BAB 5

Maaf yah kemaren itu yang BAB 5 itu seharusnya BAB 6. Aku salah ngepostnya. Maaf banget yaahhh....

Ini aku udah post perbaikannya :)

Dimohon pengertiannya aja yaa... aku kan juga manusia. Bukan manusia jadi-jadian  HAHaha


~***~

Koridor yang tadinya sunyi itu mendadak menjadi berisik setelah kedatangan Awan. Jelas saja karena penampilan wajah Awan yang penuh dengan luka lebam itu membuat semua orang keheranan. Menjadi santapan enak bagi penggosip.

Awan bukan orang bodoh yang tidak mengetahui bahwa saat ini ia menjadi pusat perhatian semua orang. Dengan keadaan wajahnya yang seperti ini pasti membuat semua orang semakin berfikiran negatif tentangnya. Meskipun tidak jelas apa yang mereka semua bicarakan yang pasti Awan tahu bahwa mereka sedang membicarakannya yang tidak-tidak saat melihat luka lebam ini.

Awan menghela napas. Seperti biasa Awan akan bersikap tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Ia akan menjejalkan headset pada kedua telinganya. Seperti biasa pula Awan melakukannya untuk menghindari supaya ia tidak mendengar perkataan-perkataan orang lain dan anggapan-anggapan mereka terhadap Awan.

Terkadang memang kita harus bersikap seperti ini. Pura-pura tidak tahu bahwa seluruh dunia sedang membicarakan seberapa buruk diri kita.

Saat Awan berjalan melewati tikungan koridor, tiba-tiba seseorang menarik lengannya. Persekian detik kemudian ia tahu siapa yang melakukan itu padanya.

"Gue udah bilang sama lo 'kan semalem jangan dulu dateng ke sekolah sebelum luka-luka lo sembuh. Lo tadi juga tahu 'kan kalau mereka ngomongin lo?" ucap Nazwa khawatir.

"Gue gak apa-apa. Lo gak usah khawatir."

"Gimana gue gak khawatir. Keadaan lo..."

"Gue gak apa-apa, oke?" tegas Awan. Setelah itu meninggalkan gadis itu.

Nazwa menghembuskan napas kasarnya. Tanpa memperdulikan perkataan Awan sebelumnya, ia pun berjalan mengekori pria itu.

~***~

Selama pelajaran berlangsung Nazwa tidak lepas memandangi Awan yang tidur di bangkunya. Ini pertama kalinya Nazwa melihat Awan tidur di kelas seperti itu. Pria itu... entah kenapa Nazwa selalu merasa kasihan melihatnya. Merasa bahwa Awan selama ini selalu menanggung beban yang sangat berat sendirian. Sehingga membuatnya tampak tidak seperti remaja lainnya yang sangat bahagia di usianya. Tidak pernah sekalipun ia melihat Awan tersenyum bahkan tertawa keras seperti yang sering ia lakukan.

Sebenarnya apa yang membuatnya seperti itu?

Awan tidak seceria dirinya dan yang lainnya. Bahkan Awan selalu menutup dirinya dari siapapun seperti tidak mau ada orang lain yang tahu tentang kehidupannya. Menutup dirinya yang sebenarnya dari semua orang dan membiarkan orang lain berfikiran negatif tentang dirinya.

Saat bel istirahat berbunyi Nazwa melihat Awan yang bangun dari tidurnya dan langsung melangkah keluar dari kelas. Segera ia berlari menyusul Awan tak lupa membawa kotak P3K dari dalam tasnya.

Nazwa berlari menuju perustakaan, mengira bahwa Awan ada disana. Tapi, saat ia masuk ke dalam, Nazwa tidak melihat Awan dimana-mana. Bahkan di bangku paling pojok yang biasa Awan duduki. Nazwa keheranan sendiri dimana keberadaan Awan saat ini. Di kantin? Tidak mungkin. Seumur dirinya ada di sekolah ini, ia tidak pernah melihat Awan mengisi salah satu meja yang ada disana.

Kalau begitu Awan ada dimana? Fikiran Nazwa pun berkelana mengumpulkan kemungkinan-kemungkinan keberadaan Awan saat ini. Sampai kemudian ia mengingat sesuatu. Segera saja Nazwa berlari menuju halaman belakang sekolah tempat dimana ia menemukan Awan saat pria itu menghilang beberapa waktu yang lalu dari kejarannya.

Tak butuh waktu lama, Nazwa sudah menemukan Awan duduk di bawah pohon sambil sesekali mengepulkan asap dari rokok yang dia jepitnya diantara dua jarinya. Nazwa menghela nafasnya sejenak sebelum ia melangkahkan kakinya mendekati Awan.

