BAB 3
~***~
"Awan!" teriak Nazwa saat melihat Awan berjalan melewati rumahnya lagi pagi hari itu.
Yang dipanggil pun menoleh.
"Ma, aku berangkaat bareng Awan." ujar Nazwa girang pada mamanya yang berdiri di ambang pintu.
"Iya. Hati-hati di jalan."
Nazwa mencium tangan mamanya.
Nazwa hanya tersenyum menanggapi apa yang mamanya katakan. Setelah itu ia berlari menyusul Awan yang sudah berada jauh di depan sana. Setelah ia berhasil menyenyajarkan langkahnya dengan Awan ia tersenyum menatap wajah Awan dari samping.
Awan mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Disusul dengan mengeluarkan headset dari saku bajunya. Memasukkan anak headset itu pada dua telinganya.
Lagi? Nazwa hampir tidak percaya bahwa Awan selalu menyumbat telinganya saat berangkat bersama dengannya.
Apa ia sebawel itu sampai-sampai pria ini selalu saja menyumbat telinganya dengan headset saat bersama dengannya. Saat Awan hendak menyolokkan headset pada ponselnya, Nazwa buru-buru merebut ponsel itu dari tangan Awan.
"Gue pinjem dulu bentar ya." ujar Nazwa sambil berusaha menjauhkan ponsel Awan dari jangkauan Awan.
Akan tetapi, Awan masih belum menyerah untuk mengambil ponselnya dari tangan Nazwa. Dan lebih keras lagi Nazwa menjauhkannya dari Awan.
Dengan susah payah Nazwa mengetikkan sesuatu di ponsel Awan.
"Buat apaan sih?!" protes Awan.
"Minjem bentar Awan."
"Tapi buat apaan?"
"Gue belum punya nomor lo."
Setelah Nazwa mengatakan hal itu Awan pun berhenti untuk mengambil ponselnya. Sementara itu Nazwa menggunakan kesempatan ini untuk mencatatkan nomor ponselnya pada ponsel Awan.
"Selesai." Kata Nazwa senang sambil menunjukkan layar ponselnya sendiri yang menyala. Ada nomor baru disana, nomor Awan.
"Makasih." Nazwa menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya.
"Lain kali kalau lo sakit atau ada apa-apa tinggal telpon gue aja. Oke?" Nazwa tersenyum sejenak sebelum melangkahkan kakinya kegirangan mendahului Awan. Ternyata tidak sesulit yang Nazwa fikir. Sekarang ia mempunyai nomor ponsel Awan. Pria dingin, flat, yang katanya psiko itu, tapi kenyataannya pria itu baik. Nazwa yakin itu.
Awan menatap Nazwa yang sudah berada jauh di depannya. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik membuahkan sebuah lengkungan tipis.
"Nazwa cantik." gumamnya tak percaya saat melihat nama apa yang Nazwa ketikkan untuk menamai kontaknya sendiri.
Tidak mau mengambil pusing. Awan pun mencolokkan headset pada ponselnya dan mulai berjalan lagi.
~***~
"Yang ini bagus gak?" tanya Nazwa pada Jully yang berada di ranjangnya sambil menujukkan dress berwarna baby pink yang baru saja ia ambil dari lemari.
"Mmm... Bagus sih." Kata Jully sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada dagunya tanpa minat sama sekali.
"Pertanda buruk." gumam Nazwa sambil meletakkan kembali dress tersebut pada lemarinya. "Kalau lo udah kayak orang autis kebingungan gitu artinya lo gak suka."
Nazwa sudah mengenal Jully lebih dari siapapun. Dan ia tahu saat Jully sudah mengetuk-ngetukkan jarinya seperti gadis itu sedang merasa tidak setuju. Bingung harus mengatakan dengan cara seperti apa ketidaksukaannya terhadap sesuatu dan terkadang memilih untuk setuju-setuju saja.
