Ayah!

Matahari pagi terasa hangat dan tenang, sinarnya menyinari butiran-butiran embun yang menggantung di atas dedaunan.

"Abang bangunnnnn!!!"

"Apa sih dek!"

"Bangun bang ini udah jam berapa?" suara bocah cewek itu adikku yang baru berusia 9 tahun.

Aku melihat jam bekerku yang kusimpan diatas meja nakas dekat dengan lampu tidur yang sudah meredup.

"Iya-iya abang bangun!" seketika aku bangun saat melihat jam beker digitalku yang menunjukan tanggal 26 Februari 2017 pukul 08:05 pagi.
Aku membuka selimut lalu duduk di pinggiran ranjang.

"Taraaaaa!! Selamat ulangtahun abang!" ulang tahun? Aku bahkan lupa hari ini adalah hari ulang tahunku.

Aku lihat Amy membawa cake cokelat tanpa krim putih karena Amy pasti tahu kalau aku benci pada krim putih yang entah apa namanya aku gak pernah perduli.

"Selamat ulangtahun abang." ayahku yang berdiri disamping Amy, dia terlihat tersenyum menatapku yang baru menyadari keberadaannya.

"Ayah ada sesuatu buat abang." diakhir ucapannya itu, dia memberikanku sebuah kado ulang tahun yang tak dibungkus oleh apapun, cuma paper bag hitam berlogo PS yang membungkus kado itu.

"Maaf bang, ayah terlalu sibuk sampe lupa kadonya gak ayah bungkus." sebuah game console PS4 adalah benda yang aku lihat saat ayah memberikan box kotak itu sesudah dirogohnya dari dalam paper bag.

Aku hanya menolehnya aja, aku lebih tertarik dengan cake yang Amy bawa untukku.

"Makasih Amy!" aku memeluk Amy sekejap, aku menyayangi gadis kecilku ini meski terkadang dia sangat menyebalkan.

"Abang, sudah ... Nanti kena kue!" ucap Amy mengingatkan.

Saat aku melepaskan pelukan Amy aku lihat ayahku yang sudah membuka tangannya berharap mendapatkan pelukan dariku juga seperti Amy.

"Aku udah telat, aku mandi dulu." tanpa aku hiraukan, aku meninggalkan ayahku begitu saja. Mungkin matanya akan berkaca-kaca karena sikapku, tapi aku sudah tidak perduli lagi pada perasaannya.

"Maafin bang Fatih ya ayah." aku dengar ucapan Amy pada ayahku dan aku dapat melihatnya dari sudut mataku saat Amy sedang memeluk ayah yang terlihat kecewa dengan sikapku.

"Udah, gak apa-apa sayang, ayah ngerti kok kenapa abang kamu bersikap kayak itu." setelah mendengar ucapan ayahku itu, aku langsung meninggalkan mereka dan cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Dengan cepat aku membasuh tubuhku.

Beberapa menit berlalu sekarang aku sudah siap dengan seragam sekolahku.
Aku murid kelas 7 di salah satu sekolah menengah pertama di Jakarta dan satu gedung dengan adikku Amy yang baru duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar.

Aku berjalan menuju Amy dan Ayahku yang sedang duduk di meja makan yang penuh dengan hidangan sarapan yang sudah disediakan oleh asisten keluargaku.

Ayah dan Amy sepertinya belum menyentuh makanannya sedikitpun. Seperti biasanya mereka menungguku untuk makan bersama mereka.
Aku duduk di samping Amy dan langsung melahap sarapanku, sebuah roti isi telur favoritku.

"Bang, besok kan hari minggu, abang mau liburan kemana?" tanya ayahku yang mampu membuatku sedikit terkejut karena tidak biasanya dia mengajakku berlibur, meskipun benar dia mengajak tetap saja dia selalu mendadak membatalkan acara itu.

"Spesial di ulang tahun abang, ayah akan ambil cuti." aku sedikit tersenyum sinis karena aku tahu mustahil dia menepati ucapannya.

KKRRIINGG
KKRRIINGG

Suara dering telpon berbunyi dan aku sudah bisa menebak siapa yang menelpon ayah.
Ayahku merogoh kantung jas yang ia pakai lalu segera menjawab panggilan itu.

"Hallo ... Iya Siska, ini saya Raga, ada apa?" Amy dan aku tidak menghiraukannya. Tapi pandanganku akhirnya terpaku pada ayahku saat dia mendengarkan ucapan sekertaris kantor miliknya itu sambil menatap mataku dengan pandangan 'penyesalan'.

"Sudahlah gak usah mikirin aku, urus aja perusahaan ayah." ucapku sinis menatap pria berkulit putih itu.

"Mohon tunggu sebentar." ucap ayah pada sekertaris yang menelponnya itu. "Nggak bang, ayah janji besok kita bisa pergi kok." lanjutnya berusaha meyakinkanku sambil menutup mike pada ponselnya menggunakan telapak tangan.

"Terserah ajalah." ucapku singkat sambil pergi beranjak dari kursi.

"Abang tunggu, susu abang belum diminum!" ucap Amy si rambut galing, ikal namun panjang sebahu itu.

"Minum aja, Amy." jawabku.

"Amy ayo, kita berangkat." ucapan ayah masih terdengar jelas karena aku belum terlalu jauh dari mereka.

BUGG

Aku banting pintu mobil Lexus hitam milik ayahku ini dan cepat-cepat duduk di bangku belakang.

"Jalan pak!" ucapku pada sopir pribadiku.

