Ayah Aku Rindu🥀

______________________________________

🌹Mie Ayam🌹
______________________________________

***

Bihan mengacak rambutnya frustasi melihat berkas-berkas di atas mejanya yang berserakan.

Sudah berulang kali ia mengceknya namun fokusnya bukanlah ke sana. Ada sesuatu yang ganjal di hatinya.

Kebetulan Geysa masuk ke ruangan Bihan. Dia melihat laki-laki itu berwajah kusut.

"Kenapa?" tanyanya membuat Bihan membuka matanya.

Ia menggeleng lalu menghela napas gusar. "Gak apa-apa," gumamnya singkat. Geysa pahan betul dengan temannya itu pasti ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.

"Pulang aja yuk," ajak Geysa kebetulan jam sudah menunjukan pukul 4 sore.

Melihat Bihan hanya diam sambil memejamkan mata bersandar ke kursi. Geysa berinisiatif sendiri untuk membantu merapikan meja Bihan.

"Ayuk," ajaknya, Bihan membuka matanya kembali dan menatap Geysa cukup lama.

"Makasi ya," ujarnya tersenyum tulus. Geysa tergegun melihat senyumnya hingga membuat dirinya salah tingkah.

"E-h, iya," jawab Geysa pelan.

Bihan selalu menjemput dan mengantarkan Geysa ke rumahnya. Kebetulan rumah mereka satu arah.

"Mau makan dulu?" tanya Bihan. Geysa menggeleng, "Gak usah, kamu  langsung pulang aja. Istirahat," ujarnya. Bihan memgangguk singkat diam-diam ia tersenyum tipis.

Tak lama mereka sampai diperkarangan rumah Geysa. "Aku nggak ngajak kamu mampir ya, kamu itu butuh istirahat. Jadi langsung pulang aja," ujarnya. Bihan terkekeh mendengar kecerewatan Geysa.

"Ngusir  nih ceritanya," candanya.

"Iya secara halus," canda Geysa balik. "Yaudah aku pamit," ujar Bihan. Geysa mengangguk. "Hati-hati di jalan," ujarnya. Bihan berlalu dari perkarangan rumah  Geysa.

Rumah mereka tidaklah terlalu jauh hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit saja. Setibanya di perempatan masuk ke perumahan mereka Bihan berhenti untuk sekedar membeli makanan kesukaan adik-adiknya.

Empat porsi mie ayam.

Bihan jadi teringat waktu di Jakarta dulu, ketika sore-sore gini pasti Ayah selalu membawakan mie ayam untuk mereka sepulang beliau kerja.

Bihan tersenyum kecut. "Sekarang izinin Bihan gantiin itu ya, Yah," gumamnya lirih.

Setelah pesanan Bihan sudah ada ia langsung kembali melanjutkan perjalanannya untuk pulang. Pasti adik-adiknya kegirangan mengetahui apa yang ia bawa.

Sekarang mobilnya sudah terpakir rapi di bagasi. Bihan mengambil kantung plastik yang berada di sebelahnya. Pintu di depan terbuka namun sepertinya tidak ada siapa-siapa di luar. Kakinya langsung membawanya masuk ke dalam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," balas Manda kebetulan berada  di ruang tengah. Dia langsung menoleh ke belakang.

"Abang udah pulang?" tanyanya. Bihan mengangguk, "Bunda sama Kakak mana?" tanyanya balik karena tidak menemukan keduanya.

"Di atas, Kakak sakit," ujar Manda.

Bihan mengangguk singkat namun seketika dirinya terkejut. "Kok bisa?" tanyanya.

"Tadi siang jatuh dari atas pohon mangga belakang," ujar Manda mengingat betapa estetiknya kakaknya jatuh dari bohon yang tinggi itu.

"Kok bisa?" tanya Bihan lagi. Manda berkelik kesal mendengar pertanyaan abangnya itu.

"Bisalah Bang, kan jatuh," ujarnya.

Bihan manggut-manggut kecil. "Ini taro dalam mangkok ya, " ujar Bihan memberikan plastik yang dia bawa.

"Apa ini?" tanyanya bingung.

"Mie ayam, yang punya Kakak sama Bunda antarin ke atas aja. Nanti kita makan di sini aja ya," ujae Bihan. Manda langsung mengangguk dan pergi sesuai perintahnya.

Bihan naik ke lantai atas mengcek keadaan adiknya itu. Waktu tiba di atas kebetulan Bunda keluar dari kamar Maura.

"Abang, udah pulang," ujar Bunda. Bihan mengangguk, "Iya, Bun. Abang baru pulang," ujarnya menyalami tangan wanita yang sangat ia cintai itu.

"Ura sakit Bun?" tanyaku. Bunda mengangguk singkat. "Jatuh dari pohon mangga tadi siang," ujarnya.

