BAB 9


~***~

Nazwa menoleh. Pintu kamarnya baru saja dibuka dari arah luar. Sempat melirik sahabatnya Jully sebentar sebelum ia menenggelamkan kembali kepalanya pada kedua lututnya.

Jully menghela nafas melihat apa yang sahabatnya lakukan beberapa hari terakhir ini. Hanya melamun di dekat jendela sambil memeluk kedua lututnya. Benar-benar memprihatinkan.

"Sampai kapan lo mau di sana terus? Lo tahu lo lebih mirip burung hantu yang merindukan bulan tahu." cibir Jully sambil menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menyimpan kantong kresek berisi buah-buahan pada meja yang berada di samping tempat tidur Nazwa.

"Lo bawa apa?" tanya Nazwa melirik apa yang dibawa sahabatnya sekilas lalu mengarahkan pandangannnya keluar jendela lagi.

"Gue bawa buah-buahan. Kasian gue sama lo baru tiga hari badan lo udah kurus kering kayak gitu gimana kalau seminggu. Gue belum siap kehilangan sahabat kayak lo."

Nazwa mendecih kemudian tertawa kecil. "Gue gak sememprihatinkan itu juga kali." Nazwa menjeda kalimatnya dengan senyumannya. "Gue baik-baik aja kok."

"Gak sememprihatinkan itu apanya?" Jully menempatkan kedua tangannya pada jendela. Menatap sahabatnya itu dengan tatapan seolah-olah mengatakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Mama lo tadi bilang kalau lo belum makan seharian ini. Dan sekarang gue lihat lo ngelamun di jendela kayak orang stress. Apa itu yang lo bilang lo baik-baik aja?"

"Gue cuma...cuma... akhir-akhir ini sering kepikiran Awan." ucap Nazwa pelan kemudian menundukkan kepalanya.

Jully terdiam. Mendengar nama Awan barusan. Ia menjadi merasa bersalah karena ia menyadari bahwa dirinya pun merasakan perasaan yang sama seperti yang Nazwa rasakan pada Awan.

"Gue takut Pak Jaja tahu kalau pelaku itu bukan gue tapi Awan. Gue takut terjadi sesuatu sama dia." Nazwa memejamkan matanya. "Kenapa mencintai laki-laki seperti Awan harus serumit ini?"

"Harusnya sejak awal gue udah yakin kalau perasaan lo sama Awan dan yang lainnya beda. Apalagi setelah lo berkorban buat Awan sampai kayak gini. Kenapa sih harus Awan? Kenapa harus cowok sedingin dan se-flat Awan yang lo suka? Kenapa bukan cowok lain? Naufall misalnya. Awan itu gak pernah mikirin lo, sedikitpun. Buktinya waktu itu Awan berantem sama Naufall gara-gara dia gak mau dibilang idiot karena lo lindungin dia. Percuma aja lo berkorban buat dia kalau dia masih gak peduli sama lo. Gue cuma mau lo tahu itu, Wa."

"Pliss... jangan buat gue menyesal udah ngelakuin ini semua buat Awan, Jully."

"Gue cuma lagi nyadarin lo kalau apa yang lo lakuin itu sia-sia. Dan perasaan lo sama Awan itu salah. Itu aja!"

"Ini perasaan gue. Dan apapun yang gue lakuin itu urusan gue. Gue mohon jangan ikut campur."

"Gue bukannya lagi ikut campur sama urusan lo. Gue cuma...."

Belum sempat Jully menyelesaikan kata-katanya Nazwa sudah lebih dulu berdiri dari tempatnya dan memotong apa yang Jully katakan padanya dengan amarahnya. "Terus kalau bukan ikut campur apa namanya. Lo nyuruh gue buat gak suka sama Awan dan bilang kalau pengorbanan gue itu sia-sia. Gue tahu sebenernya lo mau bilang kalau gue harus jauhin Awan 'kan? Gak semudah itu, lo harus tahu itu."

Jully berdiri mematung melihat Nazwa yang sudah mulai menangis sambil menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangannya. "Gue mohon jangan buat gue menyesal, Jully. Ini juga udah berat banget buat gue."

Jully menggerakkan tangannya untuk menyeka air matanya. Melihat sahabatnya yang menangis seperti itu membuat Jully pun tidak bisa menahan air matanya. Perlahan ia menggerakkan tubuhnya dan memeluk sahabatnya.