"Baik den, tapi gak nunggu non Amy dulu?" tanyanya padaku.

"Gak usah pak, nanti juga dia bareng ayah." ucapku pada pak Hasan pria botak plontos dihadapanku.

"Hasan! Hasan! Tunggu." ayahku datang menghampiri Pak Hasan dengan tergesa-gesa.

Aku memasang Earphone ku lalu memutar musik dengan volume yang cukup keras.

Entah apa yang mereka bicarakan tapi aku dapat melihat ayah yang mulai memasuki mobil sedangkan pak Hasan masih berdiri di depan gerbang. Sepertinya kali ini aku dan Amy akan diantar oleh ayah.

Amy terlihat masuk dan duduk di bangku depan dengan ayahku.
Dalam perjalanan itu aku tetap mendengarkan musik sambil menatap keluar jendela hanya berusaha untuk tidak melihat wajah ayahku.

Aku melhat banyak sekali burung-burung berterbangan ke arah utara. Pemandangan yang biasa aku temui, namun aku merasakan sesuatu yang aneh.
Burung itu sangat banyak, mereka terbang seperti menghindari hal yang mereka takuti.

Lamunanku tersadar oleh Amy yang menarik aerphone milikku dan karena ulahnya itu rambut gondrongku ini tertarik olehnya.

"Aww! Sakit dek!"

"Lagian kakak! Aku dari tadi manggil-manggil tapi kakak gak nyaut!" ucap Amy padaku.

"Apaan sih! Ganggu aja!" ucapku kasar.

"Fatih, jangan kasar kaya gitu sama ade kamu, baru aja tadi kalian akur!" ucap ayahku dengan pandangan yang fokus pada jalan raya, nadanya datar berusaha membuatku tidak tersinggung.

"Hmm ..." aku mendengus kasar.

"Oh ya, jadi abang mau kemana besok?" tanya ayahku lagi.

"Bang! Kita ke Sukabumi yah! Ke pelabuhan ratu, Amy belum pernah kesana, kata abang pantainya indah, kan?" ucapan Amy buatku lagi-lagi mengingat  hal yang sama sekali tidak ingin aku ingat lagi.

"Pantai? Tuh liat, Ancol juga pantai!" ucapku sinis sembil menggulung kabel earphone milikku yang dipakai sesaat yang lalu. Lalu aku memasukannya kedalam ransel yang kutaruh disampingku.

Ayahku terdiam mendengar ucapan Amy, aku tahu dia berfikiran hal yang sama denganku.

"Abang ... Mau ke Sukabumi?" ucapannya terdengar kaku dan sangat terlihat ragu. Ayahku bahkan tidak berani menatapku melalui kaca spion yang ada di hadapannya.

"Sudahlah, aku cuma pingin diem di rumah aja!" jawabku enteng dan malas.

"Yaa ... Ko macet lagi sih yah?" Amy terlihat khawatir dia akan telat masuk sekolah, dia memang anak yang rajin dan pintar tidak heran jika dia selalu menjadi juara kelas.

"Namanya juga Jakarta, sayang." ucap ayahku. "Sabar ya, gak akan telat kok." lanjutnya.

Mobil kami terjebak di perempatan jalan yang sesak oleh kendaraan.
Aku merasakan tanah bergetar dan terasa seperti ada sebuah mobil tanker yang berjalan di samping mobil kami.
Makin lama getaran tanah itu semakin kencang.

"Ayah ada apa ini?" rengek Amy.

"Ini gempa!" ucap ayahku panik.

Aku melihat sekitar, semuanya nampak bergoyang bahkan aku melihat kaca-kaca gedung mulai pecah.
Gempa ini sangat hebat dan terasa seolah kami berada di pusat gempa itu.

"Amy pindah duduk di samping bang Fatih!!" suara ayahku semakin terdengar panik saat gempa yang kami rasakan semakin besar dan tak kunjung berhenti.

Jalanan yang ada di sampingku terlihat retak memanjang dan terus bertambah panjang di sepanjang jalur ini.

"Aaaaaaaa!!!!" wajah Amy pucat dia duduk jongkok di bawah jok sambil menutup kuping dan terus berteriak ketakutan.

Semua orang berlarian dan tidak sedikit orang yang keluar dari mobil mereka untuk menyelamatkan nyawa mereka masing-masing.
Aku memegang gagang pintu mobil ini dan berusaha untuk keluar.

"Fatih! Jangan keluar! Disini tempat terbuka, kita lebih aman kalau tetap ada didalam mobil!"

Aku memandang ke arah belakang melalui jendela belakang, samar-samar aku mendengar dari kejauhan gemuruh suara yang seram terdengar saat gempa bumi mulai berhenti.

WOOONNG

Suara klakson mobil truk besar itu mengganggu pendengaranku dan menutupi gemuruh suara yang ku dengar. Mobil itu melaju dengan cepat, aku bertanya-tanya apa yang terjadi dengan mobil itu, jaraknya semakin mendekat pada mobil yang berada di barisan paling belakang tapi mobil itu terlihat tidak sedikitpun mengurangi kecepatannya.
Amy ikut melihat apa yang terjadi di belakang sini.

DUUMM

"AYAHHH!!!" Aku dan Amy berteriak histeris saat melihat tabrakan beruntun terjadi di belakang kami.
Ayahku yang terkejut melihat peristiwa ini sepertinya sudah sangat terlambat untuk menyelamatkan kami.

Mobil itu terus melaju kencang meremukkan mobil-mobil yang berada dibelakang kami.
Riuh suara benturan benda keras dan berbagai bunyi klakson mobil terdengar begitu menyeramkan bagiku terlebih burung-burung aneh lagi-lagi terlihat berterbangan searah dengan datangnya mobil truk itu.