"Gue cari lo ke pepustakaan eh tahunya lo ada disini." ujar Nazwa sambil tersenyum. Membuat Awan menoleh kepadanya.

Nazwa mengerjap beberapa kali saat melihat Awan yang berusaha menyembunyikan rokok di tangannya itu ke belakang tubuhnya.

"Gue udah liat kok dari tadi." kepala Nazwa menengok pada rokok yang Awan sembunyikan.

"Lo ngapain disini?" tanya Awan lalu memunculkan rokok di tangannya itu tanpa rasa takut lagi. Berpikir bahwa tidak ada gunanya ia menyembunyikannya sementara Nazwa sudah melihatnya merokok dua kali. Waktu itu dan hari ini.

"Ini." Nazwa mengangkat kotak P3K di tangannya. "Lo itu harusnya obatin dulu luka lo sebelum dateng ke sekolah."

"Gue gak punya waktu buat ngobatin luka ini." jawab Awan sambil menundukkan kepalanya.

Nazwa tersenyum lalu mengambil posisi duduk disebelah Awan. Menyimpan kotak P3K itu di atas rumput lalu membukanya. Tangannya bergerak cepat meraih wajah wajah Awan dan menghadapkan padanya.

"Ya ampun, luka lo ternyata separah ini. Kenapa gue gak nyadar yah waktu gue lihat lo semalem." Nazwa meringis linu melihat keadaan wajah Awan yang mengenaskan itu. "Siapa sih yang tega bikin wajah lo kayak gini. Udah jelek makin jelek lagi."

Awan memalingkan wajahnya. "Gak usah komentarin muka gue yang berantakkan bisa 'kan?"

Nazwa mendecih pelan lalu mengambil obat merah dari kotak P3K-nya. "Gue obatin yah?"

Awan mengangguk. Memberikan izin.

Butuh beberapa menit bagi Nazwa untuk mengobati luka-luka di wajah Awan. Sementara saat hal itu berlangsung pandangan mata Awan tidak henti-hentinya menatap wajah Nazwa yang sedang mengobatinya. Sesekali gadis itu mengernyitkan keningnya, meniup-niup lukanya, dan mengipas-ngipasi dengan tangannya.

Manis. Tanpa ia sadari bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan.

"Selesai." seru Nazwa girang. Sesegera mungkin Awan mengalihkan pandangannya. Tidak ingin aksi terlarangnya diketahui.

"Gimana sekarang udah enakan 'kan dibanding sama tadi?" tanya Nazwa sambil meletakkan alat-alat yang digunakannya sebelumnya untuk mengobati luka Awan pada tempatnya.

Awan hanya bergumam pelan untuk menjawabnya. Nazwa tersenyum menanggapinya. Setelah itu Nazwa bangkit dari duduknya hendak melangkah meninggalkan Awan.

Namun, Awan malah mencekal pergelangan tangannya. Nazwa menatap jemari bergetar Awan yang memegangi tangannya itu sebelum akhirnya pandangannya beralih pada wajah Awan.

"Ke...kenapa?" tanya Nazwa bingung.

Jantungnya tiba-tiba berdegup sangat cepat. Ia juga merasakan pipinya memanas. Sialan, kenapa ia harus terlihat bodoh saat ini.

"Makasih." ucap Awan tulus.

Nazwa hanya tersenyum. Tidak tahu harus dengan apa menanggapinya.

Saat Nazwa hendak melangkahkan kakinya. Lagi-lagi Awan mencekal pergelangan tangannya membuat Nazwa heran kenapa Awan melakukannya padahal pria itu sudah mengucapkan terimakasih padanya.

"Gue boleh tanya sesuatu sama lo?"

Kening Nazwa berkerut samar. "Tanya aja. Kenapa juga lo harus minta izin dulu."

Awan menggigit bibir bawahnya sebentar. "Lo kenapa gak laporin gue ke Pak Jaja?"

Nazwa tertegun beberapa saat. Untuk pertanyaan Awan barusan ia sendiri tidak tahu kenapa ia bungkam saat ia tahu pemilik rokok yang membuat Pak Jaja murka saat itu adalah milik Awan.

Awan menghela nafasnya. "Rokok itu...lo tahu 'kan kalau itu milik gue? Kenapa lo gak laporin gue?"

Hening.

Nazwa masih terdiam. Ia berfikir. Pertanyaan Awan benar kenapa Nazwa tidak langsung bilang kalau rokok itu milik Awan. Tapi, Nazwa malah diam saja dan tidak mengatakan apapun seolah tidak tahu apa-apa.

"Kenapa lo gak laporin gue waktu itu?" ulang Awan. Menantikan apa yang akan Nazwa katakan padanya.