"Lo tahu gimana rasanya berkorban buat cowok yang bahkan gak tahu kalau lo suka banget sama dia? Apalagi sampai sekarang dia belum nemuin gue. Gue ngerasa jadi orang paling bodoh di dunia ini. Berkali-kali gue ingetin diri gue sendiri supaya gue gak nyeselin apa yang udah gue lakuin. Tapi, tetep aja ada. Ini susah banget buat gue, Jully."

"Gue sayang sama lo. Gue gak mau sahabat gue ngabisin waktunya buat berkorban buat cowok yang gak faham sama perasaannya. Lo berhak buat dapetin yang lebih dari seorang Awan."

"Yang kayak gimana? Apa ada cowok di dunia ini yang sama kayak Awan?"

"Gue gak minta lo buat lo nyari cowok yang sama kayak Awan. Gue minta lo buat nyari cowok yang lebih baik buat lo. Yang ngerti perasaan lo."

"Kalau gue gak mau?!" Nazwa mengangkat wajahnya dengan gerakan menantang. "Gak segampang yang lo pikir Jully."

"Oke. Tapi, kalau nanti terjadi apa-apa sama lo karena Awan, gue gak bakalan ikut campur karena yang terpenting gue udah memperingatkan elo yah."

~***~

"Lo semalem ke rumah Nazwa?" tanya Awan sambil menyenyajarkan langkahnya dengan Jully.

Jully hanya berdehem.

"Gimana keadaan dia? Dia baik-baik aja 'kan?"

Tiba-tiba Jully menghentikan langkahnya.

"Kabar dia baik 'kan?" tanya Awan lagi. Kali ini berdiri di hadapan Jully.

"Kenapa tanya sama gue?"

"Lo 'kan sahabatnya." jawab Awan simple.

"Kenapa lo temuin dia sendiri? Kenapa lo gak mastiin sendiri gimana keadaan dia sekarang kayak gimana?"

Awan terdiam beberapa saat.

"Lo pengecut tahu gak. Lo buat orang lain kena masalah karena elo." mata Jully menatapnya tajam.

"Gua cuma..."

"Cuma apa?!" potong Jully cepat. "Lo mau bilang kalau lo emang pengecut kayak yang gue bilang. Gitu?"

Awan menunduk. Jully benar mengatakan tentang dirinya yang pengecut. Ia mengakui hal itu.

"Lo bener." ujar Awan. Suaranya melemah. "Gue terlalu pengecut buat nemuin dia. Gue gak punya keberanian sama sekali buat nemuin dia."

Jully malah tertawa mendengarnya. "Bodohnya dia suka sama cowo pengecut kayak lo."

"Apa?" Awan meminta pengulangan. Apakah benar apa yang didengarnya barusan itu. Bahwa...

"Nazwa terlalu gak tahu apa-apa tentang cinta. Sialnya, saat dia jatuh cinta, dia jatuhin hatinya buat lo." Jully tersenyum miring. "Dan bodohnya, gue juga pernah kepikiran kalau gue juga suka sama lo."

Awan terdiam di tempatnya saat ini. Beberapa detik yang lalu Jully meninggalkannya. Menyisakan dirinya yang masih mematung disana.

Tiba-tiba saja ia merasa menjadi laki-laki paling tidak berguna di muka bumi ini. Ia merasa sangat jahat sekali pada Nazwa. Gadis itu di rumahnya menderita karena prilakunya dan juga karena hatinya.

~***~

Sama seperti malam sebelumnya Nazwa selalu duduk sambil memeluk lututnya di jendela kamarnya. Malam ini tidak secerah malam sebelumnya. Membuat hati Nazwa yang sudah kacau sejak lima hari yang lalu terasa lebih suram.

Pintu terbuka.

Nazwa menoleh sebentar lalu mengarahkan pandangannya keluar jendela lagi. Seperti biasa pula karena Nazwa tidak mau untuk turun ke ruang makan dan selalu menghindari papanya yang ia kira masih marah padanya. Mamanya itu akan datang ke kamarnya membawa nampan berisi makanan lalu meletakkannya pada meja di sebelah tempat tidur. Mama menghampirinya lalu memeluk Nazwa dari samping.

