Ayah Aku Rindu🥀

______________________________________

🌹Ketetapan Hati🌹
______________________________________

***

Manda meneguk air sampai habis lalu beralih duduk di sampingku. Dia menyelisik penampilanku. "Kakak aja udah pakai hijab, ngapain nanya lagi?" tanyanya. Memang benar saat ini aku tengah mengkenakan hijab segi empat.

"Maksud Kakak itu, Kakak pengen pakai jibab seterusnya," jelasku. Manda mangut-mangut dia menerawang terlihat sekali karena keningnya berkerut.

Dia lantas menatapku datar. "Ya, serah Kakak lah ngapain tanya Manda," dengkusnya kembali duduk di karpet dan melanjutkan menikmati mie ayamnya.

Aku menghela napas gusar. Maksudku bukan begitu, tapi ya sudahlah.

"Apa Kakak tau, di sekolah Manda rata-rata siswi makai hijab semua," jelasnya. Aku hanya menyimak apa yang dia bicarakan.

"Kadang Manda minder loh kalau kumpul-kumpul sama mereka apa lagi ya pas di lapangan walaupun ada siswi yang nggak pakai hijab selain Manda, ditatap itu risih loh, pen menyelam rasanya," gerutunya.

Yang dikatakan Manda memang benar. Di kampus pun ia sering menjadi pusat perhatian.

"Oke," jawabku singkat.

"Apanya yang oke?" tanyanya.

Aku mengedikan bahu lantas bangkit menuju ke kamar di lantai atas. Sudah berapa kali aku menatap penampilan di depan cermin, sebenarnya tidak ada yang berubah namun lilitan jilbab terpasangan rapi di kepalaku.

"Bismillah," ucapku pelan.

Aku masuk ke dalam kamar mandi.

***

"Assalamualaikum, wahai penghuni rumah," sapa Bihan duduk di sebelah Manda dan tak lupa jari telunjuknya menoel-noel pipi adiknya.

"Waalaikumsalam, jarinya nggak usah jail." Tepis Manda membuat Bihan menggaduh kesakitan.

"Punya perasaan nggak sih?" gerutunya.

"Nggak," ketus Manda. "Mau Abang sentil tu ginjal," tutur Bihan membuat Manda terdiam.

Manda mematikan televisi yang sebelumnya menyala membuat dahi Bihan berkerut. "Lah, kok dimatiin?"

Manda menatap Bihan cukup lama. "Tatap mata Manda," pintanya, Bihan menurut dia menatap manik mata adiknya.

"Apa yang Abang lihat?" tanya Manda mengelengkan kepalanya. "Ha?"

"Kosong," lanjutnya lagi. Bihan menatap manik mata Manda sekali lagi. Nggak ada berubah kecuali dia merasakan tatapan kosong itu, dia menarik alisnya ke atas bertanya balik.

Manda mendengkus kesal. "Apanya yang kosong?" tanyanya datar.

"Ma—" Manda momotong perkataan Bihan. "Jelas-jelas natap mata Manda." Akhirnya Bihan mengerti apa yang diucapkan Manda. Dia mengusap wajahnya gusar. "Sabar," gumamnya karena dijailin Manda.

Manda terkekik geli karena berhasil menjaili Bihan hingga lagi-lagi membuatnya frustasi.

"Manda jadi ikut nggak!"  Teriakan itu membuat dua pasang mata itu menoleh ke arah tangga.

"Jadi!" balasnya lantas langsung bergegas bangkit dari duduknya.

"Kalian mau kemana?" tanya Bihan bingung.

"Ke mana hati senang," celetuk Manda menjulurkan lidahkan ke Bihan. "Astafirullah, masih sabar," gumamnya mengusap-ngusap dadanya.

Aku lantas menghampiri Bang Bihan yang berdiri di samping sofa. "Baru pulang Bang?" tanyaku.

"Nggak, baru nyampe," dengkus Bihan. Soal pertanyaan dari Maura sungguh membuang tenaganya mengucapkan sederet kata.

"Duduk Bang, nggak bayar kok," celetukku. Pria tersebut mengerutu dia langsung menghempaskan badannya ke sofa.

Aku ikut duduk di sebelahnya dan mengambil kresek hitam yang ada di atas meja yang pasti jajanan yang dibelikan Bang Bihan.

"Wah, makaroni," decakku. Ada beberapa bungkus makaroni isi 350 gram dengan berbagai rasa.

"Ektra pedas sama BBQ buat aku ya, Bang," pintaku. Bihan bergumam tidak jelas sambil menatap layar handhonenya yang menyala.

Aku lantas mengitip ternyata abangnya sedang bertukar sapa dengan sang pujangga. "Ehem, jangan terbang tar jatuh," celetukku membuat Bihan menoleh.

"Shutt anak kecil nggak boleh ikut campur," ujarnya menempelkan jari telunjuknya ke depan bibirku. Lantas aku langsung menepis tangan Bihan membuat siempu meringis.