Teriakan semua orang yang ketakutan memekakkan telingaku dengan perasaan yang teramat takut dan panik.

DUUMM
DUUMM

Mobil-mobil yang berada di sisi kiri kanan dan belakang kami mulai menabraki mobil yang kami kendarai.

"Fatih! Ayo bawa Amy keluar!!" teriak ayahku sembari berusaha membuka pintu mobil.

DUUUMM
BBRRAAKKK

"Ayaaahh!!! Teriak Amy saat melihat ayah kami dihantam oleh mobil dari arah luar sesaat sebelum dia membuka pintu.

Sebuah mobil menabrak sisi mobil kami hingga membuat ayahku terpental dengan kondisi mobil yang hampir hancur bahkan mobil kami kini hampir terbalik.

Amy hanya bisa menangis sembari memeluk tubuhku dengan Erat sebelum kami berdua terjerembak karena benturan tadi.
Aku melihat ayah dan adikku tidak sadarkan diri akibat benturan itu.

Aku melihat kesekitar dan aku melihat mobil truk tadi berada disisi mobil kami yang setengah terguling.

Gempa bumi itu benar-benar sudah berhenti saat ini. Aku mencoba mencari jalan agar bisa keluar, semua orang terdengar mendatangi kami tapi aku tahu mereka tidak akan bisa meraih kami yang berada di tumpukan mobil paling bawah.

"Tolong!! Tolong!!"

"Tolong kami!!" aku berharap semua orang mendengar teriakanku.

"Amy!! Bangun Amy!!" aku memandang adikku yang terlihat berlumuran darah yang keluar dari keningnya.

"Ayah bangun yah!!" Ayah!!" tuhan, tolong kami! Aku tidak bisa mengatakan bagaimana perasaanku sekarang, aku tidak ingin mati disini.

Aku tidak mau Amy mati! Dan ayah ... Aku melihatnya terluka cukup parah, lalu entah kenapa mataku terasa lembab melihatnya seperti itu.

"Toloong!! Siapa saja tolong kami!" aku menghapus air mata yang keluar dan membasahi pipiku.
Aku sangat takut, aku sangat takut!!!

Ayahku terlihat mulai bergerak, dia siuman!

"Ayah!!"

"Eeuuh ... Fatih?" ayahku meringis karena luka dikepalnya cukup parah.

"Abang baik-baik saja bang?" dengan cepat dia berusaha beranjak dan memelukku erat.

"Amy!! Amy!! Bangun sayang!!"

"Hhuuuuaaaa!! Ayahh!! Sakitt!" Saat Amy sadar dia menangis begitu keras merasakan luka di keningnya.

"Tenang sayang tenang, kamu gak akan kenapa-kenapa!" ucap ayahku menenangkan Amy.

"Apa ada yang selamat disana?" teriakan bapak-bapak dewasa terdengar.

Spontan aku meminta tolong padanya.

"Tolong! Tolong kami!!" teriakanku.

"Tolong! Saya selamat sama kedua anak saya!"

"Jangan banyak bergerak dulu pak! Kami akan cari bantuan, badan mobik bapak terjepit!"

"Amy! Kamu denger kan? Kita pasti selamat Amy!" aku sangat sedih melihat kondisi adikku, aku bahkan tidak berani memeluknya aku tidakk mau melukainya saat aku tidak sengaja menyentuh lukanya.

Tiba-tiba getaran itu terasa lagi, sekarang gempa itu semakin kencang hingga membuat mobil yang ada di atas mobil kami bergeser dan membuat Amy kembali histeris.

KREEEKK

BRUUGG

"Aaaaaaa!!!"

"Fatih awas!"

BUGG

Mobil itu mengantam kap mobil kami dan hampir melukaiku karena kepalaku bisa saja terkena benturan mobil itu.

Suara gemuruh ombak terdengar dari kejauhan.
Tapi tunggu, pantai masih beberapa kilo meter di belakang kami, lalu suara gemuruh apa ini?!

Rasa penasaranku terjawab oleh teriakan dan ratusan langkah kaki yang berlarian menyelamatkan diri.

"Tsunami!!!!"

"Ayahhhh!!!!!" aku dan adikku berteriak sekeras mungkin melepaskan ketakutanku.

NGUUING
NGUUING
NGUUING

Suara sirine tanda Tsunami terdengar tapi suara itu membuatku menjadi semakin takut.
Entahlah mungkin ini terakhir kalinya aku berteriak, mungkin aku tidak akan sempat memperbaiki hubunganku dengan ayah.

Ombak yang sangat besar  dan tinggi mulai menutupi cahaya matahari dan membuat ketakutanku semakin mencekam.
Ayah masih terlihat berusaha menendang kaca depan mobil meski usahanya sia-sia.

Kami bertiga pasrah pada tuhan jika hari ini kami tidak akan bisa menatap lagi cahaya matahari, hijaunya pepohonan rindang dan khususnya aku yang memohon maaf pada ayah atas kebencianku padanya lalu memperbaiki hubunganku dengannya.

BBUUAAAARRR

Kaca mobil kami pecah namun bukan oleh tendangan ayah, melainkan dihantam oleh ombak itu yang membawa benda-benda berat didalamnya. Aku masih bisa melihatnya  karena kesadaranku masih terjaga.
Aku dapat merasakan jika mobilku terbawa arus.
Ayah! Amy! Aku sayang kali ~

***

POV Author

"Sial!" Rutuk Raga yang masih tetap berusaha melepaskan kaca mobil miliknya dari bingkai body mobil. Meski salah satu kaca samping mobil sudah pecah dihantam oleh ombak namun Raga tahu jika dia tidak bisa keluar melewati kaca samping yang ukurannya terlalu kecil untuk tubuhnya.

