Ayah Aku Rindu🥀
______________________________________
🌹Bisikan di Atas Sejadah🌹
______________________________________
***
Angin pantai membuat rambutku bertebaran kemana-mana. Sekarang diriku tengah berdiam diri di Taplau, tepi pantai yang tak ada sepinya setiap hari. Serta ditemani sunset yang indah dan menenangkan.
Helaan napas berulang kali keluar dari mulutku. Sekarang sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Namun, aku masih betah di sini, apa lagi melihat anak kecil yang asik bermain dengan kedua orang tuanya.
Apa aku cemburu?
Ya, mungkin iya. Jika mereka melihatku, mungkin kalian beranggapan bahwa aku sudah dewasa dan tak membutuhkan kasih sayang lagi. Namun, itu salah, sanggat salah. Nyatanya, aku masih mengharapkan itu semua.
Ah ...
Menyebalkan, namun itulah kenyataannya.
"Kenapa belum pulang?" tanya seseorang mengagetkanku dari lamunan.
"Kak Raihan?" Pria itu ternyata Raihan.
"Sunset," gumamku. Dia mengangguk, "Besok datang ke rumah ya," ajaknya.
Keningku berkerut. Rumah, rumah siapa?
"Nikahan Kakak saya," ujarnya.
"Oh, yang lamaran kemarin kakaknya, Kak Raihan?" tanyaku sedikit paham.
"Iya," jawabnya tersenyum kecil.
"Wah, aku baru tau. Kalau itu kakaknya Kak Raihan," ujarku. Raihan sontak tertawa kecil, "Kamu aja mungkin ngenal saya baru dua minggu ini, bukan?" tanyanya.
Aku sontak malu dengan pertanyaannya. Memang benar kalau bukan karena insiden kecil menimpa mereka di kampus mungkin mereka saling tidak mengenal satu sama lain.
Aku mengangguk kecil sambil tersenyum canggung, "Iya."
"Btw, Kakak jurusan ilmu kedokteran juga, semester?" tanyaku. Sebab selama ini hanya menganal nama dan tempat tinggal saja.
"Iya, kamu juga jurusan itu kan? Semester 5," ujarnya.
Aku menagut-mangut. "Eh, udah azan Magrib. Ke mesjid dulu yuk," ajaknya. Aku lantas mengangguk dan mengikutinya dari belakang. Kebetulan mesjid tidak terlalu jauh namun, kalau jalan kaki lumayan capek dan memilih mengendarai motor ke sana. Kami putuskan untuk shalat Magrib di masjid Al-Hakim atau mesjid terapung yang berada di atas antai Taplau tersebut.
"Assalamu 'alaikum waramatullah ...." Aku menoleh ke arah kiri. Ku usap wajahku dengan telapak tangan dilapisi mukena.
Ku angkat tanganku, melantunkan doa di setiap shalatku.
"Ya Rabb-ku ...."
***
"
Tadi kamu ke sini naik apa?" tanya Raihan. "Gojek," jawabku.
Raihan mengangguk. Sekarang kami duduk di tepi pantai menikmati angin laut malam. "Apa alasan kamu kembali ke Sumbar?" tanyanya. Sontak membuatku terkejut.
"Aku tidak tau," gumamku.
Raihan melirik jam yang berada di pergelangan tangan kirinya. Sekarang sudah menunjukan pukul 7.23.
"Dah, malam. Pulang yuk," ajak Raihan.
Setibanya di rumah aku langsung menerobos masuk ke dalam kamar Manda. Gadis itu sedang belajar dan mendengarkan musik dari earphone miliknya.
"Dek!" panggilku. Namun, tidak ada sahutan dari gadis tersebut karena terlalu asik dengan dunianya.
Aku mendekat dan langsung membuka aerphone yang menyumbat telinga Manda. "Kakak, is," omelnya karena terganggu.
"Budek sih, dipanggil-panggil nggak nyaut," omelku balik. Manda mendengkus kesal.
"Apa?" tanyanya ketus.
"Bolehku sentil ginjalmu," gerutuku.
Manda berdecak. "Apa Kakak zheyankk, kalau nggak ada berkepentingan silakan keluar. Letak pintu nggak berubah kok," usirnya.
Aku mendengkus kesal, ceritanya ia diusir. "Kakak bawa mie ayam. Buat kamu nggak usah lah ya," ujarku tersenyum sinis.
"Mie ayam?" Mata Manda seakan keluar ketika mendengar makanan kesukaannya itu.
Aku berpangku tangan di depan dada. "Mauuuuu," ujarnya dengan tampang memalas.
"Nggak," ledekku.
"Kakak cantik, Kakak baik deh," rayunya membuatku geli sendiri.
"Bodo." Lantas aku berbalik dan keluar dari kamar Manda menuju ke bawah. Anak itu tetap mengekoriku, "Dasar."
"Kak, Kakak baik deh," ujarnya masih merayu.
"Bunda mana?" tanyaku duduk di sofa ruang tengah.