"Oh ya, akhir-akhir ini gue sering lihat lo berangkat bareng sama si Awan itu." kata Jully sambil mengambil ponsel Nazwa yang berada di meja kecil di samping ranjang.
"Emang iya sih." Jawab Nazwa seadanya. Lalu ia menunjukkan dress yang lain pada Jully. "Yang ini?"
Dan lagi-lagi Jully mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya. Membuat Nazwa meletakkan kembali dress tersebut kedalam lemari.
"Kok bisa kalian barengan terus?"
"Maksud lo Awan?" tanya Nazwa sambil menunjukkan baju lain pada Jully.
"Iya." ucap Jully. Lalu menggelengkan kepalanya menyuruh Nazwa mencari baju yang lain.
"Sekarang 'kan dia tinggal di kompleks ini juga."
"Oh ya?" Jully berteriak hampir saja membuat ibu-ibu komplek keluar karena teriakannya. "Jangan bercanda. Si Awan yang gak jelas itu tinggal di kompleks ini?"
"Masa gue bohong sih."
"Rumahnya yang di sebelah mana?"
"Itu yang di pinggir warungnya Bu Sehun."
Nazwa melihat Jully yang mengangguk-angguk kemudian menujukkan dress yang lain pada Jully meminta penilaian dari sahabatnya itu. Hal yang selalu ia lakukan saat mereka berdua berencana jalan-jalan ke mall. Ck, dan lagi-lagi Jully mengetuk-ngetukkan jarinya.
"Terus gue harus pake baju yang mana? Yang ini enggak, yang itu juga." keluh Nazwa kesal.
"Ya itu sih terserah lo. Kenapa juga setiap kita mau main lo harus nanya dulu sama gue baju apa yang bagus lo pake."
"Gue cuma suka gak pede aja makanya gue nanya sama lo." Nazwa mengambil sebuah kaos berlengan panjang berwarna putih garis-garis biru dan celana pendek. "Gue pake ini aja."
Setelah itu Nazwa menuju kamar mandi untuk mengganti bajunya.
"Hah! Awan psikopat?" kata Jully sambil berteriak membuat Nazwa yang sedang berganti baju di kamar mandi bisa mendengarnya. "Ini si Awan temen satu kelas kita 'kan?"
"Iya. Gue nyolong nomornya waktu gue berangkat bareng sama dia." teriak Nazwa dari dalam kamar mandi sekaligus menjelaskan dari mana dia bisa mendapatkan nomor ponsel pria misterius itu.
Tidak ada sahutan apa-apa lagi dari sahabatnya Jully. Mungkin gadis itu sudah capek menanyakan ini itu yang berhubungan dengannya lagi. Ya, bagus. Berarti ia tidak perlu lagi untuk menjawab pertanyaan Jully. Setidaknya untuk saat ini saja.
~***~
Bel istirahan baru saja berbunyi. Nazwa buru-buru berlari keluar dari kelas setelah ia melihat Awan keluar paling pertama. Hal itu jelas membuat Jully yang melihatnya merasa curiga dengan apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Curiga dengan Nazwa yang selalu terlihat aneh jika menyangkut Awan.
"Aww.. hati-hati dong kalau jalan." pekik siswi kelas sebelah saat Nazwa tak sengaja menabrak pundaknya.
Segera Nazwa mengambil makanan gadis itu yang terjatuh dan meminta maaf. Setelah itu ia berlari lagi mengejar Awan yang sudah beberapa meter di depannya.
"Mau kemana sih dia?" tanya Nazwa sambil terus mengikuti Awan.
Ia agak heran dengan rute yang di ambil Awan untuk pergi ke perpustakaan. Bahkan ini bukan jalan menuju ke perpustakaan. Lalu Awan akan pergi kemana? Bukankah selama ini saat dia tidak kelihatan dimana-mana dia selalu berada di perpustakaan? Sekarang pria itu akan kemana?
