup pikirkan dan bahagiain diri Abang sendiri," ujarku menoleh ke langit sore.
Bihan tergengung mendengar ucapanku barusan. "Saatnya Abang bahagian diri Abang sendiri," lanjutku. Perjuangan mereka sampai di titik ini tidaklah mudah, apa lagi Manda yang paling rapuh di antara mereka. Namun, sampai saat ini mereka bisa saling menguatkan satu sama lain.
"Terima kasih, hanya itu permintaan aku buat Abang," ujarku tersenyum manis.
"Abang tau, di sini semua kamu pikul dan menutupi luka yang selalu tergores setiap saat," ujarnya memegang bahuku.
"Biarkan waktu yang menjawabnya," lanjut Bihan meraih badanku ke dekapannya.
***
______________________________________
Waktu terus berputar dan kehidupan juga akan semakin berubah. Percayalah.
______________________________________
🥀🥀🥀
(BAB 11)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top