"Bantu-bantu di sana," ujarnya ikut duduk di sebelahku.
"Abang?" tanyaku lagi.
"Tidur," ujar Manda menatap plastik hitam di atas meja.
"Mau ya ya ya," ujarnya penuh minat. Aku mendengkus kesal.
"Hem."
"Yeayy, makaci," ujarnya langsung bangkit dan cus lari ke dapur. Aku geleng-geleng kepala melihat sikap Manda yang terlalu bocah, mungkin.
Aku menatap loteng rumah dengan pikiran menerawang. Saat pikiranku serasa seperti benang kusut.
Tak lama Manda datang dengan dua mangkok di tangannya dengan cekatan dia menuangkan mie ke dalam mangkok.
"Selamaat makan," ujarnya.
"Kakak dari mana tadi?" tanyanya melirikku.
"Taplau," gumamku memakan mie.
"Sama siapa?" tanyanya lagi.
"Sendiri tapi pas Magrib ketemu Kak Raihan," jawabku. Mulut Manda membulat, "Astafirullah Kakak," ujarnya.
Aku menjerit bingung, apa ada yang salah atau mienya yang kurang enak padahal ia membeli ditempat langganan mereka. "Kenapa nggak bilang, kan Manda juga pengen ikut. Ketemu cogan," ujarnya menyetir kuda tanpa rasa berdosa.
"Dasar, eh tapi Kakak diundang loh besok. Kan kakaknya Kak Raihan nikah besok," ujarku menaik-naikkan alisku menatap Manda.
Seketika tatapan Manda menjadi datar. "Besok Kakak kuliah, jadi NGGAK BISA ikut dong," ledeknya sengaja menekan kata nggak bisa.
"Kata siapa? Kosong tau," ledekku balik. Manda mendengkus kesal pada akhirnya dirinya tetap kalah kalau beradu argumen dengan Maura.
"Ya ya ya," decaknya sebal.
"Kakak mau ke atas, bantu beresin yak," ujarku.
Manda mengangguk singkat. "Sana huss," usirnya. Aku hanya diam dari pada adu cek cok dengan Manda lagi.
Aku langsung menuju ke kamar untuk membersihkan diri. Setelah menghabiskan beberapa menit di dalam kamar mandi. Aku ambil mukena yang tergantung di dalam lemari.
Setelah melaksankan shalat Isya aku terdiam cukup lama di atas sejadah. Ku angkat tanganku.
"Ku bisikan doaku pada bumi, maka di atas langit akan menggema suaraku.
Ya, Rabb-ku.
Hanya kaulah yang mengetahui isi hatiku, perintahmu mutlak untuk ku kerjakan. Tutunlah hambamu untuk selalu istiqamah dalam melaksanakan perintahmu.
Hanya kepadamu lah aku meminta ...."
Aku terdiam cukup lama, rasa sesak di dada menghampiri. Teringat pesan terakhir yang disampaikan Ayah padaku.
"Anak Ayah sudah besar," ujarnya membelai rambut Ura kecil. Saat itu aku tengah bermanja dengan Ayah dan tidur sipangkuannya.
"Iya dong, masak Ura kecil-kecil terus. Ayah ih," dengkusku. Pria tersebut tertawa dan mencolek hidungku.
"Ayah boleh minta sesuatu nggak?" tanyanya membuatku bangkit dari pangkuannya.
Aku yang saat itu berumur tujuh tahun menatap Ayah bingung. "Mau minta permen Ura?" tanyaku polos.
Sontak Ayah tertawa mendengar pertanyaanku. Dia menggeleng, "Ayah tadi beliin ini buat Ura, Ura mau makai nggak?"
Mataku berbinar langsung ku rebut dari tangan Ayah, jilbab kecil yang sangat imut menurutku kala itu.
"Ura cantik nggak?" tanyaku. Dengan rambut beberapa helai keluar dari jilbab membuat Ayah terkekeh.
"Anak Ayah cantik," ujarnya.
"Tapi panas," ujarku kemudian. Ayah geleng-geleng kepala dengan tingkahku. Ku buka kembali jilbabnya.
"Gak apa-apa, nanti kebiasaan kok. Lihat Bunda nggak pernah lepas hijabnya kan?" tanya Ayah membuatku mengangguk.
Aku cengengesan aku pasang kembali jilban tersebut ke kepalaku. "Anak pinter," ujar Ayah mengusap kepalaku.
"Tetap tutup mahkota kamu ya, mulai pakai hijab dari kecil biar terbiasa," pesan Ayah aku mangut-mangut tapi tidak tau apa yang dimaksud mahkota dengan Ayah.
Air mataku luruh begitu saja saat pertama kali Ayah membelikanku jilbab. "Kangen," gumamku mengusap air mata.
"Mahkota." Betapa rasa bersalahnya aku selama ini tidak menutup auratku sendiri, dengan begitu saja aku perlihatkan rambutku di depan kalayak ramai.
***
______________________________________
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS Al-Ahzab: 59).
______________________________________
🥀🥀🥀
(BAB 8)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top