Air mulai memenuhi kabin mobilnya, Raga yang melihat fatih dan Amy sudah tidak sadarkan diri dengan cepat menggulung jas yang ia gunakan pada tangannya sampai membentuk sebuah sarung tangan tinju.

BUUGG

"Aarrghh!" Pria itu mengerang karena usahanya memukul kaca mobil itu sia-sia, mobil yang dia tumpangi semakin berguling dengan cepat digulung ombak tsunami yang sudah setinggi 30 meter.

Tidak pasrah begitu saja, Raga lagi-lagi mencoba menendang kaca dan ternyata kali ini dia berhasil.
Dengan cepat meski sudah beberapa kali menelan air lumpur Raga membawa kedua anaknya ke permukaan.

Mereka berhasil menuju permukaan namun tetap amukan tsunami yang sangat dasyat berkali-kali menenggelamkan mereka hingga Raga terlihat sudah tidak sadarkan diri, mereka bertiga tersangkut pada pagar besi yang cukup tinggi, besi penjaga yang biasa berada di gedung parkir mobil.



***

POV Fatih

Beberapa jam kemudian.

"Uhuk ... Uhukk!"
Dimana aku? Rasanya sakit sekali. Aku sesak, kepalaku terasa sangat sakit.
Suasana disini hening, dingin dan sangat gelap.

Apa aku sudah mati? Bagaimana keadaan Amy? Apa ayah masih hidup?
Pandanganku mulai bisa melihat dengan jelas.
Aku berada di sebuah reruntuhan gedung, semua terlihat hancur tidak ada lagi tanda kehidupan, badanku kotor dan dipenuhi oleh lumpur! Dadaku sakit mungkin lumpur ini masuk kedalam paru-paruku.

"Aaarrghhh!!" kakiku sakit sekali, kakiku tertancap besi.
Aku harus cabut besi ini!

Aaarrrrrgghh!! Meskipun tidak nembus kakiku tapi rasanya sangat sakit.
Aku harus bagaimana?

"Tolong!!! Ada orang disini?" teriakku.

Sepertinya tidak ada siapapun dan ~

Oh tidak! Ratusan mayat tergeletak dimana-mana, air mataku mengalir dengan cepat, jantungku ... jantungku berdetak sangat cepat, aku takut! Kakiku lemas badanku bahkan tidak bisa memaksaku untuk beranjak.
Tapi aku harus melakukannya.

Aku memegang besi yang menancap di kakiku.
Bahkan cuma memegangnya saja aku sudah merasa kesakitan.
Ayah! Tolong aku ayah! Amy! aku harus mencabutnya!

"Hhhhuuuuaaaaaaaaaaa!!!" sakit!! Tapi aku berhasil mencabutnya dan kakiku mengeluarkan banyak sekali darah. Aku meraih selembar kain yang menggantung di hadapanku lalu mengikat kakiku dengan kuat.

Tidak menunggu lama aku mulai berjalan menyusuri kota yang sepertinya sudah tidak memiliki kehidupan ini.

Aku melihat ada bapak-bapak tua duduk membungkuk di dekatku, aku dekati dia, tampangnya kacau lumpur diseluruh tubuhnya membuatku takut, aku mengusap lumpur yang ada di wajahku agar bisa melihat dengan jelas.

"Om!" tanyaku, tapi bapak itu tidak menjawab.

"Om, apa om baik-baik aja?" masih tidak ditanggapi olehnya, aku sedikit nyentuh tubuhnya namun *Braakk dia jatuh.
Dia sudah mati! Seketika aku melihat ke sekitar dan astaga lagi-lagi ratusan mayat berserakan dimana-mana.

"Amy! Ayah!"

Tiba-tiba aku menhingat mereka, apa mereka ada di salah satu mayat-mayat ini? Jangan! Jangan sampai semua itu terjadi! Aku harus mencari mereka apapun kondisi mereka nantinya.

Aku mulai berjalan mencari adik dan ayahku.
Ratusan bahkan ribuan mayatlah yang menjadi temanku saat berjalan.
Aku bukan bocah pemberani tapi aku harus mencari adik dan ayahku.

Aku harus terus berharap tanpa henti semoga mereka berdua selamat dan masih hidup.

Entah sudah berapa lama aku berjalan dan tak tahu berapa ratus mayat yang sudah aku periksa memastikan salah satu diantara mereka bukan ayahku atau Amy.

Aku masih bisa mengingat rupa mereka, bahkan pakaian terakhir yang ayah atau adikku pakai.

Aku merangkak di atas reruntuhan gedung karena sudah tidak ada lagi jalan untuk aku berjalan.
Saat itu pun samar-samar aku mendengar suara orang nangis meskipun hanya terdengar samar.

Aku takut, apa itu suara hantu? Karena disini sangat menyeramkan tidak ada satupun lampu yang menerangi kota ini dan lagi banyak sekali mayat-mayat di sini. A-aku, aku tidak mau mendenger suara seperti itu.

Aku berlari meski aku harus menahan sakit di kakiku.

"Ayah, Amy!! Dimana kalian?"
Aku terus meneriakan kata-kata itu berharap seseorang bisa mendengarku.