"Harus banget gue jawab?"

Awan mengangguk.

"Karena waktu itu lo juga pernah nolong gue. Dan gue fikir waktu itu saatnya gue buat bales kebaikan lo."

"Nolong lo?" Awan tampak tidak mengerti dengan apa yang Nazwa katakan.

Entah pria itu lupa atau tidak tahu bahwa dia pernah menolong Nazwa satu kali.

"Lo inget dulu lo pernah nolong cewek yang jatuh pas MOPD?"

Alis Awan bertautan, sedang mengingat-ngingat. Sesaat kemudia ia mengangguk.

"Itu gue. Dan gue berterimakasih banget sama lo. Gue gak tahu kalau waktu itu lo gak ada, mungkin gue bakalan lebih lama lagi jadi tontonan komedi gratisan buat mereka semua. Dan..." Nazwa menggigit bibir bawahnya. "Gue yakin lo pasti punya alasan yang jelas kenapa lo bisa kayak gini. Karena gue setiap orang punya alasan kenapa mereka lakuin hal yang salah sementara dia tahu kalau itu salah."

"Alasan yah?" pandangan Awan lurus kedepan seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Lo pasti juga punya alasan kenapa lo ngelakuin hal ini padahal lo tahu ini salah. Apapun itu, gue sama sekali gak berhak buat tahu."

~***~

Nazwa baru saja keluar dari kelas saat Naufall memanggilnya sambil melambai-lambaikan tangannya. Seperti biasa bersikap sok akrab dengannya. Membuat Nazwa yang melihatnya merasa tidak nyaman. Sempat terdiam beberapa saat sebelum akhirnya Nazwa melangkahkan kakinya lurus dan tidak memperdulikan keberadaan Naufall. Bersikap seolah tidak melihat pria itu.

"Lo hari ini mau kemana?" tanya Naufall. Berjalan miring mengikuti Nazwa.

Nazwa tidak menjawab sehingga pria itu mengulangi lagi pertanyaannya.

"Gak kemana-mana." jawab Nazwa ketus.

"Bagus!" teriak Naufall kegirangan. "Kalau gitu gimana kalau nanti malem kita nonton? Katanya ada film baru."

"Gue lagi males kemana-mana."

"Kalau gitu gimana kalau gue main ke rumah lo aja?" Naufall sambil menaik turunkan alisnya meminta persetujuan.

"Katanya lo mau nonton."

"Karena lo gak mau. Yaudah nontonnya lain kali aja. Gue ke rumah lo ya?"

"Gak usah. Nanti apa kata mama gue."

"Ya... kalau mama lo bilang apa-apa gue tinggal bilang aja kalau gue calon menantunya."

"Dia gak bakalan percaya."

"Kenapa? Dia bakalan percaya kok. Gimana boleh 'kan?"

"Oh iya." Nazwa menepuk keningnya. "Gue lupa besok ada ulangan jadi lo gak bakalan bisa main ke rumah gue."

"Ya itu lebih bagus. Kita bisa belajar bareng 'kan? Gue juga besok ada ulangan."

"Gue gak suka belajar bareng orang lain. Ngeganggu!" ucap Nazwa penuh penekanan pada ujung kalimatnya.

"Gue gak bakalan ganggu lo kok. Justru gue bakalan banyak ngebantu lo. Nanti kalau lo gak ngerti sesuatu gue bisa bantuin lo."

Rupanya Naufall belum menyerah juga terhadap Nazwa. Meskipun Nazwa selalu memperlakukannya dengan cara seperti ini. Akan tetapi, sikap Naufall yang bersikeras seperti ini membuatnya tidak suka dan semakin merasa terganggu. Bukan, merasa risih maksudnya.

"Gini-gini gue lumayan cerdas lho." lagi-lagi Naufall membanggakan dirinya.

Tiba-tiba Nazwa menghentikan langkahnya. Lalu menatap Naufall dengan tatapan tajam. Sungguh, Nazwa sudah sangat geram dengan sikap pria ini.

"Ke..kenapa?" tanya Naufall bingung dengan tatapan yang Nazwa arahkan padanya.

"Normalnya cowok bakalan ngerti kalau cewek yang dia deketin sering menghindar itu artinya cewek itu gak suka sedikitpun sama cowok itu. Sama kayak gue yak gak suka lo ikutin." tegas Nazwa dengan suara tinggi. Setelah itu ia meninggalkan Naufall yang masih mematung di tempatnya.

~***~


Sekali lagi maafkan aku yang udah salah post itu ya chingu. Biar keren bilang "gak apa-apa" dulu dong. plisss!!!!


janggan lupa vomentnya ya guys.


jangan jadi silent readers!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #flowerflo