Ayah Aku Rindu🥀
______________________________________
🌹SECANGKIR TEH🌹
______________________________________
***
"Adek, tumpahkan," gerutuku.
"Kakak juga sih," omel Manda. Saat ini kami berada di ruang tengah.
"Buatin lagi sana," suruhku. Namun, Manda malah memilih duduk di samping Ayah.
"Kakak, Adek," tegur Ayah membuatku memayunkan bibir karena kesal ulah Manda.
"Iya, Kakak minta maaf," ujarku.
"Kenapa ribut-ribut sayang?" tanya Bunda dari dapur membawa biskuit.
"Adek, numpahin teh Ayah," aduku.
Manda mengedikan bahu dia tengah bermanja dengan Ayah.
"Kalian ini," decak Bunda. Aku merasakan rangkulan di bahuku. Sontak menoleh ke samping. "Abang," gerutuku lagi.
"Iya, Ura," ujarnya menoel-noel pipiku.
"Auh ah, Abang sama Adek sama-sama ngeselin," omelku melepas rangkulan tangan Abang dari bahuku. Lalu duduk di sebelah Bunda.
"Sensian amat si Kakak," ledek Manda.
"Ayah."
"Adek, Kakak."
"Abang!"
"Ha!" Bihan menatap dua adiknya bingung kenapa dirinya juga ikut-ikutan kena.
"Kok Abang sih?" tanyanya.
"Abang buatin teh sana." Suruh Manda menaik-naikan alisnya menatap Bihan.
"Lah?"
"Pokoknya buatin buat tuan putri," ujarnya dengan bangga menyebut dirinya tuan putri.
"Empat buah Bang, buat Ayah, Bunda, aku, sama Manda," sosorku lagi.
"Dan, cepatan ya. Lihat jam, ntar telat masuk kelasnya loh." Tambah Bunda membuat Bihan menatap mereka kesal.
"Ayah dikit gulanya ya, Bang," pesan Ayah membuat kami berempat tertawa. Dengan wajah kesal Bihan berlalu ke dapur membuatkan pesanan buat mereka.
Ide jail muncul dibenak Bihan. Dia tidak mengambil gula melainkan garam memasukan ke dalam dua gelas yang akan diseduhkan untuk kedua tuan putrinya.
Bihan membawa baki berisi empat cangkir teh ke ruang tengah. Senyum mengembang menghiasi wajah tanpannya.
"Buat, Ayahanda Raja, Bunda Ratu, dan ini buat duo tuan putri," ujarnya meletakan secangkir teh ke hapadan mereka masih-masing. Aku dan Manda saling tatap.
"Baiklah karena tugas hamba sudah selesai, hamba mau pamit ke kampus mengingat kelas sebentar lagi akan dimulai," ujar Bihan membungkukkan badannya. Sebelum dia kabur tak lupa untuk pamitan ke Ayah dan bundanya serta kedua Adik resenya.
Aku dan Manda manatap Bang Bihan dengan rasa curiga, ku lirik Manda supaya mencoba meminum teh yang dibuatkan Bihan.
Manda mengangguk singkat dia mulai menyeduh tehnya, sebelum meminumnya dia meniup-niupnya sebentar.
Raut wajah Manda seketika berubah masam setelah meminum. "Abang!" teriak Manda merasakan betapa asinnya teh yang dibuatkan Bihan.
Bihan yang masih di teras tertawa mendengar teriakan Manda di dalam rumah. "Rasaian," ledeknya.
Dengan wajah ditekuk Manda memayumnya bibirnya. Ayah dan Bunda tertawa melihat ekspresi Manda.
"Minum teh Ayah ya," rayu Ayah membuat Manda mengangguk senang. "Kakak juga," ujarku langsung berpindah duduk ke sebelah Ayah.
"Punya Kakak asin juga," celetuk Ayah membuatku mengangguk padahal belum ada satu tetespun masuk ke dalam mulut.
Aku dan Manda berebut teh milik Ayah. "Tinggalin Manda Kakak," ujar Manda merebut gelas yang ada di tanganku.
"Nanti tumpah lagi, ih," omelku. Ayah dan Bunda geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami yang masih saja seperti anak kecil yang memperebutkan permen.
"Kan, Kakak tumpah lagi," omelnya balik kepadaku padahal dirinya lah yang menumpahkan teh tersebut.
"Adek, Kakak. Ribut mulu," tegur Bunda. Kami menyetir kuda tanpa rasa bersalah.
***
Manda terdiam cukup lama sambil memegang cangkir tehnya. Dia menatap kosong dengan bulir air mata yang hampir jatuh.
"Oik, ngelamun mulu," tegurku baru datang dari lantai atas. Manda menoleh ke arahku membuatku menjerit bingung. "Kamu nangis?" tanyaku membuat Manda menggeleng.