Aku duduk untuk sesaat, aku tidak bisa lagi menahan air mataku, aku takut! Aku tidak kuat lagi untuk berjalan! Rasanya sangat sakit.
Tuhan! Tolong aku!

Aku memeluk kedua lututku saat aku duduk, lagi-lagi suara tangisan itu terdengar jelas.
Aku menutup telingaku menyoba mengusir suara yang terdengar seram itu.

"Tidaaakkkk!! Pergi!! Aku mohon!!"

Dalam teriakanku itu tiba-tiba aku mendengar suara bisikan mendiang bunda.

"Abang, abang itu pemberani! Abang harus kuat! Mungkin aja kan yang nangis itu dek Amy."

Akankah itu? Apa suara itu emang suara Amy?
Sambil tertatih aku berjalan menghampiri asal suara itu. Aku harus merangkak dan manjat bebatuan reruntuhan gedung-gedung ini.

"Amy!! Ayah!!"
Saat aku berteriak suara tangisan itu berhenti lalu aku mendengar sesuatu.
Dan suara itu, suara itu!! Apakah perasaanku benar?

Aku langsung berlari terpincang-pincang, aku menemukan jalan yang masih bisa aku lalui.

"Amy!!" aku berteriak memastikan dia memang Amy.

"Abang!!" suara itu memang Amy! Aku bisa melihat dia, aku berhasil menemukan Amy.

Badan Amy penuh dengan lumpur, aku sempat tidak ngenalin dia.
Aku langsung meluk adikku aku menangis, aku menjerit pada tuhan, terimakasih tuhan! Adikku masih selamat.

"Abang, tapi ayah!!" ayah? Apa ayahku masih hidup?

"Ayah? Dimana dek?" tanyaku.

"Bang." suara lirih aku dengar di sisiku. Saat aku lihat ternyata itu adalah ayahku!

"Ayah!!" aku menangis lagi di pelukan ayah, dia terbaring tidak bisa bergerak, bongkahan reruntuhan gedung yang sangat besar menindih kedua kaki ayah.

Aku tidak bisa menahan rasa sedihku saat melihat kondisi ayah seperti ini!
Raut wajah ayah terlihat pucat, meski penuh dengan lumpur aku masih bisa melihatnya menderita, di badannya terlihat banyak sekali luka.

"Amy, ayo bantu abang angkat batu ini!" aku mencoba mengangkat reruntuhan itu tapi tidak berhasil.

"Aku gak kuat bang! Huuft." Amy bahkan masih berusaha membantuku meski sesekali dia mengeluh dan merengek, tapi reruntuhan ini emang tidak bergerak sedikitpun.

"Bang udah bang!" ucap ayah.

"Gak yah, abang gak mau ayah kayak gini, abang mau ajak ayah pulang, nanti abang mau tagih janji ayah buat ajak abang ke Sukabumi yah, ayoo abang mau ko yah!" ucapku sambil menangis karena menyesal dengan apa yang sudah aku lakukan.

"Lebih baik abang bawa adek pergi, gak apa-apa ayah disini saja. Ayah udah gak bisa berbuat apa-apa lagi bang!"

"Gak! Amy gak mau kemana-mana kalo gak sma ayah!!!" adikku menangis dipelukan ayah.

"Amy sayang, ayah udah gak bisa bergerak, mendingan Amy antar abang cari bantuan." ucap ayahku sambil menitikan airmata.

"Udah yah udah!! Jangan ngomong sembarangan! Kalo ayah gak keluar dari reruntuhan ini ayah gak akan selamat, gimana kalo ada gempa lagi? Gimana kalo ayah kehabisan darah, gimana kalo~" aku merengek aku menangis karena aku tidak mau ayahku mati.

"Abang gak mau ninggalin ayah!!!!" teriaku sambil memukul-mukul dada ayahku.

"Jadi abang sama adek beneran gak mau ninggalin ayah?" tanya ayahku sambil mengusap kedua pipi kami yang bercucuran air mata.

Kondisi ayah semakin buruk, kakinya sudah sangat banyak mengeluarkan darah.

"Bang, apa abang pemberani?" tanya ayah dan hal itu sangat terasa aneh untukku yang entah kenapa firasatku buruk dengan pertanyaan ayah.

"Bang? Jawab ayah!" aku diam sedangkan Amy masih nangis dalam pelukan ayah.

"Iya yah, kata mendiang mamah juga kan abang emang pemberani ... Hihi." jawabku sambil mengusap air mataku dan sedikit memberi senyuman pada ayah.

"Apa abang inget atau masih bisa ngenalin tempat ini? Dulu abang sama ayah beli cat buat sangkar burung punya abang."

Mendengar hal itu aku langsung melihat ke sekitar dan ya, aku masih mengenali tempat ini walaupun sudah tidak berbentuk sama sekali tapi aku tau tempat ini karena ada beberapa bagian gedung yang masih nampak jelas terutama papan nama toko ini yang sedikit tersisa.

"Iya abang ingat yah!"

"Coba sekarang abang carikan ayah gergaji buat motong besi ini ya! Biar abang lebih gampang ngangkat reruntuhan yang nimpa ayah." ucap ayahku sambil menunjuk ke arah beberapa besi berkarat yang jika dilihat, reruntuhan ini memang terhalang oleh besi hingga aku sulit menggerakan reruntuhan ini.

"Baik yah ... Amy, kamu jaga ayah!" ucapku.

"Iya bang, Amy akan jaga ayah bang." jawab Amy.



