Ayah Aku Rindu🥀
______________________________________
🌹Perkara Hati🌹
______________________________________
***
Aku melewati taman kampus yang kebetulan jalan yang menghubungkan ke kelas.
Punggungku masih sedikit sakit, karena tragedi yang sangat mengeneskan kemarin siang. Pagi tadi sempat terjadi perdebatan di rumah apalagi Bang Bihan dan Manda melarang keras aku untuk pergi ke kampus pagi ini.
Karena tidak memerhatikan jalan aku menabrak punggung seseorang. "Ais," ringisku.
Ternya yang tak sengaja ku tabrak merupaka pria. "Eum, maaf Kak," ujarku menunduk.
"Kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya. Aku menggeleng, "Nggak apa-apa. Maaf sekali lagi," ujarku.
Dia mengangguk. "Kamu mahasiswa baru?" tanyanya.
Aku mendongkakkan kepala menatapnya. Aku tergegung sejenak, "Iya."
"Pantes," gumamnya tersenyum.
"Raihan," ujarnya meperkenalkan diri. Aku menatap tangannya yang dijulurkan ke hadapankku.
"Maura," balasku menjabat.
"Uraaaa!" teriak Najwa dari serbang sana. Sontak kami menoleh ke asal suara. "Eum, maaf Kak.. Saya duluan, maaf ya sekali lagi," ujarku pamit.
Raihan mengangguk dia tersenyum kecil menatapku.
"Ra, siapa tuh?" tanya Najwa kepadaku.
Aku mengedikan bahu. "Kayaknya Kakak tingkatan kita deh," ujarku.
Najwa mengangguk singkat. "Ganteng ya," celetuknya. "Iya," jawabku mengerjabkan mata masih menatap ke tempat di mana diriku tak sengaja menabrak punggunnya.
"Oh, ya btw. Jadikan kita pergi minggu?" tanya Najwa berjalan beriringan masuk ke dalam kelas.
"Jadi, Manda juga setuju ikut," ujarku.
"Kenapa?" tanyanya melihatku meringis saat menyandarkan punggu ke kursi.
"Nggak apa-apa," jawabku singkat.
Najwa mengangguk.
***
Jadwal kelas kami berhakhir. "Gaess, aku pamit pulang dulu ya. Nggak apa-apa kan?" tanyaku. Najwa dan Windy lantas langsung menatapku.
"Btw, kenapa cepat amat?" tanya Windy.
"Ntar bisa di sidang aku sama Bang Bihan sama Manda kalau pulang telat," ujarku jujur. Mereka mengangguk paham.
Kebetulan hari ini aku tidak membawa kendaraan. Mau tidak mau harus naik angkot untuk hari ini.
Aku jalan ke halte yang biasa untuk nunggu angkot di dekat kampus. Lumayan jauh, membuat sedikit keringat menetes di pelipis.
Bunyi klason motor membuatku menepi. Dan kebetulan sekali motor tersebut berhenti di sampingku.
"Maura, saya Raihan," ujarnya membuka helm. Aku mengangguk singkat tersenyum canggung.
"Mau pulang ya?" tanyanya.
Aku mengangguk kecil. "Bareng aja yuk," ajaknya.
"Eh!"
"Gak apa-apa," ujarnya.
"Eum, tapi." Akhirnya aku mengangguk dan naik ke atas motor.
"Rumah kamu di mana?" tanyanya. Aku menyebutkan alamtku. "Benaran?" tanyanya. Aku mengangguk dan kebetulan dirinya melirikku dari kaca spion.
"Satu komplek kita," ujarnya tertawa.
"Ha?" Raihan tersenyum geli menatap raut wajahku yang mungkin lucu baginya.
Motor terus melaju membelah jalan. Akhirnya kami sampai di perkarangan rumahku.
"Btw makasi ya Kak. Maaf ngerepotin," ujarku. "Sama-sama. Saya duluan," pamitnya. Aku mengangguk setelah motor itu menjauh barulah aku masuk ke dalam.
"Ehem, siapa itu Kak?" tanya Manda tiba-tiba dari balik pintu.
"Kamu ini," dengkusku lantaran terkejut.
Manda cengegesan dan membututiku sampai ke ruang tengah. "Ganteng loh, nggak mau Kakak kenalin ama aku, barang kali jodoh jadi kakak ipar," celetuknya.
"Pikiranmu terlalu jauh, bocil," gumamku.
"Amin," sahut Manda.
"Nggak jelas," gerutuku.
"Bt, Bunda mana?"
"Ada, di rumah tetangga di ujung jalan," jawab Manda.
"Ngapain?" tanyaku penasaran.
"Bantu-bantu, ntar sore kan ada acara lamaran di sana," jawabnya lagi.
"Kok Kakak nggak tau," ujarku. Manda berkelik kesal. "Emang situ penting harus dikasih tau gitu, makanya Kakak jangan di rumah terus," ledek Manda.