"Nggak lah," bantahnya. Aku mengangguk singkat lalu melirik ke jam yang mengatung di atas dinding.
"Asin nggak?" tanyaku kepada Manda.
Manda mengerjabkan matanya menatapku. "Apanya yang asin?" tanyanya balik. Aku melirik ke gelas yang dipegeng Manda. Manda kemudian meminum tehnya yang sudah tak hangat lagi.
Raut wajahnya seketika berubah. "Asin," desisnya. Aku sontak tertawa.
"Kakak," omelnya. Aku menggeleng, "Abang tuh," ujarku. Manda mendengkus kesal. "Kebiasaan ih." Air matanya jatuh begitu saja.
"Eh, kok nangis?"
Manda mengusap air matanyanya dan langsung memelukku dari sambing. "Abang ngeselin sih," gumamnya.
"Why?"
"Nggak apa-apa." Manda menggeleng pelan. Aku tau betul dengan sifat Manda menangis tiba-tiba pasti dia sedang dalam keadaan tidak baik.
Aku berdehem singkat.
"I miss her," lirih Manda. Aku tersenyum kecil dibuatnya.
"Pray always, believe your longing will reach him," ujarku membuat Manda mengangguk.
"Apa Kakak merindukannya juga?" tanya Manda kepadaku. Aku mengangguk. "Tentu, sangat merindukannya," jawabku.
Manda melepaskan pelukannya dari ku. Dia mengusap air matanyanya dan begitu juga dengan ingusnya.
"Adek jorok ih," gerutuku ingusannya menempel pada lengan baju yang aku kenakan.
Manda menyetir kuda, "Ya, maap," ujarnya.
"Kakak mau ke kampus?" tanyanya. Aku mengangguk, "Iya, kenapa? Mau ikut cari cogan?" tanyaku balik tersenyum meledek.
"Kalau ada bungkusin aja, bawa pulang," ujarnya tertawa. "Ngenes banget, emang makanan apa," ujarku.
"Yaudah sana ganti baju lagi," usirnya membuatku mendekus kesal.
"Dasar," omelku. Aku kembali ke lantai atas menuju kamar untuk mengganti pakaian.
Manda kembali mengambil cangkir tehnya dan melupakan rasa asin yang tadi dia rasakan.
"Asin," omelnya meminum seteguk teh tersebut. Habis ini dia harus membuat perhitungan dengan abangnya sunggu keterlaluan.
"Tapi, tunggu dulu. Abang dari pagi kan nggak di rumah," gumamnya befikir keras.
"Siapa dong? Kakak Ura," gerutunya pasti Maura lah yang mengerjainya. Manda langsung bangkit dan membawa gelas tersebut ke dapur.
"Manda nanti Kakak nggak langsung pulang ya, mau ke butik Bunda!" teriak Kak Maura dari luar.
"Iya, titip mie ayam ya Kak," balas Manda sedikit berteriak.
Tak ada sahutan dari Kak Maura mungkin saja dia sudah pergi, Manda langsung naik ke lantai atas dan cus tidur siang di kamarnya.
***
Jam menunjukan pukul 4 sore. Aku melirik ke arah luar. Hujan turun dengan derasnya membuat aku harus berdiam lebih lama dalam butik Bunda. "Yuk, pulang," ajak Bunda kepadaku.
"Sudah selesai, Bun?" tanyaku. Bunda mengangguk singkat, "Udah kok, yang tinggal ntar diurus sama Mbak Yuni," jelas Bunda membuatku mengangguk paham.
Aku tersenyum senang dari datang ke sini dan juga mau pulang butik Bunda rame pengunjung.
"Bun, ntar mampir ke warung depan perempatan ya. Mie ayam untuk Manda," pesanku sebelum keluar dari butik.
Bunda mengaguk dan kami langsung berlari ke mobil dikarenakan hujan.
Tak banyak percakapan di antara kami. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri dan Bunda sibuk mengemudikan mobil.
"Minsal Abang nikah, kamu setuju nggak sama temannya itu, Geysa?" tanya Bunda hampir membuatku tersentak kaget.
"Ha, nikah?" Bunda mengangguk. Dia tersenyum kecil melirik wajah kagetku.
"Benaran?" tanyaku sekali lagi.
"Iya."
"Berita heboh kalau Manda tau Bun," ujarku. Bunda tertawa kecil. "Kamu aja udah heboh walau baru rencana," kekeh Bunda.
***
______________________________________
"Hal kecil akan menjadi berharga jika itu dilakukan bersama orang-orang yang kita sayang."
______________________________________
🥀🥀🥀
Haii gimana setelah membaca bab 2 ini? Eum, masih nano-nano ya. Maklumin. Wkwkwk
Btw jejak typonya ya maklum kang typo yang belum ketemu obatnya.
See you bab 3🤗
(BAB 2)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top