***


POV Ayah

Aku sayang kalian, cuma kalian yang aku punya, malaikat-malaikat kecilku.
Aku harus berjuang agar bisa keluar dari tempat ini, aku makin banyak kehilangan darah, aku takut aku tidak bisa bertahan lebih lama.
Semoga Fatih cepat kembali dan semoga juga apa yang aku fikirkan bisa membawa kami bertiga keluar dari sini.

"Amy sayang?" aku tidak mampuh melihat putriku sangat sedih seperti ini.

"Hikks hikkss."

"Udahlah, jangan nangis sayang, ayah janji ayah bakalan selamat sama kalian berdua."

Doakan saja ayah mu ini putriku, dan apa kamu akan siap terima kenyataan yang akan terjadi? Aku tidak mau merusak jiwanya, dia masih terlalu kecil.

"Amy gak mau ayah kenapa-kenapa!" ucap amy padaku dengan tangisannya yang sangat haru.

"Ayah janji ayah gak akan kenapa-kenapa. Oh ya, Amy bisa tolong carikan ayah batang kayu?" ucapku sembil ngusap kepala anakku ini.

"Buat apa yah?" tanya Amy.

"Carikan aja dek, kalo ada sih yang seukuran dengan pergelangan tangan adek ya!" ucapku sambil memberinya sedikit senyuman dibalik rasa sakitku.

Maafkan ayah nak, tapi ayah harus melakukan ini.

"Baiklah yah." jawab Amy.

Air mataku menetes lagi saat melihat Amy kecilku berjalan mecari kayu untukku.
Aku takut jika permandangan ini adalah yang terakhir aku lihat.

"Ayah, Amy cuma dapet kayu ini, apa bisa?" Amy membawakan sebatang kayu yang sepertinya sudah dia bersihkan.

Siapkan diri dan jiwamu nak, siapkah hatimu pada apa yang akan kamu lihat?



***

POV Fatih

Aku berjalan dengan tergesa-gesa, hanya berusaha secepat mungkin menuju ayahku setelah aku mendapatkan dua buah gergaji besi.

"Ayah, abang nemu 2 gergaji." ucapku.

"Abang, adek Sini!" ucap ayah mengajak aku dan Amy duduk di dekatnya.

"Abang abang percaya kan sama ayah? Abang harus nurut sama apapun yang ayah suruh lakuin sekarang, itu pun kalo abang mau lihat ayah selamat."

Ucapan ayah membuatku menjadi bingung, aku tidak mengerti dan juga aku merasakan perasaan buruk dengan ini semua.

"Apapun akan abang lakuin yah! Asal ayah janji ayah gak akan kenapa-kenapa!" ucapku yang hanya ingin ayah selamat.

"Yaudah ayah pegang janji abang." ucap ayah. "Adek, kemarin waktu lomba nyanyi di sekolah, adek nyanyi lagu apa? Hmm tapi ... maaf ya ayah gak nonton pentasnya."

"G-gak apa-apa kok yah, A-amy ngerti ayah kerja buat Amy, hikks hikkss." adikku masih terlihat tersendu-sendu saat menjawab ucapan ayah.

"Adek nyanyi lagu apa sayang?"

"Amy nyanyi lagu yang judulnya 'Ayah', tadinya Amy nyanyi lagu itu buat ayah yang lagi duduk di depan panggung, tapi waktu itu ayah gak ada. Hmm ... Tapi gak apa-apa kok yah, Amy ngerti."

"Sayang, kalo sekarang ayah minta adek nyanyi lagu itu buat ayah boleh?" pemandangan yang aku lihat semakin membuatku sedih terlebih mata ayah sudah mulai berkaca-kaca, juga suara ayah yang semakin parau.

"Boleh yah, Amy mau nyanyi buat ayah." jawab adikku.

"Tapi ada satu syarat, adek nyanyinya ngadep ke arah mesjid itu." ayahku menunjuk sebuah kubah mesjid yang sangat jauh sampai akupun hanya bisa melihat ujung kubahnya saja.

"Adek jangan pernah nengok ke arah belakang apapun yang adek dengar, bisa? Kalo ade bisa, ayah akan kasih hadiah ziarah ke makam bunda di Sukabumi." ucap ayahku meyakinkan adikku agar mau menepati persyaratan yang ayah buat.

"Iya Amy bisa yah, tapi kenapa Amy gak boleh nengok ke belakang, kan berarti Amy gak bisa liat wajah ayah?" perkataan adikku membuatku berfikir pada hal buruk. Apa benar yang aku fikirkan ini?

"Ayah cuma pengen dengerin suara adek aja sayang, bisa kan? Pokoknya apapun yang adek dengar adek gak boleh nengok!"

"Yaudah Amy janji yah." jawab Amy.

"Sekarang adek duduk di atas bebatuan itu, nanti kalo ayah bilang mulai adek langsung nyanyi ya!" ucap ayahku menunjuk sebuah gundukan reruntuhan dan adikku langsung berjalan ke gundukan itu.

"Abang, abang harus berani apapun yang ayah suruh!" ucap ayah sambil ngusap pipiku.

"Memangnya ada apa yah? Dari pada banyak ngomong lebih baik abang mulai aja gergaji besi-be~"

"Kaki!"

Aku terdiam mematung mendengar kata itu, aku tidak bisa berfikir, air mataku menetes lagi, aku ingin teriak!
Apa yang aku fikirkan ternyata memang benar, aku harus memotong kaki ayah!

BRAAK

Tangan aku tiba-tiba lemas, gerhaji besi yang aku pegangpun jatuh.