"Mama percaya sama aku 'kan?" Nazwa mendongak menatap mamanya.

"Mama percaya sama kamu. Kamu punya alasan kenapa kamu ngaku kalau itu perbuatan kamu." mama mengusap puncak kepalanya. "Apapun itu. Mama harap kamu gak akan ngulangin apa yang kamu lakukan sekarang."

"Makasih, ma. Maaf, aku terlalu dangkal buat mikir mana seharusnya aku lakukan dan apa yang seharusnya gak aku lakukan." Nazwa menyurukkan kepalanya pada dada mamanya merasakan kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Nazwa seneng kalau lagi sama mama. Buat aku ngerasa kalau aku balik lagi jadi anak kecil. Pelukan mama hangat." Nazwa terkekeh begitu juga dengan mama yang gemas sendiri dengan tingkah putri tunggalnya ini.

"Oh ya temen kamu ada di luar tuh." ucap mama sambil menatap pria yang sedang berdiri di bawah kamar putrinya.

Nazwa tersadar dan segera mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Nazwa sempat membeku. Melihat pria yang masih mengenakan seragam sekolah sedang melompat-lompat di bawah kamarnya. Memanggil-manggil namanya dan menyuruh Nazwa untuk menemuinya.

Nazwa masih tidak mempercayai siapa yang saat ini sedang berhadapan dengannya. Pria yang sebelumnya melompat-lompat di bawah kamarnya. Pria yang ia pikir tidak akan menemuinya.

"Awan." gumam Nazwa.

Benarkah yang ada di hadapannya saat ini adalah Awan?

"Ada sesuatu yang harus gue tanyain sama lo." ujar Awan. Tidak berbasa basi terlebih dahulu. Langsung pada alasan kenapa malam-malam seperti ini menemuinya.

"Ada yang mau lo tanyain?" Nazwa membeo. "Apa?"

"Kenapa lo lakuin itu buat gue?" tanya Awan. Tatapannya serius.

"Bukan urusan lo." Nazwa menampiknya dengan halus. "Lo gak perlu tahu dan itu gak penting sama sekali buat lo."

"Mungkin lo tahunya gue orang yang gak peduli sama hal-hal yang ada di sekeliling gue. Tapi, yang lo lakuin itu buat gue bebas dari hukuman. Dan itu penting buat gue. Gue perlu tahu alasan lo ngakuin kalau itu perbuatan lo."

"Lo gak perlu tahu, Awan!" Nazwa tidak bisa lagi mengontrol emosinya. Baru saja ia berteriak tepat di depan wajah Awan. Seharusnya pria ini tidak muncul di hadapannya untuk saat ini. Tidak bisakah dia mengerti?

"Tapi gue pengen tahu kenapa lo lakuin itu. Itu penting buat gue!" Awan semakin mendesak Nazwa. Nada suaranya tak kalah tinggi dengan Nazwa.

"Lo fikir kenapa gue ngelakuin itu buat lo, ha?!" bentak Nazwa pada pria yang berada di hadapannya dengan air mata yang mengalir sejak beberapa detik terakhir.

Perasaannya saat ini bercampur aduk antara senang melihat Awan, sedih, menyesal, takut, benci, marah, dan semuanya. Membuat Nazwa yang selama beberapa hari terakhir ini selalu berusaha untuk tegar kalah dengan emosinya. Berusaha untuk meyakinkan pada dirinya bahwa apa yang dilakukannya itu bukanlah hal yang salah. Dan sekarang dengan berdirinya Awan di hadapannya membuat Nazwa serasa seperti berjalan tanpa arah dan tanpa tujuan. Ia goyah juga pada akhirnya sehingga pertahanan yang ia buat selama ini runtuh dalam hitungan detik saja.

"Gue juga gak pernah nyuruh lo ngelakuin itu buat gue. Dan gue gak suka lo ngasihanin gue. Bahkan gue gak seneng atas apa yang lo lakuin itu." ucap Awan setengah berteriak.

"Apa gue pernah bilang kalau gue lakuin ini buat lo, ha!"

Awan mendesah frustasi sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

"Kenapa lo sampai sebodoh ini sih!" Awan lalu mendesah frustasi lagi.