"Hey!" seseorang entah dari mana datangnya mengagetkan Nazwa. Membuat ia hampir saja melayangkan pukulannya tepat ke hidung pria itu.
"Elo." Nazwa melihat pria yang sama yang beberapa hari mengantarnya pulang itu.
Naufall.
"Lo mau kemana?" tanya Naufall.
Nazwa berdecak lidah kesal sambil memanjangkan lehernya mencari Awan. Tapi, tidak kelihatan sama sekali. Mengabaikan pertanyaan yang baru saja Naufall lontarkan padanya, ia pun melangkahkan kakinya.
Akan tetapi, Naufall menahan pergelangan tangannya. "Bilang dulu sama gue lo mau kemana?" desaknya.
"Lo itu kenapa sih? Lo bukan siapa-siapa gue, oke? Dan ini juga gak ada hubungannya sama lo. Ngerti?"
"Tapi, gue pengen tahu." desak Naufall.
Sejak kejadian hari itu ia merasa tertarik pada Nazwa.
"Emang apa sih ngaruhnya sama lo kalau lo juga tahu?"
Naufall terdiam. Saat itu Nazwa lakukan untuk menepis tangan Naufall dari pergelangan tangannya.
"Gue mau nangih terimakasih lo buat yang waktu itu." teriak Naufall membuat Nazwa yang sudah melangkah beberapa langkah itu berbalik kembali.
"Oke, makasih buat yang waktu itu." ucap Nazwa dengan nada yang terdengar seperti ledekan. "Puas?!"
"Lo kayak gak ikhlas bilangnya." protes Naufall.
Nazwa menghentak-hentakkan kakinya kesal. Apa lagi sih yang diinginkan pria ini?
"Terus lo mau gue kayak gimana? Bilang terimakasih sama lo sambil senyum lebar dan ngasih cokat sama lo gitu?"
"Ya. Nggak gitu juga sih." Naufall menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Jadi, ucapan terimakasih gue sama lo udah 'kan? Hutang gue sama lo udah lunas 'kan? Plis, jangan memperpanjang apa-apa lagi diantara kita,...maksud gue, gue sama elo."
Kemudian tanpa memperdulikan Naufall, Nazwa mencari keberadaan Awan lagi. Kemana pria itu? Cepat sekali menghilangnya.
Seperti Awan di atas sana yang pergi begitu saja setelah di tebak angin. Kenapa harus sama?
Suara gemersik rumput di injak terdengar horor. Entah ini hanya perasaan Nazwa saja. Tapi, memang seperti itulah kenyataannya karena sekarang ia berada di halaman belakang sekolah dekat bangunan gudang yang jarang sekali ada siswa yang menginjakkan kakinya. Nazwa meraba belakang lehernya saat tiba-tiba hawa dingin menyergapnya.
Kenapa ia merasa seperti berada di dalam sebuah film horor? Ah, ini menyebalkan. Kenapa juga sekarang ia merasa takut seperti ini. Seperti pengecut saja.
Hantu itu tidak ada, okay?
Nazwa mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
Dan tiba-tiba... terdengar suara langkah kaki di belakangnya. Langkah kaki itu semakin mendekat. Nazwa di serang ketakutan yang luar biasa sekarang. Seharusnya ia bersiap-siap untuk lari akan tetapi entah kenapa alasannya kakinya sekarang mendadak kaku, sangat sulit sekali untuk di gerakkan. Ia masih diam, belum ada niatan sama sekali untuk membalikkan badannya. Ia ketakutan, sangat ketakutan.
'Apa yang harus gue lakuin?' teriak Nazwa dalam hati.
Dan....
Seseorang yang berada di belakangnya itu menyentuh pundak Nazwa. Seketika Nazwa membalikkan badannya sambil bersiap untuk memberikan pukulan padanya.