"Bang? Abang udah janji loh sama ayah!" senyuman itu, aku tahu senyuman itu hanya dibuat-buat.

"A-apa yah? Ab-bang gak mau yah! Abang gak mau!!!!" jantungku berdegup kencang, tubuhku bergemetar merasa takut dan juga ngeri.

"Bang, abang lebih pilih mana, antara kehilangan kedua kaki ayah tapi kita selamat, atau abang gak berani nolong ayah dan biarin ayah meninggal di sini gak berhenti kehilangan banyak darah sampai abang nemuin orang buat selametin ayah?"

Tidak, aku tidak bisa melakukan apa yang ayah minta, aku hanya bisa menangis aku tidak mau melakukan hal itu, aku tidak mau!!!

"Ayah gak bisa ngelakuinnya sendiri bang, kedua tangan ayah sangat sakit dan kaku bang, cuma abang harapan ayah!"

Tapi aku tahu, jika aku tetap tidak mau melakukan apa yang ayah bilang itu sama saja aku membiarkan ayah menderita di tempat ini.
Tapi aku tidak sanggup! Aku takut! Apa ayah tidak sadar jika aku hanya bocah ingusan yang durhaka padanya.

"T-tapi ayah ja-janji ayah akan selamat?" tanya ku sambil menangis.

"Ayah janji!" jawab ayahku dibalik senyum palsunya.

"Aba-ng janji a-abang gak akan nakal lagi yah! Maafin abang selama ini yah! Abang tau bunda meninggal bukan karena ayah, ma-maafin abang udah benci sama a-ayah pa-padahal ayah gak salah sama kecelakaan yang bikin bunda meninggal!"

Semua hal yang mengganjal di dalam hatiku akhirnya keluar dari mulutku, aku malu, aku takut, aku bodoh!

"Udah bang udah! Ayah ngerti perasaan abang, lebih baik sekarang abang mulai lakuin tugas abang sebelum telat."

Ayahku mandangku sambil memberikan gergaji yang sempat aku jatuhkan.

"Aku takut yah." aku berusaha untuk tidak meneteskan air mata.

"Oh ya bang, kalo kaki ayah udah putus ikat kedua ujung kaki ayah pake tali tambang itu, abang harus ikat kaki ayah kuat-kuat! Biar ayah gak kehilangan banyak darah kayak sekarang! Udah itu, abang pergi ke mesjid yang lagi dipandang sama adek, abang gak perlu khawatir, meski pingsan tapi ayah akan selamat asalkan kaki ayah udah diikat, tinggalin aja ayah disini!" ucap ayahku.

Aku tidak yakin aku bisa melakukan ini! Aku tahu rasanya pasti sangat sakit saat aku mulai menggergaji kaki ayah, dan lagi aku hanya bocah ingusan. Tenagaku untuk menggergaji kaki ayahpun tidak akan sekuat orang tua! Apa ayah bisa bertahan, aku ... Aku sama saja dengan menyiksa ayah! Tuhan! Aku harus bagimana tuhan!

Aku harus kuat! Aku harus berani! Aku harus bisa demi ayah! Tapi aku juga tidak bisa berbohong jika aku takut.

"Hmm ... Aku ngerti yah!" jawabku mencoba tenang.

Ayahku mengangguk sesaat setelah aku menjawab titahnya.
Tanganku bergemetar saat aku harus mau tidak mau menggergaji kaki ayah sendiri.

Tanganku belum sedikitpun mengoreskan satu goresan pada kaki ayahku.
Aku berusaha meyakinkan hatiku.

"Abang! Mulai gergaji saat ayah udah gigit batang pohon ini ya bang!" kata ayah. "Adek! Mulai aja sekarang nyanyinya!" teriak ayahku.

Aku memandang lekat pada ayahku, aku melihat pria yang sempat aku benci itu sudah menggigit batang kayu untuk menahan rasa sakit yang akan dia terima.

"Dimana, akan ku cari, aku menangis seorang diri ~" alunan nyanyian adikku mulai terdengar, suara Amy sangat merdu bagaikan bidadari kecil.

Mata ayah terlihat berlinang air mata lalu dia menganggukan kepalanya, dan itu adalah tanda agar aku mulai menggergaji kaki ayah.

"Bunda! Kasih abang kekuatan bun! Dan ayah, maafin abang yah pasti ini bakalan sakit!" bisiku dalam hati lalu aku berteriak didalam hati saat mulai memotong kaki ayah. "AYAH HARUS BERJUANG!!!"

"AAAAARRRGGGGG!!!" aku berteriak sekeras mungkin saat aku mulai menggergaji kaki ayahku.
Darahnya menyembur membasahi wajahku, aku tidak mampuh melihat apa yang sedang aku gergaji.

Teriakanku disambut oleh teriakan ayah yang terdengar sangat kesakitan.

"AAAAARRRGGGGG!!! HHHHUUUAAAAAA!!!"

Terikannya membuat aku tidak berhenti nangis dan ikut berteriak dengan ayah.

Aku masih mampuh mendengar nyanyian Amy diantara teriakan kami, nyanyiannya semakin lama semakin terdengar kencang. Aku tahu dia pasti berusaha untuk tidak mendengar teriakan kami dengan cara nutup telinganya dan juga mengeraskan suara nyanyiannya.

"Untuk ayah tercinta a-aku i-ingin bernyanyi~"

Suara adikku mulai terdengar kacau dia bernyanyi sambil menangis.
Aku terus berteriak tak henti begitupun dengan tangisanku.
Tangan ayah terlihat berusaha mencengkram apapun yang ada di dekat tangannya.
Aku tidak berani mengurangi kekuatanku meski sekarang aku sudah merasa letih karena sepertinya aku mulai menggergaji tulang pada kaki ayah.
Jika aku berhenti menggergaji, hal itu pasti membuat ayah semakin merasa kesakitan.