"Cukup," gerutunya menatap aku sebal. Dia menatapku cukup lama, "Tumben pakai hijab di rumah biasanya nggak, mau keluar?" tanya Bihan.

Aku mengangguk dan membuka bungkus makaroni rasa BBQ. "Mau ke rumah calon suami, kenapa?" celetukku. Bihan menatapku tajam, "Calon suami dari hongkong," gumamnya.

"Aminn," ujarku tertawa menatap wajah masamnya.

Aku menyodorkan makaroni, Bihan mengambilnya dengan rasa kesal. "Kak ayuk." Manda menghampiri kami sontak Bihan langsung tersedak, bukan karena kehadiran Manda namun pakaian yang dia kenakan.

"Alhamdulillah," ucap Bihan lantas dia langsung sujud syukur di bawah sudut meja.

Manda menjerit bingung. "Abang ngapain?" tanyanya membuat Bihan buru-buru menegakkan badannya.

Namun ....

Tuk!

"Aduh, meja." Kepalanya kepetok meja membuat siempu meringis sakit.

"Sakit Bang?" tanya Manda polos sedangkan aku hanya duduk diam sambil ngemil makaroni.

"Abang sujud syukur. Insaf," celetukku menyomot tisu yang ada di atas meja.

"Ha?" Manda masih belum paham apa yang terjadi, lantas dia menoleh ke arahku.

Bihan tersenyum menatap Manda. "Bagus, anak pinter," ujarnya menepuk pela puncak kepala Manda.

"Oke, Manda sepertinya bodoh dalam hal memahami, apa lagi memahami perasaan dia," celetuknya.

"Dasar bocil." Aku lantas memperbaiki jilbabku dan mengambil tas selempang. "Kuy," ucapku kepada Manda. Manda mengangguk dan langsung megambil tangan Bihan.

"Doain adikmu ini biar cepat ketemu jodoh, ya Bang," ujar Manda menyalami tangan Bihan.

Dahinya langsung disentil, membuatku tertawa. "Cepat ih," ujarku langsung menepis tangan Manda dan salim.

"Kalian mau kemana sih?' tanya Bihan bingung. "Ke rumah ujung, Abang mau ikut tak. Kan kita diundang sekeluarga," ajak Manda.

"Oh, rumah Ibu Ilas ya?" Kami berdua mengangguk, "Iya, ikut?" tanyaku.  Bihan menggeleng, "Kalian aja, Abang mau keluar juga soalnya," tolaknya tersenyum manis.

Aku menatap curiga pasti keluar mau jalan sama Kak Geysa. "Ya, inget jalan pulang ntar," celetukku.

Bihan tersenyum lantas dia kembali mengambil kunci mobilnya yang terletak di atas meja. "Izin ke Bunda ntar ya kalau telat pulang," ujarnya langsung melongos pergi.

Kami pun pergi tak lupa menguncing pintu serta pagar. Di ujung jalan ternyata sudah ramai orang-orang apa lagi sekarang acaranya menanti marapulai atau menanti pihak mempelai laki-laki berkunjung ke rumah mempelai perempuan. Kalau di dalam adat Minang namanya Bararak.

"Kak, banyak cowok," ujar Manda. Kami berjalan lambat karena lantaran risih melewati mereka walau kebanyakan bapak-bapak.

Aku lantas menoleh ke samping tenda yang tak jauh dari kami berdiri. Terlihat ada ibu-ibu keluar masuk dari sana.

"Ikut Kakak," ujarku menarik tangan Manda. Dia lantas mengikutiku setibanya di sana kami langsung masuk ke dalam dan paling untungnya tidak ada juga yang menyadari karena orang-orang sibuk di depan mempersiapkan penyambutan tamu.

"Maura," panggil seseorang sontak membuat kami terkejut. Ternyata Kak Safira berdiri di atas pelamian hendak turun dan kebetulan jalan kami lalui tersebut berada di samping pelaminan.

"Eh, Kak Safira," sapaku balik.

"Temanin, Kakak yuk," ajaknya. Akhirnya kami mengikuti pengantin masuk ke dalam kamarnya untuk istirahat sejenak dan menganti pakaian.

"Manda, nanti jadi pengiring Kakak ya sama Kak Maura," pintanya. Kebetulannya siang tadi Kak Safira memintaku langsung untuk itu. "Eh, boleh Kak?" tanya Manda dengan mata berminar.

"Boleh, dong. Oh, ya bajunya udah ada di sana. Kalian tinggal ganti aja," ujar Safira. Lantas kami mengangguk dan langsung menganti pakaian ke kamar sebelah yang dijadikan ruang ganti.

***

______________________________________

Perlahan dan pasti.
Semoga ini yang terbaik.
______________________________________

🥀🥀🥀

(BAB 10)






























   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top