"Hello, nggak salah ngomongnya tuh. Situ juga anak rumah," ledekku balik.
Manda memanyumkan bibirnya. "Bodo," gerutunya.
"Eh, tapi ntar kita disuruh ke sana sama Bunda," ujar Manda.
"Ngapain?"
"Mau lihat proses lamaran adat Minang, Kakak pasti belum tau," ujarnya.
Aku mangut-mangut, "Boleh-boleh, jam berapa?" tanyaku.
"Jam lima-an," ujarnya. Aku lirik jam yang mengantung di diding baru menunjukan pukul 3 sore.
"Kakak mau tidur ntar bangunin ya, capek," pesanku kepada Manda. Manda mengangguk sambil menyalakan tv.
"Aman," ujarnya mengacungkan jempol. Lantas aku segera ke atas untuk membersihkan diri dan tidur siang.
***
Jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Aku, Manda, dan Bunda sudah bersiap-siap untuk pergi.
"Kakak tambah cantik deh pakai hijab," ujar Bunda membuatku mengerjabkan mata. Ku tatap penambilan di kaca.
Aku tersenyum tipis ada geteran sesuatu yang mengetuk ruang hatiku.
"Yuadah, yuk ntar kita telat loh," ujar Bunda. Kami mengangguk dan lantas langsung pergi.
Setibanya di rumah tersebut Bunda memisahkan diri dari kami. Aku dan Manda seperti anak hilang saja tidak mengenal siapa-siapa di sana.
"Maura, Manda. Sini duduk Nak," ujar ibu-ibu kepada kami. Lantas kami menghampirinya.
"Udah pada besar saja kalian ya," ujarnya. Kami memangguk dan tersenyum canggung.
Ku lihat ke sekitar lumayan rame bahkan dalam dan luar rumah hampir berdesakan. Aku tersenyum kecil melihat dekorasi-dekorasi rumah ini, dengan celemak merah dan hitam dengan benang emas di pinggirannya yang dipasang di dinding rumah bikin suasa semakin kental dengan ciri khas rumah adat Minang.
Dan di tengah-tengah kami terdapat carano atau sejenis baki yang mempunyai kaki berisi sirih, pinang, kapur, dan rokok.
"Bismillahirahmanirrahim, pambukak kato Assalamualaikum. Bauriang salam jo sambah, rila jo maaf dipabanyak, disusun jari tangan diangkek, ...." Suara itu sontak membuatku menoleh ke depan dan tatapan mataku tak sengaja menangkap sosok Reihan yang tengah duduk di samping orang yang mengucapkan salam pembuka tersebut.
Netra kami meradu membuatku merasa malu dan langsung mengalihkan pandangan.
"Kak bukannya itu cowok yang ngantarin Kakak tadi," bisik Manda. Aku mengangguk kecil berusaha menghindari tatapan yang selalu tertuju ke arahnya itu.
Rangkaian acara sudah hampir selesai semua. Aku membayangkan saat proses pertukaran cincin calon pengantin tadi, ah bikin cepat-cepat ingin nikah juga, dasar pikiran aku.
Manda tersenyum senang melihat hidangan yang ada di hadapan kami. Sebuah tradisi di sini, setiap acara pasti ditutup dengan acara makan bajamba.
Makan lesahan dengan berbagai menu lauk pauk di ketengahkan. Manda nampak menikmati makanan tersebut apa lagi menu utama yang selalu ada pas proses-proses acara seperti ini, rendang.
Jam cepat berlalu sekarang sudah menunjukan pukul 9 malam ternyata memakan waktu cukup lama. Aku dan Manda menunggu Bunda di luar rumah.
"Kak," bisik Manda. Aku cuman bergumam. "Lihat samping," bisiknya lagi. Sontak aku menuruti perkataannya.
"Eh, Kak Raihan," gumamku terkejut tiba-tiba pria itu berdiri di sampingnya.
Raihan terkekeh melihat ekspesiku. "Belum pulang?" tanyanya.
"Nunggu Bunda," sahutku pelan.
Raihan mengangguk lantas menatap Manda sekilas. "Kakak temannya Kak Ura?" tanya Manda memastikan.
Raihan menatapku sejanak. Lalu mengangguk. "Iya, Manda ya?" tanyanya kepada Manda, sontak membuat gadis itu mengangguk senang.
"Raihan," ujarnya memperkenalkan diri.
"Maura, Manda pulang," ujar Bunda menghampiri. Aku melirik Raihan sebentar lantas membuat dirinya mengangguk paham masukku.
"Kak ganteng ya," gumam Manda berjalan bergendengan denganku. Aku hanya diam jatungku masih berdebar-debar tanpa sebab.
***
______________________________________
"Kau tau, ketika diriku selalu kau tatap. Di sana aku melihat binar ketulusan dari dalam matamu."
______________________________________
🥀🥀🥀
(BAB 6)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top