Teriakan ayah semakin kencang, bahkan kayu yang ia gigit sudah nampak seolah gigi ayah menusuk kedalam kayu itu.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya.

Teriakan demi teriakan meraung-raung di hamparan reruntuhan bangunan dan dinginnya malam.
Entah sudah berapa lama aku menggergaji kaki ayah dan berapa kali Amy menyanyikan lagunya. Namun kedua kaki ayah sudah berhasil aku potong dan ayah terlihat pingsan setelah berjuang menahan rasa sakit yang dia rasakan.

Amy berlari menghampiri kami dia nampak menangis, entah akan seperti apa dia setelah melalui semua hal ini.
Mungkin jiwa Amy akan terganggu dan ngalamin trauma mendalam.
Karena akupun tidak akan pernah bisa melupakan hal ini sampai kapanpun.

Aku membiarkan Amy lepaskan semua perasaan dan ketakutannya dengan memeluk ayah yang tengah pingsan setelah memarahiku dengan berbagai makian karena dia tahu jika akulah yang menggergaji kedua kaki ayah.

Tidak jauh dari lokasi kami, aku melihat sebuah gerobak sampah yang sudah setengah hancur bahkan rodanya tak lagi berbentuk bulat, tapi semoga benda itu bisa bawa ayah ke masjid yang dimaksud oleh ayah.

Aku dan Amy berusaha mengangkat tubuh ayahku menaiki gerobak itu setelah aku mendorong gerobak itu mendekat.
Dengan segera aku menarik grobak ini melewati reruntuhan gedung dengan bersusah payah.

Seolah air mataku tak ada habisnya, aku terus menangis selama perjalanan begitupun dengan Amy yang berjalan disisiku.

Aku memintanya menyanyikan lagu yang dinyanyikannya tadi hanya berusaha melampiaskan kesedihan kami. Akupun ikut bernyanyi bersama Amy.

Sudah lelah rasanya aku menarik gerobak ini, tapi aku tidak mau berhenti sebelum ada orang yang membantuku.

Aku cuma bisa berharap semoga ayah baik-baik saja.
Aku capek, kakiku sudah tidak kuat lagi karena luka di kakiku semakin sakit.

BRRUGG

"Abang! Abang gak apa-apa?" tanya adikku sambil merangkulku.

"Gak apa-apa dek!" jawabku singkat, aku tidak ingin mengecewakan Amy. Aku berusaha bangkit lagi tapi aku kembali jatuh.

"Biar Amy aja yang bawa grobaknya bang!" ucap Amy sambil menangis melihat lukaku yang sekarang bertambah parah dengan keluarnya darah dari luka itu meski sudah aku balut dengan kain.

"Gak apa-apa Amy sayang, abang masih bisa." aku kembali menarik gerobak ini perlahan.

Tidak lama kami berjalan, aku melihat sebuah cahaya lampu yang semoga disana masih ada orang-orang yang selamat.
Benar saja, aku melihat seorang pria dewasa berdiri sambil menyorotkan lampu senternya padaku.

"Ada yang selamat!" aku mendengar suara bapak-bapak itu berteriak.

Dengan segera bapak-bapak itu terlihat berlari menghampiriku dan diikuti dengan beberapa orang lainnya.

Pandanganku mulai terlihat kabur tubuhku lemas, kakiku sudah sangat sakit untuk digerakan, semua yang terlihat menjadi samar dan gelap.

"Abang!! Abang kenapa ba~"


***


6 bulan kemudian.

Guyuran air dari dalam botol menyirami tanah gembur dengan kedua papan yang terukir indah nama sosok yang paling kami cintai.
Taburan bunga tercium wangi diatas gundukan tanah ini. Aku dengan Amy bergantian mencium papan itu.
Papan yang bertuliskan nama bidadari cantik yang tak akan pernah kami lupakan.

"Ayo yah! Amy yang dorong kursi roda ayahnya ya bang!" ucap Amy adikku yang kembali ceria setelah mengalami masa trauma yang cukup lama.

"Ya terserah kamu aja! Oh ya ayah! Ayah masih bisa main game kan?" tanyaku pada ayah sambil berjalan meninggalkan makam bunda.

"Bisa dong! Abang nantang ayah?" tanya ayahku yang kini duduk dikursi roda karena kehilangan kedua kakinya.

"Siapa takut! Kalo ayah kalah ayah harus traktir abang sama adek ice cream!" ucapku.

"Asikk!! Abang harus menang ya lawan Ayah! Biar Amy bisa makan ice cream!" sambar Amy sambil tersenyum lebar.

"Kalo ayah yang menang?" tanya ayah sambil menatapku.

"Hmm ... Traktir abang sama ade pizza hut! Hahahaha."

"Yah abang! Amy jadi pengen keduanya!" ucap Amy sambil menyikutku.

"Hahaha kalian ini!" ayah tertawa kecil melihat tingkah kami, mulai saat ini hidup kami berubah. Semua menjadi lebih baik meski tidak sempurna, semua kembali menjadi dirinya masing-masing. Bahagia bersama.

The End.


Terimakasih, sudah membaca cerita ini.
Jangan lupa tinggalkan jejak untuk memberikan kami anggota WATN semangat untuk terus berkarya.

Salam,
We are the Noble.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top