"Awan." Nazwa setengah memekik setelah melihat siapa yang berada di belakangnya itu. Tinjunya yang sebelumnya hendak melayang mengambang di udara di depan wajah Awan yang sedang menatapnya dengan datar.
Namun, ada yang membuatnya heran dan tidak percaya saat ini. Ia melihat sebuah benda sepanjang sepuluh centi di tangan Awan. Benda kecil yang saat ini mengepulkan asap tipisnya. Benda kecil yang diapit dengan jari telunjuk dan jari tengah pria itu.
Sebuah rokok.
Nazwa menatap wajah Awan tidak percaya.
Awan segera menyembunyikan benda di tangannya ke belakang tubuhnya.
Dan seindah-indahnya awan, setenang-tenangnya awan, sediam-diamnya awan di atas sana, kadang menunjukkan sisi gelapnya. Sisi gelap yang membuat semua orang tidak percaya akan hal itu. Seperti Awan yang berada di bawah sini, di hadapannya saat ini.
Nazwa masih belum sepenuhnya percaya bahwa ini adalah Awan yang sama. Awan penolongnya yang membuatnya berubah menjadi gadis idiot dalam sekejap saja setelah Awan menolongnya.
Dia perokok?
~***~
Saat jam pelajaran berlangsung. Pak Jaja tiba-tiba masuk ke dalam kelas membuat semuanya yang ada di kelas di buat kaget dengan kedatangannya itu. Semua mata langsung tertuju pada guru olahraga itu.
"Siapa yang berani-berani merokok di sekolah?" tanyanya dengan nada membentak sambil menunjukkan rokok yang tinggal setengahnya itu.
"Siapa yang merokok di belakang sekolah?" tanya Pak Jaja dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
"Jawab!!" desak Pak Jaja sambil memukul meja di hadapannya. Membuat semuanya melonjak kaget atas apa yang di lakukannya tak terkecuali dengan guru wanita di depan sana.
Namun, semuanya terdiam. Tidak ada yang berani berbisik-bisik apalagi berbicara.
"Saya bilangin sekali lagi yah. Kalau ada lagi yang berani macam-macam dengan peraturan sekolah jangan harap kalian pulang masih berkepala." Ancamnya. Semuanya menunduk takut dengan kemarahan Pak Jaja.
Tidak ada yang menyahut satu orangpun. Si peringkat pertama yang biasanya sangat bawel kali ini terlihat sama takutnya. Bahkan guru wanita di depan sana juga terdiam. Bisa dibilang Pak Jaja itu penguasa sekolah ini. Guru yang paling menjungjung tinggi aturan sekolah dan tidak segan-segan menghukum siswanya yang melanggar dengan hukman yang tidak main-main. Bukan hanya itu, tidak ada satu orang pun yang berani melawan Pak Jaja. Bahkan kepala sekolah sekalipun. Hebat. Ya hebat, dan sangat menakutkan.
"Pake main-main segala lagi dengan peraturan sekolah." gerutunya masih terdengar saat laki-laki itu membalikkan badannya hendak keluar dari kelas.
Setelah tubuh Pak Jaja benar-benar menghilang dari balik pintu, Nazwa melirik Awan yang duduk di bangkunya tatapan pria itu lurus kedepan dan datar. Bagaimana bisa pria itu terlihat tenang seperti itu padahal jika saja Pak Jaja tahu bahwa itu perbuatannya, maka tamatlah sudah riwayatnya.
Bagaimana jika Pak Jaja menemukan bahwa puntung rokok yang di temukannya di belakang sekolah itu milik Awan? Apa yang akan terjadi pada pria itu?
~***~
Ini gambaran pohon yang ada di belakang sekolah Nazwa. Tempat biasa Awan menyendiri.
Ini tangan Awan yang lagi pengang rokok.
Gak nyangka yah si Awan yang pendiem itu ngerokok Hahaha :D
Jangan lupa FVC nya yaa... :D #follow #vote #coment (Itu wajib lho:P)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top