Bunda langsung pamit ke bawah. Bihan langsung masuk ke dalam kamar Maura. Terlihat gadis itu tertidur dengan lelap namun sekali-kali keningnya berkerut dan meringis.

"Abang," ujarnya dengan suara parau.

"Kebangun?" tanya Bihan mendekat. Maura mengangguk.

"Misi-misi. Manda bawa pesanan buat  tuan putri tertua," ujarnya masuk dengan membawa tiga mangkuk mie ayam dengan baki di tangannya.

"Loh, buat Bunda mana?" tanya Bihan. "Kata Bunda taruh di ruang tengah aja," ujarnya menyetir kuda.

Bihan mengangguk dan membantu Maura duduk. "Makan yuk, Kak," ujar Manda. Maura mengangguk, dia menerima semangkuk mie ayam di pangkuannya.

"Kenapa bisa jatuh?" tanya Bihan. Maura dan Manda saling tatap. "Ngambil mangga," ujarnya cengengesan.

"Dasar," gumam Bihan.

"Manda jadi kangen deh," ujarnya menatap mie ayam cukup lama.

"Kangen apa?"

"Kangen sama Ayah, biasanya pulang kerja juga selalu bawain mie ayam kayak gini," ujarnya manatap Bihan dengan mata berkaca-kaca.

Bihan dan Maura saling pandang. Maura tersenyum kecil, "Kan sekarang ada Abang yang gantiin, Ayah pasti senang," ujar Maura. Bihan menatap Maura cukup lama ia tahu bahwa gadis itu juga merindukan Ayah mereka. Namun, semuanya dia pendam sendirian.

"Adik Abang jangan sedih dong, Abang akan selalu bahagiin kalian dengan cara Abang sendiri, janji Abang untuk kalian," ujar Bihan.

Manda mengangguk kecil. Dia mencomot kerupuk pangsitnya. "Makasi ya Abang, Kakak," ujarnya dengan mulut mengunyah.

"Nggak sopan," ujar Bihan. Manda cengegesan namun kembali melanjutkan makannya.

"Asik banget ya," ujar Bunda berdiri di daun pintu.

"Bunda," ujar Manda langsung melekatakan mangkuk yang hanya tinggal sedikit itu ke atas kasur. Dia langsung meloncat dan memeluk bundanya.

Maura mendengkus kesal dengan sikap adiknya yang tengil itu, kalau tumbah kan nanti alas kasurnya jadi kotor.

"Manja banget," gumam Bunda. Bunda langsung menghampiri kami dan duduk di pingiran kasur.

"Bunda udah makan?" tanya Bihan. "Udah, udah habis juga mie ayam yang kamu beliin tadi," ujar Bunda.

"Bunda mau lagi nggak," ujar Manda menawarkan mie ayamnya yang masih tersisa.

"Lanjut aja, kan jatah Bunda juga ada tadi," ujarnya mengusap punjak kepala anak gadisnya itu.

Manda langsung menyantap mie ayamnya sampai kandas. Maura dan Bihan geleng-geleng kepala dengan sikap Manda yang terlalu sungguh bocah.

"Bun, minggu depan aku ikut sama Kakak ya," ujar Manda. Maura mengerjabkan matanya beberapa kali.

"Emang ke mana?" tanya Maura bingung.

"Dasar pikun," dengkus Manda.

"Ke danau Talang," ujarnya lagi.

Maure mangut-mangut baru inget.

"Boleh kan Bun, Bang," ujar Manda.

Bunda mengangguk. "Boleh, inget pesan Bunda aja. Jangan macam-macam di sana," ujar Bunda.

"Siap Bun," ujar Maura dan Manda bersamaan.

"Bentar, Danau Talang itu di mana?" tanya Bihan menatap ke dua adikmya.

Manda dan Maura saling tatap. "Kami juga nggak tau," ujar Maura. Bihan mendengkus kesal. "Trus kalau kalian kesasar gimana? Tujuan aja nggak pada tau," omel Bihan.

"Mbak google kan ada," jawab Manda menaik-naikkan alisnya menatap Bihan.

"Ya tuh." Bihan mengalah pada dasarnya dari pada harus melanjutkan perdebatan dengan Manda yang tak akan kunjung habisnya.

"Nah, cakep," ujar Manda tertawa. Bunda dan Maura geleng-geleng kepala dengan sikap mereka. Tiada hari tanpa debat.

***
______________________________________

"Aku tau dengan menyembunyikan perasaan ini memang salah, namun aku juga tidak mau membuat kalian khawatir dengan keadaanku. Cukup aku memeluk rindu itu dalam doaku."

______________________________________

🥀🥀🥀

(BAB 5)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top