Nazwa tertawa hambar. "Lo bener tentang gua yang bodoh. Gue tahu gue bodoh. Semua orang bakalan ngetawain gue habis-habisan tahu kebodohan apa yang pernah gue perbuat demi laki-laki idiot kayak lo."

Nazwa menarik napasnya mencoba untuk membuat dadanya tidak terasa sakit saat ini. "Harus lo tahu kalau apa yang gue lakuin itu bukan supaya lo seneng! Bukan supaya lo bebas dari hukuman itu! Dan bukan juga karena gue kasihan sama kehidupan lo yang berantakkan itu!"

"Terus apa alasannya lagi kalau bukan karena lo kasihan sama gue. Apa!?" teriak Awan. Mendesak supaya Nazwa menjawab apa yang menjadi pengganggu fikirannya akhir-akhir ini sejak Nazwa di skors dari sekolah karenanya. "Seenggaknya lo kasih tahu gue alasannya kenapa lo lakuin itu buat gue."

"Karena lo tolol! Bego! Dongo! Karena lo temen gue. Lo gak punya teman lagi selain gue. Gue seneng kalau lagi sama lo. Udah berapa kali sih gue bilang sama lo buat berhenti ngerokok di sekolah. Dan sekarang kayak gini 'kan? Pliss, jangan buat gue menyesal udah ngaku kalau yang ngelakuin itu gue. Gue mohon jangan buat gue menyesal dengan pertanyaan-pertanyaan lo yang gak bakalan ngerubah apapun yang udah terjadi ini." Nazwa menjeda kalimatnya. Air matanya bergerumul di bawah matanya lalu meluncur bebas menuruni pipinya.

"Lo fikir orang bodoh mana yang mau ngelakuin hal yang sama kayak gue, ha! Siapa! Kalau pun ada orang itu pasti gue! Gue! Kenapa Wan kenapa?! Kenapa lo harus kayak awan yang ada di langit dan kenapa gue harus jadi lautan yang harus tetap berair supaya gue bisa buat lo tetap ada dan angin tidak menghempas lo pergi. Gue pengennya gue jadi angin yang selalu bersama lo kapanpun." Nazwa mencak-mencak sendiri.

Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Awan untuk menunjukkan bagaimana perasaannya yang sebenarnya dan kenapa pula pria itu tidak menyimpulkan sendiri kenapa Nazwa sampai nekad melakukannya. Melakukan hal yang orang paling bodoh yang tidak pernah ingin orang lain lakukan.

Dan Nazwa menyadari bahwa dirinya sangatlah bodoh.

Atau seharusnya sejak awal ia tidak harus melakukan hal ini untuk Awan? Menyesalkah Nazwa? Tidak, tidak sama sekali. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa kecewa kenayataan bahwa Awan tidak bisa menyimpulkan kenapa Nazwa melakukan hal seberbahaya ini untuknya. Karena perasaannya.

Awan menengadahkan wajahnya lalu mengusapnya kasar dengan telapak tangannya. "Iya dan lo bodoh karena ngelakuin ini buat gue! Kenapa lo buang-buang waktu lo buat ngelindungin orang kayak gue, ha!" Bentak Awan.

Bahu Nazwa naik turun tak beraturan. Ia menangis dengan tangan menangkup di wajahnya. Kenapa rasanya sesakit ini mengetahui bahwa orang yang kita cintai tidak mengetahui perasaan kita dan menganggap apa yang telah kita lakukan untuknya hanya buang-buang waktu saja. Tidak ada artinya sama sekali.

Awan menarik nafasnya untuk menenangkan emosinya. Entah kenapa semua yang Nazwa katakan barusan kepadanya tidak membuat Awan puas. Seperti ada hal lain yang ingin Nazwa katakan pada Awan. Seperti sebuah emosi terpendam yang sangat Awan ingin tahu jawabannya.

Nafas Nazwa terengah-engah karena emosi. Air matanya meluncur dengan derasnya. Ia tersadar dengan keberadaannya sekarang yang masih dekat dengan rumahnya dan ia juga menyadari bahwa beberapa detik yang lalu ia baru saja berteriak-teriak mengatakan apa yang mengganjal hatinya selama beberapa hari ini.

Tidak, Nazwa masih belum puas. Masih belum. Karena seharusnya Awan mengerti akan perasaanya. Alasan terbesar yang mungkin mendorong Nazwa untuk melakukan hal ini.

Nazwa melihat Awan yang bergerak secara perlahan mendekat ke arahnya dengan wajah yang tidak bisa ditebak apa yang dipikirkannya sama sekali. Terlalu sulit untuk membaca apa yang dipikirkan pria ini. Terlalu rumit juga baginya memikirkan dirinya sendiri yang sudah bertindak bodoh itu.

Untuk saat ini entah kenapa melihat Awan berada di hadapannya dan melakukan hal-hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya membuat pertahanan Nazwa hancur. Awan yang selama ini ia kenal tidak pernah menampakkan emosi apapun saat ini terlihat marah, kesal, merasa bersalah, kebingungan. Dan itu membuat Nazwa tidak bisa menahan air matanya.

Nazwa menangkupkan kedua telapak tangannya pada wajahnya. Membekap tangisnya supaya tidak terdengar telalu nyaring. Ia menangis bukan karena kecewa tapi karena ia melihat Awan yang tidak ingin dilihatnya untuk beberapa saat. Sampai kemudian Nazwa merasakan sebuah tangan menempel pada bahunya lalu menarik tubuh Nazwa untuk mendekat.

Awan memeluknya.

Awan memeluknya.

Awan memeluknya.

Nazwa benar-benar tidak percaya ini. Namun tetap saja hal itu tidak membuat tangisnya berhenti malah semakin keras lagi. Nazwa ingin Awan tahu. Ingin Awan tahu tentang perasaannya tanpa ia harus mengatakannya. Harus berapa kali lagi ia harus meneriakkan hal itu dalam hatinya supaya Awan bisa memahaminya. Tapi, kedengarannya itu sangat mustahil.

"Gue minta maaf udah buat lo kayak gini." Awan berkata tepat di samping telinga Nazwa dengan suara yang pelan.

Dengan amarah dan perasaan kecewa ia mendorong tubuh Awan menjauh darinya. Mendorongnya dengan sekuat tenaga sampai-sampai hampir membuat tubuh Awan terjungkal kebelakang.

"Apa lo masih belum ngerti juga, ha? Kalau cuma ada satu alasan kenapa cewek ngelakuin hal-hal yang idiot buat seorang cowok yang bukan siapa-siapany?" Nazwa menatap Awan yang hanya menatapnya tanpa mengatakan apapun.

Awan hanya terdiam. Ekspresinya tidak terbaca sama sekali. Membuat Nazwa yang melihatnya kebingungan sendiri.

Nazwa berteriak frustasi. "Gue suka sama lo! Gue sayang sama lo! Dan mungkin gue cinta sama lo! Cinta! Apa lo tahu rasanya, ha?!"

Sungguh, Nazwa tidak mau mengatakannya. Tapi barusan ia sudah terlanjur mengatakannya pada Awan. Dan sekarang Nazwa menutupi wajahnya dengan kedua tangannya lagi.

"Nazwa gu...gue..." Awan hendak menyentuh bahu Nazwa lagi namun Nazwa sudah lebih dulu menepis tangan Awan untuk sampai pada bahunya.

"Gue gak minta lo balas perasaan gue. Yang gue mau lo tahu. Itu aja." Tubuh Nazwa terjatuh karena lemas. Saat ini ia sedang berjongkok di atas rumput sambil menutupi kedua wajahnya dengan tangannya.

Rasa menyesal itu kembali hadir. Perasaan yang selalu ingin Nazwa hilangkan setelah ia melakukan hal-hal yang di luar nalar. Tidak bisa karena sampai saat ini Awan masih berada di hadapannya dan rasa menyesal itu tidak akan hilang sampai kapanpun. Akhirnya Nazwa berlari meninggalkan Awan memasuki rumahnya masih dengan keadaan menangis.

Terasa sangat menyakitkan. Sangat menyakitkan mengetahui bahwa pria yang kamu sukai tidak mengerti dan memahami perasaanmu disaat sudah berbuat banyak. Seperti yang Nazwa lakukan untuk Awan. Melakukan pengorbanan yang besar tapi Awan belum juga memahami perasaannya.

~***~


Maaf ya kemaren gak sempet ngenext :)

voment kalian yang saya butuhkan guys ;) jangan lupa di follow sama di tambah ke daftar bacaannya yaaa